Monday 27 August 2012

TENTANG UCAPAN UMAR BIN KHATTAB r.a


oleh: KH.BACHTIAR  AHMAD
========================
Catatan ringkas ini saya tulis untuk memenuhi permintaan salah seorang “teman kita di FB” yang minta dijelaskan mengenai ucapan “amirul mukminin” Umar bin Khattab r.a yang saya kutip sebagai status beberapa waktu yang lalu.

 Jika Allah mengizinkan, maka ada tiga perkara yang membuatku ingin terus hidup di dunia ini, yakni: berjihad untuk agama Allah; menghidupkan waktu malam dan berkumpul bersama orang-orang yang selalu berbicara dengan perkataan-perkataan yang bagus, sebagaimana ia memilih korma yang bagus-bagus. (Umar bin Khattab r.a)

Sebenarnya apa yang menjadi “keinginan”  Umar bin Khattab r.a dalam ucapannya tersebut adalah sesuatu yang sangat mudah untuk dipahami dan dimengerti. Hanyasaja barangkali yang perlu dipertegas adalah tentang “berjihad untuk agama Allah” . Sebab jika kita mengacu pada kondisi dan situasi dimana sa’at itu beliau hidup, maka boleh jadi makna “jihad” tersebut hanya terbatas pada kondisi  “perang” dalam menghadapi musuh (agama) Allah SWT. Padahal makna “berjihad untuk agama Allah” tidaklah sempit sebagaimana yang diketahui oleh sebahagian orang.

Lapangan “jihad” bagi orang yang beriman adalah sangat luas, mulai dari “membuang duri di jalan”  sampai pada tingkat “mengangkat senjata”  berperang melawan orang-orang kafir yang memusuhi (agama) Islam. Bahkan “seorang ibu” yang berjuang untuk anaknya mulai dari sa’at ia mengandung (hamil) sampai pada sa’at melahirkan dan membesarkan anak-anaknya adalah juga merupakan “jihad”, walaupun (mungkin) di sisi Allah tingkat dan kualitasnya tidak sama dengan jihad di medan perang. 

Jadi secara umum dapatlah dikatakan, bahwa yang termasuk dalam kelompok “jihad” itu adalah segala macam kebajikan yang dilakukan seseorang dalam menjalankan dan menghidupkan agama Allah; khususnya yang berkaitan dengan kepentingan orang banyak, yang kesemuanya itu dilakukan dalam rangka untuk meningkatkan keta’atan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam firman-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.”  (Q.S. Al-Maaidah: 35)

Adapun “menghidupkan waktu malam” tentulah sudah sangat jelas bagi kita, bahwa maknanya adalah dengan bergiat melakukan aktifitas ibadah di malam hari sebagaimana perintah Allah yang banyak kita jumpai di dalam Al-Quran. Bahkan aktifitas ibadah inilah yang mula pertama di-ingatkan dan diperintahkan Allah kepada Rasulullah SAW beberapa sa’at setelah beliau menerima wahyu pertama sebagai Nabi dan Rasul Allah sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Qur’an:

“Hai orang yang berselimut (Muhammad); . bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya);  (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit:  atau lebih dari seperdua itu; dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan: . Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat: . Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.”  (Q.S. Al-Muzzammil: 1-6)

Dan perintah yang demikian itu juga dapat kita simak dalam ayat-ayat lain (di antaranya):

“Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.”  (Q.S. Al-Israa’: 79)

“dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang.”  (Q.S. Thaa-Haa: 130)

“dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam hari dan setiap selesai sembahyang.”  (Q.S. Qaaf: 40)

Keinginan Umar r.a “berkumpul bersama orang-orang yang selalu berbicara dengan perkataan-perkataan yang bagus”  adalah hal mutlak dan wajib untuk di-ikuti oleh setiap orang yang beriman. Sebab bagaimanapun Allah dan Rasul-Nya; Muhammad SAW telah memerintahkan kepada kita untuk “tidak  berbicara”  kecuali dengan “perkataan yang baik-baik”  sebagaimana yang tersirat dalam firman-Nya:

“Perkataan yang baik dan pemberian maaf (adalah) lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.”  (Q.S. Al-Baqarah: 263)

“dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”  (Q.S. An-Nisaa’: 8)

Bahkan dalam ayat lainnya Allah SWT menerangkan, bahwa salah satu tanda dari “ibadur-rahman”  atau hamba-hamba yang dicintai oleh Allahur-Rahman adalah mereka yang selalu mengucapka perkataan yang baik-baik, sekalipun orang lain berbuat jahil kepada mereka. Allah SWT berfirman:

“dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.”  (Q.S. Al-Furqaan: 63)

Dan mengenai hal ini Rasulullah SAW bersabda:

“Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, maka hendaklah ia berbicara (dengan perkataan) yang baik atau diam (jika tidak bisa melakukannya)”  (HR. Muttafaq ‘alaihi dari Abu Hurairah r.a)

Inilah sedikit catatan tentang ucapan Umar bin Khattab r.a yang telah dinukilkan di awal tulisan ini. Mudah-mudahan dapat dipahami dan bermanfaat adanya bagi upaya meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT. Wallahua’lam

Jakarta, 10 Syawal 1433 H / 28 Agustus 2012
KH.BACHTIAR AHMAD

Thursday 23 August 2012

MENGAPA HARUS MARAH


Pada suatu pagi hari raya Idulfitri, usai mandi dan mengenakan bajunya yang bersih, Syaikh Abu Yazid Al-Busthami berangkat ke masjid untuk melaksanakan shalat Ied. Beliau berjalan melewati sebuah rumah bertingkat, dan pada saat melewati rumah itu Abu Yazid merasa ada sesuatu yang menimpa baju dan mengotori sorban beliau. Setelah diteliti, ternyata kotoran yang menempel baju dan sorbannya adalah abu rokok yang cukup banyak bercampur dengan puntung-puntung rokok.

Sejenak Abu Yazid memandang ke bagian atas rumah yang bertingkat itu, tapi bukannya ia marah mendapat perlakua semacam itu, malah sebaliknya Syaikh Abu Yazid berkata pada dirinya: “Wahai Abu Yazid, engkau tak pantas marah dengan sedikit abu yang mengotori pakaianmu; sebab engkau adalah orang yang pantas masuk neraka.”

Setelah mengucapkan itu Abu Yazid lalu membersihkan abu dan puntung rokok yamg menempel di baju dan sorbannya, dan kemudian meneruskan langkahnya menuju masjid. Wallahua’lam.

(dinukil dan diedit dari Kisah-kisah sufistik)

Jakarta, 4 Syawal 1433 H / 22 Agustus  2012.
KH.BACHTIAR AHMAD

Saturday 18 August 2012

Di akhir Ramadan dan Di awal Syawal

SELEMBAR FOTO; SEBARIS KATA PENGGANTI DIRI DI HARI YANG FITRI;  MUDAH-MUDAHAN SILATURAHIM SEPERTI INI JUGA DIRIDHOI ALLAH YANG MAHA MENGETAHUI......

J
Jakarta, 29 Ramadhan 1433 H / 18 Agustus 2012
KH.Bachtiar Ahmad

Thursday 16 August 2012

SELAMAT JALAN RAMADHAN


 
oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
========================
Ramadhan yang saat ini tengah kita jalani akan berakhir. Dan ketika Ramadhan usai tentu ada yang menarik nafas lega, lantaran tidak lagi merasa terbebani  dengan aturan agama yang mengikat aktifitas mereka sehari-hari. Sementara disisi lain orang-orang yang benar beriman dengan ikhlas kepada Allah akan merasa sedih, lantaran harus berpisah dengan “bulan kemuliaan” yang sarat dengan rahmat dan berkah Allah tersebut. Mereka khawatir, jangan-jangan tahun yang akan datang mereka tak lagi dapat bertemu dengan Ramadhan.

Akan tetapi lepas dari kondisi suka atau tidak suka berpisah dengan Ramadhan tahun ini, maka ada satu hal yang patut kita renungkan dan pertanyakan kepada diri sendiri; Sudahkah kita berhasil mencapai tujuan Ramadhan sebagai-mana yang diinginkan Allah untuk diri kita sendiri, yakni menjadi orang yang bertakwa. “Takwa” dalam arti yang utuh; Baik hablumminalaah maupun hablumminannas-nya. Atau sekurang-kurangnya ada perubahan yang cukup mendasar dari sikap dan prilaku  sebelum kita menjalani aktifitas Ramadhan tahun ini, lahiriah maupun bathiniah. Sebab sebagaimana yang diisyaratkan oleh Rasulullah SAW dalam hadis beliau, bahwa adakalanya (puasa) Ramadhan yang dilaksanakan seseorang tidak akan memberikan nilai tambah baginya, selain daripada menahan haus dan lapar berkepanjangan.

Masalah lain yang patut kita renungkan dan sikapi seusai Ramadhan adalah, agar kita tidak lagi membiarkan diri kita terjebak dalam perangkap nafsu yang tentunya lebih cenderung untuk melakukan kejahatan sebagaimana  yang di-ingatkan Allah SWT melalui pernyataan Nabi Yusuf a.s:

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Yusuf: 53)

Sebab bagaimanapun juga tentu telah kita ketahui bersama, bahwa salah satu tujuan utama dari pelaksanaan kewajiban ibadah puasa Ramadhan adalah dalam rangka pengendalian hawa nafsu yang kita miliki. Bahkan untuk hal yang demikian itu, suka tidak suka kita harus menahan diri dari segala sesuatu yang halal dan yang dibolehkan. Jadi apabila seusai Ramadhan ini kita kembali mengumbar nafsu dan melakukan sesuatu  secara berlebih-lebihan, sekalipun hal itu tidak dilarang oleh agama, maka tentu saja upaya dan pembelajaran yang kita laksanakan selama Ramadhan akan menjadi sia-sia.

Adapun pengendalian nafsu tidak hanya atas hal-hal yang bersifat material, akan tetapi mencakup sifat dan sikap hidup yang berkaitan dengan semua aspek “akhlaqul karimah” yang telah kita amalkan selama bulan Ramadhan.

Mulut atau lidah, mata dan telinga yang selama Ramadhan dijaga kesuciannya, maka harus lebih dijaga dan diwaspadai dari hal-hal yang dilarang Allah di bulan-bulan berikutnya. Sebab tantangan yang akan dihadapi akan jauh lebih besar, lantaran kita tidak  lagi terikat pada kaidah-kaidah puasa sebagaimana halnya di bulan Ramadhan. Dan satu hal yang patut diingat adalah, bahwa sesungguhnya Allah telah berfirman:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Q.S. Al-Israa’: 36)

Oleh sebab itu tatkala Ramadhan tahun ini usai, maka tentu saja kita tidak lagi boleh lalai dan kembali terjebak dalam hal-hal yang dapat mengurangi nilai tambah yang telah kita peroleh melalui ibadah-ibadah Ramadhan yang kita lalui. Janganlah menodai “fitrah diri” yang insya Allah telah kita kembalikan kesuciannya  yang telah Allah karuniakan kepada kita melalui berkah dan rahmat Ramadhan.
               
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya. Dan sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya.”  (Q.S. Asy-Syams: 9-10)

Mudah-mudahan kita tetap menjadi orang yang beruntung dengan ketakwaan yang ada sekalipun Ramadhan telah meninggalkan kita. Selamat jalan Ramadhan.  Wallahua’lam.

Jakarta, 28 Ramadhan 1433 H / 16 Agustus 2012.
KH.BACHTIAR AHMAD

Wednesday 15 August 2012

PUASA SEUMUR HIDUP (bag.2)


oleh: KH. BACHTIAR AHMAD
========================
 PUASA INDRAWI.
Kita tentu juga maklum, bahwa dalam “puasa” juga diperintahkan untuk mengatur dan mengendalikan nafsu melalui pemanfaatan indra tubuh yang ada, sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam sabda Rasulullah SAW:

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, dan perbuatan dusta dan jahil/bodoh, maka Allah tidak butuh akan lapar dan dahaga (puasa) mereka.” (HR. Bukhari; Abu Dawud dari Abu Hurairah r.a)

Dalam hadis yang lain dinyatakan oleh Rasulullah SAW: “Jika kamu sedang berpuasa, maka jangan berkata keji; jangan ribut (marah) dan jika ada orang yang memakimu atau yang mengajakmu berkelahi, hendaklah dikatakan kepadanya “saya sedang berpuasa”.  (HR. Muttafaq ‘alaihi dari Abu Hurairah r.a)

Dan tentu saja pengendalian indrawi tubuh agar tidak terpengaruh oleh kejahatan nafsu juga berlaku pada hari-hari yang lain. Tidak hanya hanya di bulan Ramadhan. Dan untuk hal ini secara ringkas dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Yusron menjelaskan sebagai berikut:
Yang Pertama: Puasa menjaga Lidah / Pembicaraan.
Kewajiban menjaga lidah atau pembicaraan tidak hanya selama bulan Ramadhan tatkala seseorang sedang berpuasa, tetapi  kewajiban itu sebenarnya berlaku seumur hidupnya, sebagai salah satu tanda bahwa ia adalah orang yang beriman sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW:

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, maka hendaklah ia tidak mengganggu tetangganya; Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, maka hendaklah ia menghormati tamunya; Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, maka hendaklah ia berkata yang baik-baik atau lebih baik diam jika ia tak mampu melakukannya.” (HR. Muttafaq ‘alaihi; Abu Dawud dari Abu Hurairah r.a)              

Dan kewajiban tersebut semakin dipertegas oleh Allah SWT sebagaimana yang tersirat dalam firman-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman; dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujuraat: 11)

Dan dalam ayat lainnya Allah SWT berfirman:

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan Ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (Q.S. An-Nahl: 116)

Yang kedua: Puasa menjaga Telinga / Pendengaran.
Kita tentu maklum bahwa “telinga” juga memiliki peranan yang  sensitif  dalam membangkitkan nafsu jahat yang ada di dalam diri manusia. Oleh sebab itulah Allah memerintahkan kita untuk senantiasa memelihara telinga atau pendengaran kita, agar tidak tidak mudah terpancing pada hal-hal yang buruk akibat “salah mendengar”. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya:

“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil". (Q.S. Al-Qashash: 55)

Sedangkan dalam ayat lainnya Allah SWT berfirman:

“Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.”(QS. An-Nuur: 12)
Yang ketiga: Puasa menjaga Mata / Penglihatan.
Dari sekian banyak “indera” tubuh yang dikaruniakan Allah kepada kita, maka (barangkali) matalah yang paling utama untuk dipuasakan. Sebab kalau disimak dari keadaan hidup  kita  sehari-hari,  maka  lebih  banyak  kemungkinan- kemungkinan buruk yang bisa terjadi oleh sebab pandangan mata. Oleh sebab itulah dalam hal ini Allah SWT menggandeng perintah puasa sekaligus dengan perintah untuk mempuasakan (mengendalikan) syahwat yang kita miliki. Bahkan perintah tersebut tidak disebutkan-Nya secara umum untuk laki-laki ataupun perempuan, melainkan disebutkan 2(dua) kali. Sekali bagi laki-laki dan sekali lagi untuk kaum perempuan. Allah SWT berfirman:

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka; Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS.An-Nuur: 30)

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An-Nuur: 31)

Syahwat yang dibangkitkan oleh pandangan mata tidak hanya berkaitan dengan “urusan kemaluan”, tapi juga urusan perut atau selera makan; kepemilikan harta benda; jabatan dan lain-lain sebagainya sebagaimana yang telihat dalam kasus-kasus kejahatan yang ada di sekitar kita seperti kasus pemerkosaan; perampokan harta benda; pembunuhan dan lain sebagainya.

Inilah beberapa hal yang patut kita pahami tatkala kita melaksanakan ibadah puasa Ramadhan. Mudah-mudahan dengan demikian kita dapat menjadikan ibadah “puasa ramadhan”  tahun ini dengan sebaik-baiknya, dan akan terus mengaplikasikan hasilnya di setiap bulan di sepanjang tahun yang kita lalui dalam kehidupan. Sehingga dengan demikian nilai-nilai takwa yang kita miliki akan senantiasa terpelihara; dan insya Allah kita akan menjadi salah seorang yang paling dekat kepada Allah SWT sebagaimana yang di-isyaratkan Allah dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujuraat: 13)

Wallahu’alam

Jakarta, 25 Ramadhan 1433 H / 15  Agustus 2012
KH. BACHTIAR AHMAD

Tuesday 14 August 2012

PUASA SEUMUR HIDUP (bag.1)

oleh: KH. BACHTIAR AHMAD
========================
Ramadhan akan segera berakhir, akan tetapi “kewajiban berpuasa” bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian tidak akan pernah berakhir selagi hayat dikandung badan.  Sesungguhnya bagi orang-orang  yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, kewajiban berpuasa itu tidaklah boleh berhenti  untuk ia laksanakan, sekalipun bulan Ramadhan sudah berlalu dari kehidupannya. As-Syaikh Muhammad Yusron mengatakan, bahwa “puasa wajib” yang diperintahkan Allah dalam bulan Ramadhan hanyalah sebagai “latihan total” dari pelaksanaan “perintah  puasa” yang  diwajibkan Allah bagi orang-orang beriman dalam bulan-bulan yang lain.

Lebih lanjut Syaikh Muhammad Yusron menjelaskan, bahwa pada hakikatnya “puasa” adalah salah satu sarana dan prasarana bagi orang-orang yang beriman untuk   mengendalikan hawa nafsunya. Sedangkan “pengendalian hawa nafsu itu wajib dilakukan setiap sa’at”; tidak hanya di bulan Ramadhan saja. Hanya saja banyak yang tidak menyimak dan memperhatikan hal  ini. Sehingga apa yang terjadi adalah, bahwa selepas Ramadhan banyak orang yang tidak lagi mampu mengendalikan hawa nafsunya, bahkan untuk hal-hal yang dihalalkan Allah SWT kepadanya. Berikut ini adalah beberapa penjelasan Syaikh Muhammad Yusron tentang “puasa seumur hidup” tersebut, baik yang bersifat jasmani maupun aspek ruhaniyahnya:

PUASA PERUT.
Secara umum puasa yang kita kenal adalah menahan diri makan dan minum dalam batas waktu yang telah ditetapkan Allah, yakni sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Akan tetapi sebenarnya “soal  menjaga “perut” dan membatasi diri dari makan dan minum tidak hanya diperintahkan Allah melalui puasa Ramadhan yang telah diwajibkan-Nya. Keadaan itu  berlaku sepanjang umur yang kita lalui.  “Sebab jika selera tidak dijaga”, maka hal tersebut tidak hanya akan membahayakan diri sendiri, tetapi berbahaya bagi orang lain. Dan hal inilah yang tersirat dalam firman Allah SWT:

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Q.S.Al-A’raaf: 31)

Sehubungan dengan hal itu tentulah dapat kita maklumi, bahwa makan dan minum secara berlebih-lebihan tentu akan merusak kesehatan dan juga akan mendatangkan mudharat yang lain seperti pemborosan; sifat rakus; mubazir dan berbagai perilaku buruk lainnya yang sangat dibenci oleh Allah SWT. Jadi dalam rangka mencegah hal-hal yang demikian itulah Allah memerintahkan kita untuk berpuasa, agar “selera perut” bisa dikendalikan dengan cara melatih diri “berlapar-lapar dan berhaus-haus”  pada waktu yang telah ditentukan Allah selama bulan Ramadhan dan pada akhirnya dapat pula di aplikasikan di bulan-bulan yang lain.

PUASA INDRAWI.
Kita tentu juga maklum, bahwa dalam “puasa” juga diperintahkan untuk mengatur dan mengendalikan nafsu melalui pemanfaatan indra tubuh yang ada, sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam sabda Rasulullah SAW:

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, dan perbuatan dusta dan jahil/bodoh, maka Allah tidak butuh akan lapar dan dahaga (puasa) mereka.” (HR. Bukhari; Abu Dawud dari Abu Hurairah r.a)

Dalam hadis yang lain dinyatakan oleh Rasulullah SAW: “Jika kamu sedang berpuasa, maka jangan berkata keji; jangan ribut (marah) dan jika ada orang yang memakimu atau yang mengajakmu berkelahi, hendaklah dikatakan kepadanya “saya sedang berpuasa”.  (HR. Muttafaq ‘alaihi dari Abu Hurairah r.a)

Dan tentu saja pengendalian indrawi tubuh agar tidak terpengaruh oleh kejahatan nafsu juga berlaku pada hari-hari yang lain. Tidak hanya hanya di bulan Ramadhan. Dan untuk hal ini secara ringkas dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Yusron menjelaskan sebagai berikut………………. (insya Allah bersambung) Wallahua’lam.

Jakarta, 25 Ramadhan 1433 H / 14 Agustus 2012
KH.BACHTIAR AHMAD

Wednesday 8 August 2012

Anekdot Ramadhan: CARA UNTUK KHUSYU’


 
Malam itu sebelum sholat witir dilaksanakan, salah seorang penceramah menjawab pertanyaan salah seorang jama’ah tentang bagaimana bisa melaksanakan sholat dengan khusyu’. Sang penceramah mengatakan, bahwa salah satu cara untuk dapat sholat dengan khusyu’ adalah dengan cara mengerti dan hafal pada makna atau arti dari bacaan-bacaan sholat yang kita baca.

Tiba-tiba salah seorang jama’ah lainnya berdiri dan bicara kepada sang penceramah: “Pak Ustadz, saya rasa cara itu tidak punya dasar sama sekali, bahkan tetap saja orang tidak bisa khusyu’ sholat, sekalipun ia hapal dan paham semua makna atau arti dari bacaan sholatnya.”

Sang penceramah lalu balik bertanya: “Maksudnya bagaimana?”

Si Jama’ah lalu menjawab: “Seperti yang kita maklumi, bahwa semua bacaan-bacaan sholat itu bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW, yang bahasanya adalah bahasa Arab. Saya yakin semua orang Arab tahu persis makna atau arti dari bacaan-bacaan yang mereka lafazkan. Tapi nyatanya banyak yang juga tidak bisa khusyu’ sholatnya. Nah, sekarang apa pendapat ustadz dalam hal ini?”

Mendengar ocehan si Jama’ah, sang penceramah terdiam dan jama’ah lainnya pun tertawa kecil dan cekikikan mendengar dialog tersebut. Lalu bagaimana dengan anda.

Wallahua’lam.

Jakarta, 18 Ramadhan 1433 H / 06 Agustus  2012.
KH.BACHTIAR  AHMAD

Wednesday 1 August 2012

JUJUR PANGKAL TAKWA


oleh: KH. BACHTIAR AHMAD
========================
Kejujuran atau sifat jujur adalah sesuatu yang paling berharga dan bernilai tinggi dalam kehidupan manusia. Dan oleh karena memiliki kejujuran inilah Rasulullah SAW; Muhammad bin Abdullah mendapat tempat terhormat di kalangan penduduk Makkah, sehingga akhirnya beliau diberi gelar kehormatan Al-Amin atau orang yang sangat dipercaya dan terpercaya ucapan dan tindakannya, jauh-jauh hari sebelum beliau mendapat wahyu dan dilantik sebagai utusan Allah.

Imam Al-Qusyairi dan Al-Wasithy (semoga Allah merahmati beliau berdua) menyatakan; Bahwa “kejujuran adalah pangkal Tauhid yang menjadi pokok pangkal dari takwa”  Artinya adalah; bahwa siapa saja yang telah bersyahadat, tapi tidak sepenuhnya melaksanakan apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang Allah SWT dan Rasul-Nya, maka ia belum dapat dikatakan memiliki keimanan yang sempurna, dan belum bisa disebut sebagai orang yang bertakwa. Sebab secara umum makna dan hakikat iman itu adalah; ucapkan dengan lidah; benarkan dengan hati; dan buktikan dengan perbuatan nyata. Sedangkan makna takwa secara umum adalah taat melaksanakan apa yang diperintahkan dan meninggalkan semua yang dilarang oleh Allah SWT (dan Rasul-Nya).

Pendapat Al-Qusyairi dan Al-Waithy tersebut boleh jadi dapat dibenarkan, jika kita kaitkan dengan sebuah hadis Rasulullah SAW yang  diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Al-Bazzar r.a yang menerangkan:

“Bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW: “Ya Rasulullah, terangkan kepadaku, apa yang paling berat dan apa yang paling ringan dalam beragama Islam?”. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Yang paling ringan dalam beragama Islam ialah membaca syahadat atau kesaksian  bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah Rasulullah. Sedang yang paling berat adalah hidup jujur (dapat dipercaya). Sesungguhnya, tidak ada agama bagi orang yang tidak jujur. Bahkan, tidak ada shalat dan tidak ada zakat bagi mereka yang tidak jujur."

Selanjutnya mengacu kepada hadis Rasulullah SAW di atas, maka banyak  ulama yang mengatakan bahwa: “Kejujuran adalah pangkal takwa yang sebenar-benarnya.”

Sedangkan Imam Al-Ghazali menyatakan; “Jujur adalah pangkal ikhlas atau tidaknya semua amal perbuatan seorang hamba. Seseorang tidak akan sampai ke tingkatan ikhlas yang sesungguhnya, jika tidak memiliki kejujuran.”

Al-Junaid mengatakan: “seseorang bisa saja ikhlas dalam suatu perbuatan, akan tetapi belum tentu jujur dalam hal lain.” (Contohnya adalah semisal sedekah yang di berikan oleh seorang pencuri/koruptor. Si pencuri/ si koruptor bisa saja ikhlas ketika menyedekahkan sebahagian hasil curian/korupsinya kepada orang lain, tapi belum tentu ia mau mengungkapkan secara jujur, bahwa apa yang disedekahkannya itu adalah hasil curian / koprusi yang dilakukannya)

Berkaitan dengan penjelasan diatas, Syaikh Fathur-rahman menjelaskan pula; bahwa kewajiban berpuasa yang diperintahkan Allah SWT kepada orang yang beriman di setiap bulan Ramadhan, tujuan utamanya bukan hanya sekadar mendidik kita untuk bertakwa sebagaimana yang terangkum dalam firman Allah SWT:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana yang diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Akan tetapi perintah tersebut langsung atau tidak langsung tujuan akhirnya yang paling utama adalah, agar  di dalam diri setiap orang yang beriman yang melaksanakan kewajiban puasa tersebut tumbuh sifat jujur atau ada kejujuran di dalam dirinya. Dalam hal ini dikatakan oleh Syaikh Fathur-rahman bahwa, paling tidak ada 2(dua) kondisi yang pada akhirnya dapat menumbuhkan sifat jujur atau kejujuran dalam diri orang yang berpuasa:

Pertama: Puasa adalah ibadah yang tersembunyi atau dalam istilah lain ada yang menyebutnya sebagai ibadah bathiniah atau ibadah sirr, dimana kondisi puasa atau tidaknya seseorang  hanya diketahui oleh orang yang berpuasa dan Allah SWT. Tidak ada seorangpun yang dapat menilai atau memprediksi: Apakah seseorang itu sedang puasa atau tidak.  Dan oleh keadaan ini pula, maka ibadah puasa pada akhirnya memiliki nilai tambah tersendiri sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis qudsi:

 “Bahwa sesungguhnya  Allah SWT telah ber-firman: “Semua kelakuan anak Adam dapat dicampuri kepentingan hawa nafsunya, kecuali puasa. Maka hal itu melulu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalas-nya.” (HQR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a)

Yang kedua: Besar atau kecilnya nilai ketakwaan seseorang terletak dari besar atau kecilnya nilai-nilai kejujuran yang dia miliki. Hal ini sangat berkaitan dengan apa yang tellah difirmankan  Allah SWT:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakan-lah perkataan yang benar.” (Q.S.Al-Ahzab: 70)

Lebih lanjut  Syaikh  Fathur-rahman menjelaskan, jika seseorang itu tidak lagi memiliki nilai-nilai kejujuran, maka di saat itulah semua amal ibadah yang dilakukannya  tidak berguna sama sekali. Dan boleh jadi keadaan inilah yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW dalam sabda beliau:

“Sesungguhnya, tidak ada agama bagi orang yang tidak jujur. Bahkan, tidak ada shalat dan tidak ada zakat bagi mereka yang tidak jujur.”

Mudah-mudahan pada Ramadhan tahun ini dengan berupaya semaksimal mungkin menunaikan kewajiban puasa Ramadhan dan ibadah-ibadah lainnya; baik yang diwajibkan mapun yang sunat; kita telah diberikan hidayah dan inayah oleh Allah SWT untuk menapaki jalan kejujuran yang lebih baik dari hari-hari kemarin; baik dalam keadaan berpuasa ataupun tidak.  Wallahua’lam.

Jakarta, 9 Ramadhan 1433 H / 29 Juli 2012
KH. BACHTIAR AHMAD

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.