Friday 31 May 2013

AURAT-KU YA RASULULLAH...



Oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas r.a; Bahwa ada seorang perempuan yang berpenyakit ayan datang dan memohon kepada Rasulullah SAW, agar beliau mau mendo’akan dirinya sembuh dari penyakit yang ia derita. Sebab ketika penyakit itu kambuh dirinya sangat menderita dan tanpa ia sadari “auratnya” terbuka, sehingga hal itu sangat memalukan dirinya.

Mendengar penjelasan perempuan tersebut, Rasulullah SAW pun bersabda: “Jikalau engkau suka hendaklah bersabar saja dan untuk itu balasan bagimu adalah syurga, akan tetapi jikalau engkau mau maka saya akan mendoakanmu dan memohon kepada Allah Ta'ala agar penyakitmu itu disembuhkan oleh-Nya." Setelah mendengar apa yang disabdakan oleh Rasulullah SAW tersebut, perempuan  itu lalu berkata: “ Ya Rasulullah, saya akan selalu bersabar. Akan tetapi ya Rasulullah, karena penyakit itu aurat saya selalu terbuka, maka saya mohon berdo’alah kepada Allah, agar kiranya aurat saya tidak menjadi terbuka lantaran penyakit itu.” Kemudian Rasulullah SAW pun berdo’a kepada Allah sebagaimana yang dikehendaki oleh perempuan itu.
(catatan: Hadis tentang riwayat ini  juga dimuat dalam Riyadush-sholihin pada Bab 3 tentang Sabar; hadis no. 35)

*****-*****
Banyak hikmah dan pelajaran yang bisa kita petik dari riwayat di atas, tapi untuk “tulisan” ini saya hanya ingin mengajak anda untuk merenungkan dan membandingkan; kondisi iman perempuan yang terjangkit  “penyakit ayan” tersebut dengan “kebanyakan” muslimah masa kini. Bahwa sekalipun menurut hukum tersingkap dan terbukanya aurat karena penyakit yang ia derita tidak menjadi masalah; atau dengan kata lain “tidak berdosa” ia lakukan, namun ia tetap merasa malu dan merasa berdosa kepada Allah. Sehingga pada akhirnya ia meminta Rasulullah SAW bermohon kepada Allah SWT,  agar auratnya tidak tersingkap dan terbuka ketika “ayannya” kambuh.

Kondisi iman perempuan tersebut tentunya sangat berbeda dengan “kebanyakan”  muslimah masa kini (yang di antara mereka mungkin saja ada anak; ponakan; cucu dan atau saudara perempuan saya), bahwa mereka tidak lagi merasa malu dan seakan-akan tidak berdosa untuk menyingkap dan membuka aurat. Bahkan ada yang merasa bangga dengan memamerkan auratnya, entah itu dalam keadaan terbungkus ataupun tidak sama sekali.  Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita semua.
Wallahua’lam.

Jakarta, 21 Rajab 1434 H / 31 Mei 2013.
KH.BACHTIAR AHMAD

Friday 24 May 2013

SI PENGHUNI SURGA



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
======================
Dalam sebuah riwayat dari Anas bin Malik, dia berkata: “Sa’at kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah SAW, beliau berkata: “Akan datang kepada kalian sekarang ini seorang laki-laki penghuni surga.” Dan beberapa sa’at kemuian datanglah  seorang laki-laki dari kaum Anshar dengan bekas bekas air wudhu’ yang masih mengalir di jenggotnya, sedang tangan kirinya memegang terompah. Keesokan harinya Rasulullah saw mengatakan hal yang sama, dan ternyata laki-laki itu yang datang lagi persis seperti kedatangannya yang pertama kali. Dan hal yang sama terjadi lagi di hari ketiga.

Selanjutnya Anas r.a mengatakan; Bahwa melihat keadaan yang demikian, setelah Rasulullah SAW beranjak, Abdullah bin Amr bin Ash membuntuti laki-laki tadi sampai ke rumahnya. Lalu Abdullah berkata: “Aku telah bertengkar dengan ayahku, kemudian aku bersumpah untuk tidak mendatanginya selama tiga hari. Bila kau setuju, aku mau tinggal bersamamu sampai tiga hari.” Abdullah  sengaja berbohong dengan harapan agar laki-laki itu mau menerimanya menginap dan ia bias melihat amalan apa gerangan yang dilakukan oleh laki-laki tersebut, sehingga dirinya telah ijamin oleh Rasulullah SAW sebagai penghuni surga. Dan dengan senang hati laki-laki itupun menerima permintaan Abdullah bin Amr bin Ash.

Kata Anas r.a: “Abdullah menceritakan, bahwa dia telah menginap di tempat laki-laki itu selama tiga hari. Dia lihat orang itu sama sekali tidak bangun malam (bertahajjud). Hanya saja, setiap kali dia berkata dan menggeliat di atas ranjangnya, dia selalu membaca dzikir dan takbir sampai dia bangun untuk melaksanakan sholat subuh. Selain itu kata Abdullah: “Aku tidak pernah mendengarnya berbicara kecuali yang baik-baik.”

Setelah tiga malam berlalu dan hampir saja aku menyepelekan amalnya, aku terusik untuk bertanya: “Wahai hamba Allah, aku mohon ma’af kepadamu; bahwa sesungguhnya aku tidak pernah bertengkar dan tidak saling menyapa ayahku. Aku sengaja berbohong setelah aku mendengar Rasulullah SAW berkata tentang dirimu sebanyak tiga kali, bahwa engkau adalah salah seorang yang kelak akan menjadi penghuni surga. Maka akupun ingin bersamamu agar bisa melihat apakah amalanmu, sehingga Rasulullah SAW menyatakan hal itu kepada kami; dan aku berharap bisa mngambil pelajaran darimu untuk ku-ikuti. Tetapi kau ternyata tidak terlalu banyak beramal. Lalu apakah sebenarnya amalanmu, sehingga engkau mencapai derajat mulia sebagaimana yang telah disabdakan Rasulullah SAW itu”.

Mendengar perkataan Abdullah tersebut, laki-laki itupun menjawab: “Aku tidak mempunyai amalan kecuali yang telah kau lihat sendiri, bahwa aku hanya berusaha semaksimal mungkin melaksanakan apa-apa yang telah diwajibkan Allah dan Rasul-Nya. Dan disamping itu aku tidak pernah berlaku  curang terhadap seorang pun dari kaum muslimin. Aku juga tidak iri hati pada seseorang atas karunia yang telah diberikan oleh Allah SWT kepadanya; aku hanya selalu berusaha untuk berbagi kepada yang lain dengan apa yang ada padaku. Aku juga selalu berbaik sangka dengan siapapun.”
***

Barangkali bukan hanya Abdullah bin Amr bin Ash r.a yang terpana mendengar jawaban laki-laki (calon) “penghuni surga” tersebut, akan tetapi juga kita semua dan kemudian berkata dalam hati; bahwa amalan untuk menjadi penghuni surga sebenarnya tidaklah begitu sulit dan sukar. Namun pertanyaannya adalah; “Apakah kita sanggup melakukannya ?”. Wallahua’lam

(dipetik dan dieit dari Kisah-Kisah Sufistik)

Jakarta, 14 Rajab 1434 H / 24 Mei 2013
KH.Bachtiar Ahmad

Friday 17 May 2013

TERNYATA AMIRUL MUKMININ



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================
Ketika ditunjuk dan diangkat sebagai “amirul mukminin” untuk wilayah Mada’in dan sekitarnya; Salman Al-Farisi r.a tetap bekerja sebagai penganyam daun kurma untuk menafkahi keluarganya, dan menolak untuk menerima gaji yang telah ditetapkan para sahabat Rasulullah SAW yang lain untuk tugasnya tersebut. Salman meminta para sahabat untuk memanfaatkan “uang baitul maal” yang disisihkan sebagai gajinya itu dimanfaatkan untuk kepentingan kaum muslimin yang lebih membutuhkan pertolongan dari diri dan keluarganya.

Pada suatu hari  setelah menjual hasil anyamannya di pasar; Salman berjalan-jalan menelusuri jalan raya untuk memperhatikan kondisi rakyat yang dipimpinnya, kalau-kalau ada di antara mereka yang membutuhkan bantuan. Tak lama kemudian Salman melihat beberapa orang laki-laki asing yang sedang bersiap-siap untuk memikul beberapa karung kurma, dan ketika Salman mendekat seorang dari mereka berkata: “Dapatkah anda mengikuti dan sekaligus menolong kami memindahkan barang-barang ini.” Lalu tanpa berkata apa-apa Salman kemudian mengangkat barang yang dimaksudkan dan melangkahkan kakinya mengikuti perjalanan laki-laki tersebut.

Diperjalanan mereka berpapasan dengan satu rombongan lain, dan kepada  mereka Salman pun memberi salam. Dan seketika itu juga  rombongan tersebut berhenti dan menjawab salam yang diucapkan Salman: “Wa’alaikumussalam ya, amirul mukminin.”  

Mendengar jawaban salam dari rombongan tersebut, serta merta orang yang ditolong Salaman tersebut  terkejut dan bertanya-tanya dalam hati: “Siapakah amirul mukminin  yang mereka maksudkan”. Dan mereka semakin terkejut ketika ada beberapa laki-laki dari rombongan itu yang mendekati Salman seraya berkata: “Ya amirul mukminin, berikan beban itu kepada kami.” Dan belum sempat Salman menjawab permintaan rombongan tersebut, laki-laki pemilik barang yang dipikul Salman datang mendekati “sang amir” dan berkata dengan gemetaran: “Wahai amirul mukmin, kami mohon ma’af atas kelancangan kami meminta anda untuk menolong kami membawa beban berat ini, karena kami tidak tahu kedudukan anda yang mulia.”

Salman al-Farisi hanya tersenyum dan berkata kepada pemilik barang yang ia pikul: “Wahai saudaraku, aku memang telah diberi kehormatan oleh Allah SWT sebagai pemimpin kaum muslimin di wilayah ini, tapi amanah tersebut bukanlah agar diriku mendapat pelayanan atau dilayani oleh orang banyak; bahkan sebaliknya sebagai pemimpin, akulah yang lebih berhak melayani kalian sebagaimana yang telah diajarkan Allah dan Rasul-Nya kepadaku. Jadi biarkan aku memikul dan mengantarkan barang-barang ini ke tempat tujuannya.”

Usai mengatakan hal itu, Salman meneruskan langkahnya sambil memikul bebannya menuju tempat yang dimaksudkan oleh si pemilik barang yang ditolongnya. Wallahua’lam.

Jakarta, 07 Rajab 1434 H / 17 Mei 2013
KH.BACHTIAR AHMAD

Friday 10 May 2013

KELEMBUTAN ISLAM



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================
Ketika Salahuddin Al-Ayyubi sedang asyik-asyiknya memberikan wejangan kepada anggota pasukannya, tiba-tiba saja seorang perempuan kafir masuk dan berteriak-terian dengan lantangnya di pintu kemah tempat di mana Salahuddin berkumpul dengan pasukannya. Sehingga suasana yang tertib dab khidmat itu berubah menjadi gaduh. Dan melihat keadaan itu, beberapa anggota pasukan Salahuddin berdiri dan dengan sigapnya menangkap si perempuan dan berusaha menariknya keluar dan menjauh dari perkemahan, tapi Salahuddin mecegah mereka dan memberi isyarat, agar si perempuan dihadapkan kepadanya.

Setelah perempuan itu berada di hadapannya, Salahudin lalu bertanya apa maksud si perempuan berteriak-teriak dan membuat gaduh di tempatnya. Dengan nada marah dan ketus perempuan tersebut berkata kepada Salahuddin: “Wahai tuan yang terhormat, anakku sudah diculik oleh pasukan tuan, sedangkan suamiku, sebagai satu-satunya orang yang bertanggung jawab untuk menafkahi aku dan anak-anak kami, telah tuan tahan sebagai tawanan perang. Padahal keikut sertaan suamiku dalam perang hanyalah karena terpaksa, demi membela dan mempertahankan tanah kelahirannya.  Selanjutnya setelah mendengar perkataan perempuan itu, Salahuddin lalu memerintahkan prajuritnya untuk membebaskan suami dan mencari anak yang diculik serta  mengembalikan mereka kepada perempuan kafir tersebut. Dan kepada perempuan tersebut Salahuddin berkata: “Wahai ibu yang baik, kami datang dan memerangi negeri anda bukan untuk menjajah, melainkan untuk menegakkan hukum Allah sebagaimana yang Allah perintahkan kepada kami. Islam tidak mengajarkan kejahatan melainkan akhlak yang mulia  dan sangat menghormati serta bertoleransi penuh kepada siapa saja, selama ia tidak memusuhi dan menyerang kemuliaan Islam. Islam bukanlah agama perusak, melainkan agama yang memberikan rahmat untuk alam semesta ini.” Lalu Salahuddin membacakan firman Allah SWT:

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (dunia) itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.  Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (Q.S. Ali ‘Imran: 159)

Salahuddin juga berujar kepada perempuan tersebut: “Kami juga tidak memaksa seseorang untuk memeluk agama (Islam) yang kami yakini sebagaimana yang Allah dan Rasul-Nya ajarkan kepada kami melalui firman Allah SWT:  

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 256)

Mendengar penjelasan Salahuddin itu, si perempuan kafir tersebut lalu berkata: “Alangkah indahnya agama tuan dan itu telah tuan buktikan sendiri dengan kemuliaan akhlak yang tuan miliki. Saya mohon ma’af atas kekasaran yang telah saya lakukan tadi, sekarang di hadapan tuan; saya, suami dan anak-anak kami, dengan sukarela ingin masuk dan menjadi pemeluk agama tuan, tuntunlah kami semuanya untuk keinginan kami tersebut.”

Akhirnya dengan tuntunan Salahudin Al-Ayyubi, perempuan kafir itu beserta suami dan anak-anak mereka, “bersyahadat” dan menyatakan keislaman mereka. Wallahua’lam.

(dinukil dan diedit dari Kisah-Kisah Sufistik)

Jakarta, 29 Jumadil Akhir 1434 H / 10 Mei 2013
KH.BACHTIAR AHMAD

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.