(Pelajaran untuk:
Isteri; Anak Perempuan-ku dan para Muslimah)
===================================================
Ketika akan berangkat meninggalkan Madinah, Umar
bin Khattab memberikan sejumlah uang kepada Said bin Amir untuk bekal
perjalanan dan belanja keluarganya sementara ia belum menerima gajinya sebagai Gubernur. Kemudian
beberapa waktu setelah tiba di kota Homs, maka “isterinya” meminta uang tersebut kepada
Said bin Amir untuk membeli pakaian; peralatan rumah tangga dan keperluan
lainnya. Akan tetapi Said bin Amir menolak permintaan isterinya seraya
mengatakan:
“Isteriku, maukah engkau kutunjukkan hal yang lebih
baik dari rencanamu itu; Bahwa adalah lebih baik uang itu kita serahkan kepada seseorang sebagai modal berniaga, yang kelak dapat kita
ambil keuntungan yang berlipat ganda….”
“Bagaimana jika usahanya itu mengalami kerugian ?”
kata isterinya memotong pembicaraan Said.
“In syaa’ Allah tidak akan merugi dan kalaupun
demikian aku akan menyediakan jaminannya untuk hal itu.” Jawab Said bin Amir
atas pertanyaan isterinya itu.
Kemudian setelah isterinya memberikan
persetujuannya, maka Said bin Amir lalu bergegas ke pasar untuk membeli
beberapa barang keperluan rumah tangganya. Sedangkan sisa uang yang ada di
tangannya dibagi-bagikannya sebagai sedekah kepada fakir miskin yang ia jumpai.
Beberapa waktu berlalu, isterinya menanyakan
perihal perniagaan yang dilakukan Said tersebut dan berharap agar suaminya
memberinya sedikit uang dari keuntungan perniagaan tersebut. Said bin Amir
menjelaskan, bahwa perniagaan itu berkembang pesat dan untungnya kian
bertambah, tapi belum sa’atnya untuk mengambil keuntungan tersebut. Begitu juga
pada hari-hari lainnya, isteri Said selalu bertanya masalah itu kepada
suaminya. Sehingga sampailah pada suatu hari sang isteri menanyakan hal itu
lagi di hadapan anak-anak dan anggota keluarganya yang lain. Dan karenanya Said
bin Amir mau tidak mau harus menjelaskan hal yang sebenarnya dari apa yang
telah dilakukannya. Said bin Amir berkata:
“Isteriku, anak-anak dan semua ahli keluargaku.
Sesungguhnya perniagaan yang kalian tanyakan itu adalah perniagaanku dengan
Allah Ta’ala, dalam kata lain; sisa uang yang diberikan “Amirul Mukminin” Umar
bin Khattab r.a beberapa waktu yang lalu telah kubagi-bagikan atau kusedekahkan
kepada fakir miskin yang membutuhkannya; oleh sebab itulah kukatakan kepada
kalian, bahwa keuntungannya belum bisa kita ambil sa’at ini. Kemudian Said bin
Amir membacakan Firman Allah Ta’ala (yang artinya):
“Hai orang-orang
yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat
menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? // (yaitu) kamu beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang
lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya.” (Q.S. Ash-Shaf: 10-11)
Mendengar
penjelasan Said itu, isteri dan anggota keluarganya yang lain hanya terdiam.
Namun ketika pada malam harinya, isterinya berkata kepada Said bin Amir:
“Wahai suamimu, sungguh
aku merasa sedh dan menyesal, karena engkau sedikitpun tak mau memenuhi
permintaanku. Bahkan ada kalany sebagai Gubernur, engkau selalu menolak
hadiah-hadaiah yang diberikan kepadamu; padahal semuanya itu bisa dimanfaatkan
untuk keperluanku dan juga keluarga kita yang lain.”
Said bin Amir
menatap isterinya dalam-dalam, sementara air mata sang isteri dalam pandangan
Said semakin menambah kecantikan dan kemolekan isteri yang sangat dicintainya
itu. Namun sebelum pandangan itu dapat menggugah nafsu dan mempengaruhi
hatinya, Said bin Amir berbalik dan melepaskan pandangan bathinnya jauh ke
surga yang tinggi, dan ia seakan-akan melihat para sahabat yang telah
mendahuluinya dan berkata kepada diri dan isterinya:
“Isteriku,
sungguh aku memiliki sahabat-sahabat yang telah lebih dulu pergi berjumpa
dengan Allah; mereka sa’at ini sudah hidup dengan tenang dan senang di sisi
Tuhan. Oleh sebab itulah aku berjanji tidak pernah ingin menyimpang dari jalan
yang mereka tempuh, walaupun ditebus dengan dunia dan segala isinya.”
Dan ketika ia
masih mendengar isterinya terisak-isak dengan tangisnya, Said melanjutkan
ucapannya:
“Isteriku,
bukankah engkau tahu; Bahwa sebagaimana yang telah dijanjikan Allah Ta’ala, di
dalam surga itu banyak gadis-gadis bermata jeli dengan kulit yang bercahaya.
Sehingga andai saja seorang dari mereka turun dan menampakkan wajahnya di muka
buni ini, maka akan terang benderanglah alam semesta ini dan cahaya mereka akan
mengalahkan kemilaunya cahanya matahari dan rembulan…. Maka hendaklah engkau
tahu isteriku, mengorbankan dirimu untuk medapatkan mereka tentunya jauh lebih
baik kulakukan, daripada harus kehilangan dan mengorbankan mereka hanya
lantaran mengikuti keinginan hawa nafsumu. Isteriku hendaklah engkau pahami,
bahwa mengorbankan dirimu jauh lebih baik dan utama untuk kulakukan daripada
harus kehilangan kesempatan memiliki 7 orang bidadari yang dijanjikan Allah,
hanya karena dirimu yang seorang.”
Mendengar
perkataan ucapan itu, isterinya segera berbalik memeluk “suaminya” Said bin
Amir. Ia memohon ma’af kepada sang suami dan berjanji untuk mengikuti jalan
yang dipilih Amir bin Said; hidup zuhud dengan ketakwaan yang penuh kepada
Allah Ta’ala. Wallahua’lam.
(dinukil dan diedit dari Kisah-Kisah Sufistik/Kisah
Para Sahabat Rasulullah SAW)
Bagansiapiapi, 4 Sya’ban 1435 H / 3 Juni 2014.
KH.Bachtiar Ahmad