oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari
dan Muslim r.a dari Abu Hurairah r.a dikisahkan:
“Bahwa suatu ketika Rasulullah SAW masuk ke dalam masjid, beberapa saat kemudian
masuk pula seorang laki-laki ke masjid
tersebut untuk melaksanakan sholat. Usai
sholat laki-laki tersebut mengucapkan
salam kepada Rasulullah SAW dan beliau pun menjawabnya, kemudian bersabda: “Ulangi
sholatmu, karena tadi kamu belum sholat” Lalu laki-laki tersebut melakukan sholat
sebagaimana yang telah dilakukannya. Kemudian dia mendekati Rasulullah dan
memberi salam, dan Rasulullah SAW bersabda lagi: “Ulangi sholatmu, karena
tadi kamu belum sholat”. Dan hal ini terjadi sampai tiga kali, kemudian
laki-laki itu berkata kepada Rasulullah SAW: “Demi Allah yang telah
mengutusmu dengan kebenaran ya Rasulullah, saya tidak bisa melakukan sholat
dengan lebih baik lagi, maka ajarilah saya.” Rasulullah SAW lalu bersabda: “Apabila
kamu berdiri hendak mengerjakan sholat, bertakbirlah, kemudian bacalah surah
Al-Quran yang kau anggap mudah, kemudian rukuklah dengan thuma’ninah; lalu
bangunlah hingga kau berdiri tegak dengan thuma’ninah; kemudian sujudlah dengan
thuma’ninah; kemudian bangunlah hingga kau duduk dengan thma’ninah. Dan
lakukanlah seperti itu pada setiap shalatmu.” (HR. Muttafaqun ‘alaihi)
Dari keterangan hadis di atas tentu dapat kita pastikan, bahwa
thuma’ninah adalah salah satu rukun sholat yang sangat-sangat penting untuk
diperhatikan dalam rangka kesempurnaan sholat yang didirikan. Akan tetapi dalam kenyataannya perkara “thuma’ninah”
inilah yang banyak diabaikan oleh orang-orang yang sholat. Apalagi jika
mereka sedang terburu-buru atau diburu-buru oleh pekerjaan atau tugas lain yang
mesti dilaksanakannya. Padahal thuma’ninah tidak hanya sekadar
menjadi rukun sholat, tetapi juga dapat menjadikan sholat yang ditunaikan
menjadi lebih khusyu’, yang memberikan keuntungan besar bagi orang-orang
beriman yang sholat sebagai-mana firman Allah SWT:
“Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman.// (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam
sembahyangnya.” (Q.S. Al-Mu’minuun: 1-2)
Secara umum makna ”thuma’ninah” adalah berhenti sesaat antara satu
rukun sholat sebelum mengerjakan rukun yang
berikutnya. Jadi sebenarnya semakin bagus nilai thuma’ninah yang dilakukan,
maka semakin dekat kita kepada makna khusyuk yang sangat didambakan oleh orang
yang sholat. Sebaliknya semakin kurang thuma’ninahnya, maka tingkat ketergesa-gesaan
akan semakin tinggi dan dapat menghilangkan kekhusyukan sholat. Dan menurut
sebahagian ulama, jika sholat sudah dilakukan dengan tergesa-gesa dan
meninggalkan thuma’ninah yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW, maka hal itu
dapat diartikan dengan melalaikan sholat, atau bahkan menyia-nyiakan sholat
yang didirikannya.
Syaikh Abdullah Al-Ghazali berpendapat, bahwa thuma’ninah tidak hanya berhenti
sesaat dengan begitu saja, akan tetapi hendaknya dapat pula menyempurnakan bacaan-bacaan atau
do’a-doa yang dibaca dalam rukun-rukun sholat tersebut. Sebab terkadang ada
orang yang hanya melaksanakan gerakan-gerakan rukun sholatnya saja tanpa
membaca apa-apa, kecuali “bertakbir” di antara rukun-rukun sholat yang
dikerjakannya; terutama pada saat mendirikan sholat sunat.
Menurut Al-Ghazali, memang
menurut hukumnya bacaan di waktu ruku’; sujud dan lainnya itu adalah sunat,
akan tetapi lantaran bacaan atau do’a-do’a tersebut bersumber dari Rasulullah
SAW, yang dibaca oleh Rasulullah SAW dalam setiap sholatnya; baik wajib maupun
sholat sunat; maka adalah tidak
sepantasnya seseorang yang sholat tidak
mau membaca doa-doa yang telah diajarkan oleh Rasululah SAW tersebut hanya
lantaran hukumnya sunat. Sementara di sisi lain bukankan Rasulullah SAW telah
bersabda, bahwa hendaklah kita sholat
sebagaimana beliau melaksanakan sholat. Artinya adalah; jika beliau bertasbih
atau berdo’a di dalam setiap ruku’; sujud dan dalam keadaan lainnya; maka
tentulah kita lebih berkewajiban untuk melakukannya. Karena seandainya kita enggan
berdo’a atau bertasbih memuji Allah di dalam sholat yang didirikannya, maka apakah
kita lebih hebat atau lebih utama lagi dari Rasulullah SAW.
Al-Ghazali juga mengatakan,
mengingat banyaknya ragam bacaan atau do’a-do’a di dalam beberapa gerakan
sholat yang dilakukan yang telah diajarkan Rasulullah SAW, maka boleh jadi yang
sunatkan oleh para ulama itu hanyalah
memilih salah satu di antara do’a-do’a tersebut, sedangkan membacanya di dalam
sholat tetap merupakan kewajiban, agar sholat yang kita lakukan sama dengan
sholat yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Adapun tentang kadar bacaan di dalam
rukun-rukun sholat tersebut, tentunya terserah kepada kita untuk melafazkannya;
Apakah sekali; dua atau tiga kali, baik do’a atau bacaan yang pendek maupun
yang panjang; kecuali jika sholat berjama’ah, maka tentulah harus memperhatikan
ketentuan-ketentuan yang ada dalam mendirikan sholat secara berjama’ah. Yang
jelas hendaklah membaca atau melafazkan do’a-do’a tersebut dengan penuh kekhusyukan
dan harapan kepada Allah untuk dikabulkan-NYA. Sesungguhnya Allah Ta’ala
berfirman: “Janganlah
kamu gerakkan lidahmu untuk
(membaca) Al Qur'an karena hendak cepat-cepat (menguasai) nya.” (Q.S. Al-Qiyamah: 16)
Kata Al-Ghazali, maksud dari ayat di atas adalah; Bahwa
Allah Ta’ala melarang kita untuk tergesa-gesa dalam membaca Al-Quran maupun
berdo’a kepada-NYA.
Mudah-mudahan penjelasan yang
singkat ini bermanfaat bagi kita semuanya, dalam rangka evaluasi dan upaya kita
memperbaiki dan menyempurnakan sholat
yang kita dirikan. Wallahua’lam.
Jakarta, 20 Rabi’ul Akhir
1435 H / 21 Pebruari 2014
KH.Bachtiar Ahmad.