Friday 31 July 2015

NASIHAT GURUKU (42): Sakit itu Rahmat Allah.

0leh: KH.Bachtiar Ahmad
 ====================
Anakku, rasa sakit atau penyakit yang diujikan Allah Ta’ala kepadamu bukanlah suatu musibah atau sesuatu yang buruk bagimu, melainkan hal itu adalah salah satu rahmat yang Allah karuniakan kepadamu. Sebab walaupun secara lahiriah berkurang kesempatanmu untuk menunaikan kewajibanmu atau beribadah kepada Allah Ta’ala, akan tetapi Allah akan menutupi kesalahan-kesalahan  dan mengampuni dosa-dosamu dengan sebab penyakit yang engkau rasakan itu. Hal inilah yang diterangkan oleh Rasulullah SAW dalam sabda beliau:

“Dari Ibnu Mas’ud r.a katanya: “Saya memasuki tempat Nabi SAW dan beliau sedang dihinggapi penyakit panas. Saya lalu berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya Tuan dihinggapi penyakit panas yang amat sangat.” Beliau kemudian bersabda: “Benar, sesungguhnya saya terkena panas sebagaimana panas dua orang dari engkau semua yang menjadi satu.” Saya berkata lagi: “Kalau demikian Tuan  tentulah  mendapatkan  dua  kali  pahala.” Beliau bersabda: “Benar, demikianlah memang keadaannya, tiada seorang Muslim pun yang terkena oleh sesuatu kesakitan, baik itu berupa duri ataupun sesuatu yang lebih dari itu, melainkan Allah pasti menutupi kesalahan-kesalahannya dengan sebab musibah yang mengenainya tadi dan diturunkanlah dosa-dosanya sebagaimana sebuah pohon menurunkan daunnya, jika ia bersabar atas emua keadaan itu.” (HR.Muttafaq ‘alaihi dari Ibnu Mas’ud r.a)

Rasulullah SAW juga bersabda: “Barangsiapa oleh Allah dikehendaki akan memperolehi kebaikan, maka Allah akan memberikan musibah padanya-baik yang mengenai tubuhnya, hartanya ataupun apa-apa yang menjadi kesayangannya/yang dikasihinya.” (HR.Bukhari dari Abu Hurairah r.a)

Anakku, bahkan dengan ujian sakit itulah Allah Ta’ala memberikan kemuliaan; kerajaan dan kekuasaan  yang tidak pernah Allah anugerahkan kepada siapapun; baik sebelum maupun sesudahnya selain kepada Nabi Sulaiman ‘alaihis-salam sebagaimana yang Allah Ta’ala jelaskan di dalam Kitab-Nya:

“Dan sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit), kemudian ia bertaubat. //  Ia berkata: “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.” //  Kemudian Kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut ke mana saja yang dikehendakinya.” (Q.S. Shaad: 34-35)

Oleh sebab itu anakku, ketika engkau sakit; Disamping berusaha berobat secara lahiriah, banyak-banyaklah engkau beristighfar memohon ampunan Allah. Dan yang paling utama adalah, itu janganlah jadikan penyakit yang engkau derita sebagai alasan untuk mengabaikan kewajibanmu kepada Allah. Tunaikanlah kewajiban itu sesuai dengan kemudahan dan keringanan yang telah diberikan Allah dan Rasul-Nya sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam Firman Allah Ta’ala:
                                              
“Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur'an dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan) nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Muzammil: 20)

Anakku, semoga nasihatku ini bermanfaat bagimu dan Allah Ta’ala jadikan engkau seorang yang sabar ketika mendapat ujian sakit atau penyakit dari-NYA. Aamiin ya robbal ‘alamiin.
Wallahua’lam.

Jakarta, 15 Syawal 1436 H / 31 Juli  2015.

KH.Bachtiar Ahmad.

Friday 24 July 2015

PUASA SEUMUR HIDUP

oleh: KH. Bachtiar Ahmad
======================
Walaupun bulan Ramadhan sudah berlalu, akan tetapi bagi orang-orang beriman “puasa” dalam artian “menjaga dan mengendalikan” hawa nafsu wajib dilakukan di sepanjang umur yang mereka lalui. Oleh sebab itu “puasa” yang diwajibkan Allah dalam bulan Ramadhan sejatinya adalah sarana dan prasarana “pendidikan dan latihan” yang hasilnya “wajib” pula diaplikasi dan dijabarkan  dalam bulan-bulan yang lain di luar Ramadhan. Karena sebagaimana yang telah dimaklumi, sesungguhnya “hawa nafsu” yang dimiliki akan selalu berusaha mengajak dan menyuruh manusia untuk melakukan perbuatan jahat/mungkar sebagaimana yang diperingatkan Allah Ta’ala melalui dengan Firman-Nya:

“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S.Yusuf: 53)

Kalau di bulan Ramadhan kita diperintahkan untuk menjaga perut dari makan dan minum; menjaga panca indra yang dimiliki dari segala sesuatu yang dapat mengurangi nilai; bahkan membatalkan “puasa” yang tengah dijalani; Maka kondisi yang demikian itu juga berlaku di luar Ramadhan sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam Firman Allah Ta’ala di dalam Kitab-Nya. Untuk itu ada baiknya kita simak sejenak mengapa “puasa”; baik yang bersifat jasmaniah maupun ruhaniah tersebut wajib dilakoni selama hayat di kandung badan.

PUASA PERUT.
“Puasa perut” dalam artian menahan diri dari makan dan minum tidak hanya wajib dilakukan di bulan Ramadhan saja. Hal itu wajib dilakukan di sepanjang umur yang kita lalui yang tersirat dan tersurat dalam firman Allah Ta’ala:

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Q.S.Al-A’raaf: 31)

Salah satu pelajaran yang tersirat ketika Allah Ta’ala melarang kita untuk makan dan minum di bulan Ramadhan mulai sejak terbit fajar hingga terbenam matahari adalah, bahwa kita tidaklah boleh berlebih-lebihan dalam soal makan dan minum. Sebab bagaimanapun juga dampak dari makan dan minum yang berlebih-lebihan itu sudah jelas adanya seperti terganggu dan rusaknya kesehatan tubuh. Bahkan yang lebih berbahaya lagi adalah tumbuhnya sifat rakus; boros; mubazir dan perilaku buruk lainnya yang sangat dibenci oleh Allah Ta’ala.

PUASA INDRAWI.
Di dalam bulan Ramadhan puasa yang kita lakukan tidak hanya sebatas menahan diri untuk tidak makan dan minum. Akan tetapi juga diperintahkan untuk menjaga “indra tubuh” dari hal-hal yang dapat merusak nilai puasa. Dan hal ini tentunya tidak hanya berlaku secara temporer di bulan Ramadhan saja, melainkan harus dijaga dan dipelihara seumur hidup sebagaimana yang diperintahkan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.

Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, maka hendaklah ia tidak mengganggu tetangganya; Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, maka hendaklah ia menghormati tamunya; Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, maka hendaklah ia berkata yang baik-baik atau lebih baik diam jika ia tak mampu melakukannya.” (HR. Muttafaq ‘alaihi; Abu Dawud dari Abu Hurairah r.a)           

Dan hal itu semakin dipertegas oleh Allah SWT sebagaimana yang tersirat dalam firman-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman; dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujuraat: 11)

Atau dalam ayat lainnya Allah SWT berfirman:

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan Ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (Q.S. An-Nahl: 116)

Adapun perintah “puasa” dalam artian untuk menjaga dan memelihara “pendengaran” atau “telinga” dari sesuatu yang tidak disukai-Nya, maka secara tersirat Allah Ta’ala telah menegaskan dengan Firman-Nya:

“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil". (Q.S. Al-Qashash: 55)

Sedangkan dalam ayat lainnya Allah SWT berfirman:

“Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.”(QS. An-Nuur: 12)

Selanjutnya “mata” atau “penglihatan” adalah “indera” tubuh yang paling utama untuk “dipuasakan”. Sebab kalau disimak dari keadaan hidup  kita  sehari-hari,  maka  lebih  banyak  kemungkinan- kemungkinan buruk yang bisa terjadi oleh sebab pandangan mata. Bahkan begitu pentingnya “puasa” dalam artian “menjaga dan memelihara mata”, maka Allah sekaligus menggandengnya dengan  perintah “puasa” dalam hal menjaga dan mengendalikan “syahwat” yang kita miliki. Dan perintah tersebut tidak ditegaskan secara umum oleh Allah Ta’ala, melainkan dinyatakan Allah secara terpisah untuk laki-laki dan perempuan. Allah Ta’ala berfirman:

 “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka; Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nuur: 30)

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An-Nuur: 31)

Diakui atau tidak, maka sebenarnya “pandangan mata” tidak hanya dapat membangkitakan “syahwat” atau “gairah seksualitas” saja, akan tetapi juga dapat berdampak pada urusan perut atau selera makan dan minum; kepemilikan harta; jabatan dan lain-lain sebagainya yang pada akhirnya bisa menjerumuskan seseorang ke dalam murka Allah Ta’ala.

Dan yang paling utama untuk diingat, mengapa “puasa seumur hidup” wajib dijalani, karena secara tegas Allah Ta’ala telah memperingatkan kita dengan Firman-Nya:

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”  (Q.S.Al-Isra’:  36)

Inilah beberapa hal yang patut kita pahami setelah kita dididik dan dilatih oleh Allah Ta’ala melalui perintah “puasa Ramadhan” yang lalu, yang pada akhirnya kita dapat mengaplikasikan dan mejabarkannya di sepanjang kehidupan yang kita jalani. Sehingga dengan demikian nilai-nilai takwa yang kita miliki akan senantiasa terpelihara. In syaa’ Allah !
Wallahua’lam.

Jakarta, 7 Syawal 1436 H / 24 Juli 2015

KH. BACHTIAR AHMAD

Thursday 16 July 2015

SELAMAT JALAN RAMADHAN (2)

oleh: KH.Bachtiar Ahmad
======================
Perjalanan Ramadhan tahun ini usai sudah. Untuk sementara waktu Ramadhan akan bersembunyi di balik perjalanan waktu, hingga tiba saatnya Allah kembalikan ia di tahun yang akan datang.  Dan ketika Ramadhan usai tentu ada yang menarik nafas lega, lantaran tidak lagi merasa terbebani  dengan aturan agama yang mengikat aktifitas mereka sehari-hari. Sementara disisi lain “hamba Allah” yang benar beriman dengan ikhlas kepada Allah dan Hari Kemudian akan merasa sedih, lantaran harus berpisah dengan “bulan kemuliaan” yang sarat dengan rahmat dan berkah Allah tersebut. Mereka khawatir, jangan-jangan tahun yang akan datang mereka tak lagi dapat bertemu dengan Ramadhan.

Namun demikian, lepas dari kondisi suka atau tidak suka berpisah dengan Ramadhan tahun ini, maka ada satu hal yang patut kita renungkan dan pertanyakan kepada diri sendiri; Sudahkah kita berhasil mencapai tujuan Ramadhan sebagaimana yang diinginkan Allah di dalam Firman-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S.Al-Baqarah: 183)

“Takwa” dalam arti yang umum” “melaksanakan semua perintah Allah; baik dalam hal beribadah maupun dalam hal meninggalkan apa yang dilarang Allah.” Dan tentu saja dalam masalah hablumminalaah maupun hablumminannas-nya. Oleh karenanya setelah Ramadhan berlalu, maka nilai-nilai ketakwaan itu haruslah tampak dalam prilaku hidup sehari-hari. Artinya ada perubahan akhlak yang lebih baik jika dibandingkan dengan prilaku hidup sebelum kita menjalani aktifitas Ramadhan. Jika tidak, maka ibadah (puasa) Ramadhan yang dilakukan tentulah tidak ada nilai tambahnya  selain daripada menahan haus dan lapar berkepanjangan sebagaimana yang diisyaratkan oleh Rasulullah SAW dalam hadis beliau:

“Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan pahala puasanya, selain dari rasa lapar dan haus” (HR. Imam Ahmad; Al-Hakim; An-Nasa’i dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah r.a)

“Mujahadah” yang dijalani selama Ramadhan hendaknya benar-benar berbekas, sehingga di hari-hari mendatang kita lagi membiarkan diri terjebak dalam perangkap nafsu yang tentunya lebih cenderung untuk melakukan kejahatan sebagaimana  yang di-ingatkan Allah SWT melalui pernyataan Nabi Yusuf a.s:

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Yusuf: 53)

Sebab bagaimanapun juga tentu telah kita ketahui bersama, bahwa salah satu tujuan utama dari pelaksanaan kewajiban ibadah puasa Ramadhan adalah dalam rangka pengendalian hawa nafsu yang kita miliki. Bahkan untuk hal yang demikian itu, suka tidak suka selama Ramadhan kita juga harus menahan diri dari segala sesuatu yang halal dan yang dibolehkan. Jadi apabila seusai Ramadhan ini kita kembali mengumbar nafsu dan melakukan sesuatu  secara berlebih-lebihan, sekalipun hal itu tidak dilarang oleh agama, maka tentu saja upaya dan pembelajaran yang kita laksanakan selama Ramadhan akan menjadi sia-sia.

Di sisi lain “muroqobah” yang dirasakan selama Ramadhan hendaklah terus menerus dihadirkan  dengan kesadaran yang penuh; Bahwa sesungguhnya Allah Maha Melihat setiap langkah dan perbuatan yang kita lakukan. Hendaknya kita tetap menyadari, bahwa tidak ada sedikitpun celah bagi kita agar bisa bersembunyi dari pandangan Allah untuk mengumbar nafsu dan melakukan kemungkaran. Kita akan selalu ingat bahwa:

“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S.Al-Hadiid: 4)

Mudah-mudahan dengan menyadari hal tersebut, kita tidak akan lagi menodai “fitrah diri” yang insya Allah telah kita kembalikan kesuciannya dengan karunia Allah dalam berkah dan rahmatnya Ramadhan. Sehingga kita akan tetap menjadi orang yang beruntung sebagaimana yang telah ditegaskan Allah Ta’ala dengan Firman-Nya:

 “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya. Dan sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya.”  (Q.S. Asy-Syams: 9-10)

Selamat jalan Ramadhan, in syaa’ Allah kita akan bertemu lagi di tahun yang akan datang. Semoga Allah Ta’ala tetap membimbing kami dengan hidayah dan inayah-Nya, agar kesucian jiwa; keta’atan dan  ketakwaan  yang telah dianugerahkan Allah melalui perantaraanmu tidaklah menjadi sia-sia di hari-hari mendatang.
Wallahua’lam.

Jakarta, 29 Ramadhan 1436 H / 16 Juli 2015

KH.BACHTIAR AHMAD

Thursday 9 July 2015

SELAMAT JALAN RAMADHAN (1)



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
====================
Ramadhan sebentar lagi akan berakhir, dan bagi  “hamba Allah” yang benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian tentulah merasa sedih dengan berakhirnya perjalanan bulan yang penuh berkah tersebut. Akan tetapi walaupun demikian, mereka akan terus menapaki jalan keta’atan untuk semaksimal mungkin mencapai ketakwaan yang sempurna. Bagi mereka Ramadhan boleh berakhir atau “mati suri” hingga tahun yang akan datang, tapi Allah Ta’ala yang mereka sembah tidak akan pernah mati sebagaimana Firman-Nya:

“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Q.S.Al-Baqarah: 255)

Oleh sebab itu, barangsiapa yang beribadah hanya karena Ramadhan, sungguh ia akan merugi karena amal ibadah yang diperbuatnya juga akan sirna seiring perginya Ramadhan tahun ini. Akan tetapi bagi yang beramal karena melaksanakan keta’atan-nya atas apa yang diperintahkan Allah SWT kepadanya, maka beruntunglah dirinya. Sebab setelah Ramadhan berlalu, ia masih punya waktu untuk mengabdi dan beribadah kepada Alla Ta’ala sambil melakukan muhasabah; melaksanakan evaluasi atas apa yang telah dikerjakannya selama Ramadhan mengisi hari-hari kehidupannya. Dan bagi “hamba Allah” yang memiliki iman yang kokoh, Ramadhan hanyalah merupakan salah satu kesempatan terbaik untuk menambah keta’atan dan meraih hidayah Allah, agar dalam bulan-bulan lainnya mereka tetap menadapatkan keteguhan hati sebagaimana do’a yang senantiasa mereka lafazkan ke hadirat Allah SWT:

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (Q.S. Ali ‘Imran: 8)

Dan tentu saja mereka berharap puasa serta amaliah lainnya yang mereka kerjakan selama Ramadhan, kelak akan menjadi syafaat atau saksi yang meringankan ketika nanti mereka berhadapan dengan Allah Ta’ala sebagaimana yang disebutkan Rasulullah SAW dalam hadis beliau:

“Sesungguhnya puasa dan Al-Quran akan memintakan syafaat bagi seorang hamba di Hari Kiamat nanti. Puasa berkata: “Wahai Tuhanku, aku telah mence-gahnya dari makan dan syahwat, maka berilah ia syafaat karenanya.” Al-Quran juga berkata: “Wahai Tuhanku, aku mencegahnya dari tidur di malam hari, maka berilah dia syafaat.” Rasulullah SAW berkata: “Lalu keduanya memintakan syafaat.” ( HR.At-Thabrani; Imam Ahmad dan al-Hakim r.a)

Semoga kita semua termasuk ke dalam golongan “hamba Allah” yang demikian itu; yang benar-benar beribadah kepada Allah Ta’ala bukan semata-mata hanya karena Ramadhan. Atau dengan kata lain benar-benar menjadi hamba yang “Rabbani”; yang senantiasa hidup dan berbuat hanya karena dan untuk Allah Ta’ala semata. Bukan hamba “Ramadhani” yang senantiasa hidup hatinya untuk melakukan amal saleh dan kebajikan hanya di bulan Ramadhan.

Selamat jalan Ramadhan, mudah-mudahan Allah Ta’ala masih memberi kami kesempatan untuk berjumpa dan menikmati jamuan Allah yang berlimpah dan penuh berkah dalam hitungan hari yang engkau lalui untuk meraih niilai keimanan  dan ketakwaan yang hakiki dalam pandangan Allah Ta’ala. Aamiin ya robbal ‘alamiin…!
Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 23 Ramadhan 1436 H / 10 Juli 2015.
KH. BACHTIAR AHMAD

Thursday 2 July 2015

TANGAN MENCENCANG BAHU MEMIKUL



oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
========================
“Tangan mencencang bahu memikul” adalah sebuah ungkapan atau peribahasa/pepatah Melayu yang memberi pengajaran kepada setiap orang, bahwa “siapa saja yang berbuat kesalahan, maka dia sendirilah yang akan menanggung akibatnya.” Akan tetapi sebagaimana yang pernah saya sampaikan melalui tulisan yang berjudul “Nilai dakwah dalam ungkapan Melayu”,  bahwa ungkapan atau peribahasa/pepatah Melayu tersebut  tidak hanya memiliki nilai filosopi lahiriah yang bersangkut paut dengan urusan dunia. Melainkan boleh jadi ungkapan atau pepatah petitih itu  adalah semacam tafsir dari Firman Allah Ta’ala atau Hadis Nabi SAW yang sangat bermanfaat untuk menambah atau meningkatkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan (khususnya) di kalangan orang Melayu.

Nah, berkaitan dengan masalah ungkapan atau peribahasa “Tangan mencencang bahu memikul” di atas, maka Al-Quran dan Sunnah (Hadis) Nabi SAW secara jelas dan tegas menyebutkan, bahwa setiap orang akan bertanggung jawab atas apa saja akibat atau buah perbuatannya selama ia hidup di dunia; khususnya perbuatan jahat yang ia lakukan sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam Firman Allah Ta’ala:

“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?”  (Q.S.Al-Qiyamah: 36)

“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.”  (Q.S.Al-Muddats-tsir: 38)

“Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikit pun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya.”  (Q.S.Fathir: 18)

Adapun tanggung jawab seseorang atas apa yag dilakukannya, maka tatkala masih di dunia tentulah masih bisa “membela diri” atas semua perbuatan/kesalahan yang dilakukan. Lantaran di hadapan sidang “pengadilan dunia” orang yang bersalah masih bisa berbicara membela dirinya; baik dengan lisannya sendiri maupun dengan perantaraan para saksi dan kuasa hukum (pembela) yang diminta untuk itu. Namun ketika diri sudah berada dalam “mahkamah Allah”, dimana dirinya akan berhadapan langsung dengan Allah, maka sedikitpun tidak ada celah bagi seseorang untuk membela dirinya sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah Hadis bahwa:

“Rasulullah SAW bersabda: “Tidak seorangpun di antara kamu, melainkan ia akan diajak bicara oleh Allah dengan berhadapan muka, tiada penerjemah antara dirinya dengan Allah. Lalu ia akan melihat ke sebelah kanannya dan tiadanya selain  yang dilihatnya selain amal perbuatannya sendiri; Melihat pula ke sebelah kirinya, maka tiadalah yang dilihatnya selain amal perbuatannya sendiri. Kemudian ia melihat di hadapannya, maka tiadalah yang dilihatnya kecuali neraka yang menyongsong wajahnya. Oleh karena itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari neraka, walaupun hanya dengan menyedekahkan setengah butir kurma.”   (HR.Muttafaq ‘alaihi dan At-Tirmidzy dari ‘Adiy bin Hatim r.a)

Oleh sebab yang demikian itulah, sebelum “bahu memikul”  apa yang “dicencang tangan”, maka hendaklah kita berhati-hati dalam setiap tindakan dan perkataan, karena sekecil apapun akibat dari perbuatan tersebut akan mendapat balasan dari  Allah Ta’ala sebagaimana Firman-Nya:

 “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. //  Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.”  (Q.S.Al-Zalzalah: 7-8)

Mudah-mudahan dengan sedikit tulisan ini kita (khususnya orang Melayu), bisa lebih banyak memaknai dan memahami apa yang tersurat dan tersurat dalam setiap ungkapan atau peribahasa/pepatah yang ada untuk menambah keimanan dan keta’atan kepada Allah Ta’ala. Sebab bagaimanapun juga sejak dulu sudah dikatakan, bahwa landasan adat istiadat kehidupan orang Melayu itu adalah:  “Adat bersendi syarak; syarak bersendikan Kitabullah dan As-Sunnah.”   
Wallahua'lam.

Bagansiapiapi,  15 Ramadhan 1436  / 02 Juli 2015
KH.BACHTIAR AHMAD

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.