Monday 30 January 2012

MAULIDUR-RASULULLAH SAW



oleh: KH.BACHTIAR AHMAD

=======================

Sekarang kita sudah berada kembali di bulan “Rabi’ul Awwal”; dan setiap kali datang  “Rabi’ul Awwal”  umat Islam di banyak belahan bumi ini; khususnya kaum muslimin di negeri ini (Indonesia) sibuk dan menyibukkan diri menyambut dan memperingati “Maulid Nabi SAW” dengan berbagai acara dan kegiatan. Dan ini sudah merupakan tradisi tahunan yang seakan-akan tidak boleh dilupakan dan ditinggalkan dengan begitu saja. Sehingga kadang-kadang; walaupun “Rabi’ul Awwal” sudah lama berlalu, di sana-sini masih banyak yang mengadakan ataupun menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi SAW. Tapi untuk apa peringatan tersebut kita selenggarakan ?

Sebenarnya banyak diantara kita yang sudah tahu, bahwa tujuan awal peringatan Maulid Nabi SAW yang secara besar-besaran dilakukan oleh Salahuddin al Ayyubi adalah; Agar kaum muslimin; khususnya para prajurit yang ketika itu berlaga di medan perang salib, tetap memiliki semangat juang yang tinggi; meneladani Rasulullah SAW dan para sahabat beliau dalam segala aspek, demi menegakkan kalimat “Laa ila ha illallaah wa Muhammadur-rasulullah”  dan tentu saja agar mereka memiliki “akhlaqul kariimah”.

Akan tetapi hal yang demikian itu; dalam beberapa kurun waktu terakhir ini (khususnya di negeri kita) “acara tahunan” yang kita namakan sebagai  peringatan Maulid Nabi SAW, tampaknya hanya diperingati sebagai tanda (sekadar) ingat kepada Rasul Allah yang bernama Muhammad SAW.  Sebab banyak “pendakwah/muballigh” yang menyampaikan  materi  dalam kegiatan “maulidur-rasul”  tersebut, tidak secara sungguh-sungguh berusaha membangkitkan semangat dan jiwa umat untuk benar-benar mencintai dan meneladani Muhammad Rasulullah SAW sebagai “uswatun hasanah” sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT di dalam Kitab-Nya:

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, yaitu bagi orang-orang yang senantiasa mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat, dan dia banyak mengingat (dan menyebut nama) Allah.”  (Q.S.Al-Ahzab: 21)

“Sejarah kehidupan dan perjuangan” dari “hamba Allah yang mulia lagi dimuliakan” tersebut acapkali diabaikan oleh para pendakwah yang berbicara dalam peringatan “maulidur-rasul” yang diselenggarakan.  Walaupun apa yang disampaikan tetap berkaitan dengan nafas keimanan dan ketakwaan, tapi apa yang disampaikan tersebut  lebih banyak membicarakan masalah-masalah yang bersifat umum. Bahkan ada di antaranya ada yang sengaja membuat-buat “lawakan” memancing tawa para pendengarnya, dan untuk itu kadang-kadang tak segan pula membicarakan dan membuka aib orang lain yang dinilai telah melanggar aturan Allah dan Rasul-Nya, satu hal yang tentu saja bertolak belakang dengan apa yang diperintahkan Allah SWT kepada orang-orang yang beriman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik; Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman. Dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Hujuraat: 11)

Diakui atau tidak, sekarang ini sebahagian besar umat Islam; khususnya para generasi mudanya; hanya sedikit yang mengetahui sejarah kehidupan dan perjuangan  “Muhammad SAW” sebagai Nabi dan Rasul Allah yang wajib jadi panutan mereka. Dan yang sangat memprihatinkan adalah, bahwa banyak “anak muda Islam” yang lebih kenal dan mengetahui sejarah kehidupan sosok  artis musik; bintang film dan tokoh-tokoh yang sesungguhnya tidak layak untuk mereka teladani ataupun ditiru tingkah polahnya. Padahal tak ada satupun makhluk di muka bumi ini yang memiliki “akhlaqul kariimah” atau budi pekerti yang agung selain dari “Muhammad Rasulullah SAW” sebagaimana yang telah ditegaskan Allah SWT dengan firman-NYA:

“Dan sesungguhnya kamu (hai Muhammad), benar-benar berbudi pekerti yang agung.” 
(Q.S. Al-Qalam: 4)

Memperhatikan kondisi yang semacam ini dan walaupun sulit untuk mendapatkan “hasil yang maksimal”, maka sudah selayaknyalah kita memanfaatkan kembali “momentum” peringatan “maulidur-rasul” sebagaimana mula pertama hal itu dilakukan oleh “Salahuddin Al-Ayyubi”. Yakni  menjadikan kegiatan “maulidur-rasul” sebagai salah satu sarana dan prasarana pendidikan untuk mengenal lebih banyak hamba Allah yang sangat-sangat kita cintai dan muliakan “Muhammad Rasulullah SAW”; Khususnya sebagai salah satu upaya memperbaiki akhlak atau budi pekerti umat (Islam) yang kian hari kian terkontaminasi oleh “buruk dan jahatnya” kemajuan zaman dan teknologi kehidupan yang telah dicapai umat manusia sa’at ini.  Tidak hanya merupakan sebuah kegiatan “seremonial” keagamaan yang dimanfaatkan sebagai ajang  sekadar “kumpul-kumpul dan sholawatan” belaka.  Wallahua’lam.

Bagansiapiapi,  6 Rabi’ul Awwal  1433 H /  30 Januari 2012
KH.BACHTIAR  AHMAD

Friday 27 January 2012

MUTIARA HIKMAH: 3


Orang yg bertakwa kepada Allah tidak perlu heran atau sakit hati ketika kebaikan yang diberikannya kepada  orang lain dibalas dengan kejahatan ataupun ejekan. Sebab apa yang diperbuat manusia kepada Allah jauh lebih jahat lagi; bahwa banyak org yang bermaksiat dan mendurhakai Allah sebagai balasan untuk rahmat dan nikmat yang telah ia terima dari Allah SWT. (As-Syaikh Fathur-rahman rhmlh)  
Bersabarlah atas ketetapan Allah dan berdoalah kepada-Nya; boleh jadi dosa yang kau perbuat hari ini akan berubah menjadi pahala yg akan memasukkanmu ke surga. Dan amal ibadah yang kau lakukan berubah menjadi   dosa yang akan membawamu ke neraka. (As-Syaikh Ibnu At-Thaillah Al-Asqandari  rhmlh) 
Seseorang yang selalu memandang akhirat lebih baik dan berusaha mendapatkan kebaikannya, maka dialah  orang yang berlimu lagi berakal. Sebaliknya jika dia  memandang dunia sebagai segala tempat dan tujuan akhir dari semua harapan, maka ia termasuk ke dalam golongan orang bodoh lagi tiada berakal.  
                      (As-Syaikh Abdullah Al-Ghazali rhmlh)  
Jika yang diikut hanyalah kehendak nafsu dan ambisi diri kepada dunia, maka ilmu (agama) tidak lagi bermanfaat dan akal tidak lagi berfungsi sebagai timbangannya. Sepanjang hidup akan sengsara dalam angan-angan, hilanglah rasa malu terhadap Allah dan sesama makhluk dan engkaupun tidak lagi layak disebut sebagai orang beriman; walau engkau sholat; puasa; berzakat dan berhaji. (As-Syaikh Junaidi al Baghdady rhmlh)
Kalau tidak ada yang mati, yang lahir kemudian tidak akan kebagian tempat; Maka bersiap-siaplah memberikan tempatmu kepada yang akan lahir. Kalau tidak ada yang hidup; tentulah tidak ada yang berdoa untuk yang telah mati; Maka hiduplah dengan kebajikan dan meninggalkan kebajikan setelah mati, agar banyak  yang  mengingatmu dan mendoakan setelah engkau mati. (As-Syaikh Abdullah Al-Ghazali rhmlh)
                                          (dinukil dan di-edit dari  berbagai sumber)

Bagansiapiapi,   4 Rabi’ul Awwal  1433 H /   27   Januari  2012
KH.BACHTIAR AHMAD

Wednesday 25 January 2012

PETANI DAN GANDUM-NYA


 
Alkisah, ada seorang petani yang berniat menjual sekarung gandum ke pasar. Ketika karung tersebut dimuatkan ke atas untanya, karung itu selalu terjatuh.  Setelah berpikir keras, lalu di-isinya sebuah karung yang lain dengan pasir untuk penyeimbang sekarung gandum yang akan dijualnya. Petani itu merasa bahagia lantaran telah menemukan sesuatu sebagai jalan keluarnya. Dengan sekarung gandum dan sekarung pasir itulah ia berangkat ke pasar.

Ditengah perjalanan ia bertemu dengan seseorang yang tampak miskin, bertubuh kurus, berpakaian lusuh dan tidak pula bersepatu. Kemudian secara bersamaan mereka duduk untuk beristirahat. Dalam percakapannya dengan orang tersebut si petani mengetahui, bahwa sesungguhnya orang itu adalah orang yang pintar dan bijak. Orang itu banyak mengetahui persoalan-persoalan yang ada. Ia juga mengenal tokoh-tokoh kenamaan dinegeri itu. Memiliki gagasan-gagasan besar dan brilliant. Si petani sangat kagum padanya. Orang miskin  itu kemudian bertanya kepada si petani tentang barang bawaannya dan tentu saja petani itu menjawab apa adanya. Kemudian orang itu berkata kepada si petani: “Mengapa tak kau bagi saja gandum itu menjadi dua karung ?. Bukankah dengan cara demikian kau tak perlu membawa pasir dengan sia-sia ?.”

Mendengar saran itu, si petani semakin kagum dengan orang tersebut, sebab ia tak pernah berpikir sejauh itu. Akan tetapi sejenak petani itu sadar akan keadaan yang sesungguhnya dari orang miskin itu , petani itu bertanya: “Apakah dengan kepintaran dan pengetahuan yang kau miliki itu engkau punya pekerjaan tetap ?” Orang itu menggeleng dan menjelaskan, bahwa kepintarannya itu telah memberinya sakit kepala dan khayalan-khayalan hampa.

Demi mendengar penuturan itu kekaguman si petani berubah menjadi kekesalan. Ia berkata kepada orang tersebut: “Pergilah menjauh dariku, karena betapapun ketololanku, aku telah mendapatkan hidup dan kehidupan darinya. Sedangkan engkau, apa yang telah kau perbuat dengan kepintaranmu ?”

(di-edit dan disarikan dari AL-Matsnawi karya As-Syaikh Maulana JALALUDDIN RUMI  rhmlh)


Bagansiapiapi,   02 Rabi’ul Awwal   1433 H  /    25  Januari  2012
KH.BACHTIAR AHMAD

Monday 23 January 2012

NASIHAT BUYA HAMKA : “Kepada seluruh kaum Muslimin”

Nasihat kepada ammatil  muslimin, kepada pergaulan umum, adalah mengenai masyarakat:

“Jika engkau bodoh, belajarlah kepada yang pintar. Jika engkau orang pandai, ajarlah yang bodoh.  Tunjukkanlah kemaslahatan yang mengenai keselamatan dunia dan akhirat; Jangan mereka disakiti dengan tangan atau lidah; tutup aib dan cela mereka; tolong yang lapar jika engkau mampu; hindarkan bahaya dari mereka; carikan manfaat untuk mereka; suruh berbuat baik; larang berbuat mungkar dengan lembut dan ikhlas.  Jika beroleh nikmat jangan dihasadi (dengki), tetapi syukurilah; Hormati yang lebih besar; kasihi yang lebih kecil; Apa yang engkau rasa baik buat dirimu,  itulah kebaikan yang akan dilimpahkan kepada temanmu; Apa yang engkau rasa sakit pada terhadap dirimu, jangan engkau lakukan kepada mereka; Peliharalah harta benda dan diri mereka dengan perkataanmu dan pekerjaanmu; Ajak mereka memakai budi pekerti yang tinggi dan terpuji.”

Maka contohilah Jurair di-dalam melakukan nasihat kepada sesama manusia, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Abdul Qasim At-Thabrani :

Bahwa pada suatu hari Jurair menyuruh bujangnya membeli seekor kuda tunggang. Datanglah bujang itu membawa seekor kuda tunggang dengan harga 300 dirham. Ketika akan membayar dipanggilnyalah yang punya kuda itu ke rumahnya. Jurair berkata:

“Sesungguhnya kuda tunggangan ini terlalu elok, harganya amat murah kalau hanya 300 dirham, lebih baik saya bayar 400 dirham, sukakah engkau  ?” Orang itu menjawab: “Itu terserah engkau ya, pak Abdullah.” Jurair berkata lagi: “400 dirhampun terlalu murah, sukakah engkau menjual 500 dirham ?”

Demikianlah keadaannya, Jurair terus bertanya dan harganya dinaikkan terus  seratus demi seratus, sedang yang punya kuda menyerah saja, sehingga akhirnya Jurair membayar harga kuda tersebut menjadi  800 dirham. Lalu orangpun bertanya kepada Jurair, mengapa ia semurah dan sedermawan itu mengeluarkan uang. Jurair pun menjawab:

Semasa Rasulullah SAW hidup, saya telah mengikat bai’at dengan beliau, bahwa akan berlaku jujur dan ikhlas kepada seluruh kaum muslimin. Oleh sebab itulah saya harus berkata jujur tentang kudanya yang elok itu.” Wallahua’lam.

 (dipetik dan di-edit  dari buku  TASAWUF  MODERN karangan   PROF.DR.  HAMKA)

Bagansiapiapi,    28  Safar  1433 H /   23  Januari  2012
KH. BACHTIAR AHMAD

Saturday 21 January 2012

KUINGIN DIA MENJADI “KHADIJAH” (Bagian Kedua)

oleh: KH.BACHTIAR  AHMAD
========================
Pada bagian pertama sudah saya jelaskan, bahwa keponakan saya Risman ikut satu kelompok jamaah untuk berdakwah, dia tinggalkan anak isterinya dan berharap isterinya menjadi “Khadijah” untuk melaksanakan niat dan misi yang dijalaninya…..
***
Tak ada jawaban dari mulut Risman. Dan  sayapun bicara lagi: “Man, bagi kita yang awam ini, yang terkadang kehendak nafsu mendahului akal sehat, maka makna “ikhlas” yang kita ucapkan untuk suatu hal kadang menjadi rusak oleh adanya perkara yang tidak kita sukai, atau oleh adanya tekanan keadaan yang menumbuhkan rasa kesal dihati.”

“Maksud abah?”, akhirnya Risman buka suara yang menandakan bahwa ia benar-benar menyimak apa yang saya ucapkan padanya.

“Begini Man, dalam kondisi tenang dan senangnya hati, bisa saja Ratna ikhlas. Tapi misalnya ketika anakmu sakit dan butuh bantuan lebih besar dari sekadar apa yang ada, dan kau sedang tidak ada di tempat, maka bisa saja “ikhlas” nya berubah menjadi rasa sesal dan kesal kepadamu. Dan hal ini tentu akan menjadi lebih berbahaya ketika ia butuh dirimu; butuh belaian seorang suami dan “syaithan” pun ikut memainkan peranannya.Sebagai contoh bisa abah sampaikan kepadamu; Bahwa Umar bin Khattab pernah memberi se-ekor kuda kepada seseorang, tapi ketika ia melihat kuda itu disia-siakan, maka Umar merasa kecewa dan berniat untuk mengambil kembali kuda yang telah diberikannya itu dengan cara membelinya lagi, sekalipun harganya mahal. Dan Rasulullah SAW lalu melarang Umar, agar “keikhlasannya” tidak rusak hanya karena melihat pemberiannya disia-siakan.”

Saya sengaja berhenti bicara dan menunggu Risman berkomentar. Tapi Risman tetap diam dan sayapun bicara lagi.

“Kita semua memang diperintahkan dan berkewajiban untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Tapi tidaklah dengan begitu saja Man, ada prioritas dan tahapannya seperti dalam sebuah hadis disebutkan; kalau kita melihat kemungkaran, maka wajib merubahnya atau melarangnya; jika mampu dengan tangan atau kekuasaan; jika tidak dengan lidah atau lisan; jika tidak denga hati atau cukuplah mencegah diri untuk ikut berbuat mungkar dan berdo’a kepada Allah agar melenyapkan kemungkaran itu. Nah, begitu juga dalam hal memelihara diri agar tidak dimurkai Allah; sebagaimana firman Allah SWT di dalam Kitab-Nya, maka yang pertama itu adalah diri kita baru kemudian keluarga kita, yang menurut Imam Al-Ghazali dimulai dari keluarga dekat seperti anak isteri; kerabat dekat; baru kemudian kerabat jauh serta saudara-saudara kita yang se-iman. Sekarang coba renungkan kembali, apakah anak-anak dan isterimu sudah benar-benar ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, sehingga engkau percaya dan yakin meninggalkan mereka begitu saja? Apalagi anakmu yang tua adalah seorang perempuan; masih SMA dan berada dalam usia remaja yang masih mudah terombang ambing. Lalu bagaimana engkau bertanggung jawab kepada Allah, jika terjadi suatu hal yang tidak baik pada dirinya? Ingat Man, Rasulullah SAW mengatakan bahwa kita ini semuanya adalah pemimpin; dan tanggung jawab kepemimpinan yang paling utama itu ada pada kepala keluarga sebagaimana yang tersurat dan tersirat dalam firman Allah SWT: “Quu an(m)fusakum wa ahlikum naaro..”

Saya berhenti sesa’at untuk mengatur nafas dan menghirup teh manis yang sudah dingin di atas meja. Dan sambil menatap Risman sayapun kembali bicara:

“Man, masih banyak yang ingin abah bicarakan denganmu. Tapi waktu kita sangat terbatas dan abah berharap yang  abah sampaikan tadi sudah cukup memadai untuk kau renungkan. Semuanya terserah kamu, pilihlah jalan yang terbaik untuk dunia dan akhiratmu. Tapi jangan lupakan tanggung jawabmu sebagai seorang suami dan ayah. Berharap isteri kita menjadi “Khadijah” adalah boleh dan sah-sah saja, tapi lepas dari apa yang telah ditakdirkan dan yang dikehendaki oleh Allah SWT, maka jika lihat dengan akal sehat dan mata kepala yang ada, apakah dengan situasi dan kondisi yang kita hadapi saat ini, hal itu mungkin tercapai?”

Banyak yang ingin saya sampaikan kepada Risman sebagai renungan dan pertimbangan. Tapi saya pikir apa-apa yang sudah saya sampaikan tadi sudah cukup memadai, mudah-mudahan bermanfaat untuknya.  Wallahua’lam.

Bagansiapiapi,   26  Safar    1432  H /   21  Januari  2012
KH. BACHTIAR AHMAD

Friday 20 January 2012

KU-INGIN DIA MENJADI “KHADIJAH” (Bagian Pertama)

oleh: KH.BACHTIAR  AHMAD
=============================
Sudah lebih dari 15 tahun saya tidak pernah bertemu dengan “Risman”. Terakhir saya mendapat kabar, bahwa dia sudah bekerja dan menikah di Tanjung Balai Karimun (Kepri). Alhamdulillah, beberapa hari yang lalu dia pulang berziarah ke Bagansiapiapi dengan penampilan “yang khas”, dan sempat pula datang ke rumah untuk bersilaturahmi dengan saya dan keluarga. Dan dalam pertemuan itu kami bicara cukup banyak tentang berbagai masalah agama dan kehidupan.

Menjawab pertanyaan saya Risman menjelaskan, bahwa kurang lebih setahun yang lalu dia berhenti kerja karena ingin berjihad dan ikut berdakwah mensyiarkan Islam; dan sudah pula melakukan safar atau huruj ke banyak tempat.

Ketika kutanyakan perihal isteri dan anak-anaknya, Risman menjelaskan, bahwa isterinya berasal dari Jawa Barat yang dikenalnya saat ia kuliah di Bandung namanya “Ratna Amalia”. Anaknya 4 orang; yang sulung dan yang bungsu adalah perempuan sementara yang nomor 2 dan 3 adalah laki-laki. Yang sulung sudah SMA;   yang nomor 2 dan 3  SMP;   sedangkan yang bungsu masih SD.

Kata Risman, sebenarnya isterinya tidak suka dan tidak rela dia berhenti kerja dan ikut berdakwah bersama jamaahnya. Tapi ia tetap bersikeras dengan pendiriannya dan selalu mengajarkan kepada isterinya, agar mau mencontoh dan meneladani “Siti Khadijah r.a” sebagai ummul mukminin dalam berjuang dan membantu Rasulullah SAW untuk mensyiarkan agama Allah. Besar harapan Risman, agar isterinya bisa menjadi “Khadijah” di dalam kehidupannya. Untuk itulah sebagai bekal hidup anak isterinya, Risman memberikan semua uang yang telah ditabungnya selama bekerja dulu, agar dapat dijadikan modal usaha oleh isterinya dan sekaligus membantu  “mengongkosi dan membiayai” dakwah yang dilakukannya.

Mendengar penuturan Risman terbit rasa “iba” di dalam hati saya. Akan tetapi bukan untuk Risman melainkan untuk isteri dan anak-anak yang ditinggalkan Risman di Tanjung Balai Karimun. Kemudian saya katakan kepada Risman: “Man, abah salut dengan keinginan dan niatmu untuk berdakwah dan berjihad di jalan Allah, namun kalau kau tidak keberatan dan mau mendengar, Abah ingin berbagi pendapat denganmu; terutama tentang isteri dan anak-anakmu.” (Risman masih terhitung sebagai “keponakan” saya)

“Silahkan abah bicara, mudah-mudahan ada satu pengajaran yang baik yang bisa saya ambil dari abah”, jawab Risman membalas pembicaraan saya.

Selanjutnya saya katakan kepada Risman: “Man, keinginanmu agar Ratna mau meneladani dan sekaligus menjadi “Khadijah r.a” sungguh terpuji. Akan tetapi lepas dari apa yang telah ditakdirkan Allah dalam kehidupan yang kita jalani,  kau juga harus melihat dan belajar dari sejarah yang ada; Bagaimana keadaan dan riwayat  Khadijah sebagai isteri Rasulullah SAW; dan bagaimana pula riwayat dan keadaanmu dengan Ratna Amalia, agar apa yang kau sangka baik, malah sebaliknya adalah sesuatu yang buruk dan tercela”   

“Maksud abah bagaimana?”, tanya Risman menyela pembicaraan saya.

“Begini man,  ringkas saja abah ingin sampaikan kembali sedikit catatan sejarah antara Khadijah r.a dan Muhammad Rasulullah SAW. Bahwa Khadijah adalah seorang perempuan yang kaya raya sebelum menikah dan menjadi isteri Rasulullah SAW. Bahkan disebutkan, Muhammad Rasulullah SAW pada masa mudanya pernah bekerja dengan Khadijah, yang membawa barang dagangan Khadijah dari Makkah ke Syam dengan upah 4 ekor anak unta. Dan selanjutnya lantaran “akhlaqul kariimah” yang  beliau miliki, akhirnya Khadijah memilih Muhammad SAW sebagai suaminya. Dan dalam riwayat disebutkan, bahwa Khadijah jugalah yang menghadiahkan atau memberikan 20 ekor unta kepada Muhammad SAW, untuk dapat dijadikan sebagai  “mahar atau mas kawin” mereka. Dan selanjutnya setelah menikah; Muhammad SAW pun menjadi “manager” dari usaha dagangnya Khadijah. Kemudian setelah Muhammad dilantik dan diutus sebagai Rasulullah SAW, sebagaimana yang telah kita maklumi; sampai akhir hayatnya dan sampai ludes hartanya, Khadijah r.a telah pula menjadi “donatur” utama dalam perjuangan Muhammad Rasulullah SAW  guna mensyiarkan dan sekaligus menegakkan “kalimah Tauhid”. Nah, sekarang coba pula bandingkan riwayat hidup beliau-beliau itu dengan dengan riwayat hidupmu dan Ratna Amalia. Dan satu hal lagi adalah walaupun dalam waktu yang singkat; Baik Muhammad Rasulullah SAW maupun Khadijah r.a tidak pernah berpisah sedikitpun dalam berjuang; berdakwah dan mensyiarkan agama Allah; sampai Allah memisahkan mereka. ”

Risman terdiam mendengar penjelasan saya. Dan sebelum ia sempat bicara, saya pun meneruskan pembicaraan:

“Abah yakin, bahwa antara kau dan Ratna tentulah keadaannya sama dengan abah dan yang lainnya. Artinya kau dan Ratna tentulah pacaran dulu; lalu melamar dan kemudian menikah. Nah dengan “nama Allah” kau jadikan Ratna sebagai isteri dan tentulah berjanji untuk mengasuh; memelihara dan mendidiknya dengan sebaik-baiknya dan tentu berharap agar diberikan Allah keluarga yang sakinah; mawaddah warohmah; Bahkan kalau bisa bak kata orang “sehidup semati berdua”. Nah, sekarang kalau sudah begini keadaannya, tentulah engkau telah mengingkari janjimu dan boleh jadi itu merupakan suatu pengkhianatan terhadap apa yang telah diamanahkan Allah kepadamu.”

“Tapi dalam hal ini Ratna ikhlas saya melakukan hal ini, bah”, Risman menyela pembicaraan saya.

“Benar katamu, Ratna sudah ikhlas. Tapi kitakan tidak tahu apakah ikhlasnya itu benar-benar keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam atau mungkin ada pertimbangan lain. Lalu bagaimana pula dengan anak-anakmu, apakah mereka juga ikhlas dan bisa menerima keadaan atau merelakanmu berjihad dan berdakwah seperti ini?”

Tak ada jawaban dari mulut Risman. Dan  sayapun bicara lagi: “Man, bagi kita yang awam ini, yang terkadang kehendak nafsu mendahului akal sehat, maka makna “ikhlas” yang kita ucapkan untuk suatu hal kadang menjadi rusak oleh adanya perkara yang tidak kita sukai, atau oleh adanya tekanan keadaan yang menumbuhkan rasa kesal dihati.”

“Maksud abah?”, akhirnya Risman buka suara yang menandakan bahwa ia benar-benar menyimak apa yang saya ucapkan padanya.

“Begini man,….” Insya Allah akan saya lanjutkan catatan ini pada “bagian Kedua” nanti. Wallahua’lam.

Bagansiapiapi,   25  Safar    1432  H /   20  Januari  2012
KH. BACHTIAR AHMAD

Wednesday 18 January 2012

NASIHAT AL-QURAN: “Tentang Hati”


“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah); mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.”  (Q.S. Al-A’raaf: 179)

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.”  
(Q.S. Al-Anfaal: 2)

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Q.S. Al-Israa’: 36)

“Dan apabila hanya nama Allah saja disebut, kesal-lah hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat; dan apabila nama sembahan-sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati.”  (Q.S. Az-Zumar: 45)

Bagansiapiapi,  23  Safar  1433  H /   18 Januari  2012
KH.BACHTIAR AHMAD

Monday 16 January 2012

“WA MIMMAA ROZAQNAAHUM”


oleh: KH BACHTIAR AHMAD
=======================
Biasanya usai sholat Maghrib para jama’ah Musholla Al-Fath, sambil menunggu masuknya waktu Isya’  banyak yang pulang ke rumah untuk menyelesaikan keperluannya masing-masing. Kadang hanya saya dan Ucu Madian yg tinggal di Musholla dan mengisi waktu yang ada dengan dzikrullah; entah itu membaca Al-Qur’an; Sholawatan dan adakalanya berbincang-bincang tentang masalah agama dan kehidupan sehari-hari. Akan tetapi Maghrib petang kemarin lantaran hujan turun cukup lebat, maka banyak jama’ah yang tetap tinggal di Musholla, dan situasi ini rupanya dimanfaatkan oleh Haji Udin dengan beberapa jama’ah lainnya yang meminta saya untuk menerangkan beberapa masalah agama yang mereka tanyakan.

Dalam kesempatan itu  Haji Udin melontarkan pertanyaannya: “Pak Haji, sebagaimana yang kita ketahui, bahwa di dalam ayat-ayat pertama surah Al-Baqarah, Allah menerangkan bahwa Al-Quran itu diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Yang menjadi pertanyaan saya adalah, selain dari hal-hal yang berkaitan dengan masalah keimanan (Rukun Iman) seperti percaya kepada yang ghaib; kepada Kitab-Kitab Allah; Hari Akhirat; Mengapa   Allah menggabungkan perintah sholat dengan perintah sedekah dalam ayat “wa yuqiimunash-sholaata wa mimmaa rozaqnaahum”; bukannya dengan perintah “zakat” sebagaimana dalam ayat-ayat lainnya. Padahal salah satu rukun Islam yang wajib ditunaikan itu adalah zakat, sedangkan “sedekah” itu hukumnya sunat.”

Terus terang saja saya agak kaget mendengar pertanyaan tersebut, dan rada-rada sulit untuk menjawabnya lantaran ilmu yang sangat terbatas; apalagi yang berkaitan dengan tafsir Al-Quran. Namun demikian saya tetap berusaha untuk menjawabnya sebatas ilmu dan kemampuan yang saya miliki dan tentu saja dengan penalaran yang mudah, agar para jama’ah bisa memahaminya.  

“Begini Ji (maksud saya Haji Udin), kalau ditanya “mengapa”, maka saya hanya bisa menjawab “wallahua’lam”, lantaran yang punya firman adalah Allah SWT; dan Dia Maha Mengetahui makna apa yang zhahir maupun yang tersembunyi dari apa yang difirmankan-Nya. Akan tetapi walau begitu, saya akan coba menjelaskannya, terutama yang berkaitan dengan masalah ibadah yang diperintahkan-Nya kepada kita. Mudah2an Haji dan para jama’ah semua bisa memahami dan merenungkannya lebih lanjut.”

Saya sengaja berhenti agak sejenak dan para jama’ah juga ikut diam. Kemudian saya pun melanjutkan pembicaraan: “Haji dan juga jama’ah yang lainnya, sebagaimana yang kita ketahui,  Zakat adalah perintah Allah yang  ditujukan kepada orang-orang yang memiliki kelebihan harta benda, dimana dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan, mereka wajib menunaikan atau membayarnya. Akan tetapi hendaklah dimaklumi bahwa; hak untuk menjadi orang yang bertakwa bukan hanya milik orang-orang berharta yang mampu membayar zakat, tapi milik semua orang beriman; baik yang miskin maupun yang kaya. Jadi oleh karena alasan inilah menurut pemahaman saya, Allah tidak menggandengkan perintah sholat dengan zakat sebagai syarat untuk menjadi orang yang bertakwa pada ayat ke 3 surah Al-Baqarah tersebut; melainkan dengan  perintah wa mimmaa rozaqnaahum yun(m)fiquun. Artinya adalah agar orang mukmin, baik yang punya harta atau duit  yang banyak, maupun yang hanya punya pas-pasan; baik yang sudah membayar zakat ataupun yang tidak berkewajiban untuk zakat; semuanya dituntut untuk mau berbagi kepada sesama sesuai kesanggupannya; Entah itu dalam bentuk shodaqoh; infaq; dan lainnya. Akan tetapi dalam kenyataannya, perintah ini pula yang paling sulit untuk kita tunaikan; apalagi banyak yang mengaitkannya dengan status hukumnya yang tidak wajib; artinya boleh dilaksanakan; boleh juga tidak; kalau dikerjakan berpahala kalau ditinggalkan tidak apa-apa. Padahal menurut banyak ulama (salaf) sebenarnya apa saja yang diperintahkan Allah di dalam Kitab-Nya; yang hukumnya sunat ataupun sesuatu yang mubah; maka hukumnya adalah wajib untuk dilaksanakan sesuai dengan batas kemampuan; apalagi tidak ada syarat-syarat mengikatnya. Sebab intinya bukan pada hukum pekerjaan itu, tapi adalah pada keta’atan dan kecintaan kepada Allah SWT.

Sebagai tambahan saya juga menerangkan kepada para jama’ah, bahwa dalam Risalah Tafsirnya; Syaikh Abdullah Al-Gahazali ada menerangkan; bahwa menafkahkan sebahagian rezeki yang dikaruniakan Allah, hukumnya jauh lebih wajib untuk dilaksanakan oleh orang-orang yang beriman secara menyeluruh dibandingkan dengan perintah zakat yang hanya ditetapkan untuk sebahagian dari mereka yang mampu untuk melaksanakannya. Al-Ghazali menyatakan; bahwa memberi nafkah (baik dalam bentuk shodaqoh/sedekah; infaq dll) tidaklah terbatas dan dibatasi oleh ruang waktu dan banyaknya harta yang dimiliki; sehingga setiap saat dapat dirasakan manfaatnya oleh orang lain yang membutuhkan. Oleh sebab itulah di dalam banyak riwayat kita temukan keterangan-keterangan yang berkaitan dengan keutamaan sedekah dan yang semacam dengan itu. Sehingga sampai-sampai Rasulullah SAW menyatakan, bahwa kalau kita tak punya sesuatu untuk disedekahkan, maka menebar senyum dan salam juga merupakan suatu sedekah; bahkan berdo’a secara diam-diam untuk kebaikan dan keselamatan saudara kita dinilai sebagai suatu sedekah yang paling utama.

Saya tidak tahu persis, apakah Haji Udin dan para jama’ah lainnya paham atau tidak dengan penjelasan saya, yang jelas mengingat waktu Isya’  sudah masuk, saya hentikan pembicaraan dan meminta kepada “muazin” untuk segera azan.Wallahua’lam.

Bagansiapiapi,   21  Safar  1433 H / 16  Januari  2012
KH. BACHTIAR AHMAD

Friday 13 January 2012

KARENA ENGKAU TETANGGA-KU

Suatu ketika Syaikh Malik bin Dinar menyewa rumah dari seorang Yahudi. Setelah Malik pindah ke rumah sewanya, si Yahudi memindahkan kamar mandi dan wc-nya ke sebelah dinding tempat tinggal Malik bin Dinar, padahal dinding pemisah antara keduanya sudah rapuh dan banyak yang berlubang. Keadaan itu membuat air bekas mandi dan air najis dari rumah Yahudi itu membasahi ruang rumah  Malik bin Dinar, bahkan membasahi mihrab tempat sholatnya Malik. Si Yahudi memang sengaja melakukan hal itu, agar Malik terganggu sehingga sebelum habis masanya Malik sudah pindah dari rumah yang ia sewakan kepada Malik. Akan tetapi Malik sedikitpun tidak marah, bahkan dengan senang hati setiap hari dan setiap saat ia bersihkan semua kotoran yang masuk ke ruangan rumahnya tersebut. Dan tak pernah sepatah katapun ia ucapkan kepada si Yahudi tentang perkara itu.

Lama-kelamaan si Yahudi itu yang merasa kesal dengan kesabaran Malik bin Dinar, hingga suatu hari ia datang menemui Malik dan berkata: “Hai Malik, apakah yang membuatmu sabar sedemikian rupa terhadap gangguan-gangguan yang kuberikan kepadamu.”

Sambil tersenyum Malik menjawab: “Karena engkau tetanggaku, sedangkan junjungan kami, Baginda Muhammad Rasulullah SAW telah bersabda, bahwa Malaikat Jibril selalu datang dan tak putus-putusnya berwasiat kepada beliau tentang halnya berbaik-baik dengan tetangga, sampai-sampai beliau pernah berpikir bahwa tetangga itu berhak memperoleh warisan. Dan selaku umat beliau, tentu saja saya harus menunaikan apa yang telah beliau amanahkan.”

Mendengar itu si Yahudi terdiam, ia lalu meminta maaf kepada Malik bin Dinar dan langsung menyatakan dirinya masuk Islam. Dan dengan bimbingan Malik bin Dinar, si Yahudi pun menjadi seorang muslim yang baik dan ta’at. Wallahua’lam.

(dinukil dan di-edit dar terjemahan “At-Tahbiir fit-Tadzkiir” karangan Imam Qusyairi rhmlh)

Wallahua’lam.

Bagansiapiapi,  18 Safar 1433  H /   13 Januari 2012
KH. BACHTIAR AHMAD

Wednesday 11 January 2012

SEDIKIT CATATAN TENTANG AS-SUNNAH

oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
========================

Guru saya; “Syaikh Abdullah Fathur-rahman”  (semoga Allah senantiasa merahmati beliau) menerangkan, bahwa secara umum makna “Sunnah Nabi SAW” atau juga yang kita sebut sebagai “Hadits Nabi SAW” adalah: “ketentuan; ketetapan; jalan yang terpuji (baik yang diridhai untuk di-ikuti maupun yang tidak diridhai untuk ditinggalkan); jalan yang dibiasakan maupun yang terkadang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW; juga apa-apa yang diperbuat sahabat yang disetujui oleh Rasulullah SAW dengan ucapan maupun mendiamkannya” yang kesemuanya itu di dalam kaidah hukum (fiqih) disebutkan: “Segala sesuatu yang dinukil atau yang diberitakan dari Rasulullah SAW; baik berupa perkataan; perbuatan dan taqrir (pengakuan) beliau.”

Oleh sebab itulah Sunnah Nabi SAW atau yang kita sebut dengan istilah Hadits Nabi SAW digolongkan  menjadi 4(empat bagian) yakni: Qauliyah (perkataan); Fi’liyah (perbuatan); Taqririyah (pengakuan); Hammiyah (segala sesuatu yang diterangkan oleh Rasulullah SAW, tapi belum sempat beliau laksanakan).  (Mohon maaf disini kita tidak akan membicarakan status “shahih atau tidaknya”).  Selain itu “Syaikh Abdullah Fathur-rahman” juga menjelaskan, bahwa  As-Sunnah juga  dibagi menjadi 2(dua) bagian, yakni:

Sunnah Al-Huda; yakni Sunnah Nabi SAW yang berkaitan dengan masalah ibadah yang dihukumi menjadi sesuatu yang “muakkad”  atau sesuatu yang sangat utama untuk dilaksanakan/dikerjakan seperti: azan; iqamah; sholat sunat qobliyah/ba’diyah dan lain sebagainya.

Sunnah Al-‘Adah; yakni segala sesuatu yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAW melalui jalan adat atau kebiasaan beliau (khususnya kebiasaan beliau sebagai orang Arab/Quraisy) seperti cara berpakaian; makan; bercelak (memakai celak mata); memakai wangi-wangian; memelihara jenggot dan hal-hal yang bersifat phisik lainnya). Menurut “Syaikh Abdullah Fathur-rahman”; adat atau kebiasaan yang baik tersebut sengaja dipelihara dan disyari’atkan oleh Rasulullah SAW dengan   beberapa pertimbangan antara lain; adanya kecenderungan masyarakat Arab (pada waktu itu) yang sudah terpengaruh oleh kebiasaan orang-orang Yahudi dan Nasrani; agar orang-orang Arab merasa lebih terhormat dan dihormati setelah menjadi Islam.

Selanjutnya Syaikh Abdullah Fathur-rahman (juga guru saya yang bernama Syaikh Muhammad Yusron Al-Bantany rahimahullah) menjelaskan, bahwa tanpa mengabaikan “sunnah al-‘adah”, maka seharusnya yang menjadi prioritas kita untuk mengikuti dan melaksanakan sunnah Nabi SAW adalah hal-hal yang berkaitan dengan “sunnah al-huda”. Sebab petunjuk dalam hal-hal ibadah yang disunnahkan tersebut adalah lebih besar keutamaannya, bahkan ada yang berkaitan langsung dengan perintah Allah SWT seperti sholat tahajjud; dzikrullah; sholat berjama’ah dan lain-lainnya.

Mengikuti dan melaksanakan sunnah al-‘adah memang dianjurkan, sebab selain juga “berpahala” dan salah satu bukti kecintaan dan keta’atan kepada Rasulullah SAW, juga merupakan simbol-simbol tersendiri dalam mendakwahkan dan mensyi’arkan Islam. Akan tetapi hal itu janganlah sampai memaksakan diri, sehingga menimbulkan fitnah dan ejekan. Sebab bagaimanapun juga, manusia telah diciptakan Allah dengan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling kenal mengenal, sedangkan yang paling mulia di antara mereka adalah yang paling takwa. Bukan yang paling bagus pakaian ataupun adat istiadatnya. Dan Rasulullah SAW pun telah pula mengingatkan, bahwa ketakwaan itu bukan diukur dari penampilan phisik, tapi dari apa yang menjadi niat dan yang ada di dalam hati.

Syaikh Abdullah menganjurkan kepada saya, agar  melaksanakan sunnah al-‘adah sebaik mungkin jika merasa nyaman melaksanakannya; baik bagi diri sendiri maupun orang lain.  Dikatakan oleh beliau-beliau, “orang Cina”  tak perlu menjadi Arab dengan ke-islamannya; begitu juga dengan suku bangsa lainnya. Sebab pada hakikatnya semua adat istiadat kehidupan yang ada adalah bersumber dari Allah, dan tugas kita sebagai anak dari suku bangsa tersebut adalah memilah dan memilih yang baik, yang sesuai dengan tujuan syar’i (aturan-aturan Islam). Beliau katakan bahwa (laksamana)  “Cheng Ho”  tetap seorang Muslim, sekalipun namanya tidak kedengaran muslim.  Sementara banyak pula saudara-saudara kita yang memiliki nama “islami”, akan tetapi perilaku atau akhlaknya sama sekali tidak Islam. Bahkan ada yang benar-benar “fasiq”

Beliau (guru saya)  mengatakan, bahwa   banyak diantara kita yang terjebak “dalam ketidak pahaman”  dan selalu merasa sudah menjadi “muslim yang kaffah”,  hanya lantaran mengikuti dan melaksanakan hal-hal yang berkaitan dengan sunah al-‘adah  tersebut.  Banyak yang merasa dirinya sudah menjadi  hamba yang ta’at dan mencintai Rasulullah SAW hanya karena sudah memakai sorban; bergamis; berjenggot dan lain sebagainya. Padahal di sisi lain, hal-hal yang berkaitan dengan sunnah al-huda sama sekali terabaikan dan diabaikan. Dengan kata lain; jarang atau bahkan sama sekali tidak dikerjakan, seperti misalnya puasa sunat setiap bulan sebagaimana yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW, sholat atau qiyamul-lail, dzikrullah sesudah sholat; atau sekurang-kurangnya melakukan iqamat lebih dulu tatkala sholat sendirian; bahkan kadang-kadang masuk wc pun tidak pernah membaca do’a sebagaimana yang diajarkan dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Dan yang lebih memprihatinkan adalah, adakalanya simbol-simbol keislaman dipakai dalam suatu kegiatan “pengrusakan” atas dan untuk nama umat Islam.

Dalam masalah memahami dan melaksanakan Sunnah Nabi SAW, Syaikh Abdullah Fathur-rahman juga mengajarkan dan mengingatkan;  agar tidak ikut-ikutan dan terjebak dalam masalah yang sering disebut orang sebagai masalah bid’ah atau khilafiyah lantaran masalah ini akan terus berkembang dan tidak akan usai-usai sampai dunia ini berakhir. (sudah pernah saya tulis di FB sebagai “Berita/Catatan untuk  Foto Buya Hamka atau bisa dibaca pada www.halamandakwah.blogspot.com)”.

Mudah-mudahan sebahagian pengajaran yang pernah saya terima ini ada manfaatnya untuk jadi bahan renungan dan pemikiran kita bersama, untuk tidak saling menyalahkan dan menyatakan; bahwa kitalah yang paling benar. Perbedaan pendapat adalah suatu rahmat, jika Allah menghendaki tentulah kita akan dijadikannya satu umat saja sebagaimana firman-Nya di dalam Al-Quran. Semoga Allah senantiasa tambahkan hidayah dan inayah-NYA kepada kita semua. Wallahua’lam.

Bagansiapiapi,  16  Safar  1433  H  /  11  Januari  2012.
KH.BACHTIAR AHMAD

Tuesday 10 January 2012

PESAN RASULULLAH SAW:

Tentang:  “SENANTIASA DI-IKUTI SYAITHAN”
======================================
“Aisyah r.a berkata: “Suatu malam Rasulullah SAW keluar dari sisiku (meninggalkan Aisyah sa’at tidur), dan aku cemburu pada beliau. Kemudian beliau datang dan melihat bagaimana sikapku dan bersabda: “Mengapakah engkau ini hai Aisyah? Apakah engkau cemburu?” Aku (Aisyah) menjawab: “Bagaimana tidak akan cemburu orang seperti aku kepada orang semacam Tuan” Beliaupun bersabda: “Apakah engkau sudah didatangi oleh syaithanmu?” Akupun balik bertanya: “Ya Rasulullah, apakah aku ini disertai oleh syaithan.” Beliau menjawab: “Ya.” Dan akupun bertanya lagi: “Apakah setiap orang itu disertai syaithan?” Beliau menjawab: “Ya.” Dan sekali lagi aku bertanya: “Apakah Tuan juga disertai syaithan?” Beliau bersabda: “Ya, tetapi Tuhanku memberikan pertolongan kepadaku untuk mengalahkannya, sehingga ia pun menyerahlah.”(HR. Muslim dari Aisyah r.a)
Tentang:  “PERTEMUAN ROH MUKMIN”
================================
“Ketika seorang mukmin sedang sekarat dan melihat apa yang biasa dilihat oleh orang yang sekarat, maka ia berharap rohnya cepat keluar dan Allah senang bertemu dengannya. Sesungguhnya roh orang mukmin dibawa ke langit dan disambut oleh roh-roh orang mukmin yang telah meninggal sebelumnya. Kemudian mereka akan bertanya kepada roh orang yang baru meninggal tersebut tentang penduduk dunia yang mereka kenal. Bila mereka mendengar jawaban: “Mereka masih hidup di dunia.”, maka roh-roh tersebut senang mendengarnya. Akan tetapi bila sebaliknya dikatakan, bahwa ia sudah meninggal dunia, maka roh-roh tersebut merasa sedih dan berduka seraya berkata: “Sayang mereka tidak berkumpul dengan kami.” (HR. Al-Bazzar dari Abu Hurairah r.a)
Tentang: “SA’AT BERTAUBAT”
=========================
“Sesungguhnya Allah membentangkan tangan rahmat-Nya pada waktu malam, supaya bertaubat orang yang telah melanggar pada siang hari. Dan juga mengulurkan tangan kemurahannya pada siang hari, supaya bertaubat orang-orang yang berbuat dosa pada malam hari. Keadaan ini akan terus menerus berlangsung hingga saatnya matahari terbit dari barat.”   (HR. Muslim dari Abu Musa al-'Asyari r.a)
(dinukil dan di-edit dari berbagai sumber)

Bagansiapiapi, 13  Safar  1433  H  /  8  Januari   2012
KH.BACHTIAR AHMAD

Monday 9 January 2012

PESAN ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ r.a


Usai dibaiat oleh kaum muslim sebagai “khalifah”, Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a berdiri di hadapan mereka dan menyampaikan “pidatonya”. Selanjutnya setelah mengucapkan puji syukur kepada Allah dan membacakan shalawat untuk Rasulullah SAW; Abu Bakar berujar:

“Kemudian saudara-saudara, saya sudah terpilih untuk memimpin kamu sekalian, dan saya bukanlah orang yang terbaik di antara kamu sekalian. Kalau saya berlaku baik, bantulah saya. Kebenaran adalah suatu kepercayaan, dan dusta adalah pengkhianatan. Orang yang lemah di mata kamu adalah kuat bagi saya; sesudah haknya saya berikan kepadanya… insya Allah; dan orang yang kuat buat saya adalah lemah sesudah haknya nanti saya ambil…insya Allah. Apabila ada golongan yang meninggalkan perjuangan di jalan Allah, maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada mereka. Apabila kejahatan itu sudah meluas pada suatu golongan, maka Allah akan menyebarkan bencana kepada mereka.

Saudara-saudara, ta’atilah saya selama saya ta’at pada perintah Allah dan Rasul-NYA. Tetapi bila saya melanggar perintah Allah dan Rasulullah SAW, maka gugurlah kesetiaanmu kepada saya. Laksanakanlah sholat kamu, Allah akan merahmati kamu sekalian….”  Wallahua’lam.

(dipetik dan di-edit dari Kisah Para Sahabat)

Bagansiapiapi,   14  Safar  1433 /   8 Januari 2012
KH.BACHTIAR AHMAD

Sunday 8 January 2012

PESAN RASULULLAH SAW:


“Tentang: TANDA MUNAFIQ”
=========================
“Empat sifat, siapa yang melakukan semuanya berarti benat-benar munafiq; dan siapa yang ada padanya sebahagian (tanda-tanda tersebut) berarti dia munafiq, sampai ia meninggalkannya (perbuatan tersebut). Jika dipercaya ia khianat; jika berkata ia dusta; jika berjanji tidak ditepati; dan jika berdebat melewati batas (tidak mau kalah).”   
(HR. Muttafaq ‘alaihi dari Abdullah bin Amru bin Al-‘Ash r.a)
“Tentang: TIGA MUSUH ALLAH SWT”
================================
“Tiga orang yang menjadi musuh-KU pada hari kiamat nanti adalah; orang yang berjanji dengan mempergunakan nama-KU lalu tidak ditepati; orang yang menjual orang yang merdeka untuk diperbudak; dan orang yang mengupah buruh yang jika telah selesai pekerjaannya tidak dibayarkan upahnya.”  (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah r.a)
“Tentang: LARANGAN MENGAMBIL SEDEKAH YANG SUDAH DIBERI”
==========================================================
“Umar bin Khattab r.a berkata: “Suatu ketika saya memberikan se-ekor kuda kepada seseorang yang berjihad fi sabilillah, ketika saya melihat kuda pemberian itu disia-siakannya; maka saya pun berniat untuk  membelinya kembali dengan persangkaan, bahwa ia akan menjualnya dengan harga yang murah. Lalu saya bertanya kepada Rasulullah SAW tentang niat saya tersebut. Rasulullah SAW melarang saya dan beliau  bersabda: “Jangan kau beli dan jangan kau tarik kembali sedekahmu, meskipun ia memberikan kepadamu dengan harga satu dirham, karena orang yang menarik kembali sedekahnya; bagaikan orang yang menelan kembali muntahnya.”  (HR. Muttafaq ‘alaihi dari Umar bin Khattab r.a)
(dinukil dan di-edit dari terjemahan “Riadush-Shalihin”

Bagansiapiapi, 13  Safar  1433  H  /  8  Januari   2012
KH.BACHTIAR AHMAD

KISAH PENGHIBUR HATI


MAKA NASHRUDDIN PUN BERTAUBAT
Di suatu musim panas Nashruddin Hoja pergi ke suatu desa dengan mengendarai keledainya. Karena lelah ia berhenti dan bernaung di bawah sebatang pohon korma dan mengikatkan keledainya pada batang pohon korma yang lain. Di keteduhan pohon korma itu Nashruddin duduk-duduk santai,  dan sambil beristirahat ia  mengeringkan keringatnya yang bercucuran akibat cuaca yang cukup panas. Dan dalam pada itulah ia melihat rerimbunan pohon labu yang tumbuh subur di sekitar batang-batang korma tersebut. Dengan hati yang takjub Nashruddin merenung keadaan dua macam tetumbuhan yang berbeda tersebut. Nashruddin berkata dalam hatinya: “Subhanallah, wahai Tuhanku mengapa Engkau menciptakan batang pohon labu yang buahnya besar-besar ini hanya  seukuran benang yang kasar, sedangkan korma yang kecil-kecil Engkau berikan batang yang besarnya kadang-kadang lebih dari sepelukkanku.”

Baru saja Nashruddin membathin dengan hatinya, tiba-tiba beberapa butir korma yang sudah tua jatuh menimpa kepalanya. Nashruddin terkejut lalu melepas surbannya dan meraba kepalanya yang setengah botak. Kemudian buru-buru ia beristigfar dan berkata: “Ya Allah, sungguh aku bertaubat kepadamu dan tidak akan turut campur lagi dalam uruusan-Mu menciptakan alam semesta ini. Segala yang engkau ciptakan tentulah mengandung hikmah dan rahasia yang besar, dan itu hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang mengalaminya. Andai saja buah-buah korma itu sebesar labu yang Engkau ciptakan, maka pastilah kepalaku remuk dan akupun mati dalam kebodohan.”  Kemudian Nashruddin buru-buru melanjutkan perjalanannya.
 ONGKOS SEPULUH HARI
Suatu hari Nashruddin menyewa seorang kuli untuk membawa barangnya. Di tengah jalan kuli tersebut kabur dengan membawa barang-barang dagangan milik Nashruddin. Dan Nashruddin berusaha mengejarnya, namun sampai beberapa lama ia tak berhasil mendapatkan kemana larinya si pembawa barang-barangnya tersebut.

Sepuluh hari kemudian ketika Nashruddin sedang berkumpul dengan teman dan murid-muridnya, kuli tersebut lewat di hadapan mereka dan segera ditangkap oleh orang-orang tersebut.  Nashruddin sebenarnya merasa gembira. Akan tetapi sesaat kemudian ia berusaha menjauh dari si kuli yang telah tertangkap itu.  Dan demi melihat sikap Nashruddin yang aneh itu beberapa teman-temannya lalu mendekat kepada Nashruddin dan bertanya, mengapa ia bersikap demikian. Dengan agak malu Nashruddin berkata: “Bagaimana aku tidak menghindar darinya. Bukankah aku sudah menyewanya selama sepuluh hari yang lalu, kemudian dia menghilang. Sekarang jika aku menangkapnya, aku takut kalau-kalau ia akan menagih upahnya selama sepuluh hari ini. lalu apa yang harus aku lakukan ?.”

(Diedit dan disarikan dari terjemahan Nawadhir Juha al-Kubra karangan Nashiruddin)

Bagansiapiapi,  13  Safar  1433 H  /  8  Januari  2012
KH.BACHTIAR AHMAD

Saturday 7 January 2012

ADA AZAB DI BALIK NIKMAT

oleh: KH. BACHTIAR AHMAD
=============================
Allah Yang Maha Pemurah tidak pernah melarang hamba-Nya untuk berusaha mencari kenikmatan dan kebahagiaan dunia. Bahkan untuk itu, disamping menyuruh kita berusaha, Allah juga mengajarkan kita untuk senantiasa berdo’a memohon dan meminta kepada-Nya, sebagaimana firman-NYA:

“Wahai Tuhan kami, berilah kepada  kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka”   (Q.S.Al-Baqarah: 201)

Juga dalam firman-Nya:

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan duniawi.”   (Q.S.Al-Qashash: 77 )

Akan tetapi kita wajiblah waspada, sebab di balik kebahagiaan dan kesenangan duniawi tersebut ada azab atau siksa yang secara tidak sadar  ditimpakan Allah kepada kita. Hal ini secara tegas Allah nyatakan dengan firman-NYA:

“Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan memberikan harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir.”  (Q.S. At-Taubah: 55)

Syaikhul Islam Muhammad ibnul Qayyim Al-Jauziyah  (semoga Allah merahmatinya) menyatakan, bahwa sesungguhnya para pemburu dan  pencinta dunia itu akan banyak sekali menanggung musibah. Dan 3(tiga) di antaranya akan terus menyiksa mereka sepanjang hidup, jika tidak menginsyafi kekeliruan yang diperbuat.

Pertama: Gelisah yang berkepanjangan.
Para pemburu dan pencinta dunia akan selalu dilanda perasaan gelisah yang tak berkesudahan. Hal ini disebabkan oleh perasaan khawatir dan cemas terhadap apa yang sudah dimiliki, jangan-jangan semuanya itu akan hilang atau lepas dari genggamannya.

Kedua: Kelelahan.
Siksa kedua yang dirasakan oleh para pemburu dan pencinta dunia adalah penyakit kelelahan yang berkepanjangan, karena tak pernah cukup istirahat akibat dari sikap yang terus mengejar segala sesuatu yang menjadi ambisinya.

Ketiga: Kerugian yang tak akan pernah berakhir.
Hal ini disebabkan oleh keadaan diri yang tidak pernah puas dengan apa yang sudah diperoleh. Setiap kali mendapatkan sesuatu, maka ia ingin mendapatkan sesuatu yang lain. Bahkan tak sedikit yang berangan-angan di luar batas kemampuannya. Sikap ini sangatlah dicela oleh Rasulullah SAW, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari; Muslim; Tirmidzi dan Imam Ahmad r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda: 

“Bahwa jika anak Adam telah  mempunyai dua lembah yang penuh berisi harta, maka pastilah ia menginginkan lembah yang ketiga.”

Dikatakan oleh Ibnul Qayyim; bahwa pahitnya siksa dunia yang dirasakan oleh para pemburu dan pencinta dunia adalah laksana seorang pencinta yang rindu berat dengan kekasih idamannya. Akan tetapi semakin kuat rindu dan  berdekatan  dirinya dengan sang kekasih; sang kekasih malah menjauh dan meninggalkan dirinya.

Disamping itu, kalaupun ia berhasil menyunting kekasihnya yang bernama “dunia”, ia akan tetap menderita dan tersiksa, karena khawatir dunia yang sudah ditangannya akan terlepas lantaran kekasih yang dicintainya itu juga menjadi dambaan banyak orang, sementara sang kekasih juga memiliki sifat atau prilaku khianat yang luar biasa. Seseorang yang berhasil memiliki dunia yang dicintainya, adakalanya juga harus tersiksa dan menanggung malu atas cemoohan yang ditujukan kepadanya, lantaran ia berhasil memiliki dunia bukan dengan cara-cara yang baik, yang dihalalkan oleh Allah SWT.

Memiliki dan mendapatkan dunia juga merupakan suatu “bahaya” besar bagi orang-orang yang beriman:

Pertama: Orang yang mendapatkan dunia yang dia cintai akan sangat rentan dan mudah terkena penyakit diri dan hati seperti: kikir atau bakhil; suka mengumpat dan mencela; mubazir dan orang yang sombong; yang kesemuanya itu dapat mendatangkan murka dan azab Allah yang berkepanjangan; Baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dan hal ini secara tegas di-ingatkan Allah SWT dengan firman-NYA:

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Ali Imran: 180)

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.//(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan.”   (Q.S. An-Nisaa’: 36-37)

Dan “yang paling besar bahayanya dan yang sangat merugikan ” bagi pemburu dan pemilik dunia adalah, dirinya menjadi lalai dan jauh dari Allah SWT sebagaimana yang ditegaskan Allah SWT di dalam Al-Qur’an:

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Q.S. Al-Munafiqun: 9)
           
Oleh sebab itu sudah selayaknyalah kita waspada terhadap harta benda yang dikaruniakan Allah kepada kita. Sebab dibalik kenikmatan dan kesenangan dunia yang kita cari, ada azab yang menanti.  Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 12  Safar   1433 H / 7  Januari  2012
KH.BACHTIAR AHMAD

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.