Friday 25 October 2013

SEBAIK-BAIK PENOLONG



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
====================
Imam At-Tirmidzy r.a meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas r.a; Bahwa  suatu ketika Abdullah ibnu Abbas berada di belakang Rasulullah SAW yang sedang mengendarai unta. Dan kepadanya Rasulullah SAW bersabda:

“Wahai anak, aku akan mengajarkan kepada engkau  beberapa kalimat yang harus kau jadikan pegangan dan yang akan memelihara engkau; Peliharalah peraturan-peraturan Allah dimana saja engkau berada, niscaya Allah akan memelihara engkau.

Apabila engkau memohon, maka memohonlah kepada Allah; Dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan hanya kepada Allah.

Ketahuilah, bahwa walaupun seluruh manusia berkumpul untuk memberikan sesuatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak akan dapat memberikan manfaat, kecuali sekedar yang telah ditentukan Allah untuk engkau. Begitu juga sebaliknya, mereka tidak akan mampu menimpakan mudharat atau bencana kepada engkau, kecuali yang sudah ditentukan Allah untuk engkau. Pena sudah diangkat dan bukupun sudah ditutup.”

Pesan Rasulullah SAW tersebut tentulah tidak hanya berlaku untuk Abdullah bin Abbas saja, akan tetapi untuk kita semua. Dan selain itu hendaklah kita yakin, bahwa apa yang telah digariskan dan ditetapkan Allah SWT kepada kita tentulah sudah sesuai dengan batas-batas kemampuan yang kita miliki sebagaimana yang telah ditegaskan Allah Ta’ala dalam Firman-NYA:

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah sebaik-baiknya Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (Q.S.Al-Baqarah: 286)

Mudah-mudahan pesan ini akan selalu kita ingat dan bermanfa’at bagi kita dunia dan akhirat. Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 21 Dzulhijjah 1434 H / 25 Oktober 2013
KH.BACHTIAR AHMAD

Friday 18 October 2013

HAK DIRI DAN AMANAH ALLAH



0leh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================
Di siang terik dengan panas yang menyengat itu Mu’awiyah mencari “amirul mukminin” Umar bin Khattab r.a. Mu’awiyah ingin menyampaikan kabar gembira tentang kemenangan pasukan kaum muslimin atas pasukan Rumawi di Iskandariyah (Mesir), dan suasana panas yang menyengat itu memunculkan dugaan dalam diri Mu’awiyah, bahwa “sang Khalifah” sedang tidur siang di masjid (Nabawi), lalu dengan langkah bergegas Mu’awiyah pergi ke masjid. Akan tapi ternyata Sayyidina Umar tidak ada di masjid. Lalu iapun balik bergegas ke rumah Umar dan berpikir, siapa tahu Umar sedang tidur dan beristirahat di rumahnya sendiri.

Sampai di rumah “Umar” ternyata “Sang Khalifah” sedang sibuk membantu menyelesikan pekerjan nrumah bagi keluarganya. Beliau tidak tidur ataupun beristirahat sebagaimana yang dipikirkan Mu’awiyah. Selanjutnya seteah menerima dan mendengar cerita Mu’awiyah, Umar r.a berkata:

“Wahai Mu’awiyah, mengapa engkau berpikiran bahwa aku sedang tidur siang di masjid atau di rumahku sendiri.”

Dengan tersipu-sipu Mu’awiyah menjawab: “Mohon ma’af amirul mukminin, aku hanya sekedar menduga, lantaran siang ini cuacanya sangat terik dan panasnya terasa menyengat.”

Mendengar itu,  dengan tegas Umar berkata kepada Mu’awiyah:

“Wahai Mu’awiyah, bila aku tidur di siang hari, maka hal itu berarti aku sudah mengabaikan hak-hak rakyat yang harus aku tunaikan untuk mereka; termasuk di dalamnya hak keluargaku sendiri. Sebab bagaimanapun aku adalah juga seorang pemimpin di dalam keluargaku. Sebaliknya jika aku tidur sepanjang malam, maka hal itu merupakan suatu kerugian, sebab aku telah menyia-nyiakan dan mengabaikan  hak-hak diriku, yang patut kutunaikan kepada Allah SWT. Sungguh aku hanya tidur sekadar yang perlu untuk menjaga diriku agar tetap sehat, agar dapat menjalankan tugas yang telah diamanahkan Allah kepadaku.”

Mu’awiyah hanya tersipu-sipu mendengar ucapan Umar dan kemudian berlalu setelah sekali lagi memohon ma’af kepada “sang Khalifah”.

Mudah-mudahan petikan kisah ini, menjadi pelajaran berharga bagi kita; minimal sebagai hamba Allah  yang diberi amanah untuk memimpin  dan mendidik keluarga sendiri. Wallahu’alam.

(dipetik dan diedit dari Kisah-Kisah Sufistik)

Bagansiapiapi, 14 Dzulqaidah  1434 H / 18 Oktober 2013
KH.BACHTIAR AHMAD

Friday 11 October 2013

BERKURBAN SEBELUM JADI KORBAN



oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
=======================
Sebentar lagi kita sampai pada tanggal 10 Dzulhijjah 1434 H; itu artinya bagi yang mampu disyari’atkan untuk menyembelih hewan (kurban) sebagai salah satu bentuk keta’atan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Terlebih-lebih lagi bagi yang sudah begitu banyak mendapat nikmat dan karunia Allah SWT (khususnya secara materi lahiriah) sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam firman-NYA:

 “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak;  Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah;  Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).”  (Q.S. Al-Kautsar: 1-3)

Tapi sebagai orang yang beriman apakah hanya sebatas itu saja kita harus berkurban kepada Allah? Atau apakah hanya sebatas itu saja pemahaman kita pada sejarah pengorbanan keluarga Nabiyallah Ibrahim a.s, sebagaimana yang telah diterangkan Allah di dalam Kitab-NYA?

Syaikh Abdullah Al-Ghazali mengatakan, bahwa perintah untuk berkorban atau berkurban untuk meningkatkan nilai keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT tidaklah bersifat temporer atau sesekali waktu saja, melainkan berlaju sepanjang hayat di kandung badan sebagaimana yang  tersirat dan tersurat dalam Firman Allah SWT:

 “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Al-Maaidah: 35)

Dikatakan, bahwa makna berjihad sebagaimana yang dimaksudkan Allah SWT di dalam ayat 35 surah Al-Maaidah di atas, tidak hanya terbatas jihad phisik belaka, melainkan dalam semua aspek yang memungkinkan seseorang dapat melakukannya untuk menegakkan dan mensyiarkan agama Allah; terlebih-lebih lagi bagi peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan yang dimiliki oleh seseorang yang beriman. Dan tentu saja jihad yang paling utama itu adalah “jihadul akbar” sebagaimana yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW dalam hadis beliau, yakni “jihad melawan nafsu dan ego yang ada di dalam diri.” Dan hal inilah sebenarnya yang tersirat atau yang dicerminkan oleh pengorbanan yang dilakukan oleh keluarga Nabiyallah Ibrahim a.s.

Bertahun-tahun Ibrahim a.s memohon kepada Allah agar diberikan seorang anak, sampai pada akhirnya Ibrahim menikah di usia lanjut dengan Hajar yang kemudian melalui pernikahan itu Allah anugerahkan Ismail kepada mereka. Dan pada saat cinta dan kasih sayangnya memuncak kepada Ismail dan Hajar, Allah SWT memerintahkan Ibrahim untuk  berpisah dan meninggalkan keduanya di lembah yang kering kerontang lagi sunyi. Ibrahim harus, bahkan wajib mengalahkan ego pribadi atau kesenangan hawa nafsunya demi melaksanakan perintah Allah SWT; sementara Hajar juga demikian adanya dan hanya berujar ketika Ibrahim meninggalkan dirinya dan Ismail:  “Jika ini yang dikehendaki Allah, pergilah dan tinggalkanlah kami disini.”

Selanjutnya, setelah bertahun-tahun dengan suka duka dan segenap penderitaannya Hajar membesarkan Ismail. Tiba-tiba saja Ibrahim datang menjemput Ismail untuk disembelih atau “dikurban” kan atas perintah Allah SWT. Sebagai seorang ibu, Hajar bisa saja menampik permintaan Ibrahim. Tapi kecintaannya kepada Allah SWT telah menjadikan Hajar rela mengorbankan perasaan dan kecintaan hawa nafsunya kepada Ismail. Bahkan ketika Iblis laknatullah datang menyamar dan menghasutnya untuk tidak meluluskan keinginan Ibrahim, Hajar dengan tegas berkata: “Jika memang itu yang diperintahkan Allah kepadanya, maka biarlah ia melakukan itu.”

Dilain pihak, sekalipun dirinya punya hak untuk hidup dan menilmati masa remajanya, maka dengan segenap keikhlasan dan kesabarannya Ismail menerima perintah Allah tersebut untuk ditunaikan. Allah SWT mengabadikan kisah ini dengan firman-Nya:  

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu; maka fikirkanlah apa pendapatmu.” Ia (Ismail) menjawab: “Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. // Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ).” (Q.S. Ash-Shaffat: 102-103)

Jadi sebenarnya dengan memahami secara seksama sejarah dan keteladanan keluarga Ibrahim a.s tersebut, maka dapatlah dikatakan, bahwa hakikat “kurban” yang dikehendaki  Allah SWT dari setiap orang yang mengaku beriman kepada Allah dan Hari Akhirat adalah: “Wajib mendahulukan perintah dan larangan Allah daripada kepentingan atau kesenangan diri sendiri dengan keihklasan yang penuh.” Dan hal ini pulalah yang menjadi dasar bagi pernyataan Allah SWT:

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.  Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S.Al-Hajj: 37)

Artinya adalah, bahwa sebanyak apapun unta atau hewan lainnya yang kita “kurbankan” di bulan Dzulhijjah ini, maka hal itu tidak ada artinya jika tidak di-iringi dengan keikhlasan dan kesiapan kita meninggalkan kepentingan pribadi atau diri sendiri dalam berbuat kebajikan sebagaimana yang dituntut dan dikehendaki Allah SWT; baik itu yang bersifat wajib maupun yang disunnahkan-NYA melalui Rasulullah SAW.

Contoh sederhana yang ada di sekitar kita, bahkan mungkin kita sendiri “pelakunya”; bahwa adakalanya “sebuah tontonan” lebih memikat dan mengasyikkan kita, sehingga kita tidak peduli lagi tentang keutamaan sholat di awal waktu. Kita tidak lagi melaksanakan perintah Allah sebagaimana tuntunan Rasul-Nya, melainkan menurut “selera” kita sendiri. Sekalipun hal itu tidak melanggar syariat yang ada. Dan tentu saja masih banyak “kasus-kasus” lain yang telah mebuat kita lalai  dan menomor duakan “perintah Allah” dengan alasan yang bersifat pribadi; bukan karena alasan darurat yang dibenarkan oleh syariat.

Oleh sebab itu sudah seharusnya kita mulai merubah sikap; lebih mendahulukan kepentingan Allah daripada kehendak nafsu yang kita miliki; sekalipun menurut hukum agama hal itu “boleh-boleh” saja untuk dilakukan. Sebab pada akhirnya jika kita terus meringankan dan mempermudah “urusan Allah” yang memang telah dimudahkan dan diringankan-NYA untuk kita, bisa-bisa kita akan menjadi “kurban atau korban” hawa nafsu yang kita miliki lantaran sebagaimana yang telah kita maklumi bersama; bahwa nafsu itu lebih besar kecenderungannya pada kejahatan dan kemungkaran sebagaimana yang terpatri di dalam Al-Qur’anul Kariim:

“… sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku...” (Q.S.Yusuf: 53)

Jangan pernah merasa rugi ketika kita “tidak disukai” atau “dibenci” oleh orang-orang yang ada di sekitar kita lantaran lebih mendahulukan “kepentingan Allah” daripada kepentingan diri dan kepentingan duniawi lainnya. Sebab sesungguhnya merekalah sebenarnya yang rugi dan tidak disukai Allah SWT sebagaimana firman-NYA:

“Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus (dari rahmat Allah)”  (Q.S. Al-Kautsar: 3)

Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 06 Dzulhijjah 1434 H / 11 Oktober 2013
KH.BACHTIAR AHMAD

Friday 4 October 2013

HINA DI HADAPAN ALLAH (Belajar dari As-Syibli)



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
====================
 
Nama “Asy-Syibli” lengkapnya “Abu Bakar bin Dulaf ibnu Jahdar As-Syibli” tentu sudah tidak asing lagi bagi kita; terutama yang gemar membaca kitab-kitab “Tasawuf”. Sebab beliau adalah salah seorang “bintang” di kalangan “ahlus-suffah” yang meninggalkan banyak pelajaran ruhaniah bagi orang-orang yang ingin menapaki “jalan sufi” untuk bertakwa kepada Allah SWT.

“Abu Bakar bin Dulaf ibnu Jahdar Asy-Syibli” lahir di kota Surraman, Persia (sekarang Irak) pada tahun 247 H / 860 M (wafat pada tahun 334 H / 946  M). Nama “Asy-Syibli” dinisbatkan lantaran beliau dibesarkan di Syibli di wilayah Khurasan.

“Asy-Syibli” dil;ahirkan dari keluarga yang ta’at lagi terhormat dan sejak kecil telah dibekali dengan pendidikan agama oleh orang tuanya. Sehingga pada akhirnya dirinya mampu mencapai kedudukan yang tinggi lagi terhormat dalam “pemerintahan” di masa itu. Hanya saja ia kemudian serta merta meninggalkan “jabatan dan kedudukannya” sebagai “pejabat pemerintah” karena “Khalifah” memarahi dan menghukum salah seorang pejabat yang baru dilantik, hanya karena si pejabat  menyeka “mulut dan hidungnya” dengan jubah (pakaian dinas)  yang dipakainya.

Ketika menyatakan berhenti dan mundur dari jabatannya, As-Syibli berkata kepada sang Khalifah: “Wahai khalifah yang terhormat, hanya karena seorang pejabat yang menyeka mulut dan hidungnya dengan jubah jabatan yang diberikan kepadanya, engkau menjadi sangat marah dan langsung menghukumnya; Lalu bagaimanakah kemurkaan dan hukuman Allah yang akan ditimpakan kepadaku seandainya “jubah ilmu” yang dianugerahkan-NYA kepadaku, aku gunakan sebagai sapu tangan dalam pengabdianku kepada masyarakat ? Maka mulai hari ini, terimalah kembali jubah dan jabatan yang telah engkau berikan kepadaku.”

As-Syibli lalu  meninggalkan karir dan jabatanya dan bertaubat kepad Allah SWT. Beliau mulai mengarungi dunia tasawuf. Ia berguru kepada sejumlah ulama sebagai pembimbing spritualnya, hingga akhirnya beliau bertemu dengan Al-Junaid (Junaidi Al-Baghdadi) di Baghdad.  As-Syibli berkata kepada Al-Junaid: “Wahai tuan, engkau dikatakan sebagai penjual mutiara, maka berilah aku satu atau juallah kepadaku agak sebutir.”

Mendengar itu Junaid berkata kepada As-Syibli: “Wahai hamba Allah, jika kujual kepadamu, maka tentulah engkau tidak akan sanggup membelinya.Namun  jika kuberikan kepadamu secara cuma-cuma, karena begitu mudah mendapatkannya engkau tidak akan menyadari betapa tinggi nilainya. Lakukanlah apa yang aku lakukan, benamkanlah dulu kepalamu di lautan, apabila engkau dapat dapat menunggu dengan sabar; niscaya engkau akan mendapatkan mutiaramu sendiri.” As-Syibli selanjutnya bertanya kepada Al-Junaid: “Lalu apa yang harus kulakukan sekarang ini ? Sebagai jawaban atas pertanyaan itu, maka Al-Junaid menyuruh As-Syibli berjualan belerang selama satu tahun di Baghdad.

Setahun lamanya As-Syibli menyusuri lorong dan jalan yang ada di Baghdad untuk berjualan belerang. Dan selama itu pula tak seorangpun ada yang mengenalnya, walau sebelumnya dirinya adalah salah seorang pejabat pemerintah. Setelah itu As-Syibli pun bergegas menjumpai Al-Junaid. Dan baru saja bertemu, Al-Junaid berkata kepada As-Syibli: “Sekarang tentulah engkau sudah mulai mengetahui dan menilai siapa dirimu; ternyata kamu tak ada artinya dalam pandangan orang lain. Namun demikian janganlah engkau malu dan membenci mereka.  Sekarang kembalilah ke negerimu; dan disana lantaran engkau pernah menjadi Bendahara dan juga menjadi Gubernur dalam waktu yang cukup lama, dan selama itu banyak orang yang engkau rugikan; maka berilah mereka imbalan dan mintalah ma’af kepada mereka.”

Atas saran Al-Junaid tersebut, Asy-Syibli berangkat ke Demavend; tempat dimana ia pernah bertugas menjadi pejabat negara. Rumah demi rumah disinggahinya untuk menyampaikan imbalan kepada orang-orang yang pernah dirugikannya.  Setelah itu Asy-Syibli kembali menjumpai Al-Junaid dan berkata: “Aku telah mengerjakan apa yang tuan perintahkan dan telah kubagi-bagikan lebih dari 1000 dirham kepada mereka yang merasa dirugikan oleh perbuatanku, tapi batinku tetap tidak menemukan kedamaian.”

Al-Junaid hanya tersenyum mendengarnya dan berkata kepada As-Syibli: “Wahai Abu Bakar, ternyata masih ada sisa-sisa keangkuhan di dalam dirimu; maka untuk mengobatinya hendaklah  engkau mengemis selama setahun; dan jika engkau masih saja merasa belum puas, lanjutkan masamu untuk meminta-minta sampai engkau merasa adanya sesuatu perubahan di dalam dirimu. Dan satu hal lagi, semua uang hasil mengemismu serahkan kepadaku.”

As-Syibli pun segera melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Al-Junaid. Selanjutnya sebagaimana yang dituturkan sendiri oleh As-Syibli: “Hampir empat tahun lamanya aku mengemis, dan setiap kali aku mengemis maka  semua yang kuperoleh kuserahkan kepada Junaid. Dan Junaid membagi-bagikan kepada orang-orang miskin, sementara aku sendiri dibiarkannya kelaparan di malam hari.

Hampir empat tahun lamanya As-Syibli menjalani profesinya sebagai pengemis, sampai suatu hari Al-Junaid memanggil dan bertanya kepadanya:  “Hai Abu Bakar, bagaimanakah perasaanmu dan pandanganmu sekarang terhadap dirimu sendiri?” Asy-Syibli berkata: “Sungguh aku dapati diriku sendiri sebagai orang yang terhina di antara semua makhluk Allah.”

Mendengar jawaban As-Syibli tersebut, Al-Junaid berkata: “Wahai Abu Bakar, sekarang sadarilah nilai dirimu, kalau di hadapan sesama makhluk saja engkau sudah merasa terhina, lalu bagaimana sesungguhnya kedudukanmu di hadapan dan dalam pandangan Allah ? Maka janganlah engkau pautkan hatimu pada mereka, dan janganlah sibuk dengan mereka. Tapi pautkanlah dan sibukkanlah diri dan hatimu kepada Allah, sehingga engkau tidak menjadi hina di hadapan dan dalam pandangan Allah. Mulai hari ini engkau kuterima di sini sebagai sahabatku dengan satu syarat; engkau tidak boleh merasa malu dan merasa terhini jika suatu saat harus melayani aku dan sahabatku yang lainnya.”

Akhirnya dengan tutunan Al-Junaid; Abu Bakar ibnu Dulaf bin Jahdar As-Syibli menekuni “jalan menuju Allah” yang di dambakannya; As-Syibli berhasil mendapatkan “mutiara” yang di-idamkannya. As-Syibli akhirnya dapat mensejajarkan nama dan kedudukannya dengan Al-Junaid. Bahkan ada yang menilainya, jauh lebih besar dan hebat dari Al-Junaid. Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 29 Dzulqaidah 1434 H / 04 September 2013
KH.BACHTIAR AHMAD

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.