oleh:KH.Bachtiar
Ahmad
=====================
Sekarang
ini banyak umat Islam (kaum muslimin) yang setengah hati; bahkan takut-takut
untuk mencari dan mengelola dunia yang mereka tempati. Ajaran Al-Qur’an yang seharusnya dapat mereka
jadikan sebagai dasar dan pijakan untuk mengelola dunia, telah dikalahkan oleh
rasa takut mereka terhadap berbagai “hadis-hadis”
yang lebih menganjurkan mereka pada kehidupan “zuhud”, yang pada akhirnya mereka lebih memilih hidup dalam
kemiskinan dan serba kekurangan. Padahal hadis-hadis tersebut bukan bertujuan
untuk membatasi manusia dari menikmati kesenangan duniawi yang telah disediakan
Allah, melainkan hanya sebagai alat pembatas atau pagar; agar dalam mengelola
dan mencari kesenangan hidup dunianya, mereka (kaum muslimin) tidak melanggar
rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya; sebagaimana yang
tersirat dalam firman Allah SWT pada ayat 77 surah Al-Qashash di atas.
Memang
tidaklah dapat dipungkiri, bahwa hidup menghamba pada dunia telah membuat
banyak orang-orang dahulu celaka dan binasa. Dan hal ini akan terjadi sampai
kapanpun. Hidup sebagai hamba dunia juga merupakan jalan bagi lahirnya dosa dan
skandal yang mengerikan. Namun metode pengobatan jitu untuk mengatasi penyakit
yang demikian parah ini, bukanlah dengan cara lari meninggalkan dunia, tapi
justru dengan menguasai dunia dan memperkuat mental agar tidak goyah diterpa
angin keburukan dunia. Sebab bagaimana mungkin kaum muslimin bisa mengelola
dunia dengan sebaik-baiknya jika mereka hidup dalam kemiskinan, atau sengaja
memiskinkan diri, sementara sesungguhnya dunia ini bisa mereka kuasai. Oleh
sebab itu, jika kaum muslimin ingin kuat dalam kehidupan dunia dan menegakkan “kalimatullah” dengan sempurna
sebagai bagian dari amar ma’ruf yang harus mereka lakukan; maka milikilah harta
yang lebih banyak dari apa yang pernah dimilki oleh Qarun. Raihlah kekuasaan
yang jauh lebih besar dari apa yang pernah diberikan Allah kepada Nabi Sulaiman
a.s. Dan tentunya dengan syarat; bahwa kekayaan dan kekuasaan itu hendaknya
digunakan untuk menegakkan kebenaran; dan membantu tegaknya kebenaran dan
keadilan ketika kebenaran dan keadilan tersebut memerlukan bantuan.
Seseorang
yang memilih hidup di dunia ini sebagai orang miskin dan sengsara, adalah
merupakan mangsa yang empuk bagi berkembangnya malapetaka diri dan boleh jadi
jalannya ke surga akan melenceng ke dalam neraka. Dan hal inilah yang tersirat
dari pernyataan Rasulullah SAW: “kefakiran
lebih dekat kepada kekafiran”. Oleh sebab itu jangan takut meninggalkan
warisan harta yang banyak tatkala meninggalkan dunia yang fana ini; sebab jika
anda mewariskannya untuk kepentingan umat, maka hal itu akan menjadi sedekah
yang berkepanjangan, yang akan diterima pahala atau kebajikannya, sekalipun
tubuh sudah hancur dan hanya tinggal tulang-belulang di perut bumi. Bahkan sesungguhnya “syaitan laknatullah” adalah sangat takut terhadap orang-orang
beriman yang berharta benda dan kaya raya. Karena mereka, para syaitan itu
tahu; jika saja para hartawan dari kalangan orang yang beriman itu mampun
memanfa’atkan harta bendanya untuk kepentingan agama Allah, maka hal itu
berarti dapat menutup salah satu jalan mereka untuk menyesatkan orang-orang
beriman dari jalan Allah. Hal inilah yang ditegaskan Allah Ta’ala dengan firman-Nya:
“Syaitan menjanjikan
(menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan
(kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan
Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 268)
Karenanya
jika kita mampu dan memungkinkan, berusahalah mencari harta sebanyak-banyaknya
dan hiduplah zuhud dalam keadaan berharta sebagaimana yang dikatakan Syaikh
Abdullah Al-Ghazali rhmlh:
Mukmin yang hidup zuhud dengan harta
yang banyak di tangannya untuk kepentingan Allah, adalah lebih tinggi nilai dan
martabatnya di sisi Allah daripada mukmin yang zuhud; yang sengaja memilih
hidup miskin. Bahkan boleh jadi sesungguhnya ia adalah orang yang “kufur”
terhadap nikmat yang telah disediakan Allah bagi orang-orang beriman bagi
kehidupan dunianya. Wallahu a’lam
Jakarta, 24 Dzulqaidah 1435 H / 19 September 2014
KH.BACHTIAR AHMAD