Friday 30 March 2012

INFAQ DAN SEDEKAH


oleh: KH.BACHTIAR  AHMAD
========================
Selain “zakat” yang diwajibkan Allah SWT, maka kita juga diperintahkan untuk melakukan “infaq” yang secara umum kita pahami sebagai salah satu bentuk pemberian harta atau uang dengan tujuan atau niat ibadah  kepada Allah SWT. Disamping itu banyak di antara kita yang memahami bahwa infaq sama dengan “sedekah” yang menurut bahasa Arabnya disebut “shodaqoh”. Padahal di antara infaq dan sedekah ada garis yang membedakannya; kendati dari bentuk perbuatannya keduanya memiliki kesamaan. Di dalam Al-Qur’an dapat kita temukan kurang lebih 50 ayat yang  berkaitan dengan masalah “infaq”. Sedangkan yang berkaitan dengan “sedekah” kurang lebih 15 ayat. Lalu apa bedanya “infaq” dengan “sedekah”.

As-Syaikh Abdullah Al-Ghazali menyebutkan, bahwa beda antara “infaq dan sedekah” dapat dilihat dari firman Allah SWT tentang kedua masalah tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an:

Perkataan yang baik dan pemberian ma’af lebih baik dari sedekah (shodaqotin) yang diiringi dengan sesuatu yang menyakiti perasaan si penerima (sedekah).Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. //  Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan pahala sedekahmu (shodaqotikum) dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan si penerima seperti orang yang menafkahkan (yunfiqu) hartanya karena riya’ kepada manusia dan mereka tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah); mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. // dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan (yunfiquuna) hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. jika hujan lebat tidak menyiraminya, Maka hujan gerimis (pun memadai); dan Allah Maha melihat apa yang kamu perbuat.”  (Q.S.Al-Baqarah 263-265)

Syaikh Abdullah Al-Ghazali menjelaskan, bahwa infaq adalah: “memberikan harta/uang kepada orang lain yang untuk memenuhi kebutuhan atau  keperluan pokok hidup sehari-hari, semisal untuk makan; pakaian; pendidikan dan perumahan.”  Sementara rincian kepada siapa “infaq” tersebut juga dijelaskan secara tegas oleh Allah sebagaimana firman-Nya:

“Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan (yunfiquun). Jawablah: Apa saja harta yang kamu nafkahkan (anfaqtum) hendaklah diberikan kepada ibu-bapak; kaum kerabat; anak-anak yatim; orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.”  (Q.S.Al-Baqarah: 215) 

Artinya adalah, bahwa pemberian nafkah atau “infaq” tersebut hendaklah melalui skala prioritas yang telah dijelaskan Allah, yakni dalam kondisi normal hendaklah dimulai dari “keluarga yang terdekat”  baru kemudian yang lainnya.

Adapun “sedekah” lebih bersifat umum; baik bentuk pemberiannya (yang disedekahkan) maupun kepada siapa “sedekah” tersebut disampaikan.  Dengan kata lain, sedekah tidak hanya berupa uang/harta, tapi bisa juga dalam bentuk lain sebagaimana yang  tersirat dan tersurat dalam sabda Rasulullah SAW dalam hadis beliau:

“Tiap persendian manusia ada kewajiban sedekah untuknya; Pada tiap hari dimana matahari terbit; Mendamaikan dua orang yang bermusuhan dengan adil berarti sedekah; dan membantu orang di atas kendaraannya (mengajak orang lain untuk ikut menumpang kendaraan kita/red.) berarti sedekah; Menaikkan atau mengangkatkan barangnya juga sedekah; dan kalimat yang sopan itu juga sedekah; dan tiap langkah untuk sholat (ke masjid atau surau/red.) juga sedekah dan menghilangkan gangguan dari jalan umum juga sedekah.” (Diriwayatkan Bukhary dan Muslim dari Abu Hurairah r.a)

Melalui penjelasan ringkas di atas barangkali kita sudah bisa memahami ; Apa dan bagaimana yang selama ini kita sebut sebagai  “infaq dan sedekah”. Jadi sesungguhnya jika selama ini kita sering mendengar ada orang yang memberikan sejumlah uang atau barang untuk Masjid misalnya, maka kendati tak dapat dibilang salah; Rasanya kalimat “berinfaq untuk Masjid” kuranglah tepat rasanya untuk digunakan. Agaknya lebih tepat kita sebut sebagai sedekah; sumbangan atau mungkin saja waqaf untuk sesuatu yang terus menerus dapat digunakan oleh Masjid yang menerima. Akan tetapi hal ini terpulanglah pada diri kita masing-masing, untuk menilai mana yang tepat dan yang sesungguhnya dapat digunakan. Sebab dalam hal ini dan pada masa-masa sekarang ini, yang jadi masalah bukanlah  makna dari infaq; sedekah; zakat  dan atau apa saja yang kita sebutkan; Yang lebih penting lagi untuk kita pahami dan laksanakan; Bagaimana seharusnya  kita melaksanakan perintah Allah SWT dan rasul-Nya untuk mengeluarkan sebahagian dari harta benda yang dianugerahkan-Nya kepada kita bagi kemaslahatan agama dan umat Islam secara menyeluruh. Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 7 Jumadil Awal 1433 H / 30 Maret 2012
KH.BACHTIAR AHMAD

Monday 26 March 2012

TANGGUNG JAWAB ATAS NIKMAT ALLAH


oleh: KH.BACHTIAR  AHMAD
========================
Suatu ketika  tengah hari di  Madinah, matahari bersinar terik dengan panas yang sangat menyengat, banyak penduduk yang lebih memilih beristirahat dan tidur siang di rumah mereka masing-masing. Ketika itulah Abu Bakar As-Shiddiq r.a keluar rumah dengan agak sempoyongan menuju masjid. Sejenak kemudian setelah Abu Bakar menyandarkan punggungnya di dinding masjid, Umar bin Khattab r.a datang; juga dengan langkah yang agak sempoyongan. Dan ketika ia melihat Abu Bakar, Umar bertanya: “Wahai Abu Bakar, apa yang menyebabkan engkau keluar pada siang yang panas ini?”

Sambil tersenyum Abu Bakar menjawab: “Wahai Umar, aku keluar karena desakan lapar lantaran sejak pagi belum ada sesuatu yang masuk ke perutku.”  

Mendengar itu Umar menimpali ucapan Abu Bakar dan berkata: “Demi Allah, yang diriku ada di tangan-NYA; akupun terpaksa keluar karena lapar.” Kemudian Umar duduk di sebelah Abu Bakar.

Tak lama kemudian Rasulullah SAW datang dan bertanya kepada mereka: “Mengapa keluar pada waktu seperti ini.”

Dan nyaris serentak keduanya menjawab: “Ya Rasulullah, rasa lapar yang memilin perut kamilah yang membuat kami berada di sini.”

Rasulullah SAW tersenyum dan berujar kepada mereka: “Demi DIA yang mengutusku dengan kebenaran, akupun keluar karena sebab yang sama. Bangunlah kalian, mari kita pergi ke rumah Abu Ayyub al-Anshari.”

Sesampainya di rumah Abu Ayyub, Rasulullah dan sahabat beliau disambut oleh isteri Abu Ayyub al-Anshari: “Selamat datang ya Nabiyallah dan juga orang-orang yang bersamanya.”

“Kemana Abu Ayyub”, Rasulullah bertanya kepada orang yang menyambut mereka.

“Wahai Rasulullah, Abu Ayyub sedang keluar sebentar untuk suatu keperluan. Insya Allah sebentar lagi akan pulang.” Dan memang, beberapa sa’at kemudian Abu Ayyub pulang, dan dengan rasa girang yang teramat sangat Abu Ayyub mempersilahkan Rasulullah SAW dan kedua sahabat beliau untuk masuk dan duduk di dalam rumahnya.

Untuk menjamu tamunya, Abu Ayyub al-Anshari lalu menyembelih se-ekor kambing muda; setengahnya dimasak dan setengahnya lagi dipanggang. Dan ketika Abu Ayyub menghidangkan satu tangkai kurma Rasulullah SAW berkata kepada Abu Ayyub: “Hai Abu Ayyub, untuk apa engkau memotong setangkai kurma, padahal yang mau diambil hanya buahnya.”

Abu Ayyub menjawab: “Wahai Rasulullah, saya ingin engkau makan kurma; baik yang masih muda mau pun yang sudah matang.”  Dan Rasulullah SAW hanya tersenyum mendengar penuturan Abu Ayyub.

Sa’at Abu Ayyub menghidangkan kambing yang sudah masak, beliau berkata: “Hai Abu Ayyub, tolong engkau berikan apa yang kau hidangkan ini kepada puteriku Fatimah, sebab sudah beberapa hari ini ia tidak memperoleh makanan seperti ini.”  Dan oleh karena hidangan itu cukup banyak, maka Abu Ayyub mengantarkan sebahagiannya kepada Fatimah sebagaimana yang diminta oleh Rasulullah SAW.

Rasulullah bersama Abu Bakar dan Umar menyantap hidangan yang disuguhkan Abu Ayyub al-Anshari sampai mereka merasa kenyang. Dan dengan air mata yang tergenang di pelupuk mata beliau, Rasulullah menyebutkan makanan yang telah mereka santap: “Roti, daging kambing, kurma matang dan kurma muda.” Lalu beliau bersabda: “Demi diriku yang ada di tangan-NYA, inilah nikmat yang akan diminta pertanggunganjawabnya di hadapan Allah nanti pada hari kiamat.”  Kemudian beliau lanjutkan dengan membaca ayat terakhir dari surah At-Takatsur:

“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu peroleh pada hari ini)” (Q.S.At-Takatsur: 8)

Wallahua’lam

(Dipetik dan diedit dari terjemahan Al-Washaya
 karya Abu Abdillah al-Harits ibnu Asad al-Muhasibi rhmlh)

Bagansiapiapi,   3 Jumadil  Awal  1433 H /  26  Maret  2012.
KH.BACHTIAR  AHMAD

Thursday 22 March 2012

PULAU “TUAN SYEH”: Di antara sejarah dan legenda


oleh: KH.BACHTIAR  AHMAD
========================
 TENTANG PULAU TUAN SYEH.
Sa’at ini pulau yang terletak di tengah (muara) Sungai Rokan (Riau) itu disebut sebagai “Pulau Pedamaran” yang tumbuh dan menjadi besar dari sebuah “pulau kecil” yang dulunya disebut orang sebagai “Pulau Tuan Syeh”.

Disebut sebagai “Pulau Pedamaran”, konon pada masa lampau banyak orang yang mencari/mengambil “getah” dari pohon “damar” yang tumbuh di pulau tersebut. Sementara disebut “Pulau Tuan Syeh” karena dulunya ketika masih merupakan pulau kecil, ada seseorang yang disebut sebagai “Tuan Syeh/Syaikh” membuat “kolam ikan”, dan sekaligus menjadikan pulau tersebut sebagai tempat memelihara dan menjinakkan “buaya” sungai Rokan yang terkenal ganas, agar tidak mengganggu penduduk yang tinggal di sekitar perairan sungai Rokan. Sehingga pada akhirnya selain pulau itu sendiri disebut sebagai “pulau Tuan Syeh”, maka “buaya-buaya” yang ada di sekitar pulau tersebut disebut juga sebagai “buaya tuan syeh”.

Pada awalnya pulau “Pedamaran” atau pulau “Tuan Syeh” tersebut adalah sebuah “delta atau pulau kecil ” yang  terletak di antara desa “Suak Air Hitam dan Sungai Sialang”. Kemudian lantaran terjadinya reklamasi  alamiah, pulau  tersebut semakin membesar dan memanjang ke arah muara sungai Rokan sebagaimana yang kita jumpai sekarang ini.


SIAPA TUAN SYEH (SYAIKH) YANG SEBENARNYA.
Banyak orang yang menduga, bahwa yang disebut sebagai “Tuan Syeh” tersebut adalah “almarhum Tuan Syaikh Zainuddin”  salah seorang ulama yang banyak memiliki “karomah” di masa hidupnya,  yang berasal dari Tanah Putih (Tanjung Melawan), yang secara geografis memang terletak di Sungai Rokan. Dan konon ketika masih bolak-balik berlayar dari Tanah Putih ke Bagansiapiapi, pulau kecil itulah tempat persinggahan beliau. Dan dalam masa-masa persinggahan itulah beliau memelihara ikan (membuat kolam ikan) dan juga memelihara beberapa ekor buaya untuk menjaga kolam yang dibuatnya.

Akan tetapi ketika saya belajar kepada “Syaikh Maulana Ubaidillah Sholihin”, dan karena keingin tahuan yang besar, saya meminta beliau menelusuri dan mencari tahu siapa “Tuan Syeh” tersebut dengan jalan “barzakh” melalui “dzikrullah”,  maka beliau menyebutkan bahwa yang disebut sebagai “Tuan Syeh” tersebut bukanlah “Syaikh Zainuddin”, akan tetapi seorang ulama yang beliau sebut bernama/bergelar “Syaikh Marhum Koto Tujuh”.

SIAPA “SYAIKH MARHUM KOTO TUJUH.”
Menurut keterangan guru saya, “Syaikh Marhum Koto Tujuh” adalah ulama yang berasal dari “Kerajaan Siak” yang telah mendapat restu Sultan Syarif Hasyim (ayah Sultan Syarif Kasim II) untuk berdakwah mensyiarkan Islam di (bagian hilir) Sungai Rokan.

Pada awalnya beliau adalah salah seorang “pengasuh/guru mengaji” dari Sultan Syarif Kasim II (lahir tahun 1893) ketika masih kanak-kanak. Lalu ketika Sultan Syarif Kasim II beranjak dewasa dan berangkat belajar ke Makkah,   Syaikh Marhum Koto Tujuh mohon izin kepada Sultan Syarif Hasyim untuk berdakwah / mensyiarkan Islam di (wilayah hilir) Sungai Rokan, yang konon ketika itu    banyak penduduknya yang masih mencampur adukkan ajaran Islam dengan paham “animisme”.


Diperkirakan di seputar tahun 1905-1907; Setelah mendapat izin dan restu dari  Sultan Syarif Hasyim, maka bersama isteri dan ketiga anaknya (2 perempuan dan 1 laki-laki), Syaikh Marhum Koto Tujuh berangkat ke Sungai Rokan dan memilih untuk menetap di “Suak Air Hitam”, yang konon pada masa itu adalah sebuah “Bandar” atau “Pelabuhan” yang cukup ramai dan tempat penimbunan hasil hutan yang akan dibawa/dijual oleh para pedagang; baik ke Bagansiapiapi maupun ke daerah lainnya.

Syaikh Marhum Koto Tujuh tinggal dan menetap di Suak Air Hitam kurang lebih 3-5 tahun, dan pada masa-masa itulah beliau membuat kolam ikan dan menjinakkan buaya sungai Rokan di pulau kecil yang terletak di tengah-tengah sungai Rokan antara Suak Air Hitam dan Sungai Sialang tersebut, yang pada akhirnya pulau tersebut disebut sebagai “Pulau Tuan Syeh” dan buaya-buaya yang beliau jinakkan disebut-sebut sebagai “buaya Tuan Syeh”. Sebab buaya-buaya tersebut dengan “izin Allah” menjadi jinak di tangan beliau.

Setelah beberapa tahun di Suak Air Hitam dan karena anak-anak perempuannya sudah menikah, Syaikh Marhum Koto Tujuh meyeberang dan pindah ke Sungai Sialang dan wafat serta dimakamkan disana (Sungai Sialang)

Tahun 1997 saya pernah menelusuri jejak sejarah Syaikh Marhum Koto Tujuh di Sungai Sialang, dan oleh salah seorang “orang tua” yang saya temukan (beliau sudah meninggal dunia), saya ditunjukkan bekas tapak rumahnya  dan juga sebuah sumur yang masih bersih airnya. Dan  riwayat tentang “Syaikh Marhum Koto Tujuh” ini sempat pula saya ceritakan kepada beberapa orang teman di Bagansiapiapi, di antara mereka mengaku pernah mendengar riwayat ini dari beberapa orang tua di kampungnya. Mereka merasa bahwa riwayat itu ada benarnya, walaupun tak bisa membuktikan kebenarannya.

Mudah-mudahan informasi ini bisa dimanfaatkan dalam menelusuri “jejak sejarah” yang ada di seputar wilayah sungai Rokan, mengingat begitu banyaknya “catatan” sejarahnya yang tidak pernah dicatat dan tercatat; sementara jika adapun “situs-situs” berharga dari sejarah masa lampau banyak dirusak oleh masyarakat; bahkan tak sedikit pula situs sejarah (khususnya yang di Bagansiapiapi) yang sengaja dihancurkan/dihilangkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Rokan Hilir dengan alasan “pembangunan” yang lebih modern. Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 27 Rabi’ul Akhir 1433 H / 21  Maret  2012.
KH.BACHTIAR  AHMAD

Monday 19 March 2012

NILAI KESABARAN: Sebuah Jawaban


oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
=======================
Seseorang bertanya: “(1) Manakah yang lebih baik; sabar terhadap cobaan (musibah) atau terhadap kenikmatan (harta benda). (2) Manakah yang lebih sempurna kesabaran Nabi Yusuf a.s menghadapi fitnah dan dipenjarakan atau kesabaran Nabi Ayyub a.s yang kehilangan kesehatan; harta dan anak-anaknya.  (3) Manakah yang lebih baik dan sempurna kesabaran Nabi Yusuf a.s ketika dimasukkan ke dalam sumur atau ketika dipenjarakan. (4) Manakah yang lebih tinggi derajatnya sabar dalam keta’atan atau sabar dalam menahan diri dari kemaksiatan?”

Kalau kita mengacu pada apa yang telah dijelaskan Allah SWT di dalam Kitab-NYA (Al-Qur’an), maka “sabar” ketika ditimpa musibah atau “sabar” ketika diberi kenikmatan; baik “sabar” dalam hal menjalankan keta’atan ataupun “sabar” dalam menahan diri dari berbuat maksiat, ataupun  “sabar” yang lainnya sebagaimana pertanyaan di atas, maka nilainya tetap sama dalam pandangan Allah SWT. Sebab tidak ada satu ayat atau dalilpun yang secara khusus menyebutkan, bahwa kesabaran yang satu adalah lebih baik dan lebih sempurna dari kesabaran yang lainnya. Untuk itulah Allah SWT berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS.Ali ‘Imran: 200)

Syaikh Abdullah Al-Ghazali menjelaskan, bahwa melalui ayat di atas, secara umum Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk selalu sabar dan menguatkan kesabaran yang telah ada  dalam segala persoalan hidup yang mereka hadapi, dan senantiasa waspada terhadap segala macam kemungkinan yang bisa menjadikan mereka putus asa dan kehilangan kesabaran. Dan secara khusus beberapa diantaranya dijelaskan Allah SWT  dengan firman-Nya:

1. Dalam hal musibah atau cobaan/ujian hidup dan keimanan:

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. //  (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali)” // Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”  (QS.Al-Baqarah: 155-157)

2. Dalam hal melaksanakan perintah atau keta’atan kepada Allah SWT:

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaa-Haa: 132) 

Kalaupun mau dilihat nilai kesabaran yang mana yang paling tinggi dan yang  lebih utama, maka boleh jadi “ bersabar pada saat mendapat musibah” adalah hal yang paling utama untuk dilakukan seseorang di dalam kehidupannya. Hal ini dimungkinkan dengan adanya firman Allah SWT tentang keadaan nabi Ayyub a.s sebagaimana firman-Nya:

“Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat ta’at (kepada Tuhan-nya). (QS.Shaad: 44)

Akan tetapi menurut Al-Ghazali pujian Allah kepada  Nabi Ayyub a.s tersebut tidaklah semata-mata karena kesabarannya dalam menerima dan menghadapi musibah yang diujikan Allah kepada beliau, tapi juga meliputi kesabaran atas tetap ta’atnya Ayyub a.s  beribadah sekalipun beliau dalam kondisi sakit parah.

Al-Ghazali menjelaskan, bahwa nilai lebih atau tinggi maupun rendahnya derajat kesabaran yang dimiliki seseorang sebenarnya terletak pada sikap diri seseorang ketika menerima ujian dari Allah SWT; baik ujian dalam bentuk musibah maupun dalam bentuk kesenangan hidup. Begitu juga kesabarannya dalam melaksanakan perintah Allah ataupun meninggalkan semua larangan-Nya. Sebab secara umum makna kesabaran itu (menurut syariat) adalah: “Sikap teguh dan tahan (hati) seseorang dalam menghadapi pengaruh yang ditimbulkan oleh hawa nafsu berdasarkan keyakinannya atas hak-hak Allah SWT pada hamba-hamba-Nya; Khususnya sikapnya dalam menentang kehedak hawa nafsu yang dapat menjerumuskannya kepada murka Allah, baik dalam keadaan senang maupun susah; dalam menjalankan perintah maupun meninggalkan apa yang dilarang-Nya.”
Jadi dengan mengacu pada beberapa penjelasan ringkas di atas, maka untuk  pertanyaan yang diajukan sebagaimana yang telah dituliskan di awal tulisan ini, “jawabannya” hanya ada dalam pengetahuan Allah SWT “Yang Maha Sabar”.

Kalaupun ada nilai lebih antara satu dengan yang lainnya, maka hal itu tergantung dari sisi mana kita melihat dan memahaminya. Hal ini tentunya tak perlu dijadikan bahan perdebatan, sebab  yang terpenting dan yang paling utama untuk kita sikapi dalam hidup ini adalah, bagaimana kita berlaku sabar dan berupaya memperkuat kesabaran diri dalam semua hal yang telah ditetapkan dan ditentukan Allah SWT ke atas diri kita. Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 25 Rabi’ul Akhir 1433 H / 19  Maret  2012
KH.BACHTIAR AHMAD

Friday 16 March 2012

BISA BERUBAH MENJADI SUAP


Suatu hari Khalifah Umar ibni Abdul Aziz menerima hadiah berupa “apel Libanon”  Lantaran sudah lama mengidamkannya, maka Umar berhasrat untuk segera memakannya. Akan tetapi tiba-tiba saja, setelah apel tersebut dekat ke mulutnya, apel itu dikembalikan ke tempat asalnya dan dikembalikannya pula kepada orang yang memberikan apel tersebut.

Dengan  perasaan heran si pemberi hadiah bertanya kepada sang Khalifah: “Wahai khalifah, mengapa tuan menolak hadiah dari kami ini. Bukankah Rasulullah SAW juga menerima dan memakan hadiah yang beliau terima ?”

Sang khalifah pun menjawab: “Wahai sahabat, hadiah yang diterima Rasulullah SAW jelas kehalalannya dan beliau mengetahui hal itu dengan amat pasti atas petunjuk Allah. Sedangkan hadiah yang saya terima belum tentu demikian adanya. Sebab suatu ketika hadiah tersebut bisa berubah menjadi barang suapan; karena sudah termakan budi baiknya, maka sebagai khalifah aku bisa mengabulkan  sesuatu keperluannya. Padahal menurut hukum hal itu sangatlah dilarang, karena segala sesuatunya hendaklah karena Allah, bukan karena hadiah.”  Wallahua’lam.

(dipetik  dan di edit dari terjemahan Kisah-kisah Teladan)

Bagansiapiapi,    22 Rabi’ul Akhir 1433 H  /  16  Maret  2012
KH.BACHTIAR AHMAD

Tuesday 13 March 2012

NASIHAT GURUKU: “Yang ke-lima”


Anakku, jika engkau menghendaki dirimu menjadi orang yang beriman; bertakwa dan bertawakkal serta yakin pada Allah Ta’ala, maka hendaklah engkau bersikap sabar. Sebab sabar adalah dasar utama dari setiap kebaikan yang dilakukan seorang hamba.

Hendaklah engkau bersabar semata-mata karena Allahu Azza Wa Jalla, sebab hal yang demikian inilah yang akan menbuat hatimu masuk dalam kecintaan dan selalu dekat dengan-NYA; baik di dunia maupun di akhirat kelak sebagaimana firman-NYA:

“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153)

Ingatlah anakku, di antara makna sabar itu adalah; menyesuaikan diri dengan kehendak Allah; baik dalam “ikhtiyar” atau sesuatu yang engkau usahakan, maupun dalam “idhtirar”  atau apa-apa yang tidak dapat engkau usahakan.

Anakku, adapun sabar atau kesabaran itu adalah karunia Allah yang paling utama kepada hamba-hamba-NYA sebagaimana yang disabdakan oleh Baginda Rasulullah SAW:

“Dan tiada seorangpun yang mendapat karunia Allah yang lebih baik atau sebaik dari kesabaran.” (HR.Mutafaq ‘alaihi dari Abu Sa’id Al-Khudry r.a)

Adapun yang disabdakan oleh Rasulullah SAW sangatlah bersesuaian dengan janji Allah Ta’ala sebagaimana firman-NYA:

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan, dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)

Wallahua’lam

(dinukil dan diedit dari HALAQAT AS-SALIKIN karangan SYAIKH ABDULLAH FATHURRAHMAN )

Bagansiapiapi,   19  Rabi’ul Akhir  1433 H /    13  Maret  2012
KH. BACHTIAR AHMAD

Sunday 11 March 2012

MUTIARA HIKMAH: 4


Siapa yang menundukkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan, menahan diri dari nafsu, mengisi bathinnya dengan pengawasan Allah dan lahiriahnya mengerjakan apa yang ditetapkan oleh As-Sunnah; serta selalu berupaya mengisi perutnya dengan yang halal, maka firasatnya tidak akan meleset. (Syah Al-Karmany rhmlh)  
Diantara anugerah Allah yang paling berharga adalah ridha dengan ketentuan Allah; sabar menerima cobaan; tawakkal kepada-NYA ketika menghadapi kesulitan; serta kembali kepada-NYA sa’at ditimpa bencana. (Abu Hasan As-Syadzili rhmlh)  
Siapa yang mengenal dirinya hina; tidak berdaya dan adalah makhluk yang papa; maka ia akan mengenal Tuhannya (Allah) dengan segala kemuliaan-NYA dan kekayaan-NYA. (Abu Abbas al Mursi rhmlh)  
Pada hakikatnya, hati yang mencintai dikuasai oleh yang dicintainya. Kehendaknya adalah kehendak yang dicintainya; Maka waspadailah dirimu dari syirik, jika engkau mencintai makhluk ciptaan-NYA. (Abu Hasan As-Syadzili rhmlh)  
Diantara tanda-tanda seseorang mendapat hidayah dan inayah (pertolongan) dari Allah adalah; jujur pada diri sendiri; bersegera mengingat-Allah ketika ingin melakukan sekecil apapun kejahatan dan segera meninggalkan perbuatan itu; serta senantiasa menampakkan perasaan lemah; hina dan papa dihadapan Allah. (Ibnu Ath-Thaillah al Askandari rhmlh)   
Janganlah engkau mengira bahwa sepuluh bahkan seribu dirham yang kau berikan kepada seseorang adalah jumlah yang banyak. Sebab Allah sendiri tidak pernah merasa puas telah memberikan surga kepada hamba-NYA, sehingga pada akhirnya Allah SWT memberi kesempatan kepada hamba untuk melihat Wajah-NYA.
(Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a)   

(dinukil dan di-edit dari  berbagai sumber)
Bagansiapiapi,   17  Rabi’ul Akhir  1433 H /   11  Maret  2012
KH.BACHTIAR AHMAD

Friday 9 March 2012

HAKIKAT KESEJATIAN CINTA


oleh: KH. BACHTIAR AHMAD
=======================
“Rasa cinta pasti ada pada makhluk yang bernyawa; Sejak lama sampai kini tetap suci dan abadi; Takkan hilang selamanya sampai datang akhir masa; Perasaan insan  sama; ingin cinta dan dicinta; Bukan ciptaan manusia; tapi takdir Yang Kuasa…”

Anda; saya dan kita semua tentu sudah  banyak yang mengenal, bahkan hafal  bait-bait  kalimat di atas, yakni penggalan lagu “Renungkanlah” yang dinyanyikan sendiri oleh penciptanya; almarhum Mashabi” yang sejak awal 1960 hingga sekarang tetap populer di tengah-tengah kehidupan kita.  Dan tentu saja “curhat” yang terkandung dalam lagu tersebut adalah sesuatu yang benar. Sebab secara tersirat dan tersurat hal itu telah ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya:

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang di-ingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”  (Q.S.Ali ‘Imraan: 14)

Walaupun ada yang memandangnya dengan “sinis” dan menganggapnya “negatif”, maka sesungguhnya  “hakikat” cinta adalah sesuatu yang “positif”, karena cinta  bisa menumbuhkan semangat kehidupan serta kreatifitas pelaku cinta. Apalagi bagi orang dan kalangan tertentu yang memandang cinta sebagai sesuatu yang suci dan tidak memaknai cinta dengan kata “harus memiliki” sebagaimana yang dikatakan oleh As-Syaikh Abdullah Al-Ghazali:

“Hakikat cinta yang sesungguhnya bukanlah memiliki apa yang dicintai; akan tetapi bagaimana selalu merasa bersama dan tetap ingin bersama yang dicintai; dan selalu menghadirkan yang dicintai di dalam jiwa; melaksanakan semua yang di-inginkan sang kekasih dan menolak semua yang dibenci olehnya.”

Selanjutnya dengan mengutip apa yang ditulis oleh “Erich Fomm”  seorang psikolog Jerman dalam bukunya The Art of Love”, maka cinta yang tulus dan benar itu sekurang-kurangnya  harus memiliki empat (4) unsur sebagai “hakikat kesejatian cinta”. Jika unsur cinta yang ada kurang dari 4(empat) hal tersebut, maka cinta yang dimiliki oleh seseorang tidaklah dapat disebut sebagai “cinta sejati”.

Yang pertama adalah “knowledge” atau pengetahuan tentang apa yang dicintanya.
Dalam hal ini jika kita mecintai seseorang, maka kita harus mengenal betul apa dan siapa yang kita cintai. Tujuannya adalah, agar tidak pernah merasa menyesal dikemudian hari atas segala sesuatu  yang  datang  dari “ kekasih hati.” Baik berupa permintaannya maupun penolakannya terhadap sesuatu. Dalam istilah agama (Tauhid) keadaan ini disebutkan dengan istilah “awaluddin ma’rifatullah” yang secara umum bermakna: “hal yang pertama sekali dalam agama adalah mengenal Allah”.

Yang kedua  adalah “care”. Yaitu tumbuhnya perhatian kepada yang kita cintai. Sebab bagaimanapun juga seseorang haruslah memberikan perhatian yang lebih kepada yang dicintainya, sehingga dengan perhatian yang lebih tersebut akan lebih mudah baginya untuk menolong yang dicintainya dalam berbagai hal. Dalam hal ini “care” kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad SAW) adalah dengan cara memperhatikan dan memahami  hal-hal apa saja yang diridhai dan yang dimurkai oleh Allah dan Rasul-Nya, dengan tujuan untuk menumbuhkan semangat dan keinginan  melaksanakan apa-apa yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya secara terus menerus (istiqomah) sesuai aturan yang telah ditetapkan untuk itu.

Yang ketiga adalah  “respect”. Yakni adanya rasa hormat kepada yang dicintai. Artinya adalah, mencintai haruslah disertai dengan rasa hormat kepada yang dicintai, sebab rasa hormat inilah yang akan menumbuhkan sifat kehati-hatian dalam berbuat, agar tidak mengecewakan  kekasih yang dicintai.  

Yang ke-empat adalah “responbility”; Yakni merespon apa yang dikatakan “sang kekasih” untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab sebagai bukti cinta dan kasihnya pada yang dicintai. Dan jika hal ini dikaitkan dengan “cinta kepada Allah dan Rasul”; maka seseorang yang mengaku beriman  harus benar-benar melaksanakan apa yang diperintahkan sesuai dengan kapasitas atau kemampuan yang ia miliki dengan prinsip    “lillaahi ta’ala” dengan pengertian; apa yang dilakukan adalah semata-mata karena cinta dan tidak berharap pada pamrih-NYA.  
 
Mudah-mudahan catatan singkat ini membuka wawasan kita dan akan memberikan pemahaman yang lebih baik agar cinta kita kepada Allah dan Rasul-NYA benar-benar merupakan cinta yang utuh dan sejati; tidak berbagi sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam firman-NYA:

“Katakanlah: “Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”  (Q.S. At-Taubah: 24)  Wallahua’lam.

Bagansiapiapi,   14 Rabi’ul Akhir  1433  H /  8  Maret  2012
KH. BACHTIAR AHMAD

Friday 2 March 2012

IBADAH: Fitrah Manusia


oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================
Syaikh Abdullah Al-Ghazali menjelaskan, bahwa “ibadah” di dalam kehidupan manusia bukanlah sesuatu “yang diperintahkan”, melainkan adalah bagian dari “fitrah” manusia itu sendiri, sekalipun dalam realitasnya Allah SWT telah menyatakan bahwa manusia memang diperintahkan untuk beribadah dan diciptakan untuk beribadah sebagaimana firman-Nya:

“Wahai sekalian   manusia, sembahlah Tuhan-mu yang telah menciptakan-mu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” ( Q. S.  Al-Baqarah :  21 )

Syaikhul Islam “Ibnul Qayyim”  mengatakan, bahwa kata “Ya ayyuhannaas” yang berarti “Wahai sekalian manusia”  yang Allah jadikan sebagai awal dari ayat 21 surah Al-Baqarah di atas adalah merupakan sebuah prinsip “ibadah” yang berlaku umum untuk seluruh manusia sebagai penjabaran lebih lanjut dari firman Allah SWT:

“dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka (beribadah) menyembah-KU.” (Q.S. Adz-Dzariyaat: 56)

Jadi masalah  beribadah kepada Allah SWT adalah sesuatu yang universal atau bersifat umum bagi seluruh manusia dari bangsa manapun ia dilahirkan. Dan inilah hakikat ibadah yang sesungguhnya dalam kehidupan manusia. Artinya ialah bahwa “ibadah adalah bagian dari fitrah manusia” itu sendiri, yang ada dan dibawa oleh manusia sejak mula pertama diciptakan dan dilahirkan. Bukan sesuatu yang datang kemudian, yang diajarkan dalam proses pertumbuhannya. Dan inilah penjabaran dari hakikat “kenalnya” manusia dengan “Sang Pencipta” sebelum mereka dikeluarkan dari “rahim” sang bunda ke dunia yang fana ini sebagaimana yang dinyatakan Allah SWT dengan firman-Nya:

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?”; mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (Q.S. Al-A’raaf: 172)

Adapun dengan diutusnya para Nabi dan Rasul oleh Allah SWT kepada manusia untuk mengajak dan mengajarkan manusia beribadah atau menyembah Allah, hanyalah dimaksudkan   untuk menata  pelaksanaan ibadah tersebut  dalam suatu aturan yang jelas dan terarah, memiliki pola keseragaman, agar tidak timbul kerancuan bagaimana beribadah dan menyembah Allah antara satu dengan yang lain. Sedangkan hakikat atau tujuan utama ibadah itu sendiri adalah; untuk mengantarkan manusia ke arah keselamatan hidup dunia dan akhirat. Sebab “inti dari ibadah” yang wajib dilakukan oleh seluruh manusia adalah keselamatan bagi manusia itu sendiri.

Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa ibadah itu adalah bagian dari fitrah manusia tersebut, adalah sebagaimana yang kita lihat dalam sejarah perkembangan manusia itu sendiri, yang dala hal ini  sebelum sampai kepada mereka para Nabi dan Rasul yang diutus Allah SWT atau ajaran yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul tersebut sampai kepada mereka, maka manusia selalu beribadah atau menyembah “Tuhan” yang mereka yakini keberadaan-NYA dengan interpretasi masing-masing. Ada  yang menyembah batu; pohon kayu; berhala atau patung yang mereka buat sendiri dan lain sebagainya.

Bertentangan dengan fitrah itu sendiri, manusia boleh-boleh saja berupaya untuk meniadakan  atau mengingkari keberadaan “Tuhan” yang menciptakan dirinya. Akan tetapi lantaran adanya fitrah ibadah di dalam dirinya, maka  sejauh manapun ia berusaha untuk tidak mengakui eksistensi Tuhan dalam kehidupannya, maka suatu ketika; Baik secara sadar atau tidak, manusia pasti membutuhkan pertolongan Tuhan, yang antara lain keadaan ini ditegaskan Allah di dalam Al-Qur’an:

“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia (Allah), maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. dan manusia itu adalah selalu tidak berterima kasih.” (Q.S. Al-Isra’: 67)

Ibadah dalam pengertian khusus memang memiliki suatu bentuk atau tata cara penyembahan kepada  Allah SWT. Akan tetapi dalam pengertian umum ibadah adalah suatu kewajiban bagi manusia untuk tunduk dan mematuhi perintah Tuhan untuk keselamatan manusia itu sendiri. Oleh sebab itulah  dengan menyimak dan memperhatikan beberapa keterangan di atas, maka sudah selayaknyalah sebagai seorang mukmin atau muslim, kita berkewajiban untuk memelihara “fitrah diri” tersebut dengan sebai-baiknya dengan cara melaksanakan apa-apa yang telah diperintahkan dan meninggalkan apa yang telah dilarang oleh Allah SWT dan Rasul-Nya untuk dan demi keselamatan diri sendiri.
Satu hal yang patut dikethui dan kita yakini adalah, bahwa  ketika Allah memerintahkan kita untuk beribadah dan menyembah-NYA, maka hal itu tidak akan membuat Allah Azza Wa Jalla akan  semakin Agung dan Mulia. Atau sebaliknya, ketika kita enggan menyembah dan beribadah kepada-NYA; tidaklah akan membuat Allah SWT menjadi kecil dan terhina.  Sebab sejak awal ALLAH memang sudah Maha Agung dan Maha Mulia; tidak ada sesuatupun yang dapat mengecilkan atau membesarkan Allah Yang Maha Besar selain dari Allah sendiri. Karenanya ibadah yang engkau lakukan hanyalah untuk membesarkan dan memuliakan dirimu sendiri. Wallahua’lam.

Bagansiapiapi,  7  Rabi’ul Akhir  1433 H  /  01  Maret  2012
KH.BACHTIAR  AHMAD

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.