Friday 19 September 2014

ZUHUD: “bukan berarti miskin” (2)



oleh:KH.Bachtiar Ahmad
=====================
Sekarang ini banyak umat Islam (kaum muslimin) yang setengah hati; bahkan takut-takut untuk mencari dan mengelola dunia yang mereka tempati.  Ajaran Al-Qur’an yang seharusnya dapat mereka jadikan sebagai dasar dan pijakan untuk mengelola dunia, telah dikalahkan oleh rasa takut mereka terhadap berbagai “hadis-hadis” yang lebih menganjurkan mereka pada kehidupan “zuhud”, yang pada akhirnya mereka lebih memilih hidup dalam kemiskinan dan serba kekurangan. Padahal hadis-hadis tersebut bukan bertujuan untuk membatasi manusia dari menikmati kesenangan duniawi yang telah disediakan Allah, melainkan hanya sebagai alat pembatas atau pagar; agar dalam mengelola dan mencari kesenangan hidup dunianya, mereka (kaum muslimin) tidak melanggar rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya; sebagaimana yang tersirat dalam firman Allah SWT pada ayat 77 surah Al-Qashash di atas.

Memang tidaklah dapat dipungkiri, bahwa hidup menghamba pada dunia telah membuat banyak orang-orang dahulu celaka dan binasa. Dan hal ini akan terjadi sampai kapanpun. Hidup sebagai hamba dunia juga merupakan jalan bagi lahirnya dosa dan skandal yang mengerikan. Namun metode pengobatan jitu untuk mengatasi penyakit yang demikian parah ini, bukanlah dengan cara lari meninggalkan dunia, tapi justru dengan menguasai dunia dan memperkuat mental agar tidak goyah diterpa angin keburukan dunia. Sebab bagaimana mungkin kaum muslimin bisa mengelola dunia dengan sebaik-baiknya jika mereka hidup dalam kemiskinan, atau sengaja memiskinkan diri, sementara sesungguhnya dunia ini bisa mereka kuasai. Oleh sebab itu, jika kaum muslimin ingin kuat dalam kehidupan dunia dan menegakkan “kalimatullah” dengan sempurna sebagai bagian dari amar ma’ruf yang harus mereka lakukan; maka milikilah harta yang lebih banyak dari apa yang pernah dimilki oleh Qarun. Raihlah kekuasaan yang jauh lebih besar dari apa yang pernah diberikan Allah kepada Nabi Sulaiman a.s. Dan tentunya dengan syarat; bahwa kekayaan dan kekuasaan itu hendaknya digunakan untuk menegakkan kebenaran; dan membantu tegaknya kebenaran dan keadilan ketika kebenaran dan keadilan tersebut memerlukan bantuan.

Seseorang yang memilih hidup di dunia ini sebagai orang miskin dan sengsara, adalah merupakan mangsa yang empuk bagi berkembangnya malapetaka diri dan boleh jadi jalannya ke surga akan melenceng ke dalam neraka. Dan hal inilah yang tersirat dari pernyataan Rasulullah SAW: “kefakiran lebih dekat kepada kekafiran”. Oleh sebab itu jangan takut meninggalkan warisan harta yang banyak tatkala meninggalkan dunia yang fana ini; sebab jika anda mewariskannya untuk kepentingan umat, maka hal itu akan menjadi sedekah yang berkepanjangan, yang akan diterima pahala atau kebajikannya, sekalipun tubuh sudah hancur dan hanya tinggal tulang-belulang di perut bumi.  Bahkan sesungguhnya “syaitan laknatullah”  adalah sangat takut terhadap orang-orang beriman yang berharta benda dan kaya raya. Karena mereka, para syaitan itu tahu; jika saja para hartawan dari kalangan orang yang beriman itu mampun memanfa’atkan harta bendanya untuk kepentingan agama Allah, maka hal itu berarti dapat menutup salah satu jalan mereka untuk menyesatkan orang-orang beriman dari jalan Allah. Hal inilah yang ditegaskan  Allah Ta’ala dengan firman-Nya:

“Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 268)

Karenanya jika kita mampu dan memungkinkan, berusahalah mencari harta sebanyak-banyaknya dan hiduplah zuhud dalam keadaan berharta sebagaimana yang dikatakan Syaikh Abdullah Al-Ghazali rhmlh:

Mukmin yang hidup zuhud dengan harta yang banyak di tangannya untuk kepentingan Allah, adalah lebih tinggi nilai dan martabatnya di sisi Allah daripada mukmin yang zuhud; yang sengaja memilih hidup miskin. Bahkan boleh jadi sesungguhnya ia adalah orang yang “kufur” terhadap nikmat yang telah disediakan Allah bagi orang-orang beriman bagi kehidupan dunianya. Wallahu a’lam

Jakarta,   24 Dzulqaidah 1435 H / 19 September 2014
KH.BACHTIAR AHMAD

Friday 12 September 2014

ZUHUD: “bukan berarti miskin” (1)



oleh:KH.Bachtiar Ahmad
=====================

Tugas pokok dan misi para Nabi dan Rasul yang diutus Allah kepada manusia  adalah untuk menyampaikan dan menjelaskan prinsip-prinsip akidah; ibadah; akhlaqul kariimah dan muamalah; baik dalam lingkup perorangan maupun dalam lingkup kehidupan sosial bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan tujuan, agar manusia bisa menikmati manisnya hidup yang bahagia di dunia dan di akhirat. Hal inilah yang tersirat dalam firman Allah

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al-Qashash: 77)

Sejarah membuktikan, bahwa pada masa awal Islam diserukan; bahkan ketika Rasulullah SAW hidup ditengah-tengah umat;  sedikitpun beliau tidak melarang para sahabat untuk berhenti dari aktifitas mencari harta dan kekayaan. Beliau hanya mengingatkan tentang bahayanya tipuan dunia; bahayanya  harta yang dapat melemahkan iman, jika salah dalam memanfaatkannya dan mencarinya. Sebab bagaimanapun juga, harta juga memiliki kekuatan untuk menegakkan dan mensyiarkan “kalimatullah”  dan menyelamatkan umat dari hal-hal yang tidak di-inginkan dari himpitan dan tekanan kemiskinan. Dan kenyataannya, dengan bantuan finansial (harta benda) yang disumbangkan oleh para sahabat Rasulullah SAW yang kaya raya itulah, selama berabad-abad “Islam” menjadi besar; dihormati dan disegani oleh mush-musuhnya.

Sejarah juga membuktikan; bahwa banyak para ulama terdahulu; yang pada masa-masa akhir kehidupan mereka lebih fokus pada masalah akhirat, sebelumnya adalah orang-orang kaya dan pedagang-pedagang yang sukses dalam kehidupan dunianya, yang pada akhirnya juga rela menghibahkan harta mereka untuk kepentingan umat, seperti Imam Al-Ghazali; Fariduddin Al-Atthar (pedagang minyak wangi yang salah satu produknya tetep disebut sampai kini sebagai minyak wangi Atthar); Al-Qusyairi; Ibrahim bin Adham; Dzun-nun Al-Misry dan lain sebagainya. Bahkan salah seorang cicit Rasulullah SAW, Sayyidina Ja’far As-Shadiq r.a dikenal sebagai orang yang “perlente” dan memiliki harta yang cukup banyak. Dalam hal ini Ja’far As-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husin binti Fathimah binti Rasulullah SAW berkata:

Hidup zuhud bukanlah berarti membiarkan  dirimu hidup dalam keadaan fakir; sebab hal itu bertentangan dengan firman Allah SWT: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan duniawi.” (QS.Al-Qashash: 77)  Hakikat zuhud yang sesungguhnya adalah bagaimana engkau mengendalikan dunia dan harta yang diberikan kepadamu untak kepentingan agama Allah.

Akan tetapi sangat disayangkan, bahwa dalam abad-abad berikutnya, lantaran banyaknya “hadis-hadis” tentang hidup zuhud yang diolah dan dipelintir sedemikian rupa oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab, maka banyaklah umat ini yang merasa takut dan alergi dengan dunia dan kewajiban mereka berusaha untuk mencari harta benda dan kenikmatan dunia yang telah disediakan Allah untuk mereka nikmati. (bersambung) --- Wallahua’lam.

Jakarta,   17 Dzulqaidah 1435 H / 12 September  2014
KH.BACHTIAR AHMAD

Friday 5 September 2014

BUAH TUTUR



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “buah tutur” itu maknanya adalah “yang menjadi bahan sebut-sebutan (pembicaraan) orang” atau juga disebut sebagai “buah mulut”.

Pada dasarnya untuk menjadi orang yang populer atau yang menjadi sebutan orang banyak adalah sesuatu yang wajar dan sah-sah saja dilakukan. Dan di  masa sekarang ini beragam cara dilakukan orang agar dirinya menjadi terkenal dan termasyhur namanya;  entah itu yang berkaitan dengan bidang seni budaya ataupun sosial politik dan lain sebagainya.  Akan tetapi seyogianya “buah tutur” atau “buah mulut” tersebut adalah berkaitan dengan sesuatu yang positif atau hal-hal baik yang dilakukan seseorang, sehingga pada akhirnya ia pun menjadi bahan pembicaraan atau sebutan orang di kemudian hari, sebagaimana yang tergambar dalam “do’a Nabi Ibrahim a.s”  yang Allah sematkan sebagai Firman-Nya di dalam Al-Qur’an:

“(Ibrahim berdoa): "Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh; Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian.” (Q.S. Asy-Syuara:83-84)

Dalam hal ini, tidak hanya Nabi Ibrahim a.s dan anak keturunannya saja; melainkan Nabi-Nabi yang lainnya pun telah Allah jadikan sebagai buah tutur yang baik bagi orang-orang yang datang kemudian, sebagaimana yang tersurat dan tersirat dalam Firman Allah Ta’ala:

“Maka ketika Ibrahim sudah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Ishak, dan Yakub.  Dan masing-masingnya Kami angkat menjadi nabi. // Dan Kami anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami dan Kami jadikan mereka buah tutur yang baik lagi tinggi.” (Q.S.Maryam: 49-50)

Bahkan tidak hanya sekadar menjadi buah tutur belaka, tapi sebagaimana halnya Rasulullah SAW;  Allah Ta’ala juga menjadikan mereka sebagai suri teladan yang baik untuk orang-orang yang datang kemudian; khususnya orang-orang yang beriman. Allah Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. Al-Ahzab: 21)

“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (Q.S. Al-Mumtahanah: 4)

Namun demikian, ada juga orang yang menjadi buah tutur; yang menjadi sebutan orang banyak lantaran perbuatan-perbuatan buruk yang mereka lakukan. Dalam hal ini sebut saja Fir’aun; Qarun; Abu Lahab dan lain sebagainya itu, yang semuanya itu Allah sematkan kisahnya di dalam Al-Qur’an dan menjadi buah tutur dan sekaligus pula menjadi pelajaran bagi setiap orang disepanjang masa sebagaimana Firman Allah Ta’ala:

“Maka Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang di masa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah: 66)

Mudah-mudahan sedikit pengajaran ini dapat dijadikan sebagai bahan renungan bagi kita semua; dan semoga kiranya kita akan menjadi buah tutur anak cucu kita kelak lantaran kebajikan yang pernah kita perbuat. In syaa’ Allaahu Ta’ala minal aaminiin.. Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 10 Dzulqaidah 1435 H / 5 September 2014.
KH.Bachtiar Ahmad

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.