Friday 28 June 2013

DON'T WAIT UNTIL TOMORROW



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================
Waktu di “Sekolah Rakyat” dulu, buku tulis yang saya gunakan sangat beda dengan buku tulis yang dipakai oleh murid-murid “Sekolah Dasar” sekarang ini, yang sampulnya berwarna-warni dengan aneka ragam gambar yang menghiasinya. Buku tulis di zaman saya sekolah itu, sampulnya sangat sederhana; hanya terdiri dari kertas karton berwarna muda/cerah  yang tidak begitu tebal, yang di depannya ada tulisan :”Buku Tulis” kemudian ada kolom untuk menuliskan Nama; Pelajaran; Kelas dan Sekolah. Sedangkan pada sampul belakangnya ada “perkalian 1 sampai sepuluh” kemudian di bawahnya ada kotak yang berisi tulisan kalimat motivasi yang berbunyi: DON’T WAIT UNTIL TOMORROW – WHAT YOU CAN DO TODAY dengan terjemahan di bawahnya JANGAN TUNGGU SAMPAI BESOK – APA YANG BISA DIKERJAKAN, KERJAKAN HARI INI.

Kalimat itu kembali terngiang dan terbayang dalam benak saya. Makna dan hikmah dari kalimat motivasi tersebut sangat dalam artinya, salah satu di antaranya setelah saya membaca salah satu kisah hidup “Amirul Mukminin”  Umar bin Khattab r.a berikut ini…………………………


“…..Siang itu Umar bin Khattab r.a dengan langkah cepat berjalan menuju rumahnya. Dari raut wajahnya kelihatan “Amirul Mukminin” tersebut sangat keletihan setelah seharian “blusukan” melihat secara langsung kondisi umat yang diamanahkan Allah kepadanya. Baru saja sampai dekat kediamannya, seorang anak muda memberi salam dan memintanya untuk berhenti sejenak. Kemudian setelah Umar menjawab salam dan menghentikan langkahnya, anak muda itu berkata: “Wahai amirul mukminin, maukah tuan berhenti sesa’at dan menjawab beberapa masalah umat yang ingin kutanyakan kepada tuan ?”

Mendengar itu Umar lalu menjawab: “Wahai saudaraku, sungguh diriku sa’at ini sangat lelah setelah seharian ini aku melaksanakan tugas-tugasku. Jika engkau berkenan, izinkanlah aku untuk beristirahat sejenak sekadar melepaskan lelah. Petang nanti usai sholat Ashar datanglah kepadaku, insya Allah aku akan melayanimu dengan sebaik-baiknya.”

Lalu tanpa sungkan si pemuda berkata kepada Umar bin Khattab r.a: “Wahai Amirul Mukminin, jawaban tuan seakan-akan menyiratkan dan memberi isyarat kepada hamba, bahwa tuanlah yang mengatur hidup dan kematian tuan. Mengapa tuan begitu yakin, bahwa tuan akan tetap hidup menjelang waktu Ashar nanti; Bagaimana jika seandainya Allah SWT mencabut nyawa tuan tatkala tuan tidur nanti; Dan apa jawaban tuan kepada Allah atas segala segala sesuatu yang telah janjikan untuk tuan laksanakan ? Bukankan kita telah diajarkan oleh Rasulullah SAW untuk menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya; menggunakan waktu yang lapang sebelum tibanya waktu yang sempit, yakni sa’at-sa’at datangnya sakaratul maut.”

Ucapan pemuda itu kontan membuat “Amirul Mukminin” terkejut dan merasa malu dan takut kepada Allah SWT. Lalu dengan berisghtifar memohon ampunan Allah, Umar bin Khattab r.a mendekati si pemuda; lalu mengajaknya ke rumah dan melupakan segenap rasa lelah dan letihnya. Dan “Amirul Mukminin” itupun melayani apa yang menjadi keinginan “rakyat” nya dengan sepenuh hati………

Lalu bagaimana dengan kita sendiri. Wallahua’lam.

 (dinukil dan diedit dari KISAH-KISAH SUFISTIK)

Jakarta, 19 Sya’ban 1434 H / 28 Juni 2013.
KH.BACHTIAR AHMAD

Friday 21 June 2013

BBM UNTUK RAKYAT



oleh: KH.bachtiar Ahmad
=====================
Suatu malam ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz r.a sedang sibuk mencatat hal-hal yang berkaitan dengan rakyat dan pemerintahannya, masuklah seorang laki-laki muda menghadapnya. Setelah menjawab salam laki-laki tersebut dan mempersilahkannya duduk, Umar pun bertanya tentang maksud dan tujuan laki-laki itu datang kepadanya.

“Wahai amirul mukminin, ma’af beribu ma’af hamba mohonkan dari tuan, jika kedatangan hamba ini telah mengganggu ketenangan dan pekerjaan tuan”, laki-laki itu memulai pembicaraannya denga “Sang Khalifah”.

“Tak ada yang perlu dima’afkan wahai anak muda. Sebagai orang yang telah diberi amanah oleh Allah untuk mengurus rakyatnya, maka sudah selayaknyalah hamba menerima kedatangan anda. Sekarang coba jelaskan keperluan anda dan bantuan apa yang dapat kuberikan kepada anda.”

“Wahai amirul mukminin, sa’at ini rumah hamba sedang gelap gulita; anak-anak hamba menangis ketakutan. Kami tak punya apa-apa ataupun “BBM” untuk menyalakan lampu. Disini hamba melihat tuan memiliki dua buah lampu, kiranya tuan berkenan memberikannya kepada hamba barang sebuah.”

Mendengar itu Umar bin Abdul Aziz r.a hanya tersenyum, lalu tanpa bicara sepatahpun “Sang Khalifah” memberikan salah satu lampu yang dekat dengan dirinya dan memberikannya kepada lalki-laki muda yang datang kepadanya itu. Dan setelah mengucapkan terima kasih, laki-laki muda itu lalu beranjak pergi meninggalkan kediaman Umar bin Abdul Aziz. Akan tetapi belum lagi dirinya sampai di pintu gerbang kediaman “Sang Khalifah”, langkah laki-laki muda itu dihentikan oleh seorang pengawal yang kemudian bertanya kepadanya: “Apakah engkau meminta lampu yang kau bawa itu kepada Amirul Mukminin ?”, tanya sang pengawal.

“Benar, karena rumah kami sa’at ini gelap gulita dan beliau telah memberikan lampu ini kepadaku”, jawab laki-laki tersebut.

Mendengar itu sang pengawal lalu berkata: “Wahai saudaraku, Amirul Mukminin memang orang yang bijak dan benar-benar memperhatikan keperluan rakyatnya, sampai-sampai adakalanya beliau melupakan apa yang menjadi kepentingan diri dan keluarganya sendiri. Sekarang maukah engaku berbalik sejenak ke belakang dan melihat keadaan Amirul Mukminin ?”

Setelah mendengar ucapan si pengawal, laki-laki tersebut lalu berbalik untuk melihat keadaan sebagaimana yang disarankan kepadanya. Dan alangkah terkejutnya dia, ketika dari tempatnya berdiri ia saksikan sendiri rumah “Sang Khalifah” yang gelap gulita. Dirinya tak habis piker, padahal ketika ia meninggalkan tempat itu masih ada sebuah lampu yang menyala. Dan iapun bertanya kepada si pengawal, tentang apa sebenarnya yang terjadi. Selanjutnya si pengawal menjelaskan, bahwa “Amirul Mukminin” juga tidak punya cadangan “BBM”, tadi memang ada dua buah lampu yang menyala, tapi sebenarnya yang satu sudah mau kering bahan bakarnya, sementara yang diberikannya kepada laki-laki itu adalah lampu yang masih penuh minyaknya, yang baru saja dinyalakan untuk berjaga-jaga kalau-kalau lampu yang satu itu mati, sehingga akan mengganggu pekerjaan “Sang Khalifah”. Dan demi mendengar penjelasan si pengawal, laki-laki tersebut lalu berbalik ke belakang untuk mengembalikan lampu yang dibawanya dan sekaligus minta ma’af kepada Umar bin Abdul Aziz r.a..

Akan tetapi ketika ia sudah sampai di hadapan “Sang Khalifah” dan menjelaskan maksudnya untuk mengembalikan lampu yang ada di tangannya, Umar bin Abdul Aziz r.a berkata kepadanya: “Tidak itu sudah menjadi hak anda, karena sudah kuberikan kepada anda. Saya bukannya tidak mau menerimanya, tapi saya takut kepada Allah karena menggunakan sesuatu yang bukan milik saya. Walaupun sa’at ini saya telah diangkat sebagai “Amirul Mukminin”, tapi bukan berarti saya berhak berbuat semaunya. Jadi pulanglah dan bawalah lampu ini kepada keluargamu.”

Laki-laki itu menggigil mendengar ucapan “Sang Khalifah” dan sambil menangis tersedu-sedu, ia melangkahkan kaki menuju rumahnya sebagaimana yang dikehendaki Umar bin Abduul Aziz r.a.
Wallahua’lam

(dinukil dan diedit dari KISAH-KISAH SUFISTIK)

Jakarta, 12 Sya’ban 1434 H / 21 Juni 2013.
KH.BACHTIAR AHMAD

Friday 14 June 2013

BURUNG BEO DAN ORANG BOTAK



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================
(Jangan mengukur orang dengan keadaan dirimu – Syaikh Jalaluddin Ar-Rumy)


Ada seorang pedagang sayur memiliki se-ekor burung Beo yang dapat bicara dan bersuara merdu. Ia bisa bicara dengan bahasa manusia dan lihai pula menyanyikan kicau Beo yang lainnya. Setiap hari, sambil bertengger di atas bangku si Beo senantiasa mengawasi kedai jika  si pedagang sayur tak berada di tempat. Dan si Beo akan selalu bicara lembut kepada semua orang yang datang ke kedai tersebut.

Suatu ketika si Beo melompat dari bangku dan berusaha untuk terbang ke tempat yang lain. Namun malang ia membentur sebuah botol dan menumpahkan minyak yang ada di dalamnya. Pada saat yang sama si pedagang sayur datang dan mendapati keadaan itu. Demi dilihatnya minyak yang tumpah telah mengotori bangkunya dan mengetahui bahwa hal itu terjadi adalah lantaran ulah si Beo, maka serta merta si Beo ditangkapnya. Lalu kepala Beo tersebut digundulinya hingga botak. Dan Kejadian itu telah membuat si Beo frustrasi. Berhari-hari ia tidak mau bicara, sehingga menimbulkan rasa penyesalan yang dalam di hati si pedagang sayur. Dan kerap ia menangisi perbuatannya sehingga janggutnya basah oleh air mata.

Sudah tiga hari tiga malam berlalu si Beo tetap bungkam, sementara si pedagang berusaha menebus dosa-dosanya dengan memberikan sedekah kepada setiap orang  dengan harapan Beonya kembali bicara. Hingga sampailah suatu hari seorang darwis (pengemis yang rajin ibadah) yang berkepala botak datang ke kedai tersebut. Dan ketika si Beo melihat keadaan sang darwis serta merta iapun berteriak: “Hai sahabat, mengapa kepalamu gundul ?. Hai si Botak, apakah engkau juga menumpahkan minyak seperti yang kulakukan ?.”

Demi mendengar itu tersenyumlah si pedagang dan berujar kepada Beonya: “Wahai Beo yang cerdas, ternyata engkau masih mau bicara, akan tetapi janganlah kau  ukur keadaan orang lain dengan keadaan yang ada pada dirimu, sekalipun secara lahiriah kondisi engkau dan dirinya tampak sama”
Wallahua’lam.

( di olah dan diedit dari terjemahan Al-Matsnawi karangan As-Syaih Jalaluddin Ar-Rumi)

Jakarta, 14 Juni 2013 / 5 Sya’ban 1434 H
KH.BACHTIAR AHMAD

Friday 7 June 2013

MASJID OH MASJID



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
======================
Di penghujung Rajab seperti sekarang ini, di banyak tempat dinegeri ini; Kaum muslimin sibuk dan disibukkan dengan kegiatan memperingati peristiwa “Isra’ dan Mi’raj” nya Rasulullah SAW  sebagai salah satu cara untuk mensyi’arkan Islam  dan sekaligus sebagai salah satu upaya guna meningkatkan keimanan dan keta’atan umat kepada Allah SWT.

Banyak hal yang bisa digali dan dipelajari dari peristiwa tersebut, namun pada kesempatan ini saya ingin sedikit mengulas masalah “Masjid” sebagai titik awal Isra’ dan Mi’raj-nya Rasulullah SAW sebagaimana yang tersurat dan tersirat dalam firman Allah SWT:

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjid(il) Haram ke Al Masjid(il) Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. Al-Isra’: 1)

Dan “Masjid” itu sendiri erat kaitannya dengan perintah “Sholat” yang diterima oleh Rasulullah SAW dari Allah SWT  dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj tersebut.


Masjid adalah salah satu simbol umat (Islam). Artinya adalah, bahwa jika di suatu tempat ada Masjid, maka di daerah itu pasti ada kaum muslimin (umat Islam). Bahkan untuk yang satu ini, mereka berlomba-lomba dan berusaha untuk membangun Masjid (termasuk dalam hal ini adalah Masjid-Masjid kecil yang kita sebut sebagai Musholla/Surau/Langgar) dengan seindah dan semegah mungkin. Namun demikian, ada satu fenomena menarik yang patut jadi perhatian kita semua, yang berkaitan dengan perkembangan  pembangunan masjid di masa sekarang ini (khususnya di Indonesia).

Dalam hal ini jika pembangunan masjid tersebut  dijadikan sebagai tolok ukur akan  tingginya kesadaran; pemahaman dan pengamalan ajaran agama (dinegeri ini),  maka kita patut memberi acungan jempol dan mengatakan; Bahwa kaum muslimin di daerah tersebut  tampaknya  semakin sadar akan nilai-nilai ajaran agamanya. Akan tetapi jika diperhatikan dengan seksama, ternyata “Masjid” memang benar hanya dijadikan semacam simbol untuk menunjukkan bahwa disitu ada umat Islam. Sebab dalam kenyataannya, “Masjid” telah kehilangan fungsi utamanya; lantaran tidak lagi sepenuhnya dijadikan tempat ibadah; khususnya  sebagai tempat pelaksanaan “sholat”  5(lima) waktu secara berjama’ah.  

Sebagaimana yang dapat kita lihat secara nyata, bahwa setiap kali masuk waktu sholat banyak Masjid (juga Musholla) yang sepi dari “ahlus-sholat”. Bahkan kadang dalam waktu tertentu, yang berdiri sholat di dalamnya hanya beberapa orang. Sehingga dengan demikian benarlah apa yang telah diprediksi dan disabdakan Rasulullah SAW, bahwa:

Bakal datang suatu masa kepada ummatku, dimana mereka akan saling bermegah-megahan dalam membangun masjid, tapi tidak memakmurkannya (dengan ibadah kepada Allah) kecuali hanya sedikit.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dari Anas r.a)

Kondisi yang demikian ini, tidak hanya sebagai salah satu bentuk kelakuan kita yang mengabaikan perintah Allah SWT, tapi juga merupakan cerminan betapa rendahnya  kualitas dan kondisi “ke-imanan” kaum muslimin di tempat.  Sebab sesungguhnya Allah SWT telah berfirman:

“Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian serta tetap mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan tidak takut (kepada apa dan siapapun) kecuali kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk kedalam golongan orang-orang yang senantiasa mendapat petunjuk (dari Allah).”  (Q.S. At-Taubah: 18)
                       
Berkaitan dengan firman Allah SWT tersebut, Al-Ghazali mengatakan; Bahwa hakikat  dari memakmurkan tersebut tidaklah hanya semata-mata membangun masjid yang megah, akan tetapi lebih dititik beratkan dari memanfaatkan masjid sebagai sarana dan prasarana syiar Islam; khususnya sebagai tempat beribadah kepada Allah SWT; memupuk ukhuwah atau silaturahim antar sesama sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat.

Dulu, pada zaman Rasulullah SAW masih hidup sampai beberapa abad berikutnya; para calon “penghuni surga”, yakni mereka yang mengaku beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, sebelum “azan” diserukan selalu berlomba-lomba datang untuk memenuhi Masjid guna menunaikan sholat yang telah diwajibkan Allah SWT kepada mereka. Padahal di masa itu Masjid hanya dibangun dari tanah liat; batu-batu gunung dan pasir; batang kurma atau batang kayu lainnya; bertatapkan pelepah kurma atau yang sejenis dengan itu; di dalamnya tidak ada listrik yang menerangi; tidak ada alat pendingin ruangan; bahkan adakalanya mereka sujud ditanah tanpa alas ataupun karpet yang tebal.

Sebaliknya sekarang ini, ketika Masjid atau Musholla telah dibangun semegah dan seindah-indahnya dengan segala macam fasilitas yang ada di dalamnya, banyak orang-orang yang mengaku beriman meninggalkan dan mengabaikannya tanpa alasan dan uzur yang jelas. Bahkan ketika azan telah selesai dikumandangkan, banyak di antara mereka yang masih berleha-leha dan asyik dengan dunianya. Padahal pada sa’atnya nanti mereka ingin sekali menjadi “penghuni surga”.

Mudah-mudahan dengan hidayah dan inayah Allah SWT, kita tidak termasuk ke dalam golongan yang demikian itu. Wallahua’lam.

Jakarta, 28 Rajab 1434 H / 7 Juni 2013.
KH.BACHTIAR AHMAD TATOE.

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.