Friday 27 June 2014

Sepercik Renungan: HATI-HATI BERKAWAN



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
====================
Suatu ketika ketika saya masih aktif di salah satu organisasi profesi di Jakarta, salah seorang guru saya (almarhum Haji Abdullah) menasihati saya:

“Hendaknya kamu itu berhati-hati dalam bergaul dengan sesama manusia, terlebih-lebih lagi dengan kawan-kawanmu yang non muslim itu. Kamu harus ingat, bahwa seburuk-buruknya akhlak orang Islam (Muslim), dia nggak bakalan berusaha membuatmu murtad dan nggak bakalan melarangmu untuk sholat atau ibadah lainnya. Tapi sebaik-baiknya akhlak orang-orang non Muslim itu, bahwa sekalipun ia tak bisa membuatmu murtad, maka dapat dipastikan ia akan berusaha membuatmu lalai dan mengabaikan kewajiban-kewajiban yag diperintahkan Allah kepadamu.” Lalu beliau membacakan Firman Allah Ta’ala:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (Q.S. An-Nisaa’: 144)

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (Q.S. 120)

Dan nasihat almarhum tersebut ternyata ada benarnya. Karena paling tidak sekali waktu saya pernah lalai dan mengabaikan kewajiban yang diperintakan Allah Ta’ala. Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 22 Sya’ban 1435 H / 21 Juni 2014.
KH.Bachtiar Ahmad.

Friday 20 June 2014

BLACK CAMPAIGN (1): Jangan merusak amaliahmu.



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
======================
PRABOWO-HATTA dan JOKOWI-JK pada hakikatnya adalah saudara-saudara kita. Dan jika kita memang mengaku sebagai orang bertakwa dan ingin mendapatkan rahmat Allah, maka kita berkewajiban memelihara hubungan baik antara satu dengan yang lain. Bukan mengadu domba mereka sebagaimana yang ditegaskan Allah Ta’ala dengan Firman-Nya:

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S. Al-Hujuraat: 10)

Kini “mereka” tampil sebagai Capres dan Cawapres yang akan kita pilih untuk memimpin Indonesia yang kita cintai ini untuk 5 tahun ke depan. Dan tentu saja kita berkewajiban pula memilih salah satu di antara kedua pasangan calon-calon tersebut sebagai satu bagian bagian keta’atan kita pada perintah Allah Ta’ala:

“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisaa’: 59)

Akan tetapi sejak diumumkannya “mereka” sebagai Capres dan Cawapres, banyak di antara kita yang terlibat; terjebak dan terhasut dalam “Kampanye Hitam” atau yang lebih populer dengan sebutan “Black Campaign”; mulai dari purnawirawan Jenderal; ilmuwan/cerdik pandai; ulama; bahkan sampai kepada rakyat awam terbawa oleh arus “hujat menghujat” tersebut. Mereka semua seakan-akan  sudah kehilangan hati nurani dan akal sehatnya sebagai “orang yang beriman”.

Dalam bahasa agama “Black Campaign” itu disebut sebagai “GHIBAH” yang secara umum maknanya adalah adalah membicarakan perilaku orang lain; khususnya yang berkaitan dengan hal-hal negatif tentang dirinya.  Baik dengan cara berkata-kata (membicarakannya); menulis tentang hal itu atau hanya dengan sekadar memberikan isyarat dan gambaran tentang keburukan orang yang dijadikan sasaran ghibah.

Allah Ta’ala melarang perbuatan Ghibah tersebut sebagaimana firman-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain.  Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.  Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Hujuraat: 12)

Sementara dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda:

“Tahukah kalian apa itu ghibah (menggunjing)?” Para sahabat menjawab : “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Kemudian beliau bersabda :  “Ghibah adalah engkau membicarakan tentang saudaramu sesuatu yang dia benci.” Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah bagaimana kalau yang kami katakan itu betul-betul ada pada dirinya?” Beliau menjawab : “Jika yang kalian katakan itu betul, berarti kalian telah berbuat ghibah. Dan jika apa yang kalian katakan tidak betul, berarti kalian telah memfitnah (mengucapkan suatu kedustaan).” (HR. Muslim dari Abu Hurairah r.a)

Sedangkan dalam hadis yang lain ada disebutkan, bahwa orang yang suka melakukan ghibah adalah laksana memberikan dengan sangat cepat amal ibadah dan kebajikan yang ia lakukan kepada orang yang menjadi sasaran ghibahnya; sementara kebalikan dari itu dirinya memperoleh sebahagian keburukan atau kejahatan orang yang digunjing/dighibahnya.

Tidak ada alasan apapun bagi orang beriman; entah itu orang berpangkat atau rakyat yang melarat sehingga ia boleh meng-ghibah atau menggunjing orang lain (sekalipun ia adalah orang kafir/non muslim), karena perbuatan itu bisa merugikan dirinya dunia dan akhirat. Didunia orang yang suka meng-ghibah bisa jadi akan dijauhi dan dimusuhi oleh sanak saudara ataupun kawan karibnya (yang dalam masa-masa Pilpres ini berbeda pilihan dengan dirinya); sedangkan di akhirat kelak ia akan menjadi orang yang rugi lantaran amal ibadahnya sudah habis diambil dan diberikan kepada orang yang dighibahnya.

Satu hal yang patut diketahui adalah, bahwa dosa yang disebabkan ghibah ini tidak akan pernah diampuni oleh Allah sebelum yang ia meminta maaf dan ampunan dari orang yang dighibahnya. Dosa ghibah tak bisa dibayar dengan kafarat atau denda dengan melakukan sholat seribu raka’at; istigfar berkepanjangan atau puasa sepanjang tahun sekalipun, kecuali meminta maaf kepada yang dighibah; sekalipun gujingan atau ghibah itu kita lakukan hanya karena ikut-ikutan lantaran ingin membela orang yang kita sukai.

Yang paling menyedihkan dalam situasi dan kondisi “PILPRES” sekarang ini adalah, banyak di antara kita yang mengaku “BERIMAN” kepada Allah dan Rasul-Nya, khususnya “rakyat awam” yang tidak punya kepentingan apa-apa selain fanatismenya kepada salah satu pasangan Capres/Cawapres;  ikut menyebar luaskan “Black Campaign” yang dibuat oleh kalangan non muslim atau orang-orang kafir yang memusuhi salah satu pasangan Capres/Cawapres yang ada. Sehingga dengan demikian mau tidak mau; langsung atau tidak langsung dia telah menjerumuskan dirinya dan mengikuti  perbuatan orang-orang kafir tersebut. Atau dengan kata lain menjadi bagian dari orang-orang kafir tersebut. Bahkan ada yang “hujatannya” melebihi dari apa yang diperbuat oleh orang-orang kafir tersebut. Padahal Allah Ta’ala sudah memberi amaran-NYA:

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi.” (Q.S. Ali ‘Imran: 149)

Oleh hal-hal yang demikian inilah kita wajib waspada dan tidak ikut hanyut dalam dinamika “Black Campaign” yang lebih merugikan diri kita sendiri. Sebab pada akhirnya ketika salah satu pasangan Capres/Cawapres tersebut sudah terpilih; baik yang kita suka maupun yang kita hujat; maka kita akan tetap memikul beban dosa “Black Campaign” yang  telah kita perbuat sampai sa’atnya nanti kita berhadapan dengan “yang kita hujat” di pengadilan Hari Akhirat di hadapan Allah Ta’ala. Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 18 Sya’ban 1435 H / 17 Juni 2014
KH.Bachtiar Ahmad

Friday 13 June 2014

KETIKA SAID BIN AMIR r.a JADI PEMIMPIN (2)



(Pelajaran untuk: Isteri; Anak Perempuan-ku dan para Muslimah)
===================================================
Ketika akan berangkat meninggalkan Madinah, Umar bin Khattab memberikan sejumlah uang kepada Said bin Amir untuk bekal perjalanan dan belanja keluarganya sementara ia belum  menerima gajinya sebagai Gubernur. Kemudian beberapa  waktu setelah tiba di kota  Homs, maka “isterinya” meminta uang tersebut kepada Said bin Amir untuk membeli pakaian; peralatan rumah tangga dan keperluan lainnya. Akan tetapi Said bin Amir menolak permintaan isterinya seraya mengatakan:

“Isteriku, maukah engkau kutunjukkan hal yang lebih baik dari rencanamu itu; Bahwa adalah lebih baik uang itu kita serahkan kepada seseorang  sebagai modal berniaga, yang kelak dapat kita ambil keuntungan yang berlipat ganda….”

“Bagaimana jika usahanya itu mengalami kerugian ?” kata isterinya memotong pembicaraan Said.

“In syaa’ Allah tidak akan merugi dan kalaupun demikian aku akan menyediakan jaminannya untuk hal itu.” Jawab Said bin Amir atas pertanyaan isterinya itu.

Kemudian setelah isterinya memberikan persetujuannya, maka Said bin Amir lalu bergegas ke pasar untuk membeli beberapa barang keperluan rumah tangganya. Sedangkan sisa uang yang ada di tangannya dibagi-bagikannya sebagai sedekah kepada fakir miskin yang ia jumpai.

Beberapa waktu berlalu, isterinya menanyakan perihal perniagaan yang dilakukan Said tersebut dan berharap agar suaminya memberinya sedikit uang dari keuntungan perniagaan tersebut. Said bin Amir menjelaskan, bahwa perniagaan itu berkembang pesat dan untungnya kian bertambah, tapi belum sa’atnya untuk mengambil keuntungan tersebut. Begitu juga pada hari-hari lainnya, isteri Said selalu bertanya masalah itu kepada suaminya. Sehingga sampailah pada suatu hari sang isteri menanyakan hal itu lagi di hadapan anak-anak dan anggota keluarganya yang lain. Dan karenanya Said bin Amir mau tidak mau harus menjelaskan hal yang sebenarnya dari apa yang telah dilakukannya. Said bin Amir berkata:

“Isteriku, anak-anak dan semua ahli keluargaku. Sesungguhnya perniagaan yang kalian tanyakan itu adalah perniagaanku dengan Allah Ta’ala, dalam kata lain; sisa uang yang diberikan “Amirul Mukminin” Umar bin Khattab r.a beberapa waktu yang lalu telah kubagi-bagikan atau kusedekahkan kepada fakir miskin yang membutuhkannya; oleh sebab itulah kukatakan kepada kalian, bahwa keuntungannya belum bisa kita ambil sa’at ini. Kemudian Said bin Amir membacakan Firman Allah Ta’ala (yang artinya):

“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? // (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya.” (Q.S. Ash-Shaf: 10-11)

Mendengar penjelasan Said itu, isteri dan anggota keluarganya yang lain hanya terdiam. Namun ketika pada malam harinya, isterinya berkata kepada  Said bin Amir:

“Wahai suamimu, sungguh aku merasa sedh dan menyesal, karena engkau sedikitpun tak mau memenuhi permintaanku. Bahkan ada kalany sebagai Gubernur, engkau selalu menolak hadiah-hadaiah yang diberikan kepadamu; padahal semuanya itu bisa dimanfaatkan untuk keperluanku dan juga keluarga kita yang lain.”

Said bin Amir menatap isterinya dalam-dalam, sementara air mata sang isteri dalam pandangan Said semakin menambah kecantikan dan kemolekan isteri yang sangat dicintainya itu. Namun sebelum pandangan itu dapat menggugah nafsu dan mempengaruhi hatinya, Said bin Amir berbalik dan melepaskan pandangan bathinnya jauh ke surga yang tinggi, dan ia seakan-akan melihat para sahabat yang telah mendahuluinya dan berkata kepada diri dan isterinya:

“Isteriku, sungguh aku memiliki sahabat-sahabat yang telah lebih dulu pergi berjumpa dengan Allah; mereka sa’at ini sudah hidup dengan tenang dan senang di sisi Tuhan. Oleh sebab itulah aku berjanji tidak pernah ingin menyimpang dari jalan yang mereka tempuh, walaupun ditebus dengan dunia dan segala isinya.”

Dan ketika ia masih mendengar isterinya terisak-isak dengan tangisnya, Said melanjutkan ucapannya:

“Isteriku, bukankah engkau tahu; Bahwa sebagaimana yang telah dijanjikan Allah Ta’ala, di dalam surga itu banyak gadis-gadis bermata jeli dengan kulit yang bercahaya. Sehingga andai saja seorang dari mereka turun dan menampakkan wajahnya di muka buni ini, maka akan terang benderanglah alam semesta ini dan cahaya mereka akan mengalahkan kemilaunya cahanya matahari dan rembulan…. Maka hendaklah engkau tahu isteriku, mengorbankan dirimu untuk medapatkan mereka tentunya jauh lebih baik kulakukan, daripada harus kehilangan dan mengorbankan mereka hanya lantaran mengikuti keinginan hawa nafsumu. Isteriku hendaklah engkau pahami, bahwa mengorbankan dirimu jauh lebih baik dan utama untuk kulakukan daripada harus kehilangan kesempatan memiliki 7 orang bidadari yang dijanjikan Allah, hanya karena dirimu yang seorang.”

Mendengar perkataan ucapan itu, isterinya segera berbalik memeluk “suaminya” Said bin Amir. Ia memohon ma’af kepada sang suami dan berjanji untuk mengikuti jalan yang dipilih Amir bin Said; hidup zuhud dengan ketakwaan yang penuh kepada Allah Ta’ala. Wallahua’lam.

(dinukil dan diedit dari Kisah-Kisah Sufistik/Kisah Para Sahabat Rasulullah SAW)

Bagansiapiapi, 4 Sya’ban 1435 H / 3 Juni 2014.
KH.Bachtiar Ahmad

Friday 6 June 2014

KETIKA SAID BIN AMIR r.a JADI PEMIMPIN (1)



0leh: KH.Bachtiar Ahmad
====================
Pada awalnya “Said bin Amir” menolak tawaran “Amirul Mukminin” Umar bin Khattab untuk dijadikan sebagai Gubernur Suriah yang berkedudukan di Homs menggantikan “Muawiyah”. Sebab Said tak ingin jabatan itu menjadi fitnah bagi diri dan keluarganya. Akan tetapi ketika Umar r.a mengatakan: “Demi Allah, saya tak hendak melepaskan Anda! Apakah tuan-tuan hendak membebankan amanat dan khilafah di atas pundakku lalu tuan-tuan meninggalkan daku.” Maka Said bin Amir dengan ikhlas menerima jabatan tersebut.

Beberapa waktu kemudian Umar r.a berkunjung Suriah dan sesampainya di Homs Umar menerima pengaduan dan keluhan dari rakyat di sana tentang “kepemimpinan” Said bin Amir r.a.

Kepada Umar disampaikan, bahwa: Pertama, Said baru keluar rumah menemui rakyatnya setelah matahari tinggi; Kedua, Said tidak mau melayani mereka pada waktu malam; Ketiga, Dalam sebulan ada dua hari dimana Said sama sekali tidak mau keluar rumah untuk menemui mereka; Dan yang ke-empat, pada waktu-waktu tertentu Said bin Amir tiba-tiba semaput dan kemudian jatuh pingsan.

Mendengar pengaduan tersebut Umar r.a merasa malu dan segera  memohon ampun kepada Allah, kemudian dipanggilnya Said bin Amir dan diminta untuk menjelaskan persoalan yang sebenarnya di hadapan orang banyak sebagai pembelaan diri atas pengaduan yang dituduhkan kepadanya. Lalu Said bin Amir berkata:

 Demi Allah wahai amirul mukminin, sungguh saya tak ingin membela diri andai hal itu diperkenankan. Sebab saya takut pembelaan itu nanti menjadikan saya riya’ di hadapan Allah. Akan tetapi lantaran ini merupakan tanggung jawab saya kepada orang-orang yang saya pimpin dan kepada tuan yang telah mengamanahkan jabatan itu kepada saya, maka mohon ampun kepada Allah jika hal ini merupakan satu kekeliruan dan kealpaan saya dalam menjalankan jabatan yang diamanhkan kepada saya.”

Sesaat setelah berhenti Said melanjutkan perkataannya:

“Wahai amirul mukminin, sesungguhnyalah keluarga kami tidak punya pembantu, maka untuk itu sayalah yang mengaduk tepung dan membiarkannya sampai mengeram, lalu saya membuat roti untuk makanan keluargaku. Setelah itu saya berwudhuk dan mengerjakan shalat dluha dua raka’at; dan barulah sesudah itu saya keluar menemui orang banyak.”

“Adapun tuduhan bahwa saya tidak mau  melayani mereka di waktu malam, maka, demi Allah, sungguh saya benci untuk menerangkannya. Bahwa sebenarnya di siang hari saya sudah menyediakan waktu bagi mereka, dan malam harinya saya ingin memanfaatkan waktu saya hanya untuk dan kepada Allah. Sedangkan keluhan mereka bahwa dua hari setiap bulan sya tidak keluar rumah untuk  menemui mereka, sesungguhnya saya tak punya banyak pakaian untuk dipergantikan, maka terpaksalah saya mencucinya dan menunggu sampai kering; setelah  itu barulah saya keluar menemui mereka.”

Kemudia Said bin Amir melanjutkan penjelasannya:

“Mengenai keluhan bahwa saya suka semaput dan jatuh pingsan itu, hal itu adalah dikarenakan saya sempat menyaksikan Khubaib Al-Anshari pada sa’at di-eksekusi oleh orang-orang kafir Quraisy sewaktu di Makkah dulu (saat itu Said belum masuk Islam). Setelah tubuhnya disalib kemudian disayat dan di-iris-iris, orang-orang kafir itu membawanya dengan tandu dan sempat pula mendengar mereka  berkata kepada Khubaib yang sedang sekarat:  “Hai Khubaib,  Said,  maukah tempatmu ini diisi oleh Muhammad sebagai gantimu, sedang kamu berada dalam keadaan sehat walafiat?” Yang kemudian sambil menahan rasa sakitnya Khubaib berkata dengan lantang:  Demi Allah, saya tak ingin berada dalam lingkungan anak istriku diliputi keselamatan dan kesenangan dunia, sementara Rasulullah SAW ditimpa bencana, walau hanya sekadar tusukan duri yang kecil. “Wahai amirul mukminin, setiap kali saya terkenang akan peristiwa itu tubuhku gemetar karena takut balasan dan siksaan Allah kepada orang-orang yang zalim.”

Kini orang banyak sudah mengetahui alasan dan jawaban Said bin Amir r.a, mereka meminta maaf karena telah berprasangka buruk kepada Said. Sementara Umar r.a sangat teharu sampai-sampai kemudian ia memeluk Said bin Amir dan mencium kening dan sekaligus mendo’akan kebaikan bagi sahabatnya itu beserta seluruh keluarga Said r.a.

Lalu adakah pemimpin di negeri ini yang mampu meneladani jejak rekam kehidupan Said bin Amir r.a tersebut. Pemimpin yang tidak menyembunyikan “kemunafikan” di balik baju keta’atannya kepada Allah Ta’ala. Pemimpin yang hidup “miskin”, sekalipun mungkin ia mampu memperkaya diri dan keluarganya dengan jabatan yang diamanahkan kepadanya.  Semoga saja Allah Ta’ala segera memberikan pemimpin yang benar-benar ta’at dan amanah bagi kita semua. Pemimpin yang kebajikan ruhaniah sejajar, sama dan sebangun dengan lahiriahnya, yang tidak akan membuat kita kecewa  karena kemunafikannya.   Aaamiin ya robbal ‘alamiin…….. - Wallahua’lam.

(dinukil dan diedit dari Kisah-Kisah Sufistik/Kisah Para Sahabat Rasulullah SAW)

Bagansiapiapi, 27 Rajab 1435 H / 27 Mei 2014.
KH.Bachtiar Ahmad.

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.