Friday 25 January 2013

LEBIH MULIA DARI “NABI DAN RASUL”



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================
Sekarang ini kita kembali berada di bulan Rabi’ul Awal, bulan dimana banyak  kaum muslimin menyelenggarakan Maulid Nabi SAW sebagai salah satu upaya untuk mengkaji ulang dan memahami lebih banyak sejarah kehidupan; perjuangan dan ajaran yang telah disampaikan oleh Rasulullah SAW. Dan tentu saja yang lebih utama lagi adalah agar tumbuh kesadaran diri untuk mengikuti dan meneladani “akhlaqul kariimah” Rasulullah SAW sebagaimana yang tersirat dalam firman Allah SWT:

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat; dan dia banyak  mengingat Allah.” (Q.S.Al-Ahzab: 21)

Syaikh Abdullah Al-Ghazali mengatakan, bahwa jika seorang mukmin yang benar-benar  meneladani serta mengaplikasikan akhlak dan budi pekerti Rasulullah SAW dalam kehidupannya, maka boleh jadi juga bisa menjadi lebih mulia dari “nabi” dalam konteks dan pemahaman yang lain. Artinya ialah, bahwa sebagai orang yang mewarisi sifat dan kemuliaan akhlak Rasulullah SAW, pada akhirnya ia pun akan menjadi “buah bibir” dan teladan bagi sebahagian generasi berikutnya sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam  hadis Rasulullah SAW yang menyatakan:

“Bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Di antara umat-umatku kelak akan ada orang-orang yang kedudukannya melebihi kedudukan para nabi dan rasul dari kalangan Israil.”  (HR. Imam Ahmad dan Al-Baihaqi r.a)

Setuju atau tidak dengan apa yang dikatakan oleh Syaikh Abdullah Al-Ghazali dalam memaknai hadis Rasulullah SAW tersebut, yang jelas keadaan itu sudah dibuktikan oleh sejarah kehidupan yang ada. Sebab ada “hamba-hamba Allah” yang telah bersungguh-sungguh meneladani dan mengamalkan apa yang telah diwariskan dan diajarkan oleh Muhammad SAW, telah dimuliakan Allah SWT dan menjadi “panutan” pula bagi sebahagian yang lain dalam rangka memahami dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang telah diwariskan Rasulullah SAW kepada umat beliau.  

Sebagai contoh sebut saja nama-nama seperti seperti Abu Hanifah yang lebih dikenal dengan nama Imam Hanafi; Imam Malik; Imam Syafi’i; Imam Ahmad bin Hanbali; Syaikh Abdul Qadir Jailani; Hujjatul Islam Al-Ghazali; Muhammad Bahauddin An-Naqsyabadi dan banyak lagi tokoh-tokoh yang lainnya yang menjadi panutan dan ikutan kaum muslimin di seantero belahan bumi ini. Dan tentu saja keberhasilan mereka adalah lantaran setelah mereka betul-betul berupaya semaksimal mungkin meneladani dan melaksanakan ajaran-ajaran  dan prilaku  yang telah diwariskan oleh Muhammad Rasulullah SAW.

Dikatakan oleh Syaikh Abdullah, bahwa lepas dari segala macam kelebihan yang diberikan Allah SWT kepada Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul-Nya, maka pada hakikatnya beliau adalah manusia biasa seperti kita. Sehingga dengan demikian  untuk meneladani dan mencontoh beliau dari sisi kemanusiaannya adalah hal yang sangat mudah; baik yang berkaitan dengan “hablum-minallah” ataupun “hablum-minannas” semaksimal mungkin yang bisa kita lakukan. Jadi semuanya terserah pada kemauan dan usaha kita sendiri. Yang jelas jangan jadikan alasan “meneladani Rasulullah SAW” hanya dalam hal-hal menyenangkan nafsu diri belaka. Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 12 Rabiul Awwal 1434 H / 25 Januari 2013.
KH.BACHTIAR AHMAD

Friday 18 January 2013

DI ANTARA SUAMI DAN ALLAH



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
 =====================
Diriwayatkan, bahwa “Rayah Al-Qisiy” adalah seorang yang ta’at lagi shalih menikah dengan seorang perempuan shalihah dan ahli ibadah. Suatu hari ada beberapa sahabat Rayah yang  bertanya keadaan ibadah isterinya, Lalu Rayah Al-Qisiy pun bercerita:

“Beberapa tahun  sebelum anak kami lahir, hampir setiap malam sesudah melaksanakan sholat isya’ dan melayani makan malamku,  isteriku berdandan dan bersolek serta memakai wangi-wangian yang sangat kusukai. Kemudian ia datang kepadaku sambil berkata: “Wahai suamiku, sesungguhnya diriku ini adalah milik Allah yang telah DIA amanahkan kepadamu, maka apakah malam ini engkau ada berhasrat kepadaku; Jika engkau berhasrat, maka aku akan berada di sisimu sepanjang malam; jika tidak izinkanlah aku bersama Allah pada malam mini.”

Kata Rayah lagi: “Jika aku menjawab “ya”, maka isteriku tak akan pernah beranjak dari sisiku tanpa aku mengizinkannya melakukan sesuatu; Akan tetapi jika aku mengatakan “tidak”, maka iapun segera melepaskan dandanannya, lalu mengambil tempat untuk beribadah kepada Allah sampai saat tibanya waktu shubuh. Kemudian setelah ia melahirkan anak-anak kami, ia tetap melakukan hal yang sama dengan membagi waktunya untukku; untuk anak-anak kami dan juga untuk Allah.”

(dipetik dan diedit dari Kisah-Kisah Sufistik)

Bagansiapiapi, 6 Rabi’ul Awwal 1434 H / 18 Januari 2013
KH.Bachtiar Ahmad

Friday 11 January 2013

PESAN GURUKU: (11)



oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
=======================
(Tentang Sedekah dan Kehilangan)
Anakku, perintah Allah untuk mengeluarkan zakat dan menginfakkan hartamu serta bersedekah itu, pada hakikatnya adalah salah satu cara Allah untuk memuliakan dirimu dengan harta milik orang lain yang Allah titipkan kepadamu. Hal inilah yang sebenarnya menjadi makna inti dari firman Allah SWT yang menerangkan:

“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (tidak meminta).” (Q.S. Adz-Dzariyat: 19)

Jika hal ini engkau sadar dan pahami dengan sungguh-sungguh, maka insya Allah dalam setiap kali engkau akan senantiasa ikhlas ketika memberikan harta yang ada padamu kepada orang lain; tak peduli apakah mereka meminta atau tidak memintanya kepadamu.  

Begitu juga ketika engkau kehilangan harta benda atau sesuatu yang engkau sayangi, maka hendaklah engkau yakinkan  hatimu dengan sebenar-benarnya pemahaman, bahwa semua yang ada di langit dan dibumi serta di antara keduanya, bahkan termasuk dirimu sendiri adalah milik Allah SWT sebagaimana firman-Nya:

“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang di antara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”  (Q.S. Al-Maa-idah: 17)

Kepunyaan-Nya-lah perbendaharaan langit dan bumi; Dia melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (nya). Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. Asy-Syuura: 12)

Apabila hal ini engkau tertanam dalam hatimu,  maka jika sewaktu-waktu Allah mengambilnya kembali, tentulah hatimu akan menjadi lapang dan akan hilang pula kesedihan dari hatimu. Setelah itu,  insya Allah; Dia Yang Maha Memiliki akan menetapkan kesabaran di dalam hatimu.  

Semoga Allah memberikan kepahaman yang banyak padamu tentang apa yang telah kusampaikan ini. Wallahua’lam

(dinukil dan diedit dari HALAQAT AS-SALIKIN karangan SYAIKH ABDULLAH FATHURRAHMAN )

Bagansiapiapi, 29 Safar 1434 H / 12  Januari  2013
KH. BACHTIAR AHMAD

Friday 4 January 2013

BUAH HATI KITA



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
======================
Anak adalah buah hati bagi kedua orang tuanya yang sangat disayangi dan dicintainya. Oleh sebab itulah di awal pernikahan; ketika  bahtera rumah tangga pertama kali diarungi; Banyak pasangan suami isteri yang berharap kepada Allah SWT agar segera dikaruniai anak, bahkan ada yang merancang dan berharap berapa banyak anak yang diinginkan. Adapun isyarat akan betapa penting dan berartinya kehadiran anak dalam kehidupan seorang ayah dan ibu, telah disiratkan Allah SWT melalui kisah Nabi Zakaria dan Nabi Ibrahim a.s. sebagaimana firman-Nya:

“Di sanalah Zakariya mendoa kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.” (Q.S. Ali ‘Imran: 38)

“Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa.” (Q.S. Ibrahim: 39)

Tatkala harapan memiliki “timangan” terpenuhi, maka semua orang tua tentunya berharap agar sang anak si buah hati kelak akan menjadi “anak yang shalih”, berguna bagi orang tua; keluarga; bangsa; negara dan tentu saja yang lebih utama lagi dalam hal agamanya.

Sebagaimana yang disebutkan dalam hadis Rasulullah SAW, maka “anak yang shalih”  adalah salah satu “harta” yang tidak dapat dinilai berapa harganya, karena ketika seseorang telah “terkubur”  di dalam tanah, “doa anak yang shalih” akan terus mengalir untuk kedua orang tuanya. Bahkan di Hari Kiamat nanti, “syafa’at” anak akan dapat meringankan langkah orang tuanya untuk memasuki surganya Allah. Dan oleh yang hal yang demikian inilah Allah SWT mengajarkan kepada kita untuk berdo’a memohon anak yang shalih sebagaimana yang dimohonkan oleh Nabi Ibrahim a.s:

“Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.” (Q.S.Ash-Shaffat: 100)

“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.”  (Q.S.Ibrahim: 40)

Atau dalam lafaz do’a yang sering kita bacakan seusai sholat:

“Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”  (Q.S. Al-Furqan: 74)
           
Akan tetapi walaupun masalah ini sudah kita maklumi dan pahami, dalam kenyataannya apa yang dilakukan orang tua terhadap anak-anak mereka banyak yang bertolak belakang dengan apa yang telah diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Banyak orang tua yang lebih terobsesi pada kesuksesan “duniawi” anaknya daripada menjadikan buah hatinya sebagai “anak yang shalih” dalam artian yang sesungguhnya. Bahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang bersifat duniawi tersebut, banyak orang tua yang rela dan habis-habisan membiayai pendidikan sang anak si buah hati. Sementara untuk kepentingan “ukhrawinya”, hanya sebatas yang dianggap perlu-perlu saja. Artinya, asal anak bisa sholat; bisa (sekadar) mengaji atau membaca Al-Quran dan mengerti sedikit hukum-hukum agama, maka hal itu sudah dianggap cukup memadai untuk kehidupan akhiratnya.  Padahal kita semua tahu persis, bahwa bagi  orang-orang yang beriman; akhirat jualah tempat yang paling baik buat mereka sebagaimana yang difirmankan  Allah SWT:

 “Katakanlah: “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.” (Q.S. An-Nisa’: 77)

Masalah ini memang sesuatu yang sangat klasik, tapi tentu saja tidak bisa diabaikan begitu saja oleh setiap  orang tua atau mereka yang akan menjadi orang tua bagi anak-anaknya. Karena dengan semakin berkembangnya teknologi duniawi, tantangan yang akan dihadapi akan lebih besar dan sangat kompleks. Dan satu hal lagi yang paling utama untuk diperhatikan dan diwaspadai adalah tentang apa yang telah diperingatkan oleh Allah SWT:

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu (maksudnya setelah beriman), maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”   (Q.S. Al-Baqarah: 120)

Semoga tulisa ini ada manfaatnya. Wallahua’lam

Bagansiapiapi, 21 Safar 1434 H / 04 Januari 2013
KH.BACHTIAR AHMAD

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.