oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
=======================
Sebentar lagi kita sampai pada tanggal 10
Dzulhijjah 1434 H; itu artinya bagi yang mampu disyari’atkan untuk menyembelih
hewan (kurban) sebagai salah satu bentuk keta’atan dan ketakwaan kepada Allah
SWT. Terlebih-lebih lagi bagi yang sudah begitu banyak mendapat nikmat dan
karunia Allah SWT (khususnya secara materi lahiriah) sebagaimana yang tersirat
dan tersurat dalam firman-NYA:
“Sesungguhnya
Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak; Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan
berkurbanlah; Sesungguhnya orang-orang
yang membenci kamu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).” (Q.S. Al-Kautsar: 1-3)
Tapi sebagai orang yang beriman apakah
hanya sebatas itu saja kita harus berkurban kepada Allah? Atau apakah hanya
sebatas itu saja pemahaman kita pada sejarah pengorbanan keluarga Nabiyallah
Ibrahim a.s, sebagaimana yang telah diterangkan Allah di dalam Kitab-NYA?
Syaikh Abdullah Al-Ghazali mengatakan,
bahwa perintah untuk berkorban atau berkurban untuk meningkatkan nilai keimanan
dan ketakwaan kepada Allah SWT tidaklah bersifat temporer atau sesekali waktu
saja, melainkan berlaju sepanjang hayat di kandung badan sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam Firman Allah SWT:
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu
mendapat keberuntungan.” (Q.S. Al-Maaidah: 35)
Dikatakan, bahwa makna berjihad sebagaimana yang dimaksudkan
Allah SWT di dalam ayat 35 surah Al-Maaidah di atas, tidak hanya terbatas jihad
phisik belaka, melainkan dalam semua aspek yang memungkinkan seseorang dapat
melakukannya untuk menegakkan dan mensyiarkan agama Allah; terlebih-lebih lagi
bagi peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan yang dimiliki oleh seseorang
yang beriman. Dan tentu saja jihad yang paling utama itu adalah “jihadul akbar”
sebagaimana yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW dalam hadis beliau, yakni
“jihad melawan nafsu dan ego yang ada di dalam diri.” Dan hal inilah sebenarnya
yang tersirat atau yang dicerminkan oleh pengorbanan yang dilakukan oleh
keluarga Nabiyallah Ibrahim a.s.
Bertahun-tahun
Ibrahim a.s memohon kepada Allah agar diberikan seorang anak, sampai pada
akhirnya Ibrahim menikah di usia lanjut dengan Hajar yang kemudian melalui
pernikahan itu Allah anugerahkan Ismail kepada mereka. Dan pada saat cinta dan
kasih sayangnya memuncak kepada Ismail dan Hajar, Allah SWT memerintahkan
Ibrahim untuk berpisah dan meninggalkan keduanya
di lembah yang kering kerontang lagi sunyi. Ibrahim harus, bahkan wajib
mengalahkan ego pribadi atau kesenangan hawa nafsunya demi melaksanakan
perintah Allah SWT; sementara Hajar juga demikian adanya dan hanya berujar
ketika Ibrahim meninggalkan dirinya dan Ismail: “Jika ini yang dikehendaki Allah, pergilah
dan tinggalkanlah kami disini.”
Selanjutnya,
setelah bertahun-tahun dengan suka duka dan segenap penderitaannya Hajar
membesarkan Ismail. Tiba-tiba saja Ibrahim datang menjemput Ismail untuk
disembelih atau “dikurban” kan atas perintah Allah SWT. Sebagai seorang ibu,
Hajar bisa saja menampik permintaan Ibrahim. Tapi kecintaannya kepada Allah SWT
telah menjadikan Hajar rela mengorbankan perasaan dan kecintaan hawa nafsunya
kepada Ismail. Bahkan ketika Iblis laknatullah datang menyamar dan menghasutnya
untuk tidak meluluskan keinginan Ibrahim, Hajar dengan tegas berkata: “Jika
memang itu yang diperintahkan Allah kepadanya, maka biarlah ia melakukan itu.”
Dilain pihak,
sekalipun dirinya punya hak untuk hidup dan menilmati masa remajanya, maka
dengan segenap keikhlasan dan kesabarannya Ismail menerima perintah Allah
tersebut untuk ditunaikan. Allah SWT mengabadikan kisah ini dengan firman-Nya:
“Maka tatkala
anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim
berkata: “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu; maka fikirkanlah apa pendapatmu.” Ia (Ismail) menjawab: “Wahai
bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu; insya Allah kamu
akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. // Tatkala keduanya telah
berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah
kesabaran keduanya ).” (Q.S. Ash-Shaffat: 102-103)
Jadi sebenarnya
dengan memahami secara seksama sejarah dan keteladanan keluarga Ibrahim a.s
tersebut, maka dapatlah dikatakan, bahwa hakikat “kurban” yang dikehendaki Allah SWT dari setiap orang yang mengaku
beriman kepada Allah dan Hari Akhirat adalah: “Wajib mendahulukan perintah dan
larangan Allah daripada kepentingan atau kesenangan diri sendiri dengan
keihklasan yang penuh.” Dan hal ini pulalah yang menjadi dasar bagi pernyataan
Allah SWT:
“Daging-daging unta dan darahnya
itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari
kamulah yang dapat mencapainya.
Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu
mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira
kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S.Al-Hajj:
37)
Artinya adalah, bahwa sebanyak
apapun unta atau hewan lainnya yang kita “kurbankan” di bulan Dzulhijjah ini,
maka hal itu tidak ada artinya jika tidak di-iringi dengan keikhlasan dan
kesiapan kita meninggalkan kepentingan pribadi atau diri sendiri dalam berbuat
kebajikan sebagaimana yang dituntut dan dikehendaki Allah SWT; baik itu yang
bersifat wajib maupun yang disunnahkan-NYA melalui Rasulullah SAW.
Contoh
sederhana yang ada di sekitar kita, bahkan mungkin kita sendiri “pelakunya”; bahwa adakalanya “sebuah tontonan” lebih memikat dan
mengasyikkan kita, sehingga kita tidak peduli lagi tentang keutamaan sholat di
awal waktu. Kita tidak lagi melaksanakan perintah Allah sebagaimana tuntunan
Rasul-Nya, melainkan menurut “selera”
kita sendiri. Sekalipun hal itu tidak melanggar syariat yang ada. Dan tentu
saja masih banyak “kasus-kasus” lain yang telah mebuat kita lalai dan menomor duakan “perintah Allah” dengan
alasan yang bersifat pribadi; bukan karena alasan darurat yang dibenarkan oleh
syariat.
Oleh sebab itu
sudah seharusnya kita mulai merubah sikap; lebih mendahulukan kepentingan Allah
daripada kehendak nafsu yang kita miliki; sekalipun menurut hukum agama hal itu
“boleh-boleh” saja untuk dilakukan. Sebab pada akhirnya jika kita terus
meringankan dan mempermudah “urusan Allah” yang memang telah dimudahkan dan
diringankan-NYA untuk kita, bisa-bisa kita akan menjadi “kurban atau korban”
hawa nafsu yang kita miliki lantaran sebagaimana yang telah kita maklumi
bersama; bahwa nafsu itu lebih besar kecenderungannya pada kejahatan dan
kemungkaran sebagaimana yang terpatri di dalam Al-Qur’anul Kariim:
“… sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu
yang diberi rahmat oleh Tuhanku...” (Q.S.Yusuf:
53)
Jangan pernah merasa rugi ketika
kita “tidak disukai” atau “dibenci” oleh orang-orang yang ada di sekitar kita
lantaran lebih mendahulukan “kepentingan Allah” daripada kepentingan diri dan
kepentingan duniawi lainnya. Sebab sesungguhnya merekalah sebenarnya yang rugi
dan tidak disukai Allah SWT sebagaimana firman-NYA:
“Sesungguhnya orang-orang yang
membenci kamu dialah yang terputus (dari rahmat Allah)” (Q.S. Al-Kautsar: 3)
Wallahua’lam.
Bagansiapiapi, 06
Dzulhijjah 1434 H / 11 Oktober 2013
KH.BACHTIAR
AHMAD