CERITA TENTANG “KERA”
oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================
Cerita tentang “Kera” atau yang adakalanya
kita juga menyebutnya “Monyet atau Beruk” lantaran bentuknya yang tidak jauh
berbeda, maka salah satunya adalah
sebagaimana yang Allah jelaskan di dalam Al-Qur’an tentang sekelompok
orang-orang dari Bani Israil yang melanggar ketentuan yang Allah tetapkan untuk
mereka.
Al-Qur’an menjelaskan, bahwa Allah
telah menetapkan satu ketentuan bagi Bani Israil untuk beribadah pada hari
Sabtu dengan meninggalkan segala aktifitas duniawi mereka. Akan tetapi
sebahagian dari orang-orang Bani Israil itu melanggar ketetapan Allah tersebut
dengan tetap melakukan aktifitas mereka sehari-hari (dalam riwayat disebutkan
mereka adalah para nelayan), sehingga pada akhirnya Allah melaknat atau
mengutuk mereka menjadi “Kera”. Hal ini dijelaskan Allah dengan Firman-Nya:
“Dan sesungguhnya telah kamu ketahui
orang-orang yang melanggar di antaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman
kepada mereka: “Jadilah kamu kera yang hina”. (Q.S. Al-Baqarah: 65)
Dan
kisah itu Allah nukilkan di dalam Kitab-Nya agar dapat dijadikan sebagai
pelajaran; khususnya orang-orang yang beriman
di sepanjang masa kehidupan mereka yang Allah tegaskan dengan Firman-Nya:
“Maka Kami jadikan yang demikian itu
peringatan bagi orang-orang di masa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian,
serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah: 66)
Beberapa
mufassirin (ulama tafsir) menjelaskan; Bahwa mereka yang dilaknat Allah
tersebut benar-benar menjadi kera, akan tetapi 3(tiga) hari kemudian mereka
semuanya mati.
Sementara
itu berbicara tentang ayat 65-66 Surah Al-Baqarah tersebut, Syaikh Abdullah
Al-Ghazali menyatakan: Bahwa walaupun orang-orang yang dilaknat Allah menjadi
kera tersebut mati dalam tempo yang singkat. Akan tetapi “sifat-sifat” kera
tersebut masih tetap ada dan melekat pada diri orang-orang yang suka melanggar
ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala sebagaimana yang terlihat
dalam fenomena kehidupan yang terus berjalan sampai saat ini. Dan berkaitan dengan kondisi itu, maka Syaikh
Abdullah Al-Ghazali membagi orang-orang yang memiliki sifat atau prilaku “Kera”
tersebut menjadi 2(dua) bagian:
Pertama:
Orang yang benar-benar melanggar perintah dan ketetapan Allah; atau dengan kata
lain sama sekali tidak peduli dengan perintah dan larangan Allah. Menurut
Al-Ghazali, mereka yang masuk dalam kelompok ini pada lahiriahnya memang
berbentuk manusia, tapi pada hakikatnya mereka adalah Kera yang liar, bahkan
kedudukannya lebih rendah lagi dari Kera-Kera liar yang sesungguhnya
sebagaimana yang disindir Allah dengan Firman-Nya:
“Dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai.” (Q.S. Al-A’raf: 179)
Yang kedua: Orang yang tidak bisa
melepaskan dirinya dari perbuatan maksiat, walaupun di sisi lain dia ta’at
melaksanakan apa yang Allah perintahkan.
Orang-orang semacam ini memiliki naluri yang sama halnya dengan Kera-Kera
yang sudah dijinakkan seperti Kera Sirkus; Topeng Monyet yang patuh
melaksanakan apa yang diperintahkan oleh “majikannya”. Akan tetapi sifat atau
watak “kebinatangannya” masih tetap mempengaruhi sikapnya.
Hal ini menurut Al-Ghazali bisa kita
saksikan dari apa yang ada di sekitar kita; bahkan mungkin saja kita termasuk
dalam kelompok ini,. Sebab sebagaimana yang dapat kita saksikan dengan kasat
mata, bahwa banyak yang ta’at dan rajin melaksanakan perintah Allah, akan
tetapi masih saja melakukaan kemungkaran-kemungkaran seperti korupsi atau
mengambil hak orang lain untuk kepentingan diri sendiri; zalim kepada yang
lemah; menggunakan jabatan dan kekuasaan untuk kepentingan diri, keluarga dan
kelompoknya sendiri dan bentuk-bentuk kemaksiatan lainnya. Sehingga pada akhirnya keta’atan
mereka kepada Allah bisa jadi hanyalah sebagai topeng belaka sebagaimana yang
tersurat dan tersirat dalam Firman Allah:
“Sesungguhnya
orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka.
Dan apabila mereka berdiri untuk
shalat mereka berdiri dengan
malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah
mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (Q.S. An-Nisaa’: 142)
Semoga
cerita ini menjadi pelajaran yang sangat berharga untuk kita. Wallahua’lam.
Bagansiapiapi, 10
Rajab 1439 H / 27 Maret 2018.
No comments:
Post a Comment