Friday 27 July 2012

PUASA BUKAN TANDA TAKWA ?


oleh: KH. BACHTIAR AHMAD
========================
Allah telah mewajibkan orang-orang yang beriman untuk berpuasa (di bulan Ramadhan) dengan tujuan agar mereka menjadi hamba yang bertakwa. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana di-wajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah: 183)

Padahal kalau kita simak secara seksama keterangan Al-Quran, maka tidak ada satupun ayat yang secara tegas menyatakan; bahwa berpuasa itu adalah salah satu perbuatan yang dijadikan Allah sebagai salah satu tanda dari orang-orang yang bertakwa. Hal ini dapat kita cermati dalam beberapa ayat berikut ini:

“Alif laam miim. /  Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi orang yang bertaqwa. / (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang men-dirikan shalat, dan menafkahkan sebaha-gian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka. /  Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Quran) yang telah diturunkan ke-padamu  dan kitab-kitab yang telah diturun-kan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.”
(Q.S.Al-Baqarah:1-4)

Atau dalam ayat yang lain Allah SWT menerangkan:

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke Timur atau ke Barat itu suatu kebaktian; Akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah; hari kemudian; malaikat-malaikat; kitab-kitab; nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya; anak-anak yatim; orang-orang miskin; musafir yang memerlukan pertolongan; dan orang-orang yang meminta-minta; dan memerdekakan hamba sahaya; mendirikan shalat; dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya bila ia berjanji; dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan; penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar imannya dan mereka itulah orang yang bertakwa.”  (Q.S.Al-Baqarah: 177)

Sekarang pertanyaannya ialah; Kalaulah “berpuasa” itu bukan merupakan bagian dari tanda-tanda orang yang bertakwa; Lalu mengapa Allah SWT memerintahkan dan mewajibkan orang-orang yang beriman untuk berpuasa agar mereka menjadi orang yang bertakwa ?

Menurut Syaikh Abdullah Al-Ghazali;  Allah SWT  memang tidak menyebutkan secara tegas bahwa puasa adalah salah satu ibadahnya orang yang bertakwa. Sebab pada hakikatnya fungsi utama puasa adalah bertujuan untuk membina dan mendidik orang-orang yang beriman menjadi (lebih) bertakwa dengan segala macam aktifitas amal ibadah yang dilakukannya pada sa’at melaksanakan puasa yang diwajibkan tersebut.

Kata Al-Ghazali, dari hikmah yang tersembunyi di balik perintah kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan tersebut, maka paling tidak ada 3(dua) fungsi utama puasa yang dapat mengarahkan dan sekaligus mendidik seseorang untuk menjadi orang yang bertakwa.

Yang pertama: Adalah yang berkaitan dengan keberkahan Ramadhan sebagai bulan dimana puasa itu diwajibkan; Bulan dimana Allah melipat gandakan pahala segala macam kebajikan yang dilakukan; bahkan tidurpun dinilai sebagai suatu ibadah.
Abdullah Al-Ghazali menyebutkan, bahwa  dengan adanya keberkahan yang dilimpahkan Allah di bulan Ramadhan, maka nyaris segala macam aktifitas amaliah dan ibadah yang disebutkan Allah sebagai  tanda-tanda atau bagian dari sifat-sifat orang yang bertakwa; mulai dari sholat yang diwajibkan sampai kepada yang disunatkan; berinfaq dan bersedekah; membayar zakat yang dalam hal ini minimalnya adalah zakat fitrah serta amal shalih lainnya, mengalami peningkatan. Bagi dari segi kualitas maupun kwantitasnya. Bahkan dengan segala macam berkah dan keutamaan yang Allah limpahkan di dalam bulan Ramadhan tersebut, adakalanya seorang yang tadinya malas sholat, menjadi rajin sholatnya; Yang malas berjama’ah menjadi suka sholat berjama’ah, minimal untuk sholat tarawih dan witir; Seseorang yang tadinya memiliki sifat pelit atau kikir, di dalam bulan Ramadhan bisa berubah menjadi orang yang pemurah. Begitu juga dengan kondisi-kondisi buruk lainnya yang ada di dalam diri seseorang, maka acapkali kita lihat terjadi perubahan yang besar ketika ia berada dalam bulan Ramadhan. Artinya akhlaknya yang buruk bisa berubah menjadi baik dan menyenangkan semua orang.
Dan jika semua aktifitas itu dilakukan dengan ikhlas atau karena Allah semata, maka tentulah para pelakuka dapat disebut sebagai orang yang bertakwa, kendati nilai dan kesempurnaannya berbeda-benda menurut apa yang mereka kerjakan.
Faktor  kedua yang menyebabkan tingginya nilai puasa dalam membentuk pribadi-pribadi yang bertakwa kepada Allah SWT, dijelaskan oleh Syaikh Abdullah Al-Ghazali:

“Bahwa tantangan yang paling besar bagi manusia untuk tunduk dan menyembah kepada Allah SWT ada di dalam dirinya sendiri, yakni hawa nafsunya. Sedangkan hawa nafsu yang ada di dalam diri manusia adalah merupakan wasilah atau jalan yang paling utama bagi syaitan untuk menjadikan manusia durhaka kepada manusia sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam firman Allah SWT:

“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang dirahmati oleh Tuhan-ku.”  (QS.Yusuf: 53)

Dan salah satu cara yang paling efektif untuk menundukkan atau mengendalikan hawa nafsu tersebut ialah dengan cara berpuasa. Sebab puasa itu adalah merupakan suatu perkara yang paling dibenci oleh utama musuh Allah  SWT, yakni syaitan yang terlaknat.

Syaikh Abdullah Al-Ghazali menjelaskan, bahwa makan dan minum yang dilakukan seseorang secara berlebih-lebihan dapat menjadikan aliran darahnya semakin lancar dan kuat, sehingga dengan demikian akan semakin kokoh dan kuat pula kedudukan syaitan yang ada di dalam tubuh seseorang. Sebab sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis, bahwa syaitan itu berjalan di dalam diri anak Adam di tempat dimana darahnya mengalir:

Dari Shafiah binti Huyai, istri Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya setan itu berjalan pada anak Adam di tempat aliran darah." (HR. Bukhari)

Jadi dengan demikian,  upaya pengendalian makan dan minum melalui puasa yang diperintahkan adalah merupakan salah satu usaha untuk menindas meningkatnya pergerakan dan aktifitas syaitan untuk menguasai hawa nafsu seseorang. Dan kondisi yang demikian ini juga diperingatkan Allah dengan firman-Nya:

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguh-nya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (Q.S. Al-A’raaf: 31)

Demikianlah inilah beberapa penjelasan tentang keutamaan puasa dalam membentuk pribadi-pribadi orang beriman untuk menjadi orang yang bertakwa sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT.

Mudah-mudahan dengan memahami kondisi-kondisi yang demikian itu, kita semua benar-benar dapat memanfaatkan momentum Ramadhan tahun ini untuk benar-benar melaksanakan puasa sebagaimana yang telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya; sehingga walaupun tidak dapat mencapai takwa dengan seratus persen nilai kesempurnaannya, maka paling tidak nilai takwa yang kita miliki benar-benar berubah dan mengalami peningkatan dari tahun-tahun yang lalu. Sebab bagaimanapun juga, kita semua tak dapat menduga dan mengira; Apakah tahun depan kita masih sempat bertemu dengan Ramadhan lagi atau tidak.  Wallahu’alam

Batam, 8 Ramadhan 1432 H / 8 Agustus 2011
KH. BACHTIAR AHMAD

Tuesday 17 July 2012

MARHABAN YA RAMADHAN.


oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
=======================
 “Marhaban ya Ramadhan” yang secara umum bermakna “Selamat datang Ramadhan”; adalah kalimat yang mengungkapkan kegembiraan dari orang-orang yang beriman dalam rangka menyambut dan menjawab apa yang diserukan Allah SWT:

“Hai orang-orang yang beriman,  diwajibkan atas kamu berpuasa (di bulan Ramadhan) sebagaimana  yang telah diwajibkan (Allah) atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.”
(Q.S.Al-Baqarah: 183)

Mereka bergembira karena masih diberikan umur yang panjang dan kesehatan yang baik, sehingga masih dapat bertemu dengan bulan yang penuh dengan rahmat dan berkah Allah SWT tersebut. Walaupun di hari-hari selama bulan Ramadhan tersebut mereka harus bertarung menjinakkan dan menahan hawa nafsu dari  segala sesuatu yang sebenarnya dihalalkan oleh Allah SWT di hari-hari yang lain.

Seorang mukmin atau muslim yang taat kepada Rabb-nya tahu betul akan makna kedatangan Ramadhan di dalam hidupnya, lantaran di bulan yang suci tersebut; bulan dimana permulaan             Al-Quran diturunkan dan diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya;  dirinya memiliki peluang dan kesempatan untuk meraih untung sebanyak-banyaknya dengan hanya menjual amaliah  yang jumlahnya sama dengan yang  ia jajakan di bulan-bulan yang lain. Bahkan di antara hari-hari Ramadhan tersebut ada waktu yang paling agung dan utama, yang nilai ibadah seseorang akan diganjar oleh Allah SWT sama dengan ibadah yang ia lakukan selama seribu bulan sebagaimana firman-Nya:

“Sesungguhnya kami telah menurunkan Al-Quran pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah bulan kemuliaan itu ? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu dipenuhi kesejahteraan hingga terbit fajar.”   (Q.S. Al-Qadr: 1-5)

Oleh sebab itu  sebagai bagian dari orang-orang yang beriman, mari kita mempersiapkan diri dengan sebaik mungkin; baik jasmaniah terlebih-lebih lagi ruhaniah; Entah itu dengan terus menerus beristighfar; bertaubat memohon ampunan Allah;  meningkatkan ukhuwah di antara sesama kaum muslim; saling bersilatur-rahim dan saling ma’af mema’afkan atau hal-hal lainnya yang dipandang perlu, agar kiranya puasa dan semua aktifitas amaliah yang lain dalam bulan Ramadhan tahun ini dapat kita tunaikan dengan lebih baik dan sempurna lagi dibandingkan dengan hari-hari lain. Sehingga pada akhirnnya nilai ketakwaan kita pun meningkat di hadapan Allah SWT.

Janganlah terlintas dala pikiran kita, bahwa datangnya bulan Ramadhan adalah suatu perkara yang menyulitkan yang akan mengurangi segala macam aktifitas kehidupan; baik materi maupun moralitas diri. Sebaliknya hendaklah lebih menggairahkan kita untuk beramal ibadah; baik yang bersifat hablum-minallah maupun yang berkaitan dengan hablum-minannaas, agar kita  tidak  kehilangan rahmat Allah dan segala macam kebaikan yang telah disediakan oleh Allah di dalam Ramadhan sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam sabda Rasulullah SAW:

"Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan kepadamu puasa didalamnya; pada bulan ini pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan para setan diikat; juga terdapat pada bulan ini malam yang lebih baik daripada seribu bulan, barangsiapa tidak memperoleh kebaikannya maka dia tidak memperoleh apa-apa." (HR. Ahmad dan An-Nasa'I dari Abu Hurairah r.a) 

Atau dalam hadis lainnya Rasulullah SAW bersabda:

“Jika datang awal malam bulan Ramadhan, diikatlah para syetan dan jin-jin yang jahat, ditutup pintu-pintu neraka, tidak ada satu pintu-pintu yang dibuka, dan dibukalah pintu-pintu surga, tidak ada satu pintu-pun yang tertutup, berseru seorang penyeru; “Wahai orang yang ingin kebaikan, lakukanlah!   Wahai orang yang ingin kejelekan, kurangilah!” Dan bagi Allah mempunyai orang-orang yang dibebaskan dari neraka, itu terjadi pada setiap malam.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah dari jalan Abi Bakar bin Ayyasy dari Al-A'masy dari Abu Hurairah r.a)

Marhaban ya Ramadhan; mohon maaf lahir dan bathin. Semoga amal ibadah kita di bulan Ramadhan tahun ini diterima dengan sebaik-baiknya oleh Allah SWT.  Wallahua’lam.

Jakarta, 29 Sya’ban 1433  H / 19  Juli  2012
KH. BACHTIAR  AHMAD

Saturday 14 July 2012

SIAPAKAH YANG DAPAT MENJAMIN UMURMU (2)


Usai dilantik dan menerima amanah jabatan sebagai “khulafaur-rasyidin” Umar bin Abdul Aziz harus mengurus acara pemakaman “Khalifah Sulaiman”. Dan setelah semua kegiatan itu dilakoninya, Umar bin Abdul Aziz merasa sangat lelah dan mengantuk. Beliau ingin sekali merebahkan badan, beristirahat agak sejenak.

Akan tetapi baru saja dia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dan meletakkan kepalanya di atas bantal, putranya Abdul Malik datang menghampiri seraya  berkata: “Wahai ayahanda yang mulia,  apakah  yang akan ayah lakukan sekarang?”.

Umar menjawab: “Anakku, ayah merasa sangat lelah dan ingin sekali beristirahat agak sejenak.”

Mendengar itu  Abdul Malik pun bicara: “Wahai ayahandaku, sekarang engkau telah dilantik sebagai khulafaur-rasyidin, begitu banyak amanah dan tugasd yang harus ayahanda selesaikan secepatnya. Dan sa’at ini yang paling utama adalah mengembalikan harta dan hak rakyat yang selama ini telah dirampas secara zalim oleh para penguasa sebelum ayahanda.”

Dengan suara yang lembut Umar menjawab perkataan putranya: “Anakku, insya Allah akan ayahanda lakukan semuanya itu setelah zuhur nanti, karena sa’at ini ayahanda sangat lelah sekali lantaran sejak semalam ayahanda belum dapat merebahkan badan karena mengurus pemakaman pamanmu.”

Lalu Abdul Malik berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahanda, ananda tahu ayahanda sangat lelah dan mengantuk. Akan tetapi siapakah yang dapat menjamin umurmu dan tetap hidup sampai waktu zuhur nanti. Lalu jika Allah berkehendak mencabut nyawa ayahanda sebelum zuhur nanti; Apakah ayahanda ingin mati sebagai pewaris kezaliman yang telah berlangsung selama ini.”

Umar bin Abdul Aziz merasa terhentak mendengar perkataan anaknya itu, sesa’at ia terdiam dan terhanyut oleh pernyataan anaknya tersebut. Lalu sambil bangkit dari duduknya ia berkata dengan penuh kasih kepada anaknya: “Wahai anakku, mendekatlah engkau kemari.”  Dan setelah Abdul Malik mendekat, Umar lalu mencium kening anaknya dengan lembut dan kemudian berkata: “Alhamdulilla, segala puji bagi Engkau ya Allah, yang telah meng-anugerahkan aku seorang anak keturunanku, yang membantuku dalam urusan agama dan tugas duniawiku.”

Setelah itu “sang khalifah” bergegas bangun dari tempat tidurnya dan beranjak menemui orang banyak  dan dengan suara lantang iapun mengumumkan: “Wahai kaum muslimin, barangsiapa yang selama ini harta dan haknya telah diambil secara zalim, maka hendaklah ia maju dan menyampaikan permasalahannya kepadaku untuk segera diselesaikan dan dikembalikan apa yang menjadi haknya.”     Wallahua’lam

(dinukil dan di-edit dar terjemahan “At-Tahbiir fit-Tadzkiir” karanga Imam Qusyairi rhmlh)

Jakarta,  25  Sya’ban  1433  H /  15  Juli  2012
KH. BACHTIAR AHMAD

Friday 6 July 2012

JANGAN KALAH KARENA GELISAH


oleh: KH.BACHTIAR  AHMAD
========================
Bagaimanapun juga, seorang mukmin tetap akan mendapatkan cobaan dan ujian kehidupan dari Allah SWT. Dirinya akan senantiasa diuji dan terus diuji dalam rangka mendapatkan kebenaran yang hakiki untuk memantapkan keimanan yang dimilikinya sebagaimana yang telah dinyatakan Allah di dalam firman-Nya:    

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja untuk mengatakan: “Kami telah beriman.”, sedang mereka tidak diuji lagi ? // Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.”  (Q.S.Al-Ankabuut: 2-3)

Oleh sebab itu sebagai orang yang beriman, maka kita tidak perlu terus menerus berada  menerus berada dalam kegundahan dan kegelisahan hati jika berhadapan dan menghadapi problem kehidupan yang datang menerpa.

Ketenangan hati dan ketentraman jiwa hanya bisa diperoleh jika sepenuhnyua  kita menyadari dan mau memahami dengan sungguh-sungguh,  bahwa apa yang terjadi atas dirinya adalah atas kehendak Allah.  Tidak ada sesuatupun yang bisa menimpa diri jika tidak ada izin dan takdir Allah untuk hal itu. Kita tidak akan jatuh ke jurang yang dalam sekalipun sebelah kaki sudah terpeleset di bibirnya. Atau kita tak akan mungkin dimangsa oleh singa yang buas, sekalipun kita sudah berhadapan dengannya. Dan hal inilah yang ditegaskan Allah dengan firman-Nya:

“Katakanlah: Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dia-lah pelindung kami dan hanyalah kepada Allah orang-orang beriman harus bertawakkal.”  (Q.S.At-Taubah: 51)

Seorang mukmin yang memiliki “kalimat takwa” di dalam diri dan hidupnya, adalah ia yang tetap berupaya dengan pikiran tenang dalam setiap keadaan dan meyerahkan semua hasil usahanya kepada kehendak Allah. Bukan pada kehendak dirinya atau kehendak sesiapapun.

Seorang mukmin hendaklah kita senantiasa siap menghadapi realitas kehidupan yang ada,  bahwa dalam umur yang akan dijalani, kita akan banyak menjumpai tantangan dan ujian. Dan ketika ujian itu datang, maka ia  tidak  boleh  pesimis  atau merasa gelisah atas sesuatu yang belum jelas terjadi. Dan sadar sepenuhnya, bahwa hal itu belum tentu buruk baginya sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam firman Allah SWT:

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu; dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”   
(QS.Al-Baqarah: 216)

Oleh hal yang demikian inilah sebagai mukmin kita tidak boleh ragu-ragu dan takut terhadap sesuatu masalah yang dihadapi. Sebab salah satu pangkal kegelisahan dan ketidak tenangan diri adalah disebabkan sifat ragu-ragu yang tumbuh dalam pikiran kita. Dan pada akhirnya sebagaimana yang kita lihat, banyak orang yang dikalahkan oleh kegelisahan dan ketidak tenangan jiwa atau dirinya dalam menghadapi sesuatu masalah atau problematika kehidupan.

Lihatlah yang terjadi di sekitar kita, banyak orang yang tidak  dikalahkan oleh lawan-lawannya, akan tetapi mereka malah dikalahkan oleh penyakit yang menggerogoti dirinya, yang bermula dari rasa gelisah yang terus menerus dirasakan ketika menghadapi persoalan hidup, seperti mereka yang terkena serangan jantung; stress; stroke dan lain sebagainya.

Jadi kalau kita ingin menjadi mukmin sejati, maka salah satu caranya adalah dengan tetap menenangkan diri ketika berhadapan dengan problem hidup; Berupaya dengan cermat untuk mengatasinya  dan menyerahkan hasilnya kepada kehendak Allah. Dan cara yang paling utama adalah dengan selalu bersandar dan ingat pada kekuasaan dan kehendak Allah SWT sebagaimana firman-Nya:

“Ingatlah, hanya dengan mengingati (kekuasaan dan kehendak) Allah-lah hati menjadi tenteram.” 
                                                                                                                                                     (QS.Ar-Ra’d: 28)    
 Wallahua’lam

Jakarta,  16 Sya’ban  1433 H  /  06 Juli  2012
KH.BACHTIAR  AHMAD


Tuesday 3 July 2012

KARENA NILA SETITIK...


oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================
 
Dalam sebuah riwayat yang bersumber dari Sa’ad bin Jinadah r.a dikisahkan:

“Ketika selesai dari perang Hunain kami singgah di tanah kosong yang tidak terdapat apa-apa, maka Rasulullah SAW bersabda: “Kumpulkanlah oleh kalian ! Barangsiapa menemukan sesuatu agar membawanya. Barangsiapa yang mendapat tulang atau gigi agar membawanya.”  Beberapa saat kemudian apa yang di dapat telah menjadi suatu timbunan. Lalu Rasulullah SAW bersabda sambil menunjuk pada timbunan yang ada: “Maka demikianlah dosa-dosa itu berkumpul pada seseorang di antara kamu, sebagaimana kamu sekalian mengumpulkan ini. Maka hendaknya seseorang takut kepada Allah, meninggalkan dosa-dosa kecil serta dosa-dosa yang besar. Sesungguhnya dosa-dosa itu bagi seseorang yang melakukannya seperti perumpamaan padang pasir ini.”

Sementara itu melalui Abdullah bin Mas’ud r.a diriwayatkan; Bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Jauhilah oleh kamu sekalian akan perbuatan dosa-dosa kecil, karena sesungguhnya apabila ia berkumpul bersama seseorang (dalam diri seseorang), maka ia akan membinasakan orang itu.”                                                                                                                                             (HR. Muttafaq’alaihi)

Entah disadari entah tidak, maka banyak kaum muslimin yang sudah melakukan kesalahan besar dan mengabaikan apa-apa yang telah diperingatkan oleh Rasulullah SAW di atas.  Bahkan ada diantaranya yang  memang  dengan  sengaja  melakukan perbuatan-perbuatan tercela yang dilarang oleh Allah SWT untuk kepentingan duniawinya dengan alasan; Hal itu hanyalah dosa kecil, tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan apa yang diperbuat orang lain. Padahal dalam sebuah ungkapan ada disebutkan: “sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit”.  Artinya adalah, jika dosa-dosa kecil itu dibiarkan dan terus menerus dilakukan, maka tentulah akan menjadi besar dan akan membinasakan dirinya sebagaimana yang diperingatkan oleh Rasulullah SAW dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud r.a di atas.

Oleh sebab itu sudah seharusnyalah kita selalu waspada terhadap hal-hal yang kita anggap kecil dan yang kita anggap sebagai hal yang lumrah belaka dalam kehidupan ini. Sebab bagaimanapun juga, sebagaimana yang ditegaskan Allah SWT di dalam Kitab-NYA, baik atau buruknya perbuatan yang kita lakukan, walau sebesar zarrah (atom) sekalipun, akan tetap dimintai pertanggungjawabannya:

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah-pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. //  dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah-pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Al-Zalzalah: 7-8)

Dalam kondisi sekarang ini hendaknya kita terus waspada, sebab dengan ilmu dan teknologi yang semakin berkembang, banyak cara-cara yang dilakukan orang untuk mendapatkan keuntungan duniawinya. Oleh hal yang demikian itu, jika ada perbuatan atau tindakan yang  status hukumnya belum jelas kita ketahui halal haramnya, maka hendaklah kita bertanya kepada ahlinya. Dan yang demikian inilah yang telah di-ingatkan Allah SWT kepada kita dengan firman-Nya:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Q.S. Al-Israa’: 36)  

Bak kata pepatah “karena nila setitik, rusak susu sebelanga.” Artinya adalah, jangan karena hal yang kecil, sia-sialah amal ibadah dan keta’atan kita kepada Allah SWT. Wallahua’lam.

Jakarta, 13 Sya’ban 1433 H / 3 Juli 2012
KH.BACHTIAR AHMAD

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.