Friday 29 June 2012

NIKAH OH NIKAH…


oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
=====================
Syaikh Abdullah Al-Ghazali menyatakan, bahwa “menikah” itu adalah salah satu kewajiban yang ditetapkan Allah SWT secara bersyarat kepada setiap orang yang beriman; baik laki-laki maupun perempuan; baik atas kehendaknya sendiri maupun atas dorongan atau bantuan orang-orang yang mampu  membantu adanya satu pernikahan antara seorang l;aki-laki dan perempuan sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam firman Allah SWT:
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak menikah dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.”  (Q.S. An-Nuur: 32)  

Jadi bukan hanya sekadar “sunnah Nabi SAW” sebagaimana yang ditafsirkan  orang dari sabda Rasulullah SAW  dalam satu hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Hai kaum pemuda, apabila di antara kalian kuasa untuk nikah (berumah tangga), maka hendaklah ia nikah. Sebab pernikahan lebih kuasa untuk menjaga mata dan kemaluan; Maka barangsiapa yang tidak kuasa hendaklah ia puasa, sebab puasa itu penjaga baginya.”  (Muttafaq ‘alaihi)

Syaikh Abdullah Al-Ghazali juga menjelaskan bahwa, masalah wajibnya menikah atau kawin sebagaimana yang diperintahkan Allah tersebut terletak pada urgensinya sebuah pernikahan dari segi manfaat dan kemaslahatannya; baik bagi orang yang nikah maupun bagi kepentingan masyarakat banyak, terutama dalam hal mecegah terjadinya dan berkembangnya perbuatan zina sebagaimana firman Allah SWT:

“Dan janganlah kalian mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang kej; Dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S Al-Israa’: 32) 

Sehingga dengan kondisi ini yang demikia inilah kewajiban itu tidak hanya ditunaikan oleh orang-orang yang sudah sanggup menikah, akan tetapi juga bagi orang-orang yang memiliki kemampuan finansial atau yang berharta banyak untuk membantu menikahkan ahli keluarga dan budak-budak yang mereka miliki, jika mereka memang sudah layak untuk menikah atau dinikahkan sebagaimana yang diperintahkan oleh ayat 32 surah An-Nuur di atas.

“Masalah nikah” di masa sekarang ini tentunya harus mendapat perhatian yang lebih besar dari kita semua. Sebab dalam era globalisasi dan  perkembangan teknologi dunia yang semakin canggih, banyak hal dan peluang yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan perzinahan. Karenanya jika kita memang punya kemampuan untuk “menikahkan”  sebagaimana yang diperintahkan Allah di dalam firman-Nya tersebut, maka alangkah baiknya jika hal itu kita laksanakan sebagai upaya untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT.  Sebab tak sedikit di antara kita yang entah disadari atau tidak telah menjadi penghambat dari pelaksanaan sunnatullah tersebut. Terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan masalah adat istiadat  dan gengsi diri.

Dalam kehidupan masyarakat kita sekarang ini, yang menjadi hambatan terparah dari kemungkinan dapat dilaksanakannya sebuah pernikahan adalah adanya pandangan atau  adat istiadat yang memandang   “kesakralan dan keistimewaan” suatu acara pernikahan secara berlebih-lebihan; apalagi jika hal itu dikaitkan dengan  “marwah keluarga”. Sehingga adakalanya pernikahan bisa ditunda atau dibatalkan lantaran tidak terpenuhinya syarat-syarat yang berkaitan dengan persoalan adat dan marwah tersebut.  Padahal syariat (hukum agama) tidaklah menetapkan hal-hal yang demikian; dan Rasulullah SAW sendiri telah memberi contoh terbaik untuk persoalan ini.

Al-Hakim meriwayatkan dari Sahal bin Sa’ad r.a bahwa :  “Sahal bin Sa’ad menyatakan bahwa; Rasulullah SAW pernah menikahkan seseorang dengan sebuah cincin besi sebagai mahar (mas kawinnya).” 
(HR. Al-Hakim r.a)

Dan menurut riwayat yang lain, orang yang dimaksudkan Sahal bin Sa’ad dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hakim tersebut adalah mahar pernikahan yang diberikan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a kepada Fatimah binti Rasulullah SAW.

Dalam satu hadis lainnya  itu Bukhari dan Muslim meriwayatkan pula dari Anas bin Malik r.a yang  berkata:

“Bahwa Rasulullah SAW telah tinggal (berdiam) di antara Khaibar dan Madinah selama tiga malam dan dalam pada itulah beliau menikahi Shafiyah; lalu saya disuruh mengundang kaum muslimin untuk menghadiri walimah (kenduri)nya. Dan pada walimah itu tidak ada roti dan daging dan tidak juga (makanan enak-enak) lainnya, kecuali beliau menyuruh membentangkan tikar kemudian di atasnya disajikan kurma; aqit (jenis lain dari kurma – red) dan samin.”   (HR. Muttafaq ‘alaihi)


Selain permasalahan di atas, maka terdapat pula hal-hal yang bersifat pribadi yang dapat menghambat seseorang untuk melaksanakan salah satu “kewajiban” yang sudah ditetapkan Allah tersebut. Diantaranya adalah mereka yang berpikir, bahwa pernikahan akan menghambat karir yang sedang ditapaki.  Sehingga  mereka  lebih   suka  memilih   terlambat  menikah demi mengejar karir yang diidam-idamkan. Dan yang paling celaka lagi adalah, adanya orang-orang yang takut menikah atau berkeluarga (khususnya dari kalangan pemuda) dengan alasan; “belum mampu menafkahi anak dan  isteri” yang dalam bahasa keseharian kita “belum sanggup ngasi makan anak orang”; satu pendapat yang jelas-jelas keliru dan bertentangan dengan ketentuan dan kekuasaan Allah sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam firman-Nya pada surah An-Nuur ayat 32 di atas.

Syaikh Abdullah Al-Ghazali menyatakan bahwa, alasan tidak mampu untuk menafkahi keluarga bagi orang yang enggan menikah adalah sangat tidak dibenarkan oleh syara’. Sebab melalui firman-Nya di atas Allah sudah memberi jaminan pasti akan adanya rezeki bagi orang-orang yang mau melaksanakan apa yang telah diperintahkan-nya tersebut. Hanya saja bagi orang-orang yang sudah menikah tersebut berkewajiban berusaha sesuai dengan kemampuannya dengan menta’ati Allah dan rasul-Nya.   

Disamping hal-hal yang dikemukakan di atas sebenarnya masih banyak problem lain  yang menghambat pernikahan sebagai  salah satu sunnatullah. Akan tetapi walaupun tak dapat diungkapkan, mudah-mudahan yang sedikit ini dapat merubah cara berpikir dan pandangan kita terhadap masalah pernikahan yang kita anggap terlalu sulit dan berat untuk dilaksanakan.  Adapun soal “jodoh itu di tangan Tuhan” serahkan saja kepada-NYA. Yang jelas memang harus ada upaya perbaikan dan perubahan sikap, agar pernikahan tidak menjadi sesuatu yang sulit dan mahal. Sehingga kita bisa melaksanakan dengan sebaik-baiknya “perintah Allah dan Sunnah Rasulullah SAW”  tersebut, sebagai bagian dari upaya “amar ma’ruf nahi mungkar”  dalam rangka meningkatkan keimanan dan ketakwaan yang dimiliki. Wallahua’lam.

Jakarta,  25  Rajab  1433  H  /  15  Juni  2012
KH.BACHTIAR  AHMAD

Tuesday 26 June 2012

PERBANYAKLAH HARTAMU


oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
=======================
 
Bagaimanapun juga  “mukmin”  yang kaya raya; yang memiliki harta; jauh lebih baik dan memiliki banyak keutamaan dalam hal mengabdi dan beribadah kepada Allah dibandingkan dengan orang-orang yang miskin. Hal ini tersirat dan tersurat dalam pernyataan Rasulullah SAW wbagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits:

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, bahwa orang-orang fakir miskin datang kepada Nabi SAW, mereka mengeluh dan me-ngatakan: “Ya Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong semua pahala dan tingkat-tingkat tinggi (di surga) dan kebahagiaan yang abadi. Mereka shalat dan puasa sebagaimana yang kami lakukan, tetapi mereka mempunyai harta untuk berhaji; berumroh; berjuan dan bersedekah (berzakat).”  Maka Rasulullah SAW lalu berkata: “Sukakah kamu saya ajarkan sesuatu yang dapat mengejar orang-orang yang telah   mendahuluimu  dan   orang-orang  yang  kemudian; dan tidak ada orang yang lebih utama daripada kamu, kecuali jika mereka berbuat seperti yang kamu lakukan.” Mereka menjawab: Baiklah ya Rasulullah.”  Rasulullah SAW besabda: “Bacalah tasbih (Subhanallah; tahmid (Alhamdulillah) dan takbir (Allahu Akbar) tiap selesai shalat masing-masing 33x.” Maka tak lama kemudian orang-orang miskin tersebut kembali kepada Rasulullah SAW dan berkata: “Ya Rasulullah, saudara-saudara kami yang kaya-kaya telah mendengar itu, maka merekapun berbuat seperti yang kami lakukan.” Rasulullah SAW bersabda: “Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki dari hamba-hamba-Nya.”  (H.R. Muttafaq ‘alaihi)

Dan oleh karena hal yang demikian inilah,  Allah SWT  tidak melarang kita untuk mencari kebahagiaan dunia (harta), sebagaimana firman-NYA:

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”  (Q.S. Al-Qashash: 77)

Bahkan sebagaimana yang termaktub di dalam Al-Qur’an, kepada  kita telah diajarkan “do’a” yang berkaitan dengan hal itu:

“Ya Tuhan kami, anugerahilah kami kebahagiaan di dunia dan keba-hagiaan negeri akhirat dan peliharalahkami dari siksa neraka.”  (Q.S. Al-Baqarah: 201)

Seeorang yang memiliki harta yang banyak tentulah memiliki kesempatan yang lebih besar untuk “beramal ibadah”  dan membela agama Allah, sebagaimana yang telah diteladani oleh para sahabat Rasulullah SAW  yang mulia seperti Abu Bakar; Umar: Utsman; Abdur Rahman bin Auf r.a  dan yang lain-lainnya itu, yang menggunakan seluruh harta benda mereka untuk “jihad fi sabilillah”. Jadi hal semacam inilah yang patut kita teladani; Bahwa kita cari dan kumpulkan harta sebanyak-banyaknya untuk kepentingan (agama) Allah. Dan insya Allah kondisi inilah yang akan bisa mengantarkan kita ke tempat yang lebih baik, dibandingkan dengan orang-orang beriman yang hidupnya miskin dan pas-pasan, sebagaimana yang digambarkan dalam hadits Rasulullah SAW yang telah disampaikan di awal tulisan ini.

Dan satu hal lagi adalah, bahwa salah satu tanda ketakwaan kepada Allah adalah dengan cara memberikan nafkah (harta yang dimiliki) kepada yang lain, sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an:

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke Timur atau ke Barat itu suatu kebaktian; Akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah; hari kemudian; malaikat-malaikat; kitab-kitab; nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya; anak-anak yatim; orang-orang miskin; musafir yang memerlukan pertolongan; dan orang-orang yang meminta-minta; dan memerdekakan hamba sahaya;mendirikan shalat; dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya bila ia berjanji; dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan; penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar imannya dan mereka itulah orang yang bertakwa.”  (Q.S.Al-Baqarah: 177)

Jadi silahkan berusaha memperbanyak harta untuk meningkatkan amaliah akhiratmu dengan memperhatikan aturan-aturan Allah dan Rasul-Nya. Sebab menurut Al-Ghazali secara umum makna dari firman Allah SWT yang menyatakan: “…dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi…” sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam ayat 77 surah Al-Qashash yang dipetikkan di atas adalah, untuk mencari dan mendapatkan harta atau kesenangan hidup duniawi, janganlah merusak tatanan kehidupan yang ada; baik dengan cara melanggar aturan-aturan  Allah dan Rasul-Nya serta aturan hidup yang sudah disepakati, maupun dengan merusak lingkungan (alam) kehidupan yang sudah sedemikan baiknya diatur dan ditata oleh “Sang Khaliq”; Allah SWT.

Disamping itu patut diperhatikan dan dicamkan adalah; bagaimanapun juga sedikit harta yang diperoleh dengan cara halal lebih bernilai dari banyaknya harta yang didapatkan dari jalan yang haram. Wallahua’lam.

Jakarta,   01  Sya’ban   1433  H  /  21  Juni   2012
KH.BACHTIAR  AHMAD

Friday 22 June 2012

NASIHAT FUDHAIL BIN IYADH


oleh: KH.BACHTIAR  AHMAD
========================
Usai  menunaikan ibadah haji,  Khalifah  Harun  Al-Rasyid didampingi salah seorang penasihatnya Al-Fadhal bin Rabi’ berkunjung kepada “syaikhul Islam”  Al-Fudhail bin Iyadh (semoga Allah merahmati beliau) untuk meminta nasihat.  Selanjutnya Al-Fadhal menuturkan sebagai berikut:

“Kami datang kepada Fudhail dan ketika itu beliau sedang membaca ayat-ayat suci Al-Quran di kamar atas kediamannya. Dan setelah kami menyampaikan salam dan diperkenankannya masuk, maka Fudhail turun ke lantai bawah dimana kami sedang menunggu. Akan tetapi ia berdiri di salah satu sudut dan langsung mematikan lampu yang ada di tangannya. Dan dalam keadaan samar-samar  itulah Harun masuk dan berjalan meraba-raba mencari Al Fudhail, dan apabila Harun berhasil berjabatan dengannya, maka seketika kudengar Fudhail berkata:  “Aduhai, tak pernah kurasakan kulit  tangan yang sehalus ini. Dan alangkah bahagianya jika tangan yang semacam ini selamat dari api neraka.”  

Beberapa sa’at kemudian kudengar Harun terisak-isak menangis, dan setelah agak reda dan bisa menguasai dirinya ia berkata kepada Al-Fudhail: “Wahai Fudhail, berilah aku nasihat.”  

Maka berkatalah Al-Fudhail: “Wahai orang yang dipanggil dengan sebutan amirul mukminin, sesungguhnya pada masa dahulu, datukmu Abbas bin AbdulMuthalib; paman dari Rasulullah SAW pernah meminta agar diberi jabatan dan kekuasaan kepada kemenakannya yang dimuliakan Allah tersebut. Dan Rasulullah pun berkata: “Wahai pamanku, aku akan memberimu kekuasaan selama satu masa atas dirimu sendiri, yaitu pada masa keta’atanmu kepada Allah. Masa itu jauh lebih baik dari masa seribu tahun keta’atan orang kepada dirimu. Karena kekuasaan itu akan membawa penyesalan pada hari Kiamat.”

Sesa’at aku menikmati keheningan dan kudengar Harun berkata lagi: “Teruskanlah nasihatmu, wahai hamba Allah yang kuhormati.”

Maka akupun mendengar Fudhail bicara lagi: “beberapa sa’at setelah diangkat dan dilantik sebagai khalifah dan amirul Mukminin, maka Umar bin Abdul ‘Aziz   (memerintah  pada tahun  99 H / 717 M- 101 H / 720 M) maka diapun memanggil sahabat-sahabatnya Salimbin Abdullah; Raja’ bin Hayadh dan Muhammad bin Ka’ab al-Kurazi; kepada mereka Umar berkata: “Kekhalifahan atau jabatan ini adalah suatu kesulitan, lalu apa yang harus kulakukan dalam kesulitan ini.”  Maka salah satu dari ketiga orang tersebut berkata: “Jika kelak engkau hendak selamat dari hukuman Tuhan ketika engkau memegang kekuasaan, maka pandanglah orang muslim yang lebih tua sebagai orang tuamu; yang  muda sebagai saudaramu dan anak-anak mereka sebagai anak-anakmu juga. Jadikanlah seluruh kawasan yang engkau  perintah   sebagai  rumahmu   dan  seluruh   penduduknya  sebagai   ahli keluargamu.   Kunjungi orang  tuamu;   sayangi saudaramu  dan  kasihilah anak- anakmu. Berikanlah hak mereka sesuai dengan bagian mereka tanpa kau kurangi dan lebihkan antara satu dengan yang lain.”  

Kemudian setelah agak hening sejenak,maka kudengar lagi Fudhail berkata: “Wahai amirul mukminin, aku khawatir wajahmu yang tampan akan membawamu ke dalam api neraka. Karenanya bertakwalah kepada Allah dan laksanakan kewajiban-kewajibanmu jauh lebih baik dari pada hari yang lalu dan hari ini.”  

Beberapa sa’at   kemudian kudengar Harun Al-Rasyid bertanya kepada Fudhail: “Apakah engkau mempunyai hutang wahai Fudhail.”  Maka dengan spontan Fudhailmenjawab: “Ya,hutangku kepada Allah sangatlah banyak dan berhingga, maka celakalah aku jika tak mampu melunasinya. Oleh sebab itu setiap kali ia memanggilku untuk membayar hutang-hutangku, aku berupaya untuk membayarnya dengan sebaik mungkin dan sebatas mampuku.”

Lalu kudengar sang khalifah menyela: “Bukan itu yang kumaksudkan wahai saudaraku, tapi hutang kepada sesama manusialah yang kumaksudkan.”  Al-Fudhail menjawab: “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah; Dia telah menolongku dengan segala kemurahan-Nya, sehingga aku tak punya alasan untuk mengadukan dan mengeluhkan kesulitan hidupku kepada sesama makhluk dan hamba-hamba-Nya.”

Selanjutnya kudengar Harun Al-Rasyid ingin memberikan uamg sejumlah seribu dinar kepada Al-Fudhail, lalu Al-Fudhail berkata dengan nada agak marah: “Wahai Amirul Mukminin, ternyata nasihatku tidak membawa kebaikan bagi dirimu. Kau ingin menjerumuskan aku ke dalamneraka dengan menerima pemberianmu, padahal engkau sendiri tidak tahu apakah uang itu benar-benar menjadi hak milikmu atau masih bercampur dengan hak orang lain. Disini engkau nampak berlaku tidak adil kepadaku. Kau ingin selamat dan meminta nasihatku; Tapi disisi yang lain kau berusaha membayarku dengan sesuatu yang belum jelas halal dan haramnya.”

Mendengar itu Harun Al-Rasyid meminta ma’af kepada Al-Fudhail dan kemudian kamipun keluar dari kediaman sang sufi.  Wallahua’lam.         

(dinukil dan diedit kembali dari KISAH-KISAH SUFISTIK)

Jakarta,  02  Sya’ban  1433 H /  22 Juni  2012
KH.BACHTIAR  AHMAD

Sunday 17 June 2012

ISRA’ MI’RAJ: Memantapkan Aqidah/Tauhid (Bag.Ketiga)


oleh: KH. BACHTIAR AHMAD
========================
BELAJAR DARI ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ r.a (2)

Begitu besarnya nilai aqidah/tauhidnya Abu Bakar kepada Allah SWT, juga dapat kita simak dan kita contoh tentang sikapnya terhadap kepemilikan dan cintanya kepada harta benda.

Tatkala Rasulullah SAW meminta kaum muslimin menginfaqkan harta mereka untuk membantu perjuangan umat Islam (Fi Sabilillah), maka Abu Bakar serta merta menyerahkan seluruh harta benda / kekayaan yang dimilikinya kepada Muhammad Rasulullah SAW. Dan ketika Rasusullah SAW bertanya kepadanya:

“Wahai Abubakar, kau serahkan seluruh harta benda / kekayaan yang engkau miliki untuk fi sabilillah, lalu apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu.”

Abu Bakar hanya menjawab singkat tapi benar-benar menunjukkan keteguhan aqidah dan tauhid yang ada di dalam dadanya: “Allah dan Rasul-NYA.”

Menurut Syaikh Abdullah Al-Ghazali, ucapan Abu Bakar itu dapatlah ditafsirkan dengan pemahaman: “Harta benda dan kekayaanku tidak akan memberikan jaminan kebahagiaan bagi ahli keluargaku, baik di dunia dan akhirat. Akan tetapi Allah jualah yang memberikan jaminan yang pasti, selama mereka ta’at dan mencintai Rasul-Nya (Muhammad SAW).” Dan ini sangat sejalan dengan apa yang menjadi bagian do’a Ibrahim a.s sebagaimana yang suratkan Allah SWT di dalam Al-Qur’an:

“(Ibrahim berdoa): “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh; dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian; dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mempusakai surga yang penuh kenikmatan; dan ampunilah bapakku, karena sesungguhnya ia adalah termasuk golongan orang-orang yang sesat; dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan; (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna; kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”   (QS. Asy-Syu’araa: 83-89 )

Dalam hal ini bisa jadi juga Abu Bakar sadar dan paham betul, bahwa salah satu faktor yang bisa menghambat keta’atannya kepada Allah SWT adalah harta, sebagaimana yang diperingatkan-Nya:

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi.”
                                                                                                                                                    (QS. Al-Munafiquun: 9)

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu L\lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS.Al-Hadiid: 20)

Sekarang ukurlah dirimu; ukurlah diri kita dengan momentum yang satu ini; Bagaimanakah sikap kita terhadap harta benda dan kekayaan yang kita miliki ; dan yang tak pernah berhenti kita kejar sampai-sampai lupa ibadah dan kematian yang akan menjemput?

Memang benar, Abu Bakar pernah nyaris lemah dan kehilangan semangat dan nilai aqidahnya menjadi kendur tatkala bersembunyi dengan Rasulullah SAW di gua Tsur, sa’at mereka dikejar oleh kaum kafir Quraisy pada waktu hendak hijrah dari Makkah ke Madinah. Tapi hal itu adalah sesuatu yang wajar, apalagi saat itu Abu Bakar bersama dengan Rasulullah SAW. Sehingga ketakutannya bukanlah lantaran dirinya sendiri, tapi melainkan karena Abu Bakar begitu mencintai Muhammad SAW dan tak mau kehilangan “kekasih; sahabat” yang sangat-sangat dia cintai. Dan juga sebagai salah satu cara bagi Allah untuk menambah wawasan keimanan dan tauhidnya Abu Bakar melalui wahyu yang diturunkan Allah kepada Muhammad SAW.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Abu Bakar sendiri dikisahkan, bahwa ketika beberapa orang Quraisy mendekat ke mulut goa Tsur, Abu Bakar berbisik kepada Rasulullah SAW: “Ya Rasulullah, kalaulah mereka menoleh ke tanah yang mereka injak, tentulah mereka melihat kita.”  Rasulullah SAW lalu bersabda: “Hai Abu Bakar, apakah engkau meragukan, bahwa disamping kita berdua ada Allah sebagai fihak yang ketiga?.”
 
Episode yang indah dan mendebarkan ini dipatrikan Allah dalam Al-Qur’an dengan firman-Nya:

“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: "Janganlah kamu berduka cita, Sesungguhnya Allah beserta kita." Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Quran menjadikan orang-orang kafir itulah yang rendah. dan kalimat Allah Itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah; 40)

Masih banyak catatan lain yang berkaitan dengan mantapnya nilai aqidah/tauhid yang dimiliki oleh Abu Bakar dan sahabat-sahabat Rasulullah SAW yang lain, yang patut diunggah ke laman catatan ini. Tapi waktu dan ruang yang kita miliki sangat terbatas. Oleh sebab itu, yang sebanyak ini;  yang barangkali sudah membuat anda bosan kiranya sudah dapat dipetik hikmah dan pelajarannya. Mudah-mudahan Allah tambahkan hidayah dan inayah-NYA bagi kita semua, sehingga pada akhirnya kita benar-benar memiliki nilai-nilai tauhid/aqidah yang bebas dari kemusyrikan; dan senantiasa mendapatkan ampunan-Nya.   Wallahua’lam

Bagansiapiapi, 29 Rajab 1432 H / 01 Juli  2011
KH BACHTIAR AHMAD

Saturday 16 June 2012

ISRA’ MI’RAJ: Memantapkan Aqidah/Tauhid (Bag. Kedua)


Oleh: KH Bachtiar Ahmad
=====================

BELAJAR DARI ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ r.a  (1)
Sejarah mencatat,  bahwa beberapa tahun setelah Muhammad SAW dilantik sebagai Nabi dan Rasul Allah, sampai dengan diterimanya perintah sholat sa’at beliau (Isra’ dan) Mi’raj ke hadapan Allah SWT, tidak ada perintah tentang kewajiban amaliah lahiriah yang beliau terima dari Allah SWT untuk disampaikan kepada orang-orang yang beriman. Selama masa itu inti dari dakwah yang diserukan Muhammad SAW adalah; “Laa ilaha illallaah”; yakni menyeru dan mengajak orang untuk beriman dan hanya menyembah kepada Allah; satu-satunya Tuhan dan Pemilik alam semesta ini.
Dan dalam masa-masa yang cukup panjang ini, Muhammad SAW benar-benar diuji Allah; sebab yang hanya ada beberapa gelintir manusia yang benar-benar beriman dan meyakini apa yang beliau sampaikan. Selebihnya beranggapan, bahwa Muhammad SAW adalah orang yang sakit; gila; meracau tak tentu arah. Masa orang disuruh percaya kepada sesuatu yang tak nampak; yang tak pernah dilihat dan yang didengar suaranya. Tentang hal ini Al-Quran menjelaskan:

“Mereka berkata: "Hai orang yang diturunkan Al-Quran kepadanya, Sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila. Mengapa kamu tidak mendatangkan Malaikat kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar?" (QS. Al-Hijr: 6-7)

Dan keadaan ini benar-benar memuncak tatkala menyampaikan peristiwa Isra’ Mi’raj yang beliau alami; bahkan ada orang-orang yang tadinya sudah beriman kembali menjadi murtad, lantaran beranggapan bahwa Muhammad SAW selama ini memang gila dan makin menjadi-jadi gilanya dengan cerita yang tak masuk akal itu; Yakni cerita tentang perjalanan malam hari yang dilakoni Muhammad SAW dari Makkah ke Baitul Maqdis, lalu naik ke langit yang tinggi untuk berjumpa dengan Tuhan-nya dan kembali lagi ke Makkah sebelum waktu subuh, yang hanya terjadi dalam bilangan beberapa jam saja.

Walau demikian, banyak sahabat yang tetap konsisten dengan keyakinan yang mereka miliki sejak menjadi umat Muhammad SAW; Bahkan Tauhid yang mereka miliki semakin kuat dan mantap dengan perilaku yang mereka tampakkan dalam kehidupan mereka dimasa-masa  berikutnya. Dan salah satunya adalah Abdullah bin Abu Quhafah yang lebih popular dengan nama Abu Bakar r.a.

Tatkala disampaikan kepadanya bahwa Muhammad SAW sudah menjadi gila dan tengah sibuk di masjid menceritakan perihal  Isra’ dan Mi’rajnya kepada orang ramai; Abu Bakar berujar: “Kalian dusta, Muhammad tidak gila. Dan kalau itupun yang dikatakannya, maka tentulah ia mengatakan yang sebenarnya. Sebab ketika dia mengatakan kepadaku, bahwa nyaris setiap saat ia menerima berita dari Tuhan; dari langit ke bumi; baik siang maupun malam; aku sudah mempercayainya. Maka tentulah hal semacam itu (Isra’ Mi’raj) tak lagi perlu aku herankan.”  

Lalu Abu Bakar bersegera menjumpai sahabatnya; Muhammad SAW; yang saat itu tengah memberikan gambaran tentang keadaan Baitul Maqdis. Dan lantaran Abu Bakar sudah pernah berkunjung dan melihat sendiri Baitul Maqdis, iapun berkata kepada Muhammad SAW: “Rasulullah, saya percaya pada apa yang engkau ceritakan dan yang telah engkau alami.” Dan sejak itulah Rasulullah SAW menyebut dan memanggil Abu Bakar dengan julukan “Ash-Shiddiq” sehingga sampai pada masa kita sekarang ini.

Bukan itu saja, sejak awalpun Abu Bakar sudah yakin seyakin-yakinnya pada agama Tauhid yang didakwahkan Muhammad SAW kepadanya. Abu Bakar menerima ajakan sahabatnya, Muhammad SAW, untuk masuk Islam dan mengikrarkan Laa ilaha ilallah wa Muhammadur-rosullah tanpa ragu dan adanya pertimbangan apapun; walau hanya sedikit. Dan hal ini secara tegas dijelaskan oleh Rasulullah SAW dengan sabda beliau:

“Tak seorangpun yang pernah kuajak memeluk Islam yang tidak tersendat-sendat dengan begitu berhati-hati dan ragu; kecuali Abu Bakar bin Abu Quhafah. Ia sedikitpun tidak menunggu-nunggu dan ragu ketika kusampaikan (Islam) kepadanya.” (HR. Ahmad; At-Tirmidzi r.a)

Sementara kita saat ini yang sudah mengaku Islam dan beriman, adakalanya masih ragu menerima sesuatu kenyataan yang sudah pasti ada dan terjadinya, yang menjadi bagian dari Qudrat dan Irodat-nya Allah SWT. Keteguhan dan kokohnya nilai-nilai tauhid yang dimiliki Abu Bakar As-Shiddiq r.a juga dapat kita simak dan teladani dalam beberapa  peristiwa lainnya.

Ketika Rasulullah SAW wafat, Abu Bakar sedang berada di Sunh, sebuah kampung di pinggiran kota Madinah di tempat salah seorang isterinya; tanpa ada tanya itu dan ini, setelah mendapat kabar tentang wafatnya Rasulullah SAW, Abu Bakar  segera berangkat ke rumah Rasulullah SAW. Padahal waktu sholat shubuh di Masjid (Nabawi) Abu Bakar masih bertemu dengan Rasulullah SAW dan juga menjadi imam sholat atas perintah Rasulullah SAW.

Abu Bakar sedikitpun tidak terkejut dengan berita wafatnya Rasulullah SAW, sebab bagaimanapun juga hal itu adalah bagian dari kekuasaan dan kehendak Allah SWT sebagaimana yang ditegaskan Allah di dalam Kitab-Nya:

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya); dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiyaa’: 35)

Dengan langkah tegar Abu Bakar masuk ke rumah Aisyah (puterinya dan juga isteri Rasulullah SAW), Abu Bakar membuka penutup wajah jenazah Rasulullah SAW, dan setelah mencium wajah sahabatnya; menantunya dan Rasul Allah yang paling dimuliakan oleh seisi alam semesta ini, Abu Bakar berkata: “Wahai Rasulullah, alangkah sedapnya (harumnya) sewaktu engkau hidup; dan alangkah sedapnya sewaktu engkau wafat.”

Setelah itu Abu Bakar keluar menemui kaum muslimin yang sedang berkerumun melihat Umar bin Khattab  yang sedang berpidato, yang mengatakan Rasulullah tidaklah wafat, melainkan hanya sejenak pergi bertemu Allah sebagaimana halnya Musa a.s pergi ke Bukit Thursina menerima wahyu dari Allah dan kembali lagi setelah 40 hari kemudian. Dalam keadaan Umar dan kaum muslimin yang demikian itu, Abu Bakar berseru kepada mereka semua:

“Saudara-saudara, barangsiapa yang menyembah Muhammad, maka sekarang Muhammad sudah meninggal dunia. Akan tetapi barangsiapa yang meyembah Allah, sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tak akan pernah mati.” Lalu Abu Bakar membacakan firman Allah SWT:

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia (Muhammad) wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali ‘Imran: 144)

Demi mendengar suara lantang Abu Bakar tersebut semua orang terdiam; Umar yang tadi kokoh dan bicara penuh semangat menjadi lunglai, rubuh dan pingsan beberapa saat setelah benar-benar sadar bahwa Rasulullah SAW memang telah berpulang ke rahmatullah.

Lihat dan simaklah oleh kita, betapa tingginya nilai aqidah; nilai tauhid; nilai keyakinan Abu Bakar terhadap kuasa dan kehendak Allah SWT. Padahal Muhammad SAW adalah orang yang paling-paling beliau sayangi dan cintai melebihi kedua ibu bapaknya. Lalu bagaimana dengan kita, jika mengalami hal semacam itu.

Jika kita dihadapkan pada situasi semacam itu, maka tentulah sesaat kita menjadi Umar bin Khattab, seakan tak percaya pada qudrat dan iradatnya Allah SWT. Alih-alih atau bukannya kita segera mengucapkan istirja (innaa lillahi wa innaa ilahi roji’un), malah yang ada kita guyon dengan orang menyampaikan kabar kematian sahabat atau teman dekat kita tersebut. Terlebih-lebih lagi jika teman kita yang meninggal dunia tersebut tidak dalam keadaan sakit, bahkan mungkin beberapa jam sebelumnya masih sempat ngobrol dan minum kopi bersama. Dan bisa saja  kalimat pertama yang terlontar dari mulut kita adalah semacam penafian atas kehendak Allah SWT: “Ah masa iya, baru beberapa jam tadi kami  sama-sama berjama’ah di Masjid. Bahkan kami sempat ngopi bareng sebelum pisah ke rumah masing-masing.”

Kisah lain yang tak kalah menariknya yang dapat kita pelajari dari Abu Bakar As-Shiddiq r.a, tentang nilai-nilai aqidah / tauhid adalah dalam masalah…. (insya Allah akan dilanjutkan kemudian). Wallahua’lam

Bagansiapiapi, 26 Rajab 1432 H / 28 Juni 2011
KH BACHTIAR AHMAD

Friday 15 June 2012

ISRA’ MI’RAJ: Memantapkan Aqidah / Tauhid (Bag. Pertama)

 oleh: KH. BACHTIAR AHMAD
=======================

Rajab identik sekali dengan (peringatan) Isra’ Mi’raj-nya Nabi Besar Muhammad SAW. Dan biasanya yang paling banyak menjadi bahan ceramah para muballig adalah masalah sholat. Hal ini tentu tak bisa disalahkan, sebab berdasarkan sejarahnya; maka dalam peristiwa (Isra’) Mi’raj itulah Rasulullah SAW menerima perintah sholat untuk diteruskan kepada dan dilaksanakan oleh umat beliau.

Akan tetapi dengan mencermati keadaan yang ada, khususnya situasi dan kondisi yang ada sekarang ini, maka alangkah baiknya jika kita membicarakan; mengambil hikmah dan  pelajaran tentang pemantapan aqidah/ tauhid dari peristiwa Isra’dan Mi’raj tersebut. Tidak hanya dari beberapa catatan yang ada, tapi bisa digali dari perintah sholat itu sendiri. Jadi tidak hanya seputar masalah sejarah; hukum dan beberapa keutamaan sholat sebagaimana yang sudah sering kita dengar.

Tengok dan simaklah keadaan kita saat ini; keadaan sebahagian besar kaum Muslimin, khususnya di negeri yang kita cintai ini. Banyak di antara kita yang sudah ta’at mendirikan  sholat; sudah menunaikan haji (bahkan beberapa kali, belum lagi khusus umrohnya); membayar zakat; bersedekah serta mengamalkan berbagai amaliah lahiriah lainnya. Akan tetapi sebenarnya, sadar atau tidak sadar,  banyak   yang   terjerembab dan terperangkap dalam “kemusyrikan” lantaran aqidah atau tauhid yang dimiliki sudahterkontaminasdi atau bercampur dengan “sesuatu”. Sedangkan hakikatnya adalah, bahwa Allah SWT tidak boleh dipersekutukan dengan sesuatu.

Tidak sedikit pula yang beranggapan, bahwa dengan melakukan amaliah lahiriah yang diperintahkan itu dengan sebaik-baiknya; merasa sudah jadi orang yang beriman dan bertakwa dan akan mudah masuk ke dalam surga yang dijanjikan Allah SWT. Padahal amaliah lahiriah seperti  sholat; haji; zakat; shodaqoh  dan atau perintah ibadah lainnya itu hanyalah merupakan sarana dan prasarana yang mengantarkan seseorang ke  pintu surga; sedangkan kunci utamanya adalah aqidah atau tauhid yang murni dan bersih dari segala macam bentuk kemusyrikan. Lalu bagaimanakah caranya kita akan masuk ke dalam surganya Allah, jika kuncinya salah. Dan inilah yang sebenarnya yang menjadi inti dari apa yang disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadis beliau:

“Barangsiapa yang ucapan terakhirnya (disaat kematiannya) adalah Laa ilaha illallaah, maka dia akan masuk surga.” (HR.Thabrani)

Dan ini jugalah yang sebenarnya menjadi makna (tafsiran) inti dari firman Allah SWT:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali ‘Imran: 102)

Artinya; hendaklah kamu mati dalam keadaan bertauhid; bukan hanya sekadar mati sebagai orang Islam.

Kata Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: “Tauhid adalah pintu pertama untuk masuk Islam dan pintu terakhir untuk keluar dari dunia.” 

Bahkan dalam kaidah agama ada dikatakan: “Yang pertama kali dalam agama adalah “ma’rifatullah (bertauhid kepada Allah)”

Lalu apa kaitannya peristiwa Isra’ dan Mi’raj-nya Rasulullah SAW dengan pemantapan Tauhid? Baik bagi beliau sendiri, lebih-lebih lagi bagi ummat beliau (kaum muslimin).

Bagi Muhammad SAW sendiri sebenarnya tak ada masalah, sebab ada atau tidaknya peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang beliau alami, sebagai hamba yang dipilih dan terpilih, maka beliau memang sudah dijadikan Allah sebagai hamba yang memiliki Tauhid yang sempurna. Sebagai Nabi dan Rasul Allah; Muhammad SAW tidak perlu diuji keyakinannya pada Maha Esa dan Maha Kuasanya Allah dalam segala hal; sekalipun beliau tidak pernah bertemu dengan Allah; menyaksikan kebenaran adanya surga dan neraka dan hal-hal ghaib lainnya, yang sebelumnya tidak pernah beliau lihat dengan mata kepala; kecuali hanya mendengar dan mengetahuinya melalui wahyu yang diturunkan Allah kepadanya.

Oleh sebab itulah banyak disebutkan dalam berbagai kisah, bahwa  Isra’ dan Mi’rajnya beliau hanyalah sebagai hadiah atas keta’atan beliau kepada Allah dan sekaligus sebagai obat kesedihan atas wafatnya isteri beliau Khadijah al-Kubro dan Abu Thalib, paman tercinta yang selama ini  telah mengasuh dan banyak membela dakwah yang beliau sampaikan dari serangan dan gangguan orang-orang kafir Quraisy.

Akan tetapi di sisi lain tentu saja apa yang beliau lihat dan yang diperlihatkan Allah SWT dalam peristiwa tersebut, seperti keadaan surga dan segala macam kenikmatannya; neraka dan segala macam siksaannya; serta hal-hal ghaib lainnya, tentulah akan memberikan nilai tambah bagi dakwah yang beliau sampaikan kepada umat manusia; khususnya para sahabat dan orang-orang beriman yang mengikuti beliau.
Jadi dengan demikian jelaslah, bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj tersebut adalah lebih ditujukan dan dimaksudkan sebagai ujian keimanan dan keyakinan para sahabat dan  orang-orang yang telah menyatakan dirinya sebagai  umat beliau.

Akan tetapi sangatlah disayangkan, seiring dengan perjalanan waktu, nilai-nilai aqidah ataupun tauhid  yang dimiliki umat Muhammad SAW, kian hari kian tergerus dan terkikis oleh kemajuan zaman dan kepentingan mereka terhadap dunia. Sehingga pada akhirnya, aqidah atau tauhid yang dimiliki umat ini (kaum muslimin), hanyalah sebatas wacana harian belaka; hanya menjadi tutur pembicaraan sehari-hari yang sangat untuk diaplikasikan dalam gerak kehidupan; bahkan ibadah sekalipun. Lantaran acapkali ibadah yang dilakukan juga punya latar belakang atau motivasi tertentu; tidak lagi “lillahi ta’ala” sebagaimana yang dikehendaki; yang tersirat dan tersurat dalam firman Allah SWT:

“dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS.Adz-Dzariyaat: 56)

Bahkan sebagaimana juga yang acapkali kita ikrarkan:

“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS.Al-An’aam: 162)

Dulu: ketika Rasulullah SAW menerangkan tentang azab kubur dan siksa neraka; banyakl para sahabat yang gemetar; menangis ketakutan; seakan-akan mereka sudah merasakan azab itu sebelumnya. 
Sekarang: ketika hal yang sama disampaikan kepada umat (Islam), mereka acuh tak acuh; bahkan ada yang menjadikannya sebagai bahan tertawaan dan guyonan.

Dulu: Ketika Rasulullah SAW meminta para sahabat menginfakkan harta benda mereka untuk fi sabilillah, maka mereka berlomba-lomba bersaing untuk menyerahkan harta sebanyak-banyaknya  bagi kepentingan agama Allah dan sekaligus amal ibadah mereka.
Sekarang: Untuk berinfaq di Masjid saja; hanya sekali dalam seminggu setiap hari Jum’at; banyak yang hitung-hitungan, takut kebanyakan memberi. Sebaliknya yang ada berlomba-lomba mengumpulkan harta untuk alasan-alasan tertentu; sekalipun harus dengan cara-cara yang tidak dihalalkan Allah dan Rasul-Nya.

Dulu: Ketika Rasulullah SAW bercerita tentang akan adanya pembalasan Allah SWT untuk sekecil apapun kejahatan yang dilakukan oleh manusia, maka banyak sahabat yang jatuh pingsan, bahkan ada di antaranya yang ingin segera mati saja, takut-takut kalau panjang umur, makin banyak kesalahan dan dosa yang diperbuat; Entah sengaja atau tidak.
Sekarang: Hal itu dianggap biasa-biasa saja, bahkan mereka lebih takut pada KPK; Jaksa; Polisi dan atau para penegak hukum lainnya, lantaran kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan; soal Tuhan (Allah) adalah soal nanti, yang penting bagaimana sekarang ini bisa menikmati hidup.

Padahal sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, dalam soal ibadah adakalanya mereka berlomba-lomba untuk ta’at dalam menunjukkan betapa keimanan dan ketakwaan yang mereka miliki.
Oleh karenanya dengan peringatan Isra’ dan Mi’raj tahun ini, mari kita kembali sejenak mengukur kadar dan nilai serta memantapkan kembali aqidah / tauhid kita kepada Allah SWT, agar amal ibadah yang kita lakukan tidak sia-sia. Jangan lagi kita asyik membicarakan masalah-masalah ibadah lahiriah (tentunya juga tak bisa diabaikan begitu saja), sementara ruh ibadah itu sendiri (yakni tauhid) tak pernah kita upayakan untuk meningkatkannya. (Insya Allah akan disambung)  Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 20 Rajab 1432 H / 22 Juni 2011
KH. BACHTIAR AHMAD

Wednesday 13 June 2012

NASIHAT ABU DZARR AL GIFFARI r.a


Suatu hari Abu Dzarr al-Giffari r.a  menerima sepucuk surat dari seseorang, karena beliau dinilai sebagai salah seorang sahabat  Rasulullah SAW yang memiliki akhlak mulia. Dan lantaran kedudukannya yang sangat dekat di sisi Rasulullah SAW, maka Abu Dzarr juga dipandang  memiliki pengetahuan yang luas tentang hadits-hadis Rasulullah SAW; nasihat dan hikmah yang senantiasa disampaikan Rasulullah kepadanya.  Si pengirim surat  meminta kepada Abu Dzarr agar berkenan membalas surat dan sekaligus memberinya nasehat. 

Abu Dzar dengan segala senang hati mengabulkan apa yang diminta oleh si pengirim surat. Dalam surat balasannya  Abu Dzarr memberi nasehat yang cukup pendek: “Janganlah kamu memusuhi dan berbuat buruk kepada orang yang kamu muliakan dan yang kamu  cintai.”

Si pengirim surat yang menerima balasan dari Abu Dzarr tersebut menjadi bingung, lantaran ia tidak memahami makna pesan yang tersirat dan tersurat dari Abu Dzarr tersebut. Hati kecilnya berkata: “Demi Allah pesan ini terlalu jelas untuk dipahami. Apakah mungkin orang akan berbuat buruk pada yang dicintainya. Ini sesuatu yang mustahil, sebab tak ada yang mau berbuat jahat untuk yang dicintai-nya. Bahkan sebaliknya, orang pasti akan relah bertaruh nyawa untuk membela yang dicintainya.”

Lantaran merasa tidak  puas dengan balasan yang diterimanya, maka ia  kembali mengirimkan surat kepada Abu Dzarr untuk meminta penjelasan yang lebih lengkap. Menjawab permintaan si pengirim surat tersebut Abu Dzarr lalu membalas dengan menerangkan:

“Sebenarnya yang kumaksudkan dengan orang yang paling kamu muliakan dan yang kamu  cintai itu adalah dirimu sendir. Bukan orang lain. Karena kebanyakan orang lebih mencintai dirinya sendiri melebihi cintanya kepada orang lain. Itu sebabnya saya katakan, jangan berbuat buruk kepada yang kamu muliakan dan yang kamu cintai. Artinya adalah, janganlah kau perlakukan buruk dirimu. Sebab sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa apapun yang dilakukan oleh seseorang, maka  segala akibatnya akan kembali kepada dirinya sendiri, bukan kepada orang lain. Jadi kalau berbuat buruk dan melakukan dosa, maka dirimulah yang menanggung segala akibatnya yang buruk. Oleh sebab itu muliakanlah dan sayangilah dirimu dengan sebaik-baiknya, agar engkau tetap dimuliakan dan disayangi oleh Allah SWT.”  Wallahua’lam.
                                                                                                  (Dipetik dan disarikan dari Kisah-kisah Sufistik)

 Jakarta, 23  Rajab  1433 H  /  13  Juni 2012
KH.BACHTIAR AHMAD

Friday 8 June 2012

BALANS DUNIA DAN AKHIRAT

oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================
Sering kita mendengar orang berkata, bahkan ada di antaranya yang berpredikat sebagai “da’i” atau “muballigh” yang menyatakan; agar kita melakukan segala sesuatunya secara berimbang antara kepentingan hidup di dunia dan di akhirat kelak. Dan atas dasar inilah ada beberapa teman yang bertanya kepada saya:  “Bagaimana caranya kita berbuat agar kehidupan yang kita jalani ini dapat seimbang antara kepentingan dunia dan kepentingan akhirat.”  

Tak dapat disangkal, bahwa pendapat untuk menyeimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan dunia dan akhirat adalah “sesuatu yang baik”.    Bahkan “hujjatul Islam”  Abu Hamid bin Muhammad Al-Ghazali  dalam “Al-Ihya’” menyarankan, agar waktu kehidupan yang kita lalui di dunia ini dibagi dalam tiga bagian, masing-masing sepertiga untuk penghidupan dunia; untuk beramal ibadah dan untuk beristirahat. Akan tetapi dalam “prakteknya” hal ini tentulah sangat sulit untuk dilakukan. Sehingga dengan demikian “balans”  atau keseimbangan hidup untuk kepentingan dunia dan akhirat tersebut adalah sesuatu yang sangat “musykil”; atau hal yang sangat sulit untuk dilakukan oleh seseorang. Bahkan saya berpendapat, “tidak akan pernah ada keseimbangan amaliah untuk kepentingan hidup di dunia dan akhirat.” Artinya adalah; Jika kita menginginkan dunia, maka akhirat pasti akan kalah.

Ketidak seimbangan itu terjadi lantaran di dalam diri manusia (nafsunya) telah Allah tanamkan kecenderungan yang  besar pada kecintaan mereka terhadap  dunia sebagaimana yang tersirat dalam firman-Nya:

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”  (Q.S. Ali Imran: 14)

Dan “kecenderungan” yang demikian itulah yang menyebabkan Nabi Sulaiman a.s  pernah lalai dari mengingat Allah lantaran tergoda kesenangan dunia (kecintaan kepada kuda), sehingga untuk menebus kesalahannya itu Nabi Sulaiman a.s lalu menyembelih kudanya. Hal ini dijelaskan Allah SWT dengan firman-Nya:

“dan Kami karuniakan kepada Daud, Sulaiman; dia adalah sebaik- baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya). // (ingatlah) ketika dipertunjukkan kepadanya kuda-kuda yang tenang di waktu berhenti dan cepat waktu berlari pada waktu sore. // Maka ia (Sulaiman) berkata: “Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai mengingat Tuhanku sampai kuda itu hilang dari pandangan. // Bawalah kuda-kuda itu kembali kepadaku.”; lalu ia (Sulaiman) memotong kaki dan (menyembelih) leher kuda itu.”  (Q.S. Shaad: 30-33)

Dari fenomena yang ada di sekitar kita, bisa kita lihat bahwa seseorang lebih suka berlama-lama di depan TV; atau ngobrol bareng teman ketimbang duduk agak lama untuk “dzikrullah” seusai sholat. Bahkan dilihat dari tata cara yang dilakukan, ada yang menjadikan sholat-nya hanya sekadar untuk melepaskan kewajibannya kepada Allah, bukan sebagai sarana dan prasarana untuk lebih mendekatkan dirinya kepada Allah.  Begitu juga dengan kasus-kasus lainnya yang semisal dengan hal itu. Lalu kalau sudah demikian adanya, apa mungkin diperoleh keseimbangan antara usaha duniawi dan amaliah untuk akhirat?

Jika kita memang menginginkan kehidupan akhirat yang baik, maka suka atau tidak suka; kepentingan diri terhadap dunia haruslah dikalahkan sebagaimana yang tersirat dalam “Kisah Nabi Sulaiman a.s”  di atas; atau sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam kehidupan beliau, yang kemudian di-ikuti pula oleh para sahabat-sahabat beliau dan para ulama-ulama terdahulu.

Dan oleh sebab tidak mungkin adanya keseimbangan usaha duniawi dan amaliah untuk kehidupan ukhrawi itulah, Allah SWT memberikan penekanan yang lebih pada pentingnya kehidupan akhirat di dalam beberapa firman-Nya yang berkaitan dengan dunia dan akhirat, yang di antaranya adalah:

“Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit.” (Q.S. At-Taubah: 38)

“Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. mereka bergembira dengan kehidupan di dunia,  padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit). (Q.S. Ar-Ra’d: 26)

Semoga Allah SWT senantiasa merahmati kita dengan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat yang menyenangkan, walau saat ini waktu yang kita gunakan lebih banyak terfokus pada urusan duniawi. Wallahua’lam.

Jakarta, 18 Rajab 1433 H / 8  Juni  2012
KH.BACHTIAR AHMAD

Sunday 3 June 2012

NASIHAT GURUKU: (7)

Anakku, sungguh tiadalah ada alasan bagimu untuk mengabaikan kebahagiaan dunia lantaran Allah juga menyuruh kalian untuk mendapatkannya:
 
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash: 77)
 
Akan tetapi hendaknya janganlah berlebih-lebihan dengan dunia, sebab hal itu bisa membuatmu bersyubhat dalam  perbuatan dosa dan engkau pasti akan merasa kesulitan  memilah dan memilih mana yang halal dan yang haram untuk mecukupi dunia yang kalian inginkan. Waspadailah diri kalian dan waspadalah terhadap  tipuan dunia sebagaimana yang telah diperingatkan Allah di dalam Kitab-Nya:
 
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur; dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadiid: 20)
 
Perlu juga engkau ketahui dan ingat-ingat selalu, bahwa dunia yang kalian cari itu, sekalipun ia halal dalam pandangan Allah, maka tetap saja akan dihisab dan diminta pertanggunganjawabnya untuk apa dunia itu kalian gunakan. Dan sebaliknya engkau akan disiksa dengan siksaan yang sangat pedih jika dunia yang engkau dapatkan itu  berasal dari jalan yang haram. Wallahua’lam.
 
(dinukil dan diedit dari HALAQAT AS-SALIKIN karangan SYAIKH ABDULLAH FATHURRAHMAN )
 
Bagansiapiapi,  13  Rajab  1433 H /   3  Juni  2012
KH. BACHTIAR AHMAD

 

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.