oleh: KH.Bachtiar
Ahmad
=====================
Saya lahir di
Indonesia, besar; menikah dan cari makan di Indonesia. Maka sebagai bagian dari
bangsa Indonesia, saya berkewajiban untuk tunduk dan ta’at kepada Pemerintah dan aturan hukum yang berlaku di
Indonesia. Akan tetapi kalau ditanya bagaimana saya hidup dan mati, maka sebagai
orang yang beriman jawabannya adalah: “Saya
akan hidup dan mati” sebagai seorang Islam (Muslim) sebagaimana yang
diperintahkan Allah Ta’ala:
“Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan
janganlah sekali-kali kamu mati
melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Q.S. Ali ‘Imraan: 102)
Eit, tapi tunggu
dulu, saya bukan penganut paham “Sekularisme”
yang memisahkan aturan hidup
berbangsa dan bernegara dengan aturan hidup sebagai orang yang memiliki
keyakinan agama. Saya hanya ingin
melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-NYA dengan sebaik-baik yang
bisa saya tunaikan. Artinya adalah: Saya akan ta’at kepada Pemerintah dan
hukum/aturan hidup berbangsa dan
bernegara selama hukum/aturan tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Sebab yang demikian
inilah yang ditegaskan Allah Ta’ala dengan Firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisaa’:
59)
Sedangkan Rasulullah SAW bersabda:
“Wajib
atas seorang Muslim untuk mendengar dengan patuh dan menta’ati (pemerintahnya);
baik dalam hal yang ia senangi maupun yang ia benci; melainkan jika ia
diperintah untuk berbuat maksiat. Maka apabila ia diperintah untuk melakukan
kemaksiatan, tidaklah ia boleh mendengarkan perintahnya dan tidak pula boleh
mentaatinya.” (HR. Muttafaq ‘alaihi
dari Ibnu Umar r.a)
Jadi dengan
demikian tidak ada alasan bagi saya untuk menjadi “golput” dalam “Pilpres
2014” ini lantaran memilih pemimpin
bukanlah suatu kemaksiatan; Bahkan termasuk dalam salah satu kewajiban agama
sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Taqiyuddin ibnu Taimiyah” dalam
kitabnya “As-Siyaasah
Asy-Syar’iyyah” antara lain menyatakan: “Perlu diketahui, bahwa memilih
pemimpin untuk mengurusi umat manusia itu tergolong kewajiban agama yang
bernilai besar. Bahkan agama tidak bisa ditegakkan tanpa adanya pemimpin. Oleh
sebab itulah Rasulullah SAW mewajibkan dalam setiap perkumpulan atau kelompok
yang terkecil sekalipun harus ada yang menjadi pemimpin. Beliau bersabda:
“Apabila ada tiga orang dalam perjalanan,
maka angkatlah salah satu dari mereka sebagai pemimpin.” (HR. Abu Dawud dari
Abu Hurairah r.a)
“Tidak dihalalkan
bagi tiga orang yang berada di tengah lapang, kecuali salah satu dari mereka
ada yang menjadi pemimpin.” (HR. Imam Ahmad dari Abdullah bin Umar
r.a)
Kalau ada yang
berpendapat, bahwa percuma saja memilih lantaran Pemerintah yang ada sekarang
ini; juga yang akan datang tidak sesuai dengan cita-cita atau syariat Islam,
bahkan ada yang menyebutnya sebagai “taghut”;
maka jelas itu adalah suatu kebodohan atau kemunafikan. Sebab bagaimanapun juga
selama ini tentulah ia sudah ikut menta’ati sebahagian besar hukum/aturan hidup
berbangsa bernegara dimana ia bertempat tinggal. Mulai dari sejak dirinya dilahirkan sampai
sa’atnya ia dikuburkan. Contoh sederhana ialah ketika ia menikah. Hukum
nikahnya memang berdasarkan syariat Islam, tapi SURAT NIKAH-nya adalah aturan
Pemerintah. Begitu juga dengan KTP-nya; PASPOR-nya untuk melakukan “Umroh” atau “Naik Haji”. Bahkan untuk belanja makan dan minumnya sehari-hari,
yang digunakannya adalah “Duit
Pemerintah”. Bukan duit yang diturunkan Allah Ta’ala dari langit.
Oleh sebab itu,
mari untuk tidak menjadi “golput”,
sebab “SATU” hak suara yang kita miliki adalah sangat berarti
untuk baik atau tidaknya Pemerintahan 5(lima) tahun ke depan. Soal pilihan itu
adalah “hak pribadi” masing-masing. Tanyalah hati nurani, kajilah dengan teliti
siapa yang layak untuk dipilih. Yang lebih kecil mudharatnya bagi agama dan
umat Islam di negeri Indonesia yang kita cintai ini. Soal nanti apakah pemimpin yang kita pilih itu
akan jujur atau tidaknya, kita serahkan saja urusannya sama Allah Yang Maha Mengetahui. Sebab
sebagaimana Firman-Nya:
“Diwajibkan atas kamu
berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi
kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu
menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu
tidak mengetahui.” (Q.S. A-Baqarah: 216)
Syaikh Abdullah
Al-Ghazali menjelaskan; bahwa “berperang”
yang dimaksudkan Allah Ta’ala tersebut tidak hanya peperangan phisik
melawan musuh-musuh Islam; tapi juga berperang melawan kehendak nafsu yang
jahat; melawan kebodohan dan kemiskinan dan lain-lainnya yang dapat merugikan diri
kita; Baik kepentingan kita bersama sebagai umat Islam ataupun sebagai bangsa
dari Negara yang merdeka. Wallahua’lam.
Bagansiapiapi,
26 Sya’ban 1435 H / 27 Juni 2014.
KH.Bachtiar
Ahmad.