Saturday 31 December 2011

KHALIFAH PUN MEMARAHI DIRINYA


Suatu hari  seseorang datang menjumpai “amirul mukminin” Umar bin Khattab r.a untuk mengadukan halnya. Ketika itu sang khalifah berada di masjid dan tengah disibukkan oleh suatu urusan. Merasa urusannya terganggu, sang khalifah memarahi orang itu dan memberinya sepecut cambukan sambil berkata:

“Ketika aku menyediakan waktu untuk menerima pengaduan kalian, engkau tidak datang kepadaku. Sekarang diriku sedang disibukkan oleh urusan penting, engkau datang mengganggu diriku.”

Menerima perlakuan yang tak disangka-sangka itu,  orang tersebut berlalu dari hadapan Umar tanpa berkata sepatahpun. Akan tetapi beberapa saat kemudian Umar menyuruh seseorang untuk memanggil orang tersebut, dan ketika ia telah berdiri di hadapannya, maka Umar berkata:

“Wahai hamba Allah, maafkanlah atas kelakuan dan kekasaranku tadi, sungguh aku sudah disibukkan oleh setanku, sehingga melupakan kepentinganmu.. Sekarang sebutkanlah keperluanmu dan setelah itu ambillah cambukku ini, cambuklah diriku sebagaimana aku tadi mencambukmu sebagai qishas untukku, agar Allah mau mengampuniku.” 

Lalu orang tersebut berkata kepada Umar:

“Wahai amirul mukminin, sebenarnya akulah yang harus minta maaf padamu, sebab aku dtang tidak pada waktunya. Dan adapun perlakuanmu tadi dapatlah kumaklumi dan telah kumaafkan sejak awal.”

Setelah mengucapkan kata-katanya, orang tersebut pun berlalu dari hadapan Umar bin Khattab. Setelah mendengar dan melihat apa yang dilakukan orang tersebut kepadanya, “amirul mukminin” Umar bin Khattab r.a buru-buru meninggalkan masjid, pulang ke rumahnya.  Seibanya di rumah sang khalifah lalu ia melakukan sholat (sunat) dua rakaat memohon ampunan kepada Allah SWT sambil memarahi dirinya sendiri:

“Wahai Umar, dulu kedudukanmu sangatlah hina dan rendahnya, sampai akhirnya derajatmu dinaikkan oleh Allah. Dulu engkau adalah orang yang tersesat jauh sampai kemudian Allah berkenan memberikan hidayah-Nya untukmu. Dulu engkau adalah seorang yang nista, sampai kemudian Allah menjadikanmu sebagai seorang khalifah bagi kaum  muslimin. Namun ketika orang yang dibawahmu datang mengadukan halnya dan memohon keadilanmu, dirinya kau kasari dan sakiti. Lalu apa alasanmu nanti di hadapan Allah setelah berhadapan di pengadilan-Nya ?.” 

Sang khalifah lalu  menangis panjang menyesali tindakannya.

Itulah “Al-Farouq” , tidak seperti kebanyakan pemimpin yang kita miliki, yang selalu berusaha menutupi kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan, walau harus mengorbankan kepentingan rakyat yang telah memilih mereka.  Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 05 Safar 1433 H /  31 Desember 2011
KH.BACHTIAR AHMAD

Friday 30 December 2011

TUKANG BOHONG

oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
========================
“Tukang Bohong” adalah sebutan lain untuk seorang pembohong. Hal ini hanya mengikuti suatu kelaziman dalam kehidupan orang-orang Melayu. Sebab seseorang akan disebut sebagai “tukang” lantaran keahliannya. Kalau anda pandai membuat roti, maka disebutlah sebagai “tukang roti”; Ahli dalam membuat rumah, maka disebutlah sebagai “tukang rumah”, dan begitulah seterusnya untuk keahlian lainnya. Nah, oleh sebab itulah, jika seseorang pintar dan pandai berbuat bohong, maka disebutlah dirinya “tukang bohong”.

Menurut Imam Al-Ghazali ada beberapa perbuatan yang dapat digolongkan ke dalam perbuatan bohong, antara lain: mengingkari janji; menyembunyikan kebenaran; melakukan sesuatu yang bertentangan dengan perkataannya; mengalihkan perhatian orang lain dari sesuatu perkara buruk yang telah dilakukannya dan lain-lainnya.

Melakukan kebohongan atau menjadi tukang bohong  tidak akan pernah lepas dari perbuatan jahat dan mungkar. Sebab itulah ada pepatah yang mengatakan: “Kejahatan hanya dapat ditutupi dengan kebohongan, dan kebohongan hanya dapat ditutupi dengan kejahatan.”

Apa yang disebutkan dalam pepatah di atas, jelas benar adanya, sebab seseorang yang melakukan kejahatan pasti tidak akan lepas dari perbuatan bohong. Seandainya orang jahat itu jujur, maka tentu dengan mudah kejahatannya dapat terbongkar, karena itulah sering kita dengar ungkapan: “Mana ada pencuri yang mengaku.” Kejahatan dan kebohongan bagaikan saudara kembar, saling membutuhkan, saling berkaitan.

Selain dari itu patut pula kita ketahui, bahwa jika seseorang sudah mulai melakukan kebohongan, maka pastilah kebohongan itu akan berlanjut dengan kebohongannya yang lain. Artinya setelah orang berbuat bohong yang pertama, maka akan berbuat bohong yang kedua untuk menutupi kebohongan yang pertama. Begitu seterusnya, sehingga seluruh perkataannya akan selalu dipenuhi dengan kebohongan-kebohongan, sampai pada akhirnya ia akan kehabisan kata-kata dan cara untuk menutupi kebohongannya.

Kita hendaklah sepenuhnya menyadari, bahwa berbuat bohong adalah suatu perkara yang sangat-sangat tidak disukai oleh Allah SWT, sampai-sampai  menegaskan, bahwa orang yang berbuat bohong  atau tukang bohong adalah orang yang tidak beriman kepada Allah, sebagaimana firman-Nya:

“Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah  orang-orang pendusta.” (Q.S. An-Nahl: 105)

Bahkan dalam sebuah hadis diterangkan, bahwa berbohong dalam senda gurau saja sudah dilarang dan dapat mencelakakan diri, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

“Celakalah orang yang berbicara dusta dengan maksud agar membuat orang-orang tertawa; Celakalah ia dan kemudian celakalah ia.” (H.R. Imam Ahmad; Abu Dawud dan An-Nasa’i dari Abu Hurairah r.a)

Sementara dalam hadis yang lain Rasulullah SAW menyatakan, bahwa salah satu tanda akan dekatnya Hari Kiamat adalah ketika orang telah banyak melakukan kebohongan. Beliau bersabda:

Kiamat hampir saja akan berdiri apabila sudah banyak perbuatan bohong, masa (jarak waktu) akan terasa dekat (cepat) dan pasar-pasar akan (dibangun secara) berdekatan.” (H.R. Ibnu Hibban dari Abu Hurairah r.a)
ïïï
BOHONG DAN KEMUNAFIKAN.
Dalam sebuah hadis yang bersumber dari Abdullah bin Amru bin Ash r.a Rasulullah SAW bersabda:

“Empat sifat, siapa yang lengkap pada dirinya, maka ia betul-betul seorang munafik. Dan barangsiapa yang mempunyai salah satu daripadanya (sifat tersebut), maka berarti ia telah memiliki salah satu sifat munafik, sampai ia meninggalkan (bertaubat) dari sifat tersebut. (Empat sifat tersebut adalah:) Jika dipercaya khianat; Bila bicara ia berdusta; Jika berjanji ia ingkari; dan jika berdebat ia melampaui batas (ingin menang sendiri).” (dalam riwayat Muslim ditambahkan:”Walaupun ia sholat dan berpuasa”)
(H.R. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Amr bin Ash r.a)

Kalau kita perhatikan hadis di atas, maka perbuatan bohong adalah salah satu bagian dari sifat munafik. Akan tetapi menurut banyak ulama, sekalipun hanya memiliki satu sifat-sifat yang disebutkan dalam hadis Rasulullah SAW tersebut, maka seorang pembohong atau tukang bohong sudah dapat dikategorikan sebagai seorang yang munafik, sampai ia tinggalkan perbuatan bohong tersebut.

Sementara itu Syaikh Abdullah Al-Ghazali menyatakan, bahwa antara bohong dan munafik sebenarnya bedanya sangat tipis, bahkan dapat dikatakan tidak ada bedanya sama sekali. Sebab kenyataannya dalam sifat-sifat yang disebutkan oleh Rasulullah SAW di dalam hadis tersebut, semuanya mengandung unsur “kebohongan”.

Logikanya adalah; Orang yang mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadanya, tentunya akan memiliki alasan untuk berbohong, mengapa ia khianat. Begitu juga dengan orang yang mengingkari janji dan Orang yang tak mau kalah dalam berdebat, jelas akan sanggup melakukan banyak kebohongan demi mempertahankan pendapatnya. Jadi kesimpulannya adalah; “tukang bohong adalah seorang yang munafik; sedangkan orang yang munafik jelas adalah seorang tukang bohong.”

Seseorang yang memiliki sifat munafiq adalah seorang yang berpura-pura baik dan jujur. Kata pepatah Melayu: “telunjuk lurus kelingking berkait atau pepat di luar runcing di dalam”. Pandai bicara dan manis kata-katanya,  tapi penuh dengan kebohongan. Jika ia memiliki kepandaian, maka hal itu akan digunakannya untuk menutupi kebohongan dan keburukannya; dan ia “seperti pucuk eru”, selalu berubah arah dan pendirian demi mencapai maksud dan tujuan yang di-inginkannya. Oleh sebab itulah Allah SWT sangat-sangat benci kepada orang yang munafik sebagaimana firman-Nya:

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik.//  Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya; cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah melaknati mereka, dan bagi mereka azab yang kekal.” (Q.S. At-Taubah: 67-68)

Sementara dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.” (Q.S. An-Nisaa’: 145)

Sedangkan mengenai tukang bohong, selain menyebut mereka sebagai orang-orang yang tidak beriman, maka Allah SWT juga menegaskan:

“Kecelakaan besarlah bagi tiap-tiap orang yang banyak berdusta lagi banyak berdosa. //  Ia mendengar ayat-ayat Allah dibacakan kepadanya kemu-dian ia tetap menyombongkan diri seakan-akan ia tidak mendengarnya, maka beri khabar gembiralah ia dengan azab yang pedih.” (Q.S. Al-Jatsiyah: 7-8)
ïïï
Boleh jadi karena hal-hal yang disebutkan di atas itulah, makanya sebagaimana yang telah diberitakan mass-media beberapa waktu lalu, Presiden SBY merasa gusar ketika beberapa tokoh lintas agama menyebutnya sebagai tukang bohong. Walaupun SBY mengakui, bahwa ada beberapa poin yang disebutkan oleh para tokoh agama tersebut benar adanya.
Sebenarnya kemunafikan sang penguasa atau fenomena penguasa yang  tukang bohong tersebut tidak hanya ada di tingkat atas, tapi menjalar sampai ke bawah, sampai-sampai ke tingkat RT. Makin tinggi dan besar wilayah kekuasaannya, maka makin besar pula tingkat kebohongannya. Akan tetapi anehnya, walaupun sudah jelas kemunafikan dan kebohongan yang dilakukan oleh sang penguasa atau si pejabat, masih banyak di antara kita yang kehilangan akal sehat dan mengabaikan hati nuraninya untuk membela kemunafikan dan kebohongan sang penguasa dan si pejabat tersebut; baik untuk kepentingan pribadi maupun golongannya. Sehingga pada akhirnya mereka pun dapat pula disebut sebagai orang munafik atau tukang bohong, lantaran telah berbohong dan membohongi diri sendiri. Lalu untuk apakah mereka beribadah kepada Allah SWT dan membuat pernyataan; bahwa “hanya Engkau jualah yang kami sembah dan hanya Engkaulah tempat kami memohon pertolongan?”  W a l l a h u a’ l a m.

Bagansiapiapi, 20 Safar 1432 H / 26 Januari 2011
KH. BACHTIAR AHMAD

“HAPPY NEW YEAR”

 
oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
========================
Usai sholat Shubuh pagi  hari ini (Jum’at-30/Des-2011) beberapa orang “anak muda” di antaranya “Ebet; Hendra dan Ricky” yang selalu setia hadir di  “musholla Al-Fath” tempat dimana kami melaksanakan sholat berjama’ah yang dikomandani oleh “Haji Udin dan Ongah Yunus” memaksa saya untuk tinggal sesaat, dan meminta saya menjelaskan tentang “boleh atau tidaknya” membuat acara menyambut dan  merayakan  tahun baru.
                Baru saja saya menyandarkan badan ke dinding musholla, Ebet langsung bertanya: “Bah, boleh nggak besok malam kami-kami mengadakan sedikit pesta atau acara menyambut tahun baru 2010. Apalagi besok malam pas jatuhnya hari Sabtu malam Minggu. Sebab kami dengar katanya “haram” bagi kita umat Islam untuk menyambut dan merayakan tahun baru Masehi.”
                Setelah berpikir beberapa saat saya pun buka suara: “Begini ya anak-anakku, sebelum abah menjawab boleh atau tidaknya, maka abah akan coba menjelaskan beberapa hal menurut “pendapat” abah sendiri yang abah sandarkan kepada apa yang pernah abah terima dari guru-guru abah dulunya, dan juga berdasarkan beberapa “kitab/pendapat” yang abah dengar dan abah baca selama ini. Mudah-mudahan kalian bisa memahami dan membuat kesimpulan sendiri dengan akal sehat yang dianugerahkan Allah kepada kalian.”
                Sambil memandang kepada wajah mereka satu persatu, saya melanjutkan pembicaraan: “Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT ada berfirman, yakni dalam surah Yunus ayat 5 yang maknanya begini:

                “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan ha]. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS.Yunus: 5)

                Saya berhenti sejenak dengan harapan agar mereka bisa memahami apa yang telah saya sampaikan. Lalu kemudian saya lanjutkan: “Melalui firman Allah yang saya bacakan tadi, secara tersurat dan tersirat dapatlah kita pahami perhitungan tahun yang dimaksudkan Allah adalah dengan adanya rotasi atau perputaran perjalanan bulan sebagaimana lazimnya perhitungan bulan dan tahun yang dilakukan oleh orang-orang Arab, jauh sebelum Muhammad Rasulullah SAW dilahirkan, yang kemudian oleh khalifah Umar bin Khattab r.a ditetapkan sebagai hitungan tahun bagi kaum muslimin. Namun demikian, hal itu bukan berarti hitungan tahun yang dibuat oleh kalangan “non Islam” itu tidak berlaku. Sebab bagaimanapun juga kita juga harus kembali kepada sejarah yang tampak secara lahiriah, bahwa sebelum ditetapkannya “tahun hijriah” atau yang kita sebut sebagai “tahun qomariyah”, bangsa-bangsa yang ada di belahan dunia yang lain telah lebih dulu menetapkan sistim almanak / kalender atau hitungan tahun mereka. Seperti hitungan “tahun Masehi” atau yang kita sebut juga sebagai “tahun syamsiah”, yang perhitungannya mereka sandakan pada rotasi atau perputaran matahari. Dan disamping itu juga kita kenal adanya hitungan tahun Cina; hitungan tahun Jawa; Hindu dan lain-lain sebagainya. Dan satu hal yang patut dicatat adalah, tidak ada satupun keterangan dan atau mungkin saya belum menemukannya; bahwa baik di dalam Al-Quran maupun Hadis Rasulullah SAW yang menyatakan, ada keterangan bahwa hitungan tahun yang dibuat oleh kalangan “non Muslim” itu salah dan tidak boleh dipakai sebagai bilangan waktu kehidupan. Sebaliknya menurut “pendapat saya”; jangan-jangan bilangan “tahun syamsiah” atau “tahun masehi” itu juga “sah-sah” saja kita gunakan, mengingat dalam ayat 5 surah Yunus yang saya bacakan tadi (di atas); Allah juga menyebut “matahari bersinar”; dan sebagaimana yang kita ketahui, bahwa “cahaya bulan” yang kita nikmati selama ini bersumber dari sinarnya matahari.”

                Saya sengaja berhenti beberapa saat untuk memberikan kesempatan kepada mereka, bertanya atas apa-apa yang telah saya sampaikan; kalau-kalau ada di antara mereka yang kurang paham. Akan tetapi setelah menunggu beberapa waktu tak ada yang buka mulut, maka saya pun melanjutkan pembicaraan: “Jadi menurut saya, tak ada salahnya atau sah-sah saja; atau boleh-boleh saja kita menyambut dan merayakan datangnya tahun baru 2012. Sebab bagaimanapun juga, selain sebagai bagian dari “umat Islam” kita juga adalah bagian dari “umat atau masyarakat dunia” yang terima atau tidak terima telah menggunakan perhitungan “tahun masehi” sebagai tahun perjalanan kehidupan yang kita lalui. 
                Menurut saya yang “tidak boleh dan yang diharamkan” itu bukan menyambut pergantian tahunnya, tapi lebih ditekankan pada aspek atau cara-cara menyambutnya seperti yang dilakukan oleh “orang-orang kafir atau non muslim”, yang merayakannya dengan membunyikan trompet; pesta-pesta sampai mabuk-mabukan; kumpul-kumpul anak muda lelaki dan perempuan yang bukan muhrimya sambil berhura-hura; memasang kembang api dan acara-acara lainnya yang dilarang oleh Allah dan Rasul-NYA. Dalam hal ini saya ingin mengingatkan kalian pada pesan Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Hibban dari Abdullah bin Umar r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

                “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia dari golongan mereka.”

                 Artinya adalah, jika kalian berbuat seperti orang-orang kafir itu, maka boleh jadi kalian sudah ikut menjadi kafir lantaran sudah menjadi bagian dari mereka. Na’udzubillahi min dzalik!
                Sedangkan di dalam Al-Quran telah pula diterangkan, bahwa Allah SWT mengingatkan kita dengan firman-NYA dalam surah Al-Baqarah ayat 120:

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)”; dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”(QS. Al-Baqarah: ayat 120)

Akan tetapi kalau kalian sekadar berkumpul “bakar ayam atau ikan” sambil mempererat silaturahim antar sesama, apalagi jika disertai dengan do’a bersama melepas tahun yang lama dan menyambut tahun yang baru sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi kita Muhammad SAW, maka tentulah hal itu sangat baik bagi kalian. Sebab do’a akhir tahun dan awal tahun yang diajarkan Nabi SAW tersebut, menurut saya  tidaklah terikat pada hitungan tahun Hijriah saja, lantaran tak ada keterangan khusus untuk itu. Hanya saja lantaran Rasulullah SAW tersebut berasal dari bangsa Arab, maka seakan-akan do’a itu hanya untuk tahun Hijriah saja.
Andai saja saya atau kalian dilahirkan sebagai orang Cina atau orang Jawa yang Muslim (saya dan mereka semuanya berasal dari suku Melayu), maka tentulah suatu keberuntungan bagi kita, sebab kita punya kesempatan berdo’a tiga kali atau kesempatan untuk membaca do’a akhir dan awal tahun sebagai permohonan kepada Allah untuk mendapatkan rahmat dalam perjalanan hidup yang kita lalui. Apalagi jika kita sertai dengan “muhasabah diri”, artinya selalu merenung; menghitung dan menilai apa saja yang telah kita perbuat selama satu tahun perjalan hidup yang kita lalui; baik dalam hitungan hijriah; hitungan masehi ataupun hitungan tahun yang lainnya. Mudah-mudahan dengan banyaknya muhasabah yang kita lakukan, kita terpacu untuk lebih memperbaiki iman dan ketakwaan kita kepada Allah SWT; dan kita harapkan pula Allah SWT akan terus menambah hidayah dan inayah-NYA untuk kita semua.
Satu hal lagi saran saya adalah, bahwa karena tahun baru masehi itu dimulai pada jam 00.00 atau tepat jam 24.00 tengah malam, maka ada baiknya juga setelah kalian membuat acara, sebelum tidur kalian sholat malam dulu minimal sholat hajat 2 raka’at memohon kepada Allah SWT agar hidup kalian lebih baik dan senag di tahuin 2012; ditambahkannya iman dan ketakwaan; bahagia dunia dan akhirat. Jadi sekali lagi pesan saya, silahkan sambut tahun baru 2010 dengan cara yang diridhoi Allah dan rasul-NYA; bukan dengan cara-cara orang kafir dan perbuatan yang dilarang dan yang dilaknat oleh Allah SWT dan rasul-NYA; Muhammad SAW.”  Saya ucapkan kepada kalian “HAPPY NEW YEAR”; Selamat tahun baru 2012; semoga Allah menolong kita dan tambahkan hidayah serta inayah-NYA untuk kita  di tahun 2012 yang akan datang.”

Karena melihat mereka semuanya diam dan tak ada yang bertanya, saya langsung pamit pulang; sebab bisa jadi segelas teh dan sepiring nasi goreng yang sudah disiapkan isteri tercinta  menjadi dingin. Dan cucunda “Thoriq Al-Yassar” sudah pula menunggu di depan pintu. Wallahua’lam

Bgansiapiapi,  4 Safar 1433 H / 30 Desember 2011
KH.BACHTIAR AHMAD

DIA LEBIH MEMBUTUHKANNYA DARIKU


di-edit dari terjemahan: Risalah Al-Qusyairiah
Oleh: KH BACHTIAR AHMAD
=========================
Suatu hari Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib r.a (anak dari sepupu Rasulullah SAW) berjalan menuju kebunnya; Dalam perjalanannya, lantaran hari sudah siang dan cuaca agak terik, Abdullah berhenti di salah satu kebun kurma milik orang lain, yang saat itu sedang dijaga oleh seorang budak hitam.

Beberapa saat kemudian Abdullah melihat budak tersebut mengeluarkan bekal makanannya; dan nyaris di saat yang bersamaan masuklah ke dalam kebun tersebut se-ekor anjing kurus; yang kelihatannya sangat lapar sekali. Sambil menjulur-julurkan lidahnya,  anjing kurus tersebut menatap ke arah budak hitam yg saat itu tengah mengeluarkan sepotong roti dari kantung makanannya.

Melihat keadaan anjing tersebut, budak hitam itu lalu memotong rotinya menjadi dua dan melemparkannya kepada “si anjing” dan hanya dalam hitungan detik; dengan lahapnya si anjing memakan roti tersebut; dan kembali menatap ke arah budak hitam “si penjaga kebun”. Lalu budak hitam itu melemparkan kembali potongan roti yang ada di tangannya.
Menyaksikan keadaan itu, Abdullah bin Jakfar lalu mendatangi budak hitam tersebut dan terjadilah percakapan di anatara mereka:

“Wahai penjaga kebun, berapa banyakkah engkau diberi bekal dalam sehari untuk menjaga kebun ini ?” 

Budak hitam itu menjawab: “Seperti yang tuan lihat tadi, hanya sepotong roti itulah yang menjadi bekalku.”

“Lalu mengapa engkau berikan semua roti tadi kepada si anjing. Bukankah engkau juga membutuhkannya ?”

“Wahai tuan, di sekitar kebun ini sebenarnya tak ada se-ekor pun anjing yang dipelihara orang. Anjing yang kelaparan tadi mungkin datang dari tempat yang jauh; dan mungkin saja sudah berhari-hari tak menemukan makanan. Tentulah anjing itu sangat lapar sekali dan dia lebih membutuhkan makanan dibandingkan diriku.”

“Tapi apakah kau engkau tidak khawatir dengan dirimu tanpa ada yang kau makan hari ini?”

“Alhamdulillah, hari ini aku akan berlapar-lapar dan mudah2an Allah akan mecatatnya sebagai puasaku hari ini.”  

Mendengar ucapan si budak hitam tersebut, Abdullah berkata dalam hatinya: “Ternyata ada orang yang lebih pemurah dan lebih baik dariku. Padahal aku telah dicela orang karena terlalu pemurah kepada orang lain.”

Beberapa waktu kemudian; Abdullah bin Jakfar membeli kebun tersebut berikut si budak hitam penjaganya; lalu Abdullah menghibahkan kebun tersebut kepada si budak hitam dan sekaligus memerdekakannya. Wallahu’alam

Bagansiapiapi, 29 Rabi’ul Akhir 1431 H / 14 April 2010
KH.BACHTIAR AHMAD

“TAKWA” MENURUT IMAM AL-QUSYAIRI rhmlh.


Sesungguhnya “takwa” adalah wasiat Allah yang paling utama bagi orang-orang yang beriman sebagaimana yang banyak dinyatakan Allah dengan firman-Nya di dalam Al-Qur’an, yang di antaranya adalah:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan ber-agama Islam” (Q.S.Ali Imran: 102)

Dan untuk memperkuat wasiat Allah SWT tersebut, maka Rasulullah SAW pun berpesan melalui sabda beliau:

“Bertakwalah kalian kepada Allah di mana pun kamu berada. Dan ikutilah kejelekan-kejelekan dengan  kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapus kejelekan. Dan perlakukanlah manusia itu dengan akhlak terpuji”                                              
(HR.Tirmidzi)

TAKWA   menurut   pengertian  umum  adalah:   “Menta’ati   semua   perintah Allah SWT dan meningalkan semua larangan-NYA.” 

Sedangkan menurut bahasa tasawuf, takwa adalah :  “Merupakan kumpulan seluruh kebaikan yang hakikatnya adalah melindungi diri dari hukuman Allah SWT dengan tunduk dan patuh kepada-Nya.”

Asal usul takwa  adalah menjaga diri dari perbuatan syirik, dosa dan kejahatan  serta meninggalkan syubhat (hal-hal yang meragukan) dan sanggup pula meninggalkan hal-hal yang menyenangkan hati (yang tiada bermanfaat bagi agama).

Di antara tanda ketakwaan seseorang adalah; Sabar dan tawakkal terhadap apa yang belum dianugerahkan; sabar dan berpuas diri dengan apa yang telah di anugerahkan serta bersabar dengan pasrah kepada Allah terhadap apa saja miliknya yang telah hilang. Wallahua’lam
(dipetik dan diedit dari: Risalah Al-Qusyairiyah)

Bagansiapiapi 03 Syawal 1432 H / 02 September  2011
KH.BACHTIAR AHMAD.

Thursday 29 December 2011

NILAI DAKWAH DALAM UNGKAPAN MELAYU.

oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
========================
Suatu ketika saya pernah mendengar sekumpulan anak muda membincangkan ungkapan-ungkapan Melayu seperti pepatah; pantun dan yang semacam dengan itu. Akan tetapi yang menjadi keprihatinan saya adalah, bahwa mereka membincangkan hal itu tidak dengan sungguh-sungguh. Mereka hanya menjadikan ungkapan-ungkapan tersebut sebagai bahan kelakar dan tertawaan. Coba anda simak apa kata mereka tentang ungkapan” “Setinggi-tinggi terbang bangau, hinggapnya (turunnya) ke kubangan juga.”. Mereka bilang ungkapan ini artinya adalah: “lantaran si bangau sudah lelah terbang dan lapar; jadi dengan demikian  pastilah si bangau turun lagi untuk makan. Mana ada bangau  yang kuat terbang lama dan tidak turun-turun serta menahan laparnya.”

Ada juga kelakar mereka tentang: “Anak di pangku dilepaskan, beruk di rimba di susukan.” Tentang ungkapan ini mereka berkomentar: Bahwa ini adalah kerjaan orang yang tidak waras, yang lebih senang mengurus anak orang daripada anak sendiri. Atau bisa saja demikian adanya, lantaran sekarang ini lebih gampang “ngurusin” beruk (monyet) ketimbang ngurusin anak. Apalagi kalau anaknya bandel; malas belajar dan suka narkoba.

Ungkapan lainnya yang sempat saya rekam di kepala adalah: “Bagai melepaskan anjing tersepit, sudah lepas dia menggigit.” Hal ini mereka komentari sebagai perbuatan orang yang iseng dan kurang kerjaan. Dan boleh jadi timbul persangkaan si anjing, bahwa yang membuat dia tersepit adalah orang yang melepaskannya itu.

Fenomena yang disampaikan di atas, boleh saja kita anggap sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Apalagi lagi anak-anak kita di zaman sekarang ini sudah jarang bahkan mungkin ada yang tidak pernah lagi mendengar kalimat yang berisi ungkapan dalam tunjuk ajar yang mereka terima. Baik dari orang tuanya, sekolah maupun lingkungannya yang lain. Maka ketika mereka mendengar hal yang demikian itu, jadilah itu semacam bahan kelakar dan tertawaan. Dan yang paling memprihatinkan lagi adalah, mereka mengatakan bahwa ungkapan-ungkapan itu lahir dari sifat pengecut dan kebodohan orang tua di masa lalu. Berbeda dengan zaman sekarang, zaman keterbukaan dimana orang biasa dan dibolehkan bicara blak-blakan. Sehingga dengan demikian tidak lagi diperlukan ungkapan-ungkapan yang mereka sebut sebagai “kata-kata bersayap

Bukan hanya mereka, barangkali andapun akan beranggapan; Bahwa ungkapan-ungkapan Melayu yang selama ini kita dengar dan yang kita ketahui hanyalah memiliki nilai filosopi lahiriah yang hanya bersangkut paut dengan urusan dunia. Seperti ungkapan tentang bangau di atas, barangkali kita hanya akan memahaminya sebagaimana adanya; Bahwa bagaimanapun jauhnya perjalanan hidup seseorang, maka sekali waktu ia akan pulang kampung juga. Atau pada ungkapan tentang anjing di atas, yang maknanya hanya kita pahami tentang perilaku seseorang yang tak tahu membalas budi atau berterima kasih atas pertolongan yang diberikan kepadanya.

Akan tetapi lebih dari itu, sebenarnya kalau kita simak dengan seksama (sebahagian besar) ungkapan Melayu yang ada; sarat dengan petuah agama. Atau boleh jadi ungkapan tersebut adalah bentuk lain dari “tafsir” ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah yang menjadi landasan dasar ataupun sendi-sendi adat istiadatnya orang Melayu yang katanya: “Adat bersendikan syarak, syarak bersendikan Kitabullah dan As-Sunnah.”

Dalam hal ini kita harus maklum bahwa, orang Melayu memiliki sikap toleransi yang tinggi terhadap sesama. Oleh karenanya mereka selalu berusaha menyampaikan petuah; nasihat ataupun tunjuk ajar kepada orang lain dengan ucapan atau kalimat yang transparan, agar orang yang menjadi sasaran perkataannya tidak mudah tersinggung. Bahkan kadang-kadang ucapannya itu ada yang tidak langsung ditujukan kepada sasarannya, bak kata pepatah “pukul anak sindir menantu”.
Begitu juga dalam hal penyampaian petuah-petuah agama, agar orang tidak merasa terlalu digurui dan merasa berat dengan fatwa-fatwa agama atau masalah sosial yang ada, maka diupayakanlah menerjemahkan pesan Quran dan Sunnah tentang perilaku sosial yang terkait ke dalam bentuk ungkapan yang khas Melayu.

Sebagai contoh dapat kita perhatikan bagaimana orang tua-tua kita mengajarkan kita tentang kesudahan hidup ini (mati) melalui ungkapan bangau di atas. Melalui perilaku sang bangau sebenarnya secara tak langsung kepada kita telah disampaikan nasihat; Silakan kalian terbang kemana saja; Atau perbuatlah sesuka hati kalian, toh pada akhirnya kalian akan mati juga (kembali ke tanah).

Coba pula renungkan makna yang tersembunyi di balik petuah tentang ”anjing yang tersepit di atas” dengan firman Allah berikut ini: “Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia; Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu kedaratan, kamu berpaling. Dan manusia itu adalah selalu tidak berterima kasih.” (Q.S. Al-Israa’: 67)

Begitu pula pada petuah tentang “anak dan beruk” di atas. Petuah ini jika kita dalami lebih jauh, maka tidak hanya sekadar membincangkan orang yang lebih mementingkan orang lain ketimbang ahli keluarganya sendiri. Akan tetapi petuah tersebut sesungguhnya juga berbicara tentang sikap kita (baca: orang Melayu) terhadap adat resam dan budaya negerinya;  Dalam hal ini “anak” dapatlah diartikan sebagai “adat istiadat / budaya” Melayu itu sendiri; sementara “beruk”  adalah adat resam kehidupan yang berasal dari luar. Bahwa pada masa ini, terutama di kalangan generasi muda orang Melayu ada kecenderungan “lebih senang memelihara dan memakai adat istiadat yang mereka anggap cocok dengan perkembangan zaman, yang berasal dari bagian dunia/bangsa lain memelihara dan memakai adat budaya negerinya sendiri.” Padahal apa yang mereka anggap baik tersebut belum tentu sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah Nabi SAW yang menjadi acuan dan sandaran dari adat istiadat kehidupan orang Melayu.

Bahkan dalam pergaulan hidup sehari-hari, kadang banyak kita jumpai orang Melayu (yang katanya Islam) lebih suka bersahabat dan berakrab-akrab dengan “orang lain yang bukan Islam” daripada dengan sesama mereka (orang Melayu). Padahal untuk hal ini agama sudah memperingatkan tentang bahayanya pergaulan semacam itu sebagaimana  firman Allah  SWT berikut ini:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlahkamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, karena mereka tidak akan pernah berhenti menimbulkan kemudharatan bagimu. Mereka (sesungguhnya) menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat Kami,jika kamu memahaminya.” (Q.S.Ali ‘Imran: 118)

Bak kata orang bagaimanapun juga jinaknya “beruk” suatu sa’at pasti akan merepotkan orang yang memeliharanya. Sebab “anak” yang merepotkan masih bisa diajar dan diajak bicara agar menjadi jinak. Sedangkan “beruk yang jinak”  tentulah akan sulit dikendalikan jika sudah berulah tingkah.

Apa yang disampaikan melalui tulisan ini hanyalah sebahagian kecil hikmah petuah atau ungkapan-ungkapan Melayu yang ada, yang pada akhir-akhir ini semakin jarang kita dengar dituturkan sebagai bahan pengajaran dan pendidikan; Baik secara formal maupun non formal dalam kehidupan keluarga orang Melayu yang hidup di zaman ini.

Mudah-mudahan dengan adanya sedikit catatan yang saya buat ini, orang Melayu (khususnya generasi muda Melayu) akan kembali terbiasa ungkapan; pepatah petitih yang ada, dan bisa memaknainya secara lebih dalam sebagai bagian pengajaran dan pembelajaran hidup yang berkaitan dengan nilai-nilai Islam. Sebab bagaimanapun juga sejak dulu sudah dikatakan bahwa sesungguhnya:  “Adat bersendi syarak; syarak bersendikan Kitabullah dan As-Sunnah.”  W a l l a h u a’ l a m

Bagansiapiapi,  11 Dzulqaidah 1431 H  / 14 Nopember 2010
KH BACHTIAR AHMA

Wednesday 28 December 2011

PESAN RASULULLAH SAW: “Hadits Qudsi”


Hadits Qudsi:  “Tempat bergantung”
===============================
Rasulullah SAW menyatakan bahwasanya  Allah SWT telah berfirman : “Allah telah memberikan wahyu kepada Daud a.s: Bahwa demi keagungan-Ku, setiap hamba yang menggantungkan dirinya kepada-Ku tanpa bergantung kepada makhluk-Ku yang dapat Ku-ketahui dari niatnya dan ditipu oleh siapapun yang ada dilangit dan dibumi, pasti akan Aku berikan jalan keluar dari tipu muslihat itu. Dan kepada setiap hamba yang menggantungkan dirinya kepada makhluk-Ku tanpa bergantung kepada–Ku yang Ku-ketahui dari niatnya, maka Aku putuskan sumber rezekinya dari langit dan Aku tetapkan kehancurannya. Setiap hamba yang ta’at kepada-Ku, pasti Aku akan memberinya sebelum ia meminta kepada-Ku dan mengabulkan do’anya sebelum ia berdo’a pada-Ku dan mengampuninya sebelum ia minta ampun pada-Ku.”
(Diriwayatkan oleh Tamam;  Ibnu ‘Asakir dan Ad-Dailami dari Abdur-Rahman bin  Ka’ab   bin Malik yang bersumber dari bapaknya )
◄◘►

Hadits Qudsi:   “Segera beramar ma’ruf”
==================================

Disabdakan oleh Rasulullah SAW bahwa  Allah SWT telah  berfirman:  “Ajaklah   manusia  untuk  berbuat   kebaikan  dan  cegahlah mereka dari berbuat kemungkaran sebelum tiba sa’atnya dimana kalian berdo’a kepada-Ku, tapi  mereka Aku tidak mengabulkannya, kalian meminta sesuatu kepada-Ku tapi Aku tidak memberinya, dan kalian meminta pertolongan kepada-Ku tapi Aku tidak akan menolong kalian.”    
(Diriwayatkan oleh :Ad-Dailami  yang bersumber dari Aisyah r.a )

◄◘►

Bagansiapiapi, 2 Safar 1433 H / 28 Desember 2011
KH.BACHTIAR AHMAD

 

ORANG GILA


oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
========================
Menurut pengertian umum orang gila adalah orang yang sakit jiwa atau yang sakit ingatan lantaran ada gangguan pada urat saraf-nya. Dan biasanya, jika kita bicara tentang  orang gila, maka yang terbayang di pelupuk mata kita adalah keadaan seseorang yang kusut masai; tidak mandi; berpakaian lusuh; robek atau koyak disana sini; bahkan  ada juga yang berkeliaran dalam keadaan telanjang bulat. Suka mengoceh atau meracau sesuka hatinya; bahkan kadang-kadang juga suka marah dan mengamuk tanpa jelas sebab musababnya; serta berbagai macam keadaan-keadaan yang tidak normal lainnya menurut definisi sehat yang kita pahami secara umum.  Namun demikian ada juga orang gila yang penampilannya bertolak belakang dengan keadaan di atas. Atau dengan kata lain; ada orang yang terganggu jiwanya, tapi tetap tampil dalam keadaan bersih layaknya orang-orang yang normal.

Banyak faktor dan kondisi yang dapat membuat seseorang menjadi gila yang diantaranya; ada orang yang gila lantaran angan-angan atau cita-citanya tidak kesampaian. Ada pula yang disebabkan oleh kehilangan sesuatu yang sangat dicintainya semisal kekasih hati; jabatan; harta benda dan juga oleh sebab-sebab yang lain-lainnya.

Akan tetapi berbeda dengan anggapan kita, maka dalam  pandangan agama sebagaimana yang diterangkan oleh Rasulullah SAW, bahwa orang-orang yang terganggu jiwanya oleh berbagai faktor atau keadaan sebagaimana yang diterangkan di atas tidaklah disebut sebagai orang gila.  Orang-orang semacam itu hanya disebutkan oleh Rasulullah SAW sebagai orang yang sakit atau yang mendapat musibah dari Allah SWT. Dan secara hukum mereka termasuk dalam kelompok yang dibebaskan  dari melaksanakan kewajiban syariat seperti sholat; puasa; zakat; haji dan lain sebagainya, kecuali pada suatu ketika mereka telah sembuh dari kondisi gila tersebut. Atau dengan kata lain; tidak ada dosa atas diri mereka jika melanggar perintah dan ketentuan Allah SWT, sampai mereka sembuh dari penyakitnya.

Lalu kalau sudah begitu keadaannya, siapakah sebenarnya orang gila yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW. Atau dengan kata lain; orang gila menurut pandangan agama ?

Syaikh Abdullah Al-Ghazali dalam Risalah Tafsir menyampaikan sebuah riwayat (hadis) sebagai berikut:

“Pada suatu hari Rasulullah SAW ber-jalan melewati sekelompok sahabat yang sedang ber-kumpul. Lalu beliau bertanya kepada mereka: “Mengapa kalian berkumpul disini” Para sahabat tersebut lalu menjawab: “Ya Rasulullah,  ada orang gila yang sedang mengamuk. Oleh sebab itulah kami ber-kumpul disini.” MenanggapI hal itu Rasulullah SAW lalu bersabda:  “Sesungguhnya  orang  ini  tidaklah  gila  (al-majnun), tapi orang ini hanya sedang mendapat musibah. Tahukah kalian, siapakah orang gila yang sebenar-benarnya disebut gila  (al-majnuun haqqul majnuun) “.  Para sahabat lalu menjawab: Tidak ya Rasulullah. Hanya Allah dan rasul-Nya jualah yang mengetahuinya.” Kemudian Rasulullah SAW menjelaskan: “Orang gila yang sesungguhnya gila (al-majnun haqqul majnun) adalah orang yang berjalan dengan penuh kesombongan; yang membusungkan dadanya; yang memandang orang dengan pandangan yang merendah-kan; lalu berharap Tuhan akan memberinya surga; padahal ia selalu berbuat maksiat kepada-Nya. Selain itu orang-orang yang ada di sekitarnya, tidak pernah merasa aman dari kelakuan buruknya. Dan di sisi yang lain, orang juga tak pernah mengharapkan perbuatan baiknya. Nah, orang semacam inilah yang disebut sebagai orang gila yang sebenar-benarnya gila (al-majnuun haqqul majnuun). Adapun orang yang kalian tonton ini hanyalah  sedang mendapat musibah dari Allah.”
             
Menyimak apa yang disabdakan oleh Rasulullah SAW tersebut, maka dapatlah kita simpulkan; Bahwa orang gila yang sesungguhnya gila atau (al-majnuun haqqul majnuun) adalah orang-orang yang sehat jasmani dan ruhani-nya; yang tetap memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan hukum agama yang dibebankan kepadanya. Akan tetapi di dalam masyarakatnya, yang memiliki beberapa penyakit yang antara lain dijelaskan oleh Rasulullah SAW; Orang yang sombong; yang apabila berjalan ia melangkahkan kakinya dengan  pongah; dan selalu ingin dihormati; serta selalu memandang rendah kepada orang lain. Dan  di balik kesombongannya itu, selalu berharap agar Allah memberinya pahala atas perbuatannya, dan apabila sudah mati ingin pula masuk ke dalam surganya  Allah SWT.

Tidak hanya sombong, tapi juga banyak melakukan perbuatan maksiat dan kejahatan; baik nyata maupun tersembunyi, yang oleh sebab ini pula maka banyak orang-orang yang ada di sekitarnya, yang tidak pernah berharap akan kebajikan yang mereka perbuat. Sehingga pada akhirnya orang tidak lagi peduli dengan kebajikan maupun kejahatan yang mereka lakukan.

Kalaupun orang-orang di sekitar mereka menaruh rasa hormat dan simpati, hal itu mungkin disebabkan oleh berbagai macam pertimbangan, agar tidak tumbuh masalah lain, yang berdampak buruk pada tata pergaulan hidup yang ada.

Mengapa Rasulullah SAW menyatakan, bahwa orang yang sombong dan yang memiliki sifat buruk lainnya, sebagaimana yang disebutkan di atas adalah orang gila yang sebenar-benarnya gila (al-majnun haqqul majnun).

Perkara ini tentu saja tidak lepas dari pernyataan-pernyataan Allah SWT di dalam Kitab-Nya; Al-Qur’anul Karim, yang beberapa di antaranya:

 “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mem-persekutukan-Nya dengan sesuatupun; dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”   (Q.S. An-Nisaa’: 36)

Sedangkan dalam surah Al-Israa’ ayat 37 ditegaskan oleh Allah SWT: “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguh-nya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (Q.S.Al-Israa’: 37)

Allah SWT  juga berfirman: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesung-guhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Q.S. Luqman: 18)
             
Selanjutnya dengan menyimak beberapa keterangan di atas, maka boleh jadi  pepatah atau kalimat men sana in corpore sano atau dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat; tidak sepenuhnya dapat kita terima. Sebab dalam kenyataannya; di sekitar kita cukup banyak orang-orang yang sehat badannya, akan tetapi ia memiliki berbagai ragam penyakit jiwa sebagaimana yang tersirat dalam firman Allah SWT atau hadis Rasulullah SAW yang telah disampaikan di atas.

Dan oleh sebab itu pulalah, ada baiknya saat ini kita mengoreksi dan menginstropeksi diri masing-masing; Apakah kita benar-benar sehat, atau apakah termasuk dalam kelompok orang gila yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW.  Atau paling tidak, mungkin ada sedikit virus atau bibit penyakit gila yang dikatakan oleh Rasulullah SAW tersebut di dalam diri kita. Sehingga dengan demikian perlu kita jaga dan kita obati secepat mungkin, agar pada akhirnya kita tidak benar-benar menjadi gila lantaran situasi dan kondisi hidup yang terus menerus berubah. Terutama tumbuh dan berkembangnya sifat sombong di dalam diri, yang pada akhirnya sia-sia pulalah amal ibadah yang telah kita lakukan, sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Bukhari  dari Abdullah bin Mas’ud r.a, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda:

“Siapa saja yang di dalam hatinya ada sifat sombong, walaupun hanya sebesar dzarrah (sebesar biji atom), maka ia tidak akan masuk surga.” 

Mudah-mudahan dengan hidayah dan inayah Allah SWT, apa yang disampaikan melalui  catatan ini dapat dipahami dengan sebaik-baiknya; dan semoga kiranya  kita semua dimasukkan Allah SWT ke dalam kelompok orang-orang yang sehat secara jasmaniah dan ruhaniyah; yang dari waktu ke waktu senantiasa mendapat hidyah dan inayah Allah untuk  mem-perkokoh iman dan meningkatkan nilai-nilai  ketakwaan kepada-Nya.  Amiin ya robbal ’alamiin.  Wallahua’lam

Bagansiapiapi, 18 Rabi’ul Akhir 1432 H / 24 Maret 2011
KH.BACHTIAR AHMAD

Tuesday 27 December 2011

PESAN UMAR BIN KHATTAB r.a


Sebelum pulang ke hadirat Tuhannya, Allah SWT; “khalifah” Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a telah berpesan, agar sepeninggal dirinya “Umar ibnul Khattab”  bersedia diangkat oleh kaum muslimin sebagai pengganti dirinya. Umar terpaksa menerimanya, lantaran dirinya takut ditanya dan dimintai pertanggung-jawaban oleh Allah SWT; Mengapa ia menolak permintaan Abu Bakar dan lari dari situasi yang sulit dan kewajiban yang diamanahkan kepadanya. Selanjutnya setelah dibaiat oleh kaum muslimin Umar berpidato dihadapan mereka: “Wahai sekalian manusia, aku telah diangkat sebagai pemimpin kalian. Sesungguhnya aku bukanlah yang terbaik dari kalian dan bagi kalian, sedangkan aku adalah yang paling keras di antara kalian dalam menangani urusan-urusan kalian, dan kalaulah boleh tentulah aku tidak akan mengurusi urusan kalian; cukuplah bagi Umar menunggu dan menghadapi hisab bagi dirinya sendiri.”

Kemudian Umar menengadah ke langit seraya berdo’a:  “Allahumma ya Allah, sungguh aku ini adalah orang keras, kasar, maka lunakkanlah hatiku. Allahumma ya Allah, sungguh aku adalah hamba-MU yang lemah, maka berilah aku kekuatan. Allahumma ya Allah, sungguh aku adalah orang yang kikir, maka jadikanlah aku orang dermawan yang bermurah hati.”

Lalu Umur menyambung ucapannya kepada segenap kaum muslimin: “Wahai sekalian manusia, Allah telah menguji kalian dengan diriku dan menguji diriku dengan kalian. Sepeninggal sahabatku, aku sekarang berada di tengah-tengah kalian. Tak ada persoalan kalian yang harus aku hadapi lalu diwakilkan kepada orang lain selain dari diriku sendiri; dan tak ada yang hadir disini lalu meninggalkan perbuatan terpuji dan amanat. Kalau mereka berbuat kebajikan, maka aku akan membalasnya dengan kebajikan, akan tetapi kalau mereka melakukan kejahatan, maka terimalah bencana yang akan saya timpakan kepada mereka.”

“Saudara-saudara, aku tidak akan membiarkan seseorang berbuat zalim kepada orang lain atau melanggar hak orang lain. Pipi orang itu akan ku-letakkan sebelah di atas tanah dan yang sebelah lagi akan ku-injak sampai ia mau kembali ke jalan yang benar. Sebaliknya  bagi orang-orang yang bersih dan mau hidup sederhana, maka sebelah pipi-ku  akan ku-letakkan di atas tanah untuk menolong mereka. Saudara-saudara berhak menegur dan menuntut saya, jika ada hak-hak saudara yang terabaikan dan tidak terpenuhi, padahal aku sanggup melakukan dan memenuhinya.”

“Saudara-saudara, bertakwalah kepada Allah, bantulah dan bekalilah saya dengan nasihat-nasihat  saudara sehubungan dengan tugas yang dipercayakan Allah kepada saya untuk kepentingan kalian semua. Demikianlah apa yang sudah saya sampaikan; Semoga Allah mengampuni kita semua.”

Selesai berpidato Umar bin Khattab  lalu turun dari mimbar, kemudian melaksanakan sholat dan menjadi imam bagi semua yang hadir pada saat itu.  Wallahua’lam.
(dipetik dan di-edit dari Kisah Para Sahabat)

Bagansiapiapi,   26 Muharram 1433 /   22 Desember 2011
KH.BACHTIAR AHMAD

Monday 26 December 2011

DIAM SAJA; JUGA BERDOSA DAN BERBAHAYA.


oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
========================
Kita tentu sudah maklum, bahwa “lidah dan mulut” bisa mendatangkan malapetaka besar. Sehingga dalam pepatah ada dikatakan: “mulutmu harimaumu, yang akan merekah (membelah jadi dua) kepalamu.” Sementara dalam kalimat yang lain ada dikatakan: “lidah lebih tajam dari pedang”; bisa membunuh orang lain, bahkan bisa menghilangkan nyawa sendiri. Dan oleh yang demikian inilah sebahagian ulama berpendapat, bahwa jika ada sesuatu yang harus dikunci dan diikat berlama-lama, maka sudah tentu hal itu adalah mulut dan lidah.  Hal semacam ini diperkuat pula oleh sabda Rasulullah SAW yang menyatakan:

“Sesungguhnya telah banyak orang yang binasa (mati) lantaran digelincirkan oleh lidahnya.”   (H.R.Baihaqi)

Sementara Al-Qur’an juga menerangkan bahwa; Allah sangatlah membenci  orang yang kerjanya hanya “banyak omong”, tapi tidak berbuat apa-apa sebagaimana yang ditegaskan-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat ?. Amatlah besar kebencian di sisi Allah, bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu perbuat.”  (Q.S.As-Shaff: 2)

Akan tetapi dibalik itu semua, kalau kita “terlalu diam”  atau hanya “diam saja” bisa-bisa malah akan mendatangkan dosa dan bahaya bagi diri sendiri, paling tidak dalam 4(empat) macam kondisi yang disebutkan Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Pertama: Ketika kita melihat kemungkaran yang dilakukan secara terang-terangan di hadapan kita, maka kita akan mendapat laknat Allah seperti yang telah dialami oleh Bani Israil sebagaimana yang difirmankan Allah SWT di dalam Kitab-Nya:

“Telah dilaknati (Allah) orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam; yang demikian itu disebabkan mereka semua durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu  tidak melarang kemungkaran yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka perbuat itu.”     (Q.S.Al-Maa-idah: 78-79)

Kedua: Kita akan dihukum berdosa jika menyimpan informasi atau perkara penting yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, yang hal ini di-ingatkan oleh Rasulullah SAW melalui sabda beliau:

 “Jika seorang alim (yang mengetahui sesuatu) ditanya tentang sesuatu, lalu ia diam (tidak mau bicara dan menerangkannya); maka ia akan dibelenggu dengan belenggu api neraka.” (HR.Imam Ahmad dan An-Nasa’i r.a)

Ketiga:  Kita akan berdosa jika kita diam dan hanya mau bicara dan membicarakan kepentingan kita sendiri, dan diam terhadap kepentingan orang lain. Dan ini menurut Jalaluddin Rumi  rahimahumullah dalam Al-Matsnawi;  sama halnya dengan keledai yang diterangkan Allah di dalam Al-Qur’an:

“Sesungguhnya suara yang paling buruk adalah suara keledai.” (Q.S.Luqman: 19)

Ar-Rumi menceritakan; Bahwa tatkala Allah menciptakan hewan-hewan; hanya keledai sajalah yang tak mau memuji dan bertasbih kepada Allah. Sang Keledai hanya bersuara dan berteriak jika perutnya merasa lapar. Dan ironisnya, tabi’at Keledai inilah yang paling banyak ditiru oleh sebahagian orang; Bahwa mereka selalu berteriak keras dan nyaring, tatkala kepentingan dirinya atau kelompoknya terabaikan atau diabaikan oleh pihak lain.

Ke-empat: Diam yang mengandung dosa adalah diamnya kita atas kesalahan-kesalahan yang kita lakukan, tidak  mau mengakui kesalahan yang kita perbuat lantaran takut “gengsi atau nama baik” menjadi runtuh. Bahkan kepada Allahpun enggan memohon ampun dan bertaubat.

Oleh sebab itu, hal yang paling tepat untuk diperbuat adalah; “diamlah” jika hal itu menguntungkan diri sendiri dan bicaralah jika itu memberikan keuntungan bagi keselamatan dan kebahagiaan orang banyak.  Jadi diam itu tak selamanya “emas” dan berharga.  Wallahua’lam

Bagansiapiapi,   01 Safar 14 33 H /   27 Desember  2011.
KH. BACHTIAR AHMAD

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.