Friday 26 December 2014

MAULIDUR-RASULULLAH SAW



oleh: KH. Bachtiar Ahmad
======================

Sekarang kita sudah kembali berada di bulan Rabi’ul Awal, bulan dimana di banyak tempat kaum Muslimin sibuk menyelenggarakan “Peringatan Maulid Nabi SAW” Dan tentunya banyak diantara kita yang sudah tahu bahwa, tujuan awal peringatan Maulid Nabi SAW yang secara besar-besaran dilakukan oleh Salahuddin al Ayyubi adalah; agar kaum muslimin; khususnya para prajurit yang ketika itu berlaga di medan perang salib, tetap memiliki semangat juang yang tinggi; meneladani Rasulullah SAW dan para sahabat beliau dalam segala aspek, demi menegakkan kalimat Laa ila ha illallaah dan memiliki “akhlaqul kariimah”. Lalu apa dan bagaimana pula perihal kita setelah merayakan dan memperingati maulid Nabi SAW dari tahun ke tahun  ?

Dalam beberapa kurun waktu terakhir ini (khususnya di negeri kita) peringatan Maulid Nabi SAW tampaknya hanya berlaku sebagai acara tahunan, yang diperingati dan dirayakan sebagai tanda (sekadar) ingat kepada Rasul Allah yang bernama Muhammad SAW. Dan yang anehnya kadang-kadang dalam peringatan Maulid, dimana seharusnya materi pokok yang dibicarakan adalah sejarah kehidupan dan perjuangan beliau; Maka sering kali masalah ini terabaikan. Para muballigh atau pendakwah hanya sedikit sekali yang menyinggung “biografi” hamba Allah yang agung tersebut, mereka sibuk membicarakan ihwal yang lain; bahkan terkadang membicarakan dan membuka aib-aib orang lain. Padahal sebagaimana yang telah kita singgung di atas, tujuan peringatan Maulid Nabi SAW pada awalnya adalah  untuk membuka dan membaca kembali sejarah hidup dan perjuangan Rasulullah SAW, serta mengambil teladan dari sejarah tersebut untuk ditiru dan dilakoni semaksimal mungkin dalam melaksanakan “amar ma’ruf nahi munkar” sebagaimana yang dingatkan Allah kepada kita melalui firman-Nya:

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, yaitu bagi orang-orang yang senantiasa mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat, dan dia banyak mengingat (dan menyebut nama) Allah.”  (Q.S.Al-Ahzab: 21)               

Sebenarnya bagi kita orang (yang mengaku) muslim dan mencintai Nabinya (Muhammad SAW), adalah sangat perlu untuk terus mengkaji; membicarakan menyimak biografi atau riwayat hidup beliau; mempelajari sisi-sisi keagungan budi pekerti dan perjuangan beliau, untuk kemudian diterapkan di dalam kehidupan kita sendiri. Sebab dengan tegas Allah Ta’ala telah menyatakan:

“Dan sesungguhnya kamu (hai Muhammad), benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Q.S. Al-Qalam: 4)

Akan tetapi kenyataannya banyak yang tidak  peduli. Kalaupun ada sisi kehidupan beliau yang ditiru dan aplikasikan di dalam keseharian kita, maka itupun tidak lebih dari sekedar mengikuti cara-cara beliau beribadah (itupun sekadar yang perlu dan yang kita rasakan wajib untuk dilaksanakan)

Mungkin oleh karena ketidak tahuan; atau hanya tahu sedikit tentang “pribadi dan akhlak” Rasulullah SAW itulah, maka banyak generasi muda Islam yang menjadikan tokoh-tokoh lainnya sebagai idolanya atau orang yang mereka contoh dan tiru dalam kehidupan yang mereka jalani. Banyak “anak muda” atau mungkin saja kita sendiri yang lebih mengenal tokoh-tokoh duniawi seperti artis musik; bintang film dan; para politisi dan  tokoh-tokoh lainnya yang sesungguhnya tidak layak untuk diteladani atau ditiru.

Sekarang pertanyaannya adalah; Untuk apa sebenarnya  kita menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi yang sangat-sangat kita cintai; Muhammad SAW. Bahkan kadang-kadang dengan biaya yang tidak sedikit kalau hanya sekadar kumpul; baca barzanji; baca sholawat; ceramah untuk ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Sementara di sisi yang lain masih banyak di antara kita yang masih samar tentang sosok Muhammad Rasulullah SAW yang setiap tahun kita peringati Maulidnya. Padahal untuk menumbuhkan cinta dan kecintaan yang sangat mendalam itu, tidak hanya cukup dengan sekadar mengenal dan menyebut nama orang yang kita cintai.
Maka seyogianyalah kita berkewajiban untuk mempelajari dan mengenal lebih jauh dan lebih banyak lagi “sosok” Muhammad Rasulullah SAW dengan berbagai cara, tidak hanya ketika tiba bulan Rabi’ul Awal saja, melainkan setiap sa’at; setiap ada kesempatan; agar kecintaan dan pengabdian kita kepada Allah Ta’ala semakin baik dan mendekati kesempurnaannya sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Semoga tulisan ini bermanfa’at adanya. Wallahua’lam

Bagansiapiapi, 4 Rabi’ul Awal 1436 H / 26 Desember 2014
KH.BACHTIAR AHMAD

Friday 19 December 2014

KURIKULUM POKOK



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
====================
Tadinya niat hati cuma mau singgah sekejap di kiosnya Bang Arsyad untuk mengisi bensin motor. Eh disana malah diajak berbual-bual oleh Pak Liyas, pensiunan guru SD yang sekarang sudah pindah profesi jadi  “petani sawit” di Sungai Nyamuk. Bual punya bual, akhirnya sanpai juga pada masalah kurikulum pendidikan yang saat ini tengah hangat-hangatnya dibincangkan orang banyak.

“Sebagai mantan guru saya selalu bingung menengok ulah para pemimpin sekarang ini pak Kelipah, nyaris setiap kali ganti kepemimpinan, setiap kali itu pula kurikulum pendidikan kita selalu diubah-ubah. Kalau begini caranya, bagaimana anak-anak bisa cepat pandainya. Baru nak lurus jalannya; eh malah disuruh belok atau balik lagi ke belakang. Belum lagi kalau ditengok dari sisi biaya yang harus ditanggung para orang tua; ganti kurikulum; ganti pula bukunya. Macam mana pula pendapat pak Kelipah?”, kata Pak Liyas kepada saya dengan gaya bahasanya yang khas Indo-Melayunya.

“Biarkan sajalah Pak, saya malas nak membahasnya. Bagi saya sekarang ini, sehebat atau secanggih apapun kurikulum pendidikan pemerintah untuk memajukan pendidikan duniawi bagi anak-anak kita tak ada masalah; silahkan saja dibuat. Yang penting itu buat kita adalah; bagaimana caranya kita mendidik dan mengajarkan anak-anak kita dengan “Kurikulum Pokok” yang ada. Bagaimana caranya agar mereka mau setiap hari mempelajari; menghafal dan sekaligus mengerjakan pe-er (pekerjaan rutin) dari kurikulum pokok tersebut.”, jawab saya kepada Pak Liyas.

Dengan nada sedikit heran Pak Liyas balik bertanya kepada saya: “Ha, apa pula kurikulum pokok tu pak Kelipah. Baru sekarang saya mendengarnya.”  

“Ah, masa bapak tak tahu atau lupa. Kurikulum Pokok yang saya maksudkan itu adalah, mata pelajaran yang hanya berkaitan dengan 6(enam) soal yang kelak akan ditanyakan malaikat Munkar dan Nakir kepada kita sesaat setelah kita ditanam atau dimasukkan orang ke dalam kubur. Sebab setinggi apapun sekolah kita di dunia ini; sebanyak atau sehebat apapun gelar pendidikan yang kita sandang di dunia ini; baik untuk yang sekolah maupun untuk yang tidak sekolah;   Bahkan untuk semua bangsa yang ada di dunia ini, maka hanya 6(enam) soal itulah yang kelak akan ditanyakan Munkar dan Nakir kepada kita. Sebab kata Rasulullah SAW, kalau lulus menjawab pertanyaan Munkar dan Nakir itu, maka akan mudahlah bagi kita untuk menempuh jalan-jalan berikutnya. Jika tidak, jangan harap nak lancer perjalanan berikutnya. Macam mana pak, sudah paham apa yang saya maksudkan dengan Kurikulum Pokok tersebut.”, tanya saya kepada Pak Liyas usai menyampaikan “cerpen” alias ceramah pendek kepadanya.

“He..he..he.. pak Kelipah ni bisa-bisa saja nak menceramahi orang. Tapi memang betul apa yang tuan katakan tadi. Bahkan kalau kurikulum itu tidak hanya berlaku untuk anak-anak kita, malahan lebih penting dan utama lagi bagi kita yang tua-tua ini untuk menghapal dan mengerjakan pe-ernya. Sebab kalau dikaji dengan akal, kita-kita inilah yang lebih dekat ke pintu kubur dan yang paling diintai oleh Malaikat Maut.”, jawab Pak Liyas dengan sedikit terkekeh-kekeh mendengar cerpen saya tadi.

“Nah, itulah pak. Seperti yang sudah kita sering kita dengar setiap kali orang membaca “talqin” di kuburan, maka Munkar dan Nakir tidak akan bertanya kepada kita tentang mata pelajaran Geografi; Matematika; Bahasa Inggeris; Komputer; Geologi atau pelajara apapun namanya di dunia ini. Kita hanya diminta menjawab; Siapa Tuhan kita; Siapa Nabi kita; Apa Kitab yang jadi pedoman hidup kita; Kemana Kiblat kita; Apa agama kita dan Siapa yang menjadi saudara-saudara kita. Kalau ini terjawab dan dapat nilai 10(sepuluh) alamat selamatlah perjalanan kita selanjutnya. Kalau tidak tanggungkanlah dibadan segala macam azab; bak di kubur maupun di akhirat nanti. Betul tak pak Liyas?”

“Ha..ha..haa… macam kata Upin dan Ipin; betul..betul..betul….”, jawab pak Liyas sambil menyalami saya karena ingin segera pulang ke Sungai Nyamuk. Dan sayapun merasa agak lega, karena tak perlu berlama-lama melayani bual Pak Liyas. Sebab sajapun nak pergi ke Pajak Ikan Lama menjemput “bini” tercinta……….
Wallahua’lam bish-shawab.

Bagansiapiapi,  21 Safar 1436 H / 14 Desember 2014
KH.Bachtiar Ahmad

Friday 12 December 2014

TUKANG SEMBUH



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================

Ini adalah salah satu “cerita”  yang masih tersisa ketika saya berada di RSJPD Harapan Kita Jakarta, di sela-sela waktu menunggu cucunda #Amzarul_Haqqy#  yang masih dirawat di ruangan ICU. Sebuah pembelajaran yang patut direnungkan, agar kita tidak terjebak dalam “kemusyrikan” lantaran lupa pada “kehendak dan kekuasaan” #ALLAH# atas segala makhluk dan ciptaan-NYA sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam Firman-Nya: “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S. Ali ‘Imran: 189)”

Sebab terkadang ada di antara kita yang lupa, bahwa “kitalah” yang mampu melakukan segala sesuatunya lantaran “ilmu dan kepintaran” yang kita miliki. Kemampuan dan kehebatan kita atas sesuatu hal membuat kita “sombong” dan lupa diri; Kita lupa bahwa sesungguhnya tidak ada suatu kekuatan ataupun daya upaya yang mampu kita perbuat tanpa adanya #pertolongan_ALLAH#. Bahkan untuk berlaku ta’at dan beribadah sekalipun kita perlu pertolongan dan bantuan Allah. Oleh sebab itulah ketika diserukan azan “hayya ‘alash-sholah” kita menjawabnya dengan kalimat “hauqolah”: “Laa haula wa la wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhiim” (Tiada satupun daya upaya (kita) melaikan dengan bantuan/pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung)……………………………

………Petang itu beberapa sa’at sebelum masuk waktu Maghrib, datang seorang laki-laki muda ke tempat kami berkumpul di salah satu sudut RSJPD Harapan Kita dan langsung menemui saya sembari berkata:

“Pak Kyai, mohon ma’af. Apa bapak bisa menyembuhkan orang yang kesurupan ?”

“Lho, emang ada apa ?”, saya balik bertanya kepada laki-laki tersebut.

“Itu pak, di lantai dua ada orang yang sudah sejak satu jam yang lalu kesurupan. Sudah diusahakan menyembuhkannya, tapi nggak bisa-bisa. Kalau bapak bisa menyembuhkannya  mohon pertolongannya.”, jawab laki-laki itu menerangkan maksudnya yang kemudian saya jawab:

“Ma’af nak, saya nggak bisa menyembuhkannya. Saya Cuma bisa membantu dan berusaha mengatasinya dengan berdo’a memohon pertolongan Allah. Mudah-mudahan Allah berkenan menyembuhkannya.”

Dengan nada yang sedikit kecewa laki-laki muda itu berkata:

“Oh, iya deh pak, kalau bapak nggak bisa nggak apa-apa.”, lalu berdiri dan langsung pergi begitu saja meninggalkan saya.  

Melihat keadaan itu saya hanya bisa beristighfar memohon ampunan Allah dan memaklumi kondisi laki-laki tersebut yang memang masih dalam keadaan panik menghadapi situasi dan kondisi yang sedang dialaminya. Sehingga ia lupa, bahwa sesungguhnya yang #Maha_Menyembuhkan# itu hanyalah #ALLAH#, sekalipun pada lahiriahnya yang mengobati itu adalah “dokter; dukun; tukang obat” dan atau apapun namanya. Karena sesungguhnya hal yang demikian itu sudah sangat jelas ditegaskan Allah di dalam Kitab-Nya melalui ucapan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam:

Ibrahim berkata: “Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah // kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu? // karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, // kecuali Tuhan semesta alam, // (yaitu Tuhan) yang telah menciptakan aku, maka Dia-lah yang menunjuki aku,//  dan Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku, // dan apabila aku sakit, Dia-lah yang menyembuhkan aku, // dan yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali).” (Q.S. Asy-Syara’: 75-81)

Bahkan kepada Nabi ‘Isa ‘alaihis-salam yang mampu menyembuhkan orang sakit; orang yang buta;  Allah Ta’ala menegaskan:

“(Ingatlah), ketika Allah mengatakan: “Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan ruhul qudus. Kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa; dan (ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil, dan (ingatlah pula) di waktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan izin-Ku, kemudian kamu meniup padanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan (ingatlah), waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan se-izin-Ku, dan (ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu Aku menghalangi Bani Israel (dari keinginan mereka membunuh kamu) di kala kamu mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir di antara mereka berkata: “Ini tidak lain melainkan sihir yang nyata.” (Q.S. Al-Maidah: 110)

Begitu juga kepada Rasulullah SAW, Allah menegaskan bahwa kemenangan yang diperoleh kaum muslimin waktu Perang Badar, bukanlah kemenangan yang begitu saja mereka peroleh, melainkan #hanya# dengan bantuan dan pertolongan Allah semata sebagaimana Firman-Nya:

“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Anfal: 17)

Mudah-mudahan kita akan selalu ingat pada kelemahan yang kita miliki dan sadar bahwa apa yang kita perbuat hanyalah sebagai #syarat# belaka, tanda keta’atan dan kepatuhan kita kepada Allah untuk mendapatkan ridho dan pertolongan-Nya.  Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 15 Safar 1436 H / 8 Desember 2014
KH.Bachtiar Ahmad.

Saturday 6 December 2014

SA’AT YANG TEPAT UNTUK BERTAUBAT



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================

Suatu hari seorang laki-laki separuh baya datang berkunjung kepada Syaikh Abdulllah Al-Ghazali dan berkata: “Wahai Tuan Guru, sesungguhnya umurku sudah tidak muda lagi. Selama ini aku telah menghabiskan umurku dengan banyak melakukan perbuatan maksiat. Akan tetapi rasanya aku belum ingin berhenti untuk menikmati kesenangan dunia ini, kira-kira kapankan sa’atnya yang tepat bagiku untuk bertaubat kepada Allah.”

Mendengar ucapan laki-laki yang berterus terang dengan keadaannya itu, Syaikh Abdullah hanya tersenyum dan kemudian menjawab pertanyaan laki-laki tersebut dengan lemah lembut: “Wahai anakku, jika engkau ingin mengetahui kapan sa’at yang tepat untuk bertaubat ialah, manakala engkau telah tahu kapan dan dimana engkau akan mati.”

Untuk beberapa sa’at laki-laki itu terdiam. Kemudian berkata: “Tapi tuan guru, bukankah hal itu adalah rahasia Allah yang seorangpun tidak dapat mengetahuinya.”

Dengan arifnya Syaikh Abdullah berkata: “Anakku, disitulah letak masalahnya. Artinya adalah, oleh karena tak seorangpun tahu kapan; dimana dan bagaimana dirinya akan mati; Allah memerintahkan kita untuk segera bertaubat selagi nyawa masih ada di badan; sebelum ajal datang menjemput atau seperti pesan Rasulullah Shollallaahu ‘Alaihi Wasallam: “Sesungguhnya Allah ‘Azza Wa Jalla itu menerima taubatnya seorang hamba selama ruhnya belum sampai di kerongkongannya, yakni ketika akan meninggal dunia.” (HR. At-Tirmidzi dari Abdullah bin Umar r.a). Kemudian Syaikh Abdullah membaca Firman Allah Ta’ala (yang artinya):

“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera; maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. // Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.” Dan tidak pula diterima taubat orang-orang yang mati, sedang mereka dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami (Allah) sediakan siksa yang pedih.” (Q.S.An-Nisaa’: 17-18)

Mendengar itu serta merta laki-laki menangis sesunggukan di hadapan Syaikh Abdullah dan menyatakan dirinya bertaubat kepada Allah Ta’ala. Wallahua’lam.

Jakarta, 29 Muharram 1436 H/22 Nopember 2014
KH.BACHTIAR AHMAD

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.