ISLAM MULIAKAN PEREMPUAN
oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================
Sejarah
mencatat, bahwa di masa jahiliyah seorang perempuan nyaris tidak ada nilainya
selain dari alat untuk dijadikan budak dan pemuas nafsu kaum laki-laki saja.
Demikian tidak berharganya seorang perempuan, maka jika ada seorang anak
perempuan yang lahir; terutama dari kalangan keluarga terkemuka; anak perempuan
tersebut akan dikuburkan hidup-hidup atau tetap membiarkannya hidup
dengan segala macam kehinaan yang akan ditanggung si anak
menjelang dia dewasa. Hal ini tegas Allah sebutkan dalam Firman-Nya:
“Dan apabila
seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah
(merah padam-lah) mukanya, dan dia sangat marah.// Ia menyembunyikan dirinya
dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya.
Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan
menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa
yang mereka tetapkan itu.” (Q.S.An-Nahl:
58-59)
Dalam situasi dan kondisi yang demikian itulah Islam datang
membawa perubahan untuk menyelamatkan kaum perempuan; memberikan mereka hak
yang sama dengan laki-laki dalam banyak hal; atau yang sekarang disebut dengan
istilah “kesetaraan gender” atau “emansipasi”. Namun demikian masih saja
ada suara-suara sumbang yang menyatakan, bahwa Islam masih merendahkan kedudukan perempuan dan belum
sepenuhnya memberikan hak yang penuh
kepada perempuan. Dan adapun alasan
yang mereka jadikan acuan untuk hal itu adalah Firman Allah yang menyatakan:
“Kaum
laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah
melebihkan mereka (kaum laki-laki) atas sebahagian yang lain (kaum perempuan.” (Q.S.An-Nisaa’:
34)
Dan satu hal lagi yang mereka jadikan “hujjah” adalah hadis Rasulullah SAW yang menyatakan, bahwa
Rasulullah bersabda:
“Andaikata saya
dapat meyuruh seseorang bersujud kepada orang lain, maka akan saya suruh para
perempuan bersujud kepada suaminya.”
(HR.At-Tirmidzi dari Abu Hurairah r.a)
Padahal
dalil yang mereka kemukakan itu bukanlah untuk hal-hal yang bersifat umum dalam
pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Sebab jika mereka mau meneliti dengan
seksama akan “asbabun-nuzul” ataupun “asbabul-wurud” dari ayat dan hadis di
atas, tentulah mereka akan menemukan jawaban yang sesungguhnya tentang maksud
dan tujuan dari ayat dan hadis tersebut.
Dan
adapun yang berkaitan dengan asba-bun
nuzul turunnya ayat 34 surah An-Nisaa’ tersebut. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Al-Hasan r.a; “Bahwa pada suatu hari ada seorang perempuan Anshar yang mengadu kepada Rasulullah SAW
tentang perlakuan suaminya yang kasar. Disebutkan bahwa perempuan tersebut
ditampar hingga berbekas di wajahnya. Lalu Rasulullah SAW ingin menetapkan qishash bagi sang suami, akan tetapi
beliau batalkan lantaran hampir pada saat yang sama Allah mewahyukan ayat 34
surat An-Nisaa’ tersebut kepada beliau. Bahwa di dalam lanjutan ayat 34 surah
An-Nisaa’ tersebut Allah menerangkan tentang tata cara seorang suami mendidik
isteri yang dikhawatirkan akan berlaku nusyuz
atau durhaka (tidak menta’ati) suaminya. Dan cara itupun tidak harus dilakukan
dengan semena-mena atau sesuka hatinya, melainkan harus secara bertahap mulai
dari dinasehati; tidak digauli atau dicampuri (beberapa waktu lamanya) baru
kemudian boleh dipukul. Dan jika masih saja durhaka, maka dapat ditempuh cara
lain, misalnya dengan menceraikannya. Coba perhatikan seutuhnya (makna) ayat 34 surah An-Nisaa’ berikut ini:
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara (mereka; adapun
wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz (durhaka)nya, maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Begitu juga dalam kasus “hukum waris” yang dalam hal ini
Al-Quran menetapkan adanya pembagian 2:1, atau dengan kata lain laki-laki mendapatkan 2 bagian sedangkan
perempuan hanya 1 bagian atau setengah dari apa yang diberikan kepada laki-laki
sebagaimana yang dinyatakan Allah dalam firman-Nya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua
orang anak perempuan.” (Q.S.An-Nisaa’: 11)
Dalam hal ini apa yang ditetapkan oleh
Allah SWT tersebut, bukanlah merupakan suatu pernyataan-Nya tentang adanya perbedaan derajat laki-laki dan perempuan. Allah
hanya ingin mengingatkan kepada kita, bahwa sesungguhnya kaum laki-laki
memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam kehidupan keluarga dibandingkan
dengan perempuan. Sebab jika seorang laki-laki
ingin menikahi seorang perempuan haruslah memberikan mahar atau mas
kawin bagi calon isterinya. Setelah itu iapun dituntut bertanggung jawab penuh untuk memberikan
nafkah kepada keluarganya. Jadi dalam
hal ini pada akhirnya apa yang diterimanya sebagai warisan bisa saja menjadi
berkurang, bahkan mungkin habis sama sekali untuk keperluan tersebut.
Sebaliknya seorang perempuan tidaklah demikian. Sementara ia tidak memiliki
pengeluaran yang berarti, maka tentu saja warisan yang diterimanya akan tetap
utuh. Bahkan bisa bertambah dengan adanya mas kawin atau nafkah yang diberikan
suami kepadanya. Jadi dengan demikian sudah sewajarnyalah seorang laki-laki
memperoleh bagian yang lebih besar dari seorang perempuan.
Selanjutnya di luar kasus yang
disebutkan di atas, maka sebenarnya tidak ada satupun keterangan Al-Quran yang dapat kita jadikan sebagai “justifikasi” atau landasan hukum untuk
melakukan praktek diskriminasi terhadap kaum perempuan. Bahkan sebaliknya Allah telah memberikan
kesempatan dan derajat serta tanggung jawab yang sama antara laki-laki dan
perempuan untuk berbuat kebajikan dan amal saleh sebagaimana yang dinyatakan
Allah dengan firman-Nya: “Dan orang-orang
yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong
bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah
dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada
Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S.At-Taubah: 71)
Ajaran Islam menetapkan, bahwa baik
laki-laki maupun perempuan tetap mendapat balasan dan perlakuan yang sama dari
Allah SWT atas apa yang mereka perbuat: “Barangsiapa
yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki mau-pun wanita sedang ia orang
yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya
walau sedikitpun.” (Q.S.An-Nisaa’:124)
“Sesungguhnya
laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin,
laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ke-taatannya, laki-laki dan perempuan
yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang
khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk
mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Q.S.Al-Ahzab:
35)
Bahkan boleh jadi pada saatnya seorang
perempuan memiliki kedudukan yang lebih dekat kepada Allah daripada seorang
laki-laki sebagaimana yang tersirat dalam firman Allah: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S.Al-Hujuraat:
13)
Jadi kalau sampai saat ini ada sebahagian
kaum laki-laki yang masih memandang rendah kedudukan seorang perempuan dalam
tatanan kehidupan masyarakatnya, maka hal itu bukanlah lantaran Islam
(Al-Quran) yang mengajar kannya. Akan tetapi bisa saja hal itu lantaran ia
belum memahami sepenuhnya apa yang diajarkan oleh Al-Quran (Allah dan
Rasul-Nya), atau disisi lain adanya pengaruh adat istiadat negeri atau kaumnya,
yang sejak dulu memang memandang rendah kedudukan perempuan dalam kehidupan
mereka. Wallahua’lam.
Bagansiapiapi, 21
Rajab 1439 H / 7 April 2018.