Friday 26 February 2016

BUAH  HATI KITA

oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================

Anak adalah “buah hati” bagi kedua orang tuanya yang sangat disayangi dan dicintainya. Oleh sebab itulah di awal pernikahan; ketika  bahtera rumah tangga pertama kali diarungi; Banyak pasangan suami isteri yang berharap kepada Allah Ta’ala agar segera dikaruniai anak. Bahkan ada yang merancang dan berharap berapa banyak anak yang diinginkan.

Adapun isyarat akan betapa penting dan berartinya kehadiran anak dalam kehidupan seorang ayah dan ibu, telah disiratkan Allah Ta’ala melalui kisah Nabi Zakaria dan Nabi Ibrahim a.s. sebagaimana firman-Nya:

“Di sanalah Zakariya mendoa kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar do’a.” (Q.S. Ali ‘Imran: 38)

“Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (dan Memperkenankan) do’a.” (Q.S. Ibrahim: 39)

Tatkala harapan memiliki “timangan” terpenuhi, maka semua orang tua tentunya berharap agar sang anak si buah hati kelak akan menjadi “anak yang shalih”, berguna bagi orang tua; keluarga; bangsa; negara dan tentu saja yang lebih utama lagi dalam hal agamanya. Lebih-lebih lagi jika dikaitkan dengan sabda Rasulullah SAW sebagaimana  yang disebutkan dalam salah satu hadis beliau; Bahwa seorang “anak yang shalih”  adalah merupakan “aset” atau “harta” yang tidak dapat dinilai berapa harganya, karena ketika seseorang telah “terkubur”  di dalam tanah, maka “do’a anak yang shalih” akan terus mengalir untuk kedua orang tuanya. Bahkan di Hari Kiamat nanti, si anak dapat memberikan “syafa’at” yang akan meringankan langkah orang tuanya untuk memasuki surganya Allah. Dan oleh yang hal yang demikian inilah Allah Ta’ala mengajarkan kepada kita untuk senantiasa berdo’a memohon anak yang shalih sebagaimana yang dimohonkan oleh Nabi Ibrahim a.s:

“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.”                                                                                                                                                    (Q.S.Ash-Shaffat: 100)

“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.”  (Q.S.Ibrahim: 40)

Atau dalam lafaz do’a yang sering kita bacakan seusai sholat:


“Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”  (Q.S. Al-Furqan: 74)
           
Akan tetapi walaupun masalah ini sudah kita maklumi dan pahami, dalam kenyataannya apa yang dilakukan orang tua terhadap anak-anak mereka banyak yang bertolak belakang dengan apa yang telah diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Banyak orang tua yang lebih terobsesi pada kesuksesan “duniawi” anaknya daripada menjadikan buah hatinya sebagai “anak yang shalih” dalam artian yang sesungguhnya. Bahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang bersifat duniawi tersebut, banyak orang tua yang rela dan habis-habisan membiayai pendidikan sang anak si buah hati. Sementara untuk kepentingan “ukhrawinya”, hanya sebatas yang dianggap perlu-perlu saja. Artinya, asal anak bisa sholat; bisa (sekadar) mengaji atau membaca Al-Quran dan mengerti sedikit hukum-hukum agama, maka hal itu sudah dianggap cukup memadai untuk kehidupan akhiratnya.  Padahal kita semua tahu persis, bahwa bagi  orang-orang yang beriman; akhirat jualah tempat yang paling baik buat mereka sebagaimana yang difirmankan  Allah Ta’ala:

 “Katakanlah: “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.” (Q.S. An-Nisa’: 77)

Masalah ini memang sesuatu yang sangat klasik, tapi tentu saja tidak bisa diabaikan begitu saja oleh setiap  orang tua atau mereka yang akan menjadi orang tua bagi anak-anaknya. Karena dengan semakin berkembangnya teknologi duniawi, tantangan yang akan dihadapi akan lebih besar dan sangat kompleks. Dan satu hal lagi yang paling utama untuk diperhatikan dan diwaspadai adalah tentang apa yang telah diperingatkan oleh Allah Ta’ala:

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu (maksudnya setelah beriman), maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”   (Q.S. Al-Baqarah: 120)

Mudah-mudahan dengan pertolongan Allah Ta’ala, kita mampu menjadikan “buah hati” yang kita cintai itu sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Aamiin ya robbal ‘aalamin…..!
Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 17 Jumadil Awal 1437 H /26 Pebruari 2016

KH.BACHTIAR AHMAD

Friday 19 February 2016

Sekilas tentang: IBLIS LAKNATULLAH.

oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================
Beberapa ahli tafsir menyatakan bahwa  “Iblis” boleh jadi diambil dari kata al-iblas yang maknanya secara harafiah adalah: sesuatu yang suka memberontak atau melakukan perbuatan durhaka. Atau juga memiliki makna: orang yang suka orang putus asa; sedih dan  kecewa.  Sedangkan kata “syaitan” berasal dari kata syatana (ba'uda) yang  maknanya adalah jauh. Dan kata ”jauh” tersebut boleh jadi dirujukkan kepada  tabiat makhluk itu sendiri yang jauh daripada manusia. Atau bisa juga berasal dari kata syatnu (al-ba'du) yang kata “jauh” nya memiliki pemahaman: orang yang jauh dari kebenaran.

Adapun kata iblis hanya dalam bentuk tunggal diulang-ulang dalam Al-Quran sebanyak 11 kali dalam 11 ayat yakni dalam surah:  Al-Baqarah ayat 11; Al-A’raaf ayat 11; Al-Hijr ayat 31 dan 32; Al-Israa’ ayat 61; Al-Kahfi ayat 50; Tha-ha ayat 116; As-Syu’ara’ ayat 95;Saba’ ayat 20 Shad  ayat 74 dan 75. Sementara kata “syaitan” disebut dalam tunggal dan jamak.  Yang tunggal yakni “syaitan” disebut sebanyak 70 kali, sedangkan yang jamak “syayatin” sebanyak 18 kali.

Ada pendapat yang  mengatakan bahwa asal usul syaitan adalah keturunan iblis laknatullah yang  memiliki nama asal  Azazil, atau ada juga disebutkan dengan nama Al-Haaris yang menjadi  penjaga surga. Dan menurut Ibnu Abbas r.a pula, dikatakan  Azazil atau Al-Hariis  diciptakan seribu tahun lebih  awal dari penciptaan manusia dan ia termasuk ahli ibadah. Akan tetapi akhirnya ia merasa dengki dan iri hati lantaran Allah menciptakan manusia (Adam a.s) untuk dijadikan sebagai khalifatu al ardh (pemimpin di muka bumi). Hal ini disebabkan karena ia  menganggap rendah manusia yang diciptakan Allah dari tanah, maka ia lalu menolak “bersujud” sebagaimana yang telah diperintahkan Allah kepada seluruh malaikat dan dirinya.  Hal ini diterangkan oleh Al-Quran dalam surah Al-Baqarah ayat 30 – 34; Al-A’raaf ayat 11 – 18; Shaad ayat 71 – 85 dan dalam beberapa bagian (ayat) surah Al-Hijr (ayat 28-33).

Kemudian lantaran pembangkangan tersebut, Allah mengusir Iblis dari surga dan melaknat atau mengutuknya untuk selama-lamanya (sampai hari kiamat): “Allah berfirman: “Keluarlah dari syurga, karena sesungguhnya kamu terkutuk. ž Dan sesungguhnya kutukan itu tetap menimpamu sampai hari kiamat.” ž (Q.S. Al-Hijr: 34 – 35)

Namun demikian, walaupun sudah jelas dilaknat dan dikutuk oleh Allah SWT, akan tetapi Iblis bermohon kepada Allah, agar dirinya diberi tangguh untuk tetap hidup hari kiamat untuk menyesatkan manusia. Dan permohonan ini dikabulkan oleh Allah sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat-ayat berikutnya: “Berkata Iblis: “Ya Tuhanku, kalau begitu beri tangguhlah kepadaku sampai hari manusia dibangkitkan.” //  Allah berfirman: “Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh. // Sampai hari(waktu) yang telah ditentukan.” // Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, maka pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik perbuatan maksiat di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.// Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka.” (Q.S. Al-Hijr: 36 – 40)

Selanjutnya mengacu pada firman Allah Ta’ala di dalam Al-Quran, maka paling tidak ada 2 nama  yang dilekatkan Allah untuk “iblis laknatullah”, yang menggambarkan betapa buruk dan tercelanya sifat-sifat yang dimiliki oleh iblis  yang dilaknat oleh Allah tersebut.

Pertama adalah Ar-Rajiim ( ﺍﻟﺮﺟﻴﻢ ) atau makhluk yang terkutuk sebagai-mana yang dinyatakan Allah dalam Al-Quran: Allah berfirman: “Keluarlah engkau dari syurga, kerana sesungguhnya engkau adalah (makhluk yang) terkutuk." (Q.S. Al-Hijr: 34) (Juga pada surah An-Nahl: 98)

Kedua “mariid” durhaka / jahat yang dijelaskan oleh Al-Quran: “Yang mereka sembah selain Allah itu, tidak lain hanyalah berhala-hala, dan mereka tidak lain hanyalah menyembah syaitan yang durhaka.”  (Q.S.An-Nisaa’: 117) (Juga dalam surah Al-Hajj: 3 / Ash-Shaffaat: 6-7)

Sebagai “makhluk” yang  dimusuhi oleh Iblis laknatulah, maka kita perlu mengetahui; bahwa ada “manusia” yang sangat “disukai/dicintai” Iblis laknatullah; yang di dalam riwayat disebutkan antara lain:  Imam/pemimpin yang tidak amanah (menyeleweng); Orang yang sombong; Orang kaya yang tidak peduli dari mana ia mendapatkan hartanya dan tidak peduli pula kemana ia belanjakan; Uama (orang alim) yang mendukung penyelewengan/pengkhianatan penguasa/pejabat; Pedagang yang curang; Orang  yang  menimbun  makanan pokok di suatu negeri; Pezinah; Pemakan riba; Orang kikir yang tak peduli dari mana hartanya berasal; Pemabuk (Peminum arak).

Sementara 20 golongan yang sangat dibencinya adalah: Rasulullah SAW; Orang alim yang mengamalkan ilmunya; Orang yang hafal Al-Qur’an dan melaksanakan isinya; Muazin yang azan karena Allah; Orang yang menyayangi anak yatim serta fakir miskin; Orang yang berhati penyantun; Orang yang tunduk pada kebenaran (yang haq); Pemuda yang ta’at kepada Allah; Orang yang senantiasa menjaga kehalalan makanannya; Dua orang yang berkasih sayang  karena Allah; Orang yang senantiasa bersemangat untuk shalat berjama’ah; Orang yang senantiasa mengerjakan shalat malam; Orang yang mengekang dirinya dari perbuatan haram; Orang yang memberi nasihat tanpa pamrih; Orang yang senantiasa berada dalam keadaan berwudhuk; Orang yang dermawan; Orang yang memiliki budi pekerti terpuji; Orang yang bersyukur dan senantiasa membenarkan Allah dalam hal rezeki yang ia terima; Orang yang membela para janda karena Allah; Orang yang senantiasa mempersiapkan dirinya untuk kematian yang akan menjemputnya.

Inilah sedikit catatan tentang Iblis laknatullah yang patut diketahui. Mudah-mudahan dengan hidayah dan inayah Allah Ta’ala,  kita senantiasa mampu menghadapi godaan dan bujukan Iblis laknatullah. Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 26 Sya’ban 1434 H / 5 Juli 2013.
KH.Bachtiar Ahmad.

Friday 12 February 2016

SYARAT UNTUK MAKSIAT

oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================
Suatu hari seorang laki-laki datang kepada  “Ibrahim bin Adham” untuk yang meceritakan ihwal dirinya yang sangat tergiur dengan kenikmatan dunia dan selalu cenderung untuk melakukan perbuatan maksiat. Setelah mendengar “curhat” laki-laki tersebut, Syaikh Ibrahim berkata: 


“Wahai hamba Allah, jika suatu sa’at keinginan untuk melakukan perbuatan maksiat, maka cobalah engkau tangkal dengan lima keadaan berikut. Apabila engkau bisa mengatasinya, maka silahkan engkau bermaksiat kepada Allah. Jika tidak, maka hendaklah engkau perbanyak istighfar memohon ampunan dan pertolongan Allah agar terhindar dari perbuatan maksiat.” Setelah berhenti sesa’at, Syaikh Ibrahim lalu melanjutkan bicaranya:

“Yang pertama, bila kamu hendak melakukan perbuatan maksiat atau durhaka kepada Allah, maka pikirkanlah, apakah engkau bisa memakan rezeki selain rezeki-Nya?.”

“Kedua, ketika kamu hendak bertindak durhaka kepada Allah, pikirkanlah apakah engkau bisa untuk tidak menginjak bumi yang Allah hamparkan untukmu.”

“Ketiga, bila kamu tetap ingin mendurhakai-Nya, carilah tempat lain yang tidak dapat diketahui dan dilihat oleh Allah Ta’ala.”

“Keempat, ketika datang malaikat untuk mengambil nyawamu, mintalah kepadanya agar kematianmu ditunda supaya kamu bisa bertaubat dan melakukan amal shalih.”

“Dan yang kelima adalah,.  jika di hari kiamat nanti malaikat menyeretmu ke neraka, maka hendaklah engkau melawannya dan mintalah kepadanya agar engkau dibawanya ke surga.”

Mendengar penuturan Ibrahim bin Adham, laki-laki itupun berkata: “Wahai syaikh, tak satupun dari kelima syarat itu yang bisa kulakukan. Karena semuanya adalah milik Allah dan ada dalam genggaman kekuasaan serta kehendak Allah. Terima kasih tuan telah menjawab keinginan saya; mudah-mudahan Allah berkenan memberikan pertolongan-Nya kepadaku. Sehingga aku terhindar dan tercegah dari keinginan untuk bermaksiat dan durhaka kepada-Nya.” Kemudian dengan langkah lunglai laki-laki tersebut meninggalkan Ibrahim bin Adham. Dan beberapa waktu kemudian Syaikh Ibrahim mendengar kabar, bahwa telah bertaubat dan meninggalkan kesenangannya pada dunia yang menggiurkan hatinya. Lalu bagaimana dengan kita ? Wallahua’lam.

(dinukil dan diedit dari “At-Tawwabiin” karangan Ibnu Qudamah Al-Maqdisi)

Jakarta, 2 Jumadil Awal 1437 H / 12 Pebruari 2016

KH.Bachtiar Ahmad

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.