Monday 31 December 2012

MISKIN ITU MULIA



MISKIN ITU MULIA
oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
=======================
Bukhari dan Muslim r.a meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a yang berkata:

“Sekelompok orang-orang fakir miskin dari kaum Muhajirin datang kepada Rasulullah SAW sambil mengeluh dan berkata: “Ya Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong semua pahala dan tingkat-tingkat (maksudnya kedudukan) yang tinggi serta kebahagiaan yang abadi; Mereka sholat dan berpuasa sebagaimana yang kami lakukan. Akan tetapi mereka mempunyai harta untuk menunaikan haji; umroh dan bersedekah.”  Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Sukakah kalian saya ajarkan seseuatu yang dapat mengejar orang-orang yang terdahulu dari kamu dan orang-orang yang kemudian, dan tidak ada yang lebih utama dari kamu, kecuali mereka melakukan seperti yang kamu perbuat ?” Mereka menjawab: “Baiklah ya Rasulullah.” Rasulullah SAW lalu bersabda: “Setiap selesai sholat bacalah olehmu Tasbih (Subhanallah); Tahmid (Alhamdulillah) dan Takbir (Allahu Akbar) masing-masing sebanyak 33 kali.”

Beberapa waktu kemudian kelompok fakir miskin tersebut datang lagi kepada Rasulullah SAW dan berkata: “Ya Rasulullah, saudara-saudara kami yang kaya raya telah mendengar apa yang engkau ajarkan kepada kami, maka merekapun berbuat seperti yang kami lakukan.” Rasulullah SAW bersabda: “Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.”(HR.Mutafaq ‘alaihi)
****
Hidup miskin itu memang “tidak enak”.  Sebab sebagai orang miskin; disamping dalam pergaulan masyarakat sering direndahkan,  maka untuk beribadah kepada Allah SWT pun sangat terbatas. Lantaran orang miskin tidak bisa menunaikan ibadah haji; membayar zakat; bersedekah dan lain sebagainya, seperti yang dilakukan oleh orang-orang kaya.  Akan tetapi walau demikian sebagaimana yang juga dijelaskan oleh Rasulullah SAW, ketidak mampuan itu tidaklah menghalangi “orang miskin” untuk masuk surga; bahkan merekalah yang mendapatkan kemuliaan untuk lebih dulu masuk surga ketimbang orang kaya. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:

“Sesunguhnya orang-orang miskin mendahului orang-orang yang kaya masuk ke suga pada hari kiamat dengan selisih waktu 40 musim atau 40 tahun”(HR.Muslim dari Abd.Rahman Al-Hubuli r.a)

Sedangkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid dinyatakan, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Aku pernah berdiri di pintu surga, ternyata kebanyakan yang memasukinya adalah orang-orang miskin, dan orang-orang kaya banyak yang terhalang memasukinya.” (HR.Mutafaq ‘alaihi)

Dan yang paling istimewa adalah; walaupun “orang miskin” tidak harta, tapi di dalam harta yang dimiliki oleh “orang-orang kaya” ada bagian harta untuk mereka   sebagaimana yang dinyatakan Allah SWT dalam firman-Nya:

“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”  (Q.S. Adz-Dzariyat: 19)

Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Abdullah Al-Ghazali maknanya adalah; Bahwa jika orang kaya tidak mau mengeluarkan hak orang miskin dari harta yang mereka miliki, maka harta itu secara tidak langsung akan menjadi “sedekah” orang miskin kepada si kaya yang memiliki harta tersebut.

Hal lainnya yang patut di-ingat dan diperhatikan oleh “orang miskin” adalah; bahwa harta bukanlah segala-galanya, sebab tidak semua perkara bisa diselesaikan dengan harta; bahkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT sekalipun sebagaimana firman-Nya:

“Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (di dalam syurga).” (Q.S. Saba’: 37)

Oleh sebab itu jangan takut miskin. Sebab boleh jadi Allah ingin meringankan beban kita dari tanggung jawab harta. Yang penting bagi kita adalah, hendaknya terus berupaya menambah-nambah amal ibadah dengan mengerjakan ibadah sunnat dan kebajikan-kebajikan lainnya sesuai dengan batas kemampuan kita. Mudah-mudahan dengan demikian kalaupun kita miskin di dunia, kita akan menjadi orang kaya di akhirat dan akan beroleh surga yang tingkatan-nya lebih tinggi dan lebih baik dari orang-orang yang diberikan kekayaan oleh Allah SWT di dunia yang fana ini. Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 17 Safar 1434 H / 31 Desember 2012
KH.BACHTIAR  AHMAD

Monday 24 December 2012

MY FRIENDS



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
====================
Kita tentu sepakat, bahwa tidak ada seorang manusiapun di muka bumi ini yang dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Sebab hakikatnya manusia adalah mahluk sosial yang pasti membutuhkan lingkungan dan pergaulan. Begitu juga saya dan anda semua; Apapun latar belakang dengan kehadiran atau ikut sertanya kita di “arena FB” ini, pasti butuh “friends” atau teman-teman; baik yang sudah kita kenal secara nyata maupun hanya di “dunia maya”. Lalu untuk apa sebenarnya kita “berteman” ?

Bagi orang yang beriman (seorang muslim), “friend” atau teman bukan hanya sekadar tempat untuk “curhat” atau “kawan bermain”. Allah dan Rasul-Nya (syariat Islam) sudah menetapkan, bahwa “tujuan” pokok berteman atau bergaul itu adalah untuk saling tolong menolong dalam setiap kebajikan dalam upaya meningkatkan nilai-nilai ketakwaan; bukan sebaliknya saling menjerumuskan ke dalam perbuatan maksiat dan kejahatan sebagaimana yang ditegaskan Allah SWT dengan firman-Nya:

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.  Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Q.S. Al-Maa-idah: 2)

Dan oleh karena hal yang demikian itulah dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda:

“Perumpamaan kawan yang baik adalah seperti pembawa minyak wangi (misik), bila kamu tidak mendapat sesuatu darinya (minyak tersebut) maka paling tidak kamu akan terkena aroma harumnya. Dan perumpamaan kawan yang jahat adalah laksana tukang besi, bila kamu tidak mendapat hitamnya maka paling tidak kamu akan terkena asapnya.” (H.R. Muttafaq ’alaihi dari Abu Musya Al-Asyari/Anas r.a)

Bahkan dalam hadis lainnya Rasulullah SAW telah membuat patokan yang lebih penting dalam hal memilih teman; bahwa beliau bersabda:

“Agama seseorang itu cenderung mengikuti agama temannya, oleh karena itu setiap orang dari kalian hendaknya melihat (memperhatikan) siapa yang ia pergauli.” (H.R. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah r.a)

Hal ini sangat ditekankan oleh Rasulullah SAW, sebab pada di “yaumil akhir”  nanti, teman yang kita pergauli di dunia ini akan menjadi tidak akan lagi dapat kita ajak kompromi dan saling berbagi, melainkan akan menjadi “musuh” sebagaimana yang ditegaskan Allah SWT dengan firman-Nya:

“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.”  (Q.S. Az-Zukhruf: 67)

Oleh sebab yang demikian itulah hendaknya kita bisa memilih dan memilah teman dengan sebaik-baiknya, agar pada masanya kita tidak menyesal dan merasa rugi dengan “friends” yang kita pilih dan akan berkata di hadapan Allah SWT:

“Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab (ku).” (Q.S. Al-Furqaan: 28)

Selain itu ada pula hal yang sangat penting untuk diperhatikan dan diaplikasikan “adab bergaul” dalam keberagaman yang ada; Bahwa kita sangat dilarangn mencela atau mencaci seseorang “yang tidak kita sukai” sebagai teman lantaran adanya perbedaan pendapat dalam masalah-masalah yang tidak prinsip; yang sering kita sebut sebagai masalah “khilafiyah”.  Dan hal tersebut telah ditegaskan Allah dengan firman-Nya:

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. // Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.  Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang lalim. //  Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain.  Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.  Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. //  Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.  Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”  (Q.S. Al-Hujuraat: 10-13)

Semoga Allah menghidarkan kita dari budi pekerti yang buruk dan memberi serta memilihkan “teman” yang tepat lagi sesuai untuk kita. Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 10 Safar 1434 H / 24 Desember 2012
KH.BACHTIAR AHMAD

Monday 17 December 2012

PELAJARAN DARI UHUD





oleh: KH.Bachtiar Ahmad
======================
Kita tentu sudah maklum, bahwa perjalanan kehidupan  di dunia ini tak ubahnya bagaikan berada dalam putaran roda; kadang di atas; kadang di bawah. Dan tentu saja kita tak bisa tawar menawar untuk keadaan yang semacam ini. Sebab bagaimanapun keadaannya, yang hidup pasti mati; terang benderangnya siang pasti akan berganti menjadi gelapnya malam; yang berpangkat rendah suatu saat tentu akan naik, sedangkan yang berpangkat tinggi pada akhir-nya pasti akan kembali menjadi orang biasa setelah habis masa tugas dan jabatannya. Dan inilah takdir yang pasti, yang telah ditetapkan oleh Allah SWT sebagaimana yang dinyatakan-Nya di dalam Al-Qur’an:

“Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mem-punyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki; di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. //  Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup; dan Engkau beri rezki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas).” (Q.S.Ali ‘Imraan: 26-27)

Namun demikian, walaupun masalah ini sudah jelas diketahui, ternyata masih banyak di antara kita yang tak bisa menyikapinya secara baik. Bahkan terkadang cenderung menyalahkan “Tuhan”  dan beranggapan bahwa “Tuhan” telah berbuat tidak adil kepada kita. Sehingga pada akhirnya mereka berontak ketika pergantian roda kehidupan itu terjadi, dan berupaya melawannya dengan berbagai cara, seakan-akan merekalah yang lebih kuat daripada Allah SWT.Na’udzubillahi min dzalik!   Padahal “ibroh” (pelajaran) yang diterangkan dan yang ditampakkan Allah kepada kita; baik dengan apa yang terjadi di sekitar kita, maupun dengan sejarah kehidupan umat di masa lalu. Dan untuk itulah kemudian Allah mengingatkan kita dengan satu “pertanyaan” yang juga Allah “jawab” sendiri untuk kita:

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (begitu saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi ?. // Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.”  (Q.S. Al-Ankabuut: 2-3)

Dan untuk itu, bagi kita yang kadang kala masih saja tidak bisa menerima situasi dan kondisi hidup yang sedang dialami; ada baiknya kita belajar kembali dari “Uhud” dalam rangka memperkuat iman dan kesabaran diri….

“….Sejarah telah mencatat, bahwa dalam “perang Uhud” kaum muslimin mengalami kekalahan telak, padahal sebelumnya sudah mendapatkan kemenangan. Bahkan tersiar kabar bahwa Rasulullah SAW “tewas dan terbunuh” dalam peperangan tersebut. Dan ketika kaum muslimin bertanya-tanya mengapa Allah tidak memberikan pertolongan kepada mereka sebagaimana halnya yang mereka dapatkan dalam perang Badar, maka turunlah wahyu Allah:

“Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'; dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Q.S. Ali ‘Imraan: 140)

Jadi kalau saat ini kita sedang di uji, maka hal itu tak perlu dirisaukan. Sebab bagaimanapun juga, keadaan serupa bahkan mungkin lebih buruk dan lebih sulit lagi keadaannya; telah lebih dulu diberikan dan diujikan Allah kepada mereka yang lahir dan hidup sebelum kita. Mudah-mudahan dengan demikian kita akan selalu bersabar  dan bertawakkal kepada Allah sambil terus berupaya memperbaiki keadaan yang ada, dan siap menerima dengan penuh ikhlas apa yang akan datang dan apa pula yang akan pergi dari kehidupan kita. Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 04 Safar 1434 H / 17 Desember 2012.
KH.BACHTIAR AHMAD.


 

Friday 7 December 2012

NASIHAT GURUKU: (10)



oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
=====================


(Adab kepada Ulama)
Anakku, salah satu rahmat Allah bagi orang-orang yang beriman adalah adanya perbedaan pendapat di kalangan mereka sebagaimana firman-Nya:

“Jika Tuhanmu menghendaki, tentulah Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.” (Q.S.Huud: 118)

Oleh sebab itu janganlah engkau menyelisihi atau mencela pendapat saudaramu atau ulama yang lain, lantaran engkau sepaham dengan pendapat atau bertaklid kepada pendapat ulama lainnya. Kecuali jika mereka menyekutukan Allah dan mengaku ada Nabi dan Rasul yang lain sesudah Muhammad Rasulullah SAW dalam pendapat mereka tersebut. Atau mereka menghalalkan sesuatu yang sudah jelas dan pasti haramnya; dan sebaliknya mengharamkan sesuatu yang sudah jelas dan pasti halalnya.

Anakku, hendaklah engkau ketahui; bahwa adalah hal yang wajar manakala terjadi perbedaan pandangan dan keragaman fatwa atau pendapat dalam suatu permasalahan, karena “ijtihad” mereka tidaklah sama dalam hal membahas atau mengupas permasalahan tersebut. Sekalipun “dalil” yang mereka gunakan bersumber dari satu tempat yang sama. Hal yang demikianlah yang pernah terjadi di kalangan sahabat setelah wafatnya Rasulullah SAW, dan para ulama generasi pertama  umat ini (Islam). Mereka  tidak pernah saling hujat manakala terjadi perbedaan pendapat; Bahkan yang terjadi adalah, mereka saling mengisi antara satu sama lain, sehingga pada akhirnya pemahaman terhadap masalah yang ada semakin berkembang, dan adakalanya itu sangat memudahkan umat untuk menjalankan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.

Anakku, janganlah bersikap fanatik dan memiliki loyalitas berlebihan terhadap pendapat para imam dan ulama yang engkau kagumi; yang kepadanya engkau lekatkan beragam sanjungan dan muliakan; sehingga pada akhirnya dengan amat mudah engkau meremehkan; bahkan mencaci ulama-ulama yang lain. Padahal mereka juga telah dimuliakan Allah dengan ilmunya, yang juga di-ikuti oleh sebahagian besar saudara-saudaramu yang seiman. Ingatlah akan firman Allah SWT:

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. // Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok)…”  (QS. Al-Hujuraat: 10-11)

Anakku, janganlah engkau jadikan ulama-ulama yang engkau kagumi sebagaimana orang-orang Yahudi dan Nasrani telah menjadikan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam firman Allah SWT:

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah..” (QS. At-Taubah: 31)

Anakku, salah satu terpecah belahnya persatuan dan kesatuan umat ini dalam firqah-firqah yang mereka buat sendiri adalah karena adanya saling hujat menghujat tersebut. Dan pada akhirnya hal inilah yang dijadikan alat oleh musuh-musuh Islam untuk mencerai beraikan dan melemahkan kita dengan debat berkepanjangan, bahkan kadang ada yang tidak merasa, bahwa mereka sudah menjadi bagian orang-orang Yahudi dan Nasrani lantaran pendapat mereka sudah terkontaminasi oleh pendapat orang-orang Yahudi dan Nasrani tersebut.

Anakku, sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman:

Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (QS. Al-Baqarah: 147)

Adapun maknanya antara lain adalah; bahwa kebenaran yang hakiki itu hanya ada dalam ilmu dan pengetahuan Allah. Dan jika engkau merasa benar dengan apa yang engkau ketahui, genggamlah dengan erat dan laksanakanlah kebenaran itu; dan biarkanlah saudaramu yang lain dengan pendapat yang mereka yakini kebenarnnya. Mudah-mudahan kita semua termasuk ke dalam golongan hamba-hamba Allah yang benar, sekalipun dalam berbagai pendapat kita saling berbeda memahaminya.  Wallahua’lam.

(dinukil dan diedit dari HALAQAT AS-SALIKIN karangan SYAIKH ABDULLAH FATHURRAHMAN )

Bagansiapiapi, 24 Muharram 1434 H / 8 Desember 2012
KH. BACHTIAR AHMAD


Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.