Saturday, 7 April 2018

ISLAM MULIAKAN PEREMPUAN



ISLAM MULIAKAN PEREMPUAN
oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================
  Walaupun tidak dapat dijadikan rujukan penuh, akan tetapi sebahagian “kaum perempuan” di negeri ini menjadikan “bulan April” sebagai salah satu bulan yang penuh dengan aktifitas lantaran tanggal 21 April yang merupakan tanggal kelahiran “R.A Kartini”  dinilai sebagai tonggak awal sejarah bangkitnya kaum perempuan dalam memperjuangkan hak mereka dalam lingkup pergaulan yang disebut sebagai “emansipasi”, atau dengan kata lain hak untuk mendapatkan persamaan derajat; baik dalam bidang pendidikan; pekerjaan; politik dan lain sebagainya. Lalu bagaimana ajaran Islam memandang persoalan kaum perempuan ini ?
             Sejarah mencatat, bahwa di masa jahiliyah seorang perempuan nyaris tidak ada nilainya selain dari alat untuk dijadikan budak dan pemuas nafsu kaum laki-laki saja. Demikian tidak berharganya seorang perempuan, maka jika ada seorang anak perempuan yang lahir; terutama dari kalangan keluarga terkemuka; anak perempuan tersebut akan dikuburkan hidup-hidup atau tetap membiarkannya  hidup  dengan  segala macam       kehinaan yang akan ditanggung si anak menjelang dia dewasa. Hal ini tegas Allah sebutkan dalam Firman-Nya:
             “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padam-lah) mukanya, dan dia sangat marah.// Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (Q.S.An-Nahl: 58-59)
Dalam situasi dan kondisi yang demikian itulah Islam datang membawa perubahan untuk menyelamatkan kaum perempuan; memberikan mereka hak yang sama dengan laki-laki dalam banyak hal; atau yang sekarang disebut dengan istilah “kesetaraan gender” atau “emansipasi”. Namun demikian masih saja ada suara-suara sumbang yang menyatakan, bahwa Islam masih merendahkan kedudukan perempuan dan belum sepenuhnya memberikan hak yang  penuh kepada perempuan. Dan adapun alasan yang mereka jadikan acuan untuk hal itu adalah Firman Allah yang menyatakan:
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan mereka (kaum laki-laki) atas sebahagian yang lain (kaum perempuan.” (Q.S.An-Nisaa’: 34)
                Dan satu hal lagi yang mereka jadikan “hujjah” adalah hadis Rasulullah SAW yang menyatakan, bahwa Rasulullah bersabda:
            “Andaikata saya dapat meyuruh seseorang bersujud kepada orang lain, maka akan saya suruh para perempuan bersujud kepada suaminya.” (HR.At-Tirmidzi dari Abu Hurairah r.a)
                Padahal dalil yang mereka kemukakan itu bukanlah untuk hal-hal yang bersifat umum dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Sebab jika mereka mau meneliti dengan seksama akan “asbabun-nuzul” ataupun “asbabul-wurud” dari ayat dan hadis di atas, tentulah mereka akan menemukan jawaban yang sesungguhnya tentang maksud dan tujuan dari ayat dan hadis tersebut.
                Dan adapun yang berkaitan dengan asba-bun nuzul turunnya ayat 34 surah An-Nisaa’ tersebut. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Al-Hasan r.a; “Bahwa pada suatu hari ada seorang perempuan  Anshar yang mengadu kepada Rasulullah SAW tentang perlakuan suaminya yang kasar. Disebutkan bahwa perempuan tersebut ditampar hingga berbekas di wajahnya. Lalu Rasulullah SAW ingin menetapkan qishash bagi sang suami, akan tetapi beliau batalkan lantaran hampir pada saat yang sama Allah mewahyukan ayat 34 surat An-Nisaa’ tersebut kepada beliau. Bahwa di dalam lanjutan ayat 34 surah An-Nisaa’ tersebut Allah menerangkan tentang tata cara seorang suami mendidik isteri yang dikhawatirkan akan berlaku nusyuz atau durhaka (tidak menta’ati) suaminya. Dan cara itupun tidak harus dilakukan dengan semena-mena atau sesuka hatinya, melainkan harus secara bertahap mulai dari dinasehati; tidak digauli atau dicampuri (beberapa waktu lamanya) baru kemudian boleh dipukul. Dan jika masih saja durhaka, maka dapat ditempuh cara lain, misalnya dengan menceraikannya. Coba perhatikan seutuhnya (makna) ayat 34 surah An-Nisaa’ berikut ini:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara (mereka; adapun wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz (durhaka)nya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
                Begitu juga dalam kasus “hukum waris” yang dalam hal ini Al-Quran menetapkan adanya pembagian 2:1, atau dengan kata lain  laki-laki mendapatkan 2 bagian sedangkan perempuan hanya 1 bagian atau setengah dari apa yang diberikan kepada laki-laki sebagaimana yang dinyatakan Allah dalam firman-Nya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.”     (Q.S.An-Nisaa’: 11)
Dalam hal ini apa yang ditetapkan oleh Allah SWT tersebut, bukanlah merupakan suatu pernyataan-Nya tentang adanya perbedaan derajat laki-laki dan perempuan. Allah hanya ingin mengingatkan kepada kita, bahwa sesungguhnya kaum laki-laki memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam kehidupan keluarga dibandingkan dengan perempuan. Sebab jika seorang laki-laki  ingin menikahi seorang perempuan haruslah memberikan mahar atau mas kawin bagi calon isterinya. Setelah itu iapun dituntut  bertanggung jawab penuh untuk memberikan nafkah kepada keluarganya.  Jadi dalam hal ini pada akhirnya apa yang diterimanya sebagai warisan bisa saja menjadi berkurang, bahkan mungkin habis sama sekali untuk keperluan tersebut. Sebaliknya seorang perempuan tidaklah demikian. Sementara ia tidak memiliki pengeluaran yang berarti, maka tentu saja warisan yang diterimanya akan tetap utuh. Bahkan bisa bertambah dengan adanya mas kawin atau nafkah yang diberikan suami kepadanya. Jadi dengan demikian sudah sewajarnyalah seorang laki-laki memperoleh bagian yang lebih besar dari seorang perempuan.
                Selanjutnya di luar kasus yang disebutkan di atas, maka sebenarnya tidak ada satupun keterangan Al-Quran  yang dapat kita jadikan sebagai “justifikasi” atau landasan hukum untuk melakukan praktek diskriminasi terhadap kaum perempuan.  Bahkan sebaliknya Allah telah memberikan kesempatan dan derajat serta tanggung jawab yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk berbuat kebajikan dan amal saleh sebagaimana yang dinyatakan Allah dengan firman-Nya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S.At-Taubah: 71)
Ajaran Islam menetapkan, bahwa baik laki-laki maupun perempuan tetap mendapat balasan dan perlakuan yang sama dari Allah SWT atas apa yang mereka perbuat: “Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki mau-pun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (Q.S.An-Nisaa’:124)
                “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ke-taatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Q.S.Al-Ahzab: 35)
Bahkan boleh jadi pada saatnya seorang perempuan memiliki kedudukan yang lebih dekat kepada Allah daripada seorang laki-laki sebagaimana yang tersirat dalam firman Allah: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S.Al-Hujuraat: 13)
Jadi kalau sampai saat ini ada sebahagian kaum laki-laki yang masih memandang rendah kedudukan seorang perempuan dalam tatanan kehidupan masyarakatnya, maka hal itu bukanlah lantaran Islam (Al-Quran) yang mengajar kannya. Akan tetapi bisa saja hal itu lantaran ia belum memahami sepenuhnya apa yang diajarkan oleh Al-Quran (Allah dan Rasul-Nya), atau disisi lain adanya pengaruh adat istiadat negeri atau kaumnya, yang sejak dulu memang memandang rendah kedudukan perempuan dalam kehidupan mereka.  Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 21 Rajab 1439 H / 7 April  2018.

No comments:

Post a Comment

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.