Friday 25 July 2014

KATA SAYYIDINA ALI R.A TENTANG ILMU




0leh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================
1.  Ilmu adalah pusaka yang mulia.

2. Serendah-rendah ilmu adalah yang berhenti di lidah, dan yang paling tinggi adalah yang tampak di anggota-anggota badan.

3. Tetaplah mengingat ilmu di tengah orang-orang yang tidak menyukainya, dan mengingat kemuliaan yang terdahulu di tengah orang-orang yang tidak memiliki kemuliaan, karena hal itu termasuk di antara yang menjadikan keduanya dengki terhadapmu.

4.  Jika Allah hendak merendahkan seorang hamba, maka Dia mengharamkan terhadapnya ilmu.

5. Jika mayat seseorang telah diletakkan di dalam kuburnya, maka muncullah empat api. Lalu datanglah shalat (yang biasa dikerjakannya), maka ia memadamkan satu api. Lalu datanglah puasa, maka ia memadamkan api yang satunya lagi (api kedua). Lalu datanglah sedekah, maka ia memadamkan api yang satunya lagi. Lalu datanglah ilmu, maka ia memadamkan api yang keempat seraya berkata: “Seandainya aku menjumpai api-api itu, niscaya akan aku padamkan semuanya. Oleh karena itu, bergembiralah kamu. Aku senantiasa bersamamu, dan engkau tidak akan pernah melihat kesengsaraan.

6. Janganlah engkau membicarakan ilmu dengan orang-orang yang kurang akal karena mereka hanya akan mendustakanmu, dan tidak pula kepada orang-orang bodoh karena mereka hanya akan menyusahkanmu. Akan tetapi, bicarakanlah ilmu dengan orang yang menerimanya dengan penerimaan yang baik dan yang memahaminya.

7. Cukuplah ilmu itu sebagai kemuliaan bahwasanya ia diaku-aku oleh orang yang bukan ahlinya dan senang jika dia dinisbatkan kepadanya.

(dinukil dan diedt dari Risalah Sufiyyah)

Bagansiapiapi, 27 Ramadhan 1435 H / 24 Juli 2014
KH.BACHTIAR AHMAD

Friday 18 July 2014

SIAPAKAH YANG PALING BODOH ?



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
===================

Suatu hari sang khalifah memberi Abunawas sebatang tongkat seraya berkata: “Jika suatu saat engkau bertemu dengan orang yang paling bodoh, tolong berikan tongkat ini kepadanya. Akan tetapi kalau tidak bertemu juga, maka simpanlah tongkat ini, sebab mungkin engkaulah yang paling bodoh di dunia ini.” Dan mendengar titah sang khalifah Abunawas hanya manggut-manggut dan berjanji akan selalu taat dan mengingat titah sang khalifah.

Sampailah pada suatu ketika sang Khalifah jatuh sakit keras dan saat itulah Abunawas datang menjenguk. Kemudian terjadilah percakapan di antara mereka:

“Wahai Abunawas, aku merasa seakan-akan tak ada obat  yang  dapat menyembuhkan sakitku. Kini aku hanya
dapat membayangkan  jalan  penghabisan  yang terbentang di hadapanku.”

“Lalu kemanakah baginda akan pergi?”

“Aku akan melangkah ke dunia lain.”

“Berapa lamakah baginda akan tinggal di sana? Bilakah baginda akan pulang ke negeri ini.”

“Wahai  Abu  seperti  yang  kau tahu, tak seorangpun  yang dapat  pulang lagi  dari dunia yang akan kutuju
itu.”

“Kalau begitu, tentulah baginda sudah  membuat   persiapan   awal.  Apakah  baginda  sudah mengirimkan
pasukan pengawal yang akan menjaga  keselamatan baginda di sana?”

“Wahai Abu apakah kau tak tahu bahwa kita akan  kesana  hanya  seorang diri. Dan rasanya aku tak perlu
membuat persiapan khusus untuk itu.”

“Wahai amir-ul-mu’minin!  Biasanya anda selalu mengerahkan pengawal  untuk  membuat  persiapan   yang sangat  teliti   untuk  perjalanan   anda  yang  hanya beberapa hari anda  lakukan.   Sekarang  anda  hendak  pergi  ke tempat  di mana  anda akan tinggal  selama-lamanya,  tapi  anda tidak membuat persiapan. Jadi saya rasa sekarang inilah saatnya saya menjumpai orang yang lebih  bodoh  dari  saya,  maka   sebenarnya   yang lebih berhak memiliki tongkat yang pernah tuan berikan kepada saya beberapa waktu yang lalu.”

(dinukil dan diedit dari Kisah-Kisah Teladan)

Bagansiapiapi, 20 Ramadhan 1435 H / 18 Juli 2014
KH.Bachtiar Ahmad.

Friday 11 July 2014

JATAH MAKANAN AMIRUL MUKMININ




oleh: KH. BACHTIAR AHMAD
========================


Ketika terjadi masa paceklik ditahun-tahun pemerintahannya di Madinah, “Amirul Mukminin”  Umar bin Khattab r.a  menyuruh para sahabat yang membantunya untuk menyembelih unta, yang kemudian dagingnya dibagi-bagikan kepada seluruh penduduk Madinah.
Pada waktu makan siang “sang khalifah” Umar. mendapati  daging punuk yang lembut dan sepotong hati unta terhidang di-meja makannya. Lalu Umar bertanya kepada keluarganya;

Dari mana makanan ini ?.”

Salah seorang anaknya menjelaskan, bahwa daging punuk dan hati unta itu berasal dari unta yang disembelih sebagaimana yang ia perintahkan. Dan para sahabat sengaja menyisihkan sedikit bagian itu untuk makan siang “sang pemimpin”. Demi mendengar penjelasan itu Umar ibnul Khattab lalu mengemasi meja dengan tangannya sendiri dan kemudian berkata kepada salah seorang pembantu yang ada di dekatnya:

“Hai Aslam berikan ini kepada mereka yang lebih berhak; yang belum mendapat bagian terbaik; karena untuk merekalah unta itu disembelih. Dan tolong bawakan kepadaku  roti dan minyak wijen untuk makan siangku.”

Setelah itu Umar lalu  bergumam:

“Ya Allah ampunilah dosaku dan dosa  para sahabatku; tujuan mereka memang baik; tapi aku tak mau menanggung malu di hadapan-Mu lantaran aku memakan makanan yang enak-enak;  sementara orang lain; yang oleh karena merekalah untua-unta itu disembelih hanya memakan tulang dan bagian kerasnya.”

Dan seperti biasanya Umar lalu menangis sesunggukan; karena sangat malunya kepada Allah SWT yang telah memberi kepercayaan kepadanya sebagai “amirul mukminin”. Wallahua’lam.

(dinukil dan diedit dari Kisah Para Sahabat)

Bagansiapiapi; 13 Ramadhan 1435 H / 11 Juli 2014.
KH. BACHTIAR AHMAD
 


Friday 4 July 2014

SAYA TIDAK AKAN "GOLPUT" !



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================
Saya lahir di Indonesia, besar; menikah dan cari makan di Indonesia. Maka sebagai bagian dari bangsa Indonesia, saya berkewajiban untuk tunduk dan ta’at kepada  Pemerintah dan aturan hukum yang berlaku di Indonesia. Akan tetapi kalau ditanya bagaimana saya hidup dan mati, maka sebagai orang yang beriman jawabannya adalah: “Saya akan hidup dan mati” sebagai seorang Islam (Muslim) sebagaimana yang diperintahkan Allah Ta’ala:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Q.S. Ali ‘Imraan: 102)

Eit, tapi tunggu dulu, saya bukan penganut paham “Sekularisme”  yang memisahkan aturan hidup berbangsa dan bernegara dengan aturan hidup sebagai orang yang memiliki keyakinan agama.  Saya hanya ingin melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-NYA dengan sebaik-baik yang bisa saya tunaikan. Artinya adalah: Saya akan ta’at kepada Pemerintah dan hukum/aturan hidup  berbangsa dan bernegara selama hukum/aturan tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebab yang demikian inilah yang ditegaskan Allah Ta’ala dengan Firman-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisaa’: 59)

Sedangkan Rasulullah SAW bersabda:

“Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dengan patuh dan menta’ati (pemerintahnya); baik dalam hal yang ia senangi maupun yang ia benci; melainkan jika ia diperintah untuk berbuat maksiat. Maka apabila ia diperintah untuk melakukan kemaksiatan, tidaklah ia boleh mendengarkan perintahnya dan tidak pula boleh mentaatinya.”  (HR. Muttafaq ‘alaihi dari Ibnu Umar r.a)

Jadi dengan demikian tidak ada alasan bagi saya untuk menjadi “golput” dalam “Pilpres 2014”  ini lantaran memilih pemimpin bukanlah suatu kemaksiatan; Bahkan termasuk dalam salah satu kewajiban agama sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Taqiyuddin ibnu Taimiyah” dalam kitabnya “As-Siyaasah Asy-Syar’iyyah” antara lain menyatakan: “Perlu diketahui, bahwa memilih pemimpin untuk mengurusi umat manusia itu tergolong kewajiban agama yang bernilai besar. Bahkan agama tidak bisa ditegakkan tanpa adanya pemimpin. Oleh sebab itulah Rasulullah SAW mewajibkan dalam setiap perkumpulan atau kelompok yang terkecil sekalipun harus ada yang menjadi pemimpin. Beliau bersabda:

“Apabila ada tiga orang dalam perjalanan, maka angkatlah salah satu dari mereka sebagai pemimpin.” (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah r.a)

“Tidak dihalalkan bagi tiga orang yang berada di tengah lapang, kecuali salah satu dari mereka ada yang menjadi pemimpin.” (HR. Imam Ahmad dari Abdullah bin Umar r.a)

Kalau ada yang berpendapat, bahwa percuma saja memilih lantaran Pemerintah yang ada sekarang ini; juga yang akan datang tidak sesuai dengan cita-cita atau syariat Islam, bahkan ada yang menyebutnya sebagai “taghut”; maka jelas itu adalah suatu kebodohan atau kemunafikan. Sebab bagaimanapun juga selama ini tentulah ia sudah ikut menta’ati sebahagian besar hukum/aturan hidup berbangsa bernegara dimana ia bertempat tinggal.  Mulai dari sejak dirinya dilahirkan sampai sa’atnya ia dikuburkan. Contoh sederhana ialah ketika ia menikah. Hukum nikahnya memang berdasarkan syariat Islam, tapi SURAT NIKAH-nya adalah aturan Pemerintah. Begitu juga dengan KTP-nya; PASPOR-nya untuk melakukan “Umroh” atau “Naik Haji”. Bahkan untuk belanja makan dan minumnya sehari-hari, yang digunakannya adalah “Duit Pemerintah”. Bukan duit yang diturunkan Allah Ta’ala dari langit.

Oleh sebab itu, mari untuk tidak menjadi “golput”, sebab “SATU” hak suara yang kita miliki adalah sangat berarti untuk baik atau tidaknya Pemerintahan 5(lima) tahun ke depan. Soal pilihan itu adalah “hak pribadi” masing-masing.  Tanyalah hati nurani, kajilah dengan teliti siapa yang layak untuk dipilih. Yang lebih kecil mudharatnya bagi agama dan umat Islam di negeri Indonesia yang kita cintai ini.  Soal nanti apakah pemimpin yang kita pilih itu akan jujur atau tidaknya, kita serahkan saja urusannya  sama Allah Yang Maha Mengetahui. Sebab sebagaimana Firman-Nya:

 “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. A-Baqarah: 216)

Syaikh Abdullah Al-Ghazali menjelaskan; bahwa “berperang” yang dimaksudkan Allah Ta’ala tersebut tidak hanya peperangan phisik melawan musuh-musuh Islam; tapi juga berperang melawan kehendak nafsu yang jahat; melawan kebodohan dan kemiskinan dan lain-lainnya yang dapat merugikan diri kita; Baik kepentingan kita bersama sebagai umat Islam ataupun sebagai bangsa dari Negara yang merdeka. Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 26 Sya’ban 1435 H / 27 Juni 2014.
KH.Bachtiar Ahmad.

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.