Thursday 25 June 2015

NASIHAT GURUKU (41): Sakit dan Kematian



0leh: KH.Bachtiar Ahmad
 ====================

Anakku, sekeras atau sehebat apapun rasa sakit atau penyakit yang diujikan Allah Ta’ala kepadamu, maka janganlah engkau sedikitpun merasa khawatir; Bahwa penyakit itu akan merenggut nyawamu. Sebab sesungguhnya kematian itu hanyalah hak Allah Ta’ala semata, karena hanya Dia-lah yang berhak untuk mematikan dan menghidupkan dengan segala kuasa dan kehendak-Nya sebagaimana Firman-Nya:

“Sesungguhnya kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dia menghidupkan dan mematikan. Dan sekali-kali tidak ada pelindung dan penolong bagimu selain Allah.” (Q.S.At-Taubah: 116)

“Dan Dialah Allah yang telah menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu, kemudian menghidupkan kamu (lagi), sesungguhnya manusia itu, benar-benar sangat mengingkari nikmat.” (Q.S. Al-Hajj: 66)

Anakku, memang secara umum banyak orang yang mati setelah ditimpa penyakit atau karena sakit; akan tetapi tak sedikit pula yang tetap hidup setelah bertahun-tahun mengalami ujian sakit yang diberikan Allah kepadanya. Oleh sebab itu hendaklah engkau tetap bersabar dan tetap memohon pertolongan Allah Ta’ala disamping usaha lahiriah yang engkau lakukan untuk mendapatkan kesembuhan. Ingatlah engkau akan kisah Nabi Ayub ‘alaihissalam yang bertahun-tahun Allah uji dengan penyakit; kemudian Allah Ta’ala sembuhkan sebagaimana yang diterangkan Allah didalam Kitab-Nya:

Dan (ingatlah kisah) Ayub ketika ia menyeru Tuhannya: (Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” // Maka Kami pun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyahit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah." (Q.S. Al-Anbiya': 83-84)

Anakku, jika Allah Ta’ala sudah memutuskan seorang hamba harus mati; maka tanpa sebab sakitpun dirinya pasti akan mati sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam Firman-Nya:

“Tiap-tiap umat mempunyai ajal (kematiannya); maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (Q.S. Al-A’raf: 34)

“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (Q.S.An-Nisaa’: 78)

“Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya.” (Q.S. Al-An’am: 61)

Oleh sebab itu anakku, persiapkanlah dirimu sebaik mungkin,  agar ketika kematian itu datang menjemputmu engkau tidak pernah merasa menyesal dihadapan Allah lantaran kematian yang merenggut semua kelezatan hidup yang tengah engkau rasakan seperti orang-orang kafir yang diterangkan Allah di dalam Kitab-Nya:

“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia); //  agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan.” Sekali-kali tidak; sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan.” (Q.S.Al-Mu’minun: 99-100)

Anakku, semoga kiranya nasihatku ini bermanfa’at untuk memelihara iman dan keyakinanmu kepada Allah Ta’ala dan memperkuat kesabaranmu jika suatu ketika engkau diuji Allah dengan sesuatu penyakit.
Wallahua’lam

Bagansiapiapi, 08 Ramadhan 1436 H / 25 Juni 2015.
KH.Bachtiar Ahmad

Thursday 18 June 2015

PUASA: MUJAHADAH DENGAN MUQOROBAH



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================

Alhamdulillah, sekarang kita kembali lagi ke bulan Ramadhan yang penuh dengan rahmat dan berkah Allah Ta’ala bagi orang-orang yang beriman, agar “ketakwaan” mereka makin bertambah. Bukan hanya sekadar menjadi “bertakwa” sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam Firman Allah Ta’ala: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”  (Q.S.Al-Baqarah: 183)

Syaikh Abdullah Fathur-rahman mengatakan, bahwa momentum c“puasa Ramadhan”  adalah saat yang  paling  tepat  bagi
Orang-orang yang beriman untuk memperbaiki kondisi dan nilai ketakwaannya kepada Allah Ta’ala, setelah 11(sebelas) bulan sebelumnya dirinya terombang ambing dalam gelombang “turun naik” iman dan takwa yang ada di dalam dirinya. Akan tetapi untuk memperbaiki dan sekaligus meningkatkan nilai keimanan dan ketakwaannya, seseorang itu tidak dapat dengan hanya semata-mata mengandalkan “mujahadah” atau berjuang mengendalikan hawa nafsunya  dalam ibadah puasa yang dikerjakannya. Dalam hal ini untuk mencapai dan mendapatkan hasil yang maksimal agar nilai keimanan dan ketakwaan makin bertambah, maka disamping melakukan “mujahadah” hendaklah di-ikuti dengan senantiasa melakukan “muroqobah”, yakni hendaklah ia selalu merasa berada dalam pengawasan dan penglihatan Allah Ta’ala

Syaikh Fathur-rahman mengatakan; bahwa “puasa” dikategorikan ke dalam ibadah “sirr” yakni  ibadah yang tidak bisa dilihat secara lahiriah; Artinya seseorang tidak bisa melihat atau mengetahui; apakah seseorang itu sedang melakukan puasa atau tidak. Kondisi apakah seseorang itu sedang berpuasa atau tidak,  hanya Allah Ta’ala sajalah yang mengetahuinya.. Dan inilah salah satu makna dari pernyataan Allah sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis qudsi: “Allah Ta’ala berfirman: “Setiap amal perbuatan anak Adam, yakni manusia yang berupa kebaikan akan dilipat gandakan pahalanya dengan sepuluh kalinya sehingga tujuh ratus kali lipatnya. Melainkan puasa, kerana sesungguhnya puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku akan memberikan balasannya.” (HQ. Riwayat Muslim dari Abu Hurairah r.a)

Syaikh Abdullah menjelaskan, bahwa jika  orang yang berpuasa itu hanya melakukan “mujahadah” tanpa di-ikuti oleh keadaan “muroqobah”, maka boleh jadi suatu ketika nilai ibadah puasanya menjadi tidak bernilai sama sekali. Hal yang demikian ini sangatlah beralasan, sebab tanpa menyadari diri dalam pengawasan Allah Ta’ala, dan walaupun secara lahiriah tidak makan dan minum; akan tetapi penglihatan; pendengaran dan pikiran bisa saja terkontaminasi oleh syahwat yang buruk. Sehingga pada akhirnya seseorang yang berpuasa tidak aka mendapatkan apa-apa kecuali “hanya sekadar menahan haus dan lapar” sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah SAW dalam salah satu hadis beliau.

Kata Syaikh Junaid Al-Baghdadi; “Mujahadah (mengendalikan hawa nafsu)adalah sesuatu yang mutlak dilakukan oleh orang-orang yang beriman; tapi jika muroqobah (sadar diri senantiasa diawasi Allah) tidak dihadirkan; maka mujahadah bisa saja sia-sia." Sedangkan Syaikh Abdullah Fathur-rahman mengatakan: “Hal pertama yang patut dilakukan oleh orang yang bermujahadah (berjuang mengendalikan hawa nafsunya) adalah muroqobah, yakni merasakan kehadiran Allah sebagai Yang Maha Melihat dan Yang Maha Mengawasi. Sebab hal itu akan lebih menguatkan  semangat dan keinginannya untuk mengalahkan hawa nafsunya.” Dan hal ini sangatlah beralasan karena Allah Ta’ala telah berfirman di dalam Kitab-Nya:

"dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan."  (Q.S. Al-Hadiid: 4)

"Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui (apa saja yang kamu perbuat)." (Q.S.Al-Baqarah: 115)

Tidak hanya dalam keadaan bersendirian; tapi  dalam keadaan ramai dan berkumpul dengan orang lainpun, Allah hadir di antara kita, sebagaimana firman-Nya:

"Tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi?; Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. dan tiada pula(pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya. dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada; Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatunya." (Q.S. Al-Mujaadilah: 7)

Bahkan secara spesifik, yang berkaitan dengan puasa Ramadhan yang diperintahkan-Nya, Allah Ta’ala berfirman:

“dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat; Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Q.S.Al-Baqarah: 186)

Sementara kedekatan Allah dengan kita, jauh lebih dekat dari organ tubuh yang melekat di badan kita, sebagaimana firman-Nya:

"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya."  (Q.S.Qaaf: 16)

“Mujahadah” yang di-ikuti dengan “Muroqobah” yang kita lakukan, tidak hanya sekadar bermanfaat tatkala kita menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan saja; Bahkan menjadi lebih penting dan utama lagi di bulan-bulan berikutnya dalam rangka menjaga dan menghidarkan diri dari perbuatan buruk atau kemungkaran yang sangat-sangat dilarang oleh Allah Ta’ala.

Oleh sebab itu mari kita mantapkan “muroqobah” dalam “mujahadah” yang kita lakukan dalam kesempatan terbaik yang diberikan Allah Ta’ala di bulan Ramadhan ini. Mudah-mudahan “rasa takut” yang kita milki untuk berbuat mungkar benar-benar hanya karena Allah Ta’ala semata; bukan  karena takut dilihat dan diketahui oleh orang lain; entah itu atasan kita; teman sejawat; Polisi; Jaksa; KPK; dan lain sebagainya. Wallahu'alam

Bagansiapiapi, 01 Ramadhan 1436 H / 18 Juni 2015
KH. BACHTIAR AHMAD

Friday 5 June 2015

JANGAN DO’AKAN KAUM MUSLIMIN



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================

Beberapa waktu yang lalu saya bertemu lagi dengan “pak Harahap”; kali ini di tempat salah seorang saudara ipar yang adiknya telah kembali ke pangkuan Allah Ta’ala. Dan seperti yang sudah-sudah, sambil menunggu waktu untuk pelaksanaan sholat jenazah, kamipun berbincang-bincang seputar masalah hidup yang ada kaitannya dengan masalah agama.

Dan seperti biasanya dengan logat khas “Medan” nya pak Harahap pun bertanya: “Pak Haji, bagaimana caranya supaya rasa benciku kepada seseorang yang ada di dalam hatiku ini bisa hilang. Apalagi kadang-kadang yang kubenci itu masih termasuk pamili-ku juga.”

Beberapa saat saya terdiam setelah mendengar pertanyaan pak Harahap tersebut.

“Bagaimana pak haji?”, tanya pak Harahap dengan nada tak sabar.

Mendengar teguran pak Harahap tersebut, sayapun angkat bicara: “Begini pak, bapak tahu ndak; bahwa sebagai seorang muslim atau mukmin kita telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya untuk saling mendo’akan sebagaimana Firman Allah Ta’ala:

 “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Hak) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu.” (Q.S. Muhammad: 19)

Sedangkan Rasulullah SAW bersabda: “Do’a seorang muslim untuk saudaranya (muslim yang lainnya) yang tidak berada di hadapannya (di tempat yang lain) akan dikabulkan oleh Allah. Sementara di atas kepala orang yang berdo’a tersebut ada Malaikat yang ditugasi untuk menjaganya. Setiap kali orang muslim tersebut mendo’akan kebaikan bagi saudaranya itu, maka niscaya Malaikat yang menjaganya itu berkata: “Aamiin (semoga Allah mengabulkannya) dan bagimu kebaikan yang serupa.” (HR. Muslim dari Ummu Darda’ dan Abu Darda’ r.a)

“Bah, apa pula hubungannya pertanyaan saya dengan penjelasan pak Haji tu?”, kata pak Harahap menimpali penjelasan yang saya berikan.

Mendengar itu sayapun balik bertanya kepada pak Harahap: “Ma’af ya pak, apakah setiap selesai sholat atau dalam keadaan tertentu bapak selalu mendo’akan kaum muslimin dan muslimat sebagaimana yang diperintahkan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya?” 

“Iyalah, tentu saja aku suka membaca do’a itu atau kalau menjadi makmum aku ikut mengaminkan do’a yang itu ketika “imam” membacanya. Juga dalam acara-acara lain yang ada do’anya. Tapi apa  hubungannya dengan soal benci yang saya tanyakan itu pak Haji.” Ujar pak Harahap menjawab pertanyaan saya.

“Begini pak, kalau bapak ada membenci seseorang; entah itu pamili sendiri atau orang lain, tapi mereka-mereka itu adalah kaum muslimin atau umat Muhammad SAW, maka bapak tidak perlu atau tidaklah boleh mendo’akan mereka. Atau dengan kata lain; Jangan mendo’akan kaum muslimin. Sebab bisa-bisa bapak termasuk dalam golongan orang munafik.”

“Maksud pak Haji?” tanya pak Harahap memotong ucapan saya.

“Begini pak, di satu sisi bapak benci sama seseorang yang dia adalah muslim seperti bapak. Di sisi yang lain bapak juga mendo’akan kebaikan baginya. Bukankah namanya itu munafik. Sebab bagaimanapun ketika bapak memohon kepada Allah dengan kalimat “Allaahummaghfir lil mukminiina wal mukminaat; muslimin wal muslimat”, maka otomatis bapakpun telah mendo’akan orang yang bapak benci itu. Atau kalaupun mau bapak mendo’akan kaum muslimin, sebaiknya bapak tambahkan kalimat misalnya begini: “Allaahummaghfir lil mukminiina wal mukminaati wal muslimiina wal muslimat al ahyaa-i minhumwal amwaat;  kecuali si anu bin si anu itu ya Allah; karena aku sangat benci kepadanya…”

Belum lagi selesai penjelasan saya, pak Harahap pun berkata: “Bah, macam mana pula pak Haji ni, itu bukannya menambah kebaikan tapi malah menambah dosa saja……”

Kali ini saya yang memotong pembicaraan pak Harahap: “Ya, itu terserah bapak sajalah. Itukan hanya saran saya supaya bapak bisa mengobati dan menghilangkan rasa benci bapak kepada seseorang; Sebab apapun alasannya, maka menanamkan sifat benci atau kebencian di dalam hati  adalah salah satu sifat  atau akhlak yang buruk…”

Dan belum sempat saya melanjutkan kalimat berikutnya, salah seorang anggota keluarga yang mendapat musibah menghimbau kami untuk ikut mensholatkan jenazah yang selesai dimandikan dan dikafani. Dan saya hanya bisa berharap; mudah-mudahan pak Harahap bisa memikirkan lebih lanjut apa yang saya sarankan dan menghilangkan rasa benci yang ada di dalam hatinya. Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 17 Sya’ban 1436 H / 05  Juni  2015
KH.Bachtiar Ahmad

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.