Wednesday 28 March 2018

CERITA TENTANG “KERA”



CERITA TENTANG “KERA”
oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================
             Cerita tentang “Kera” atau yang adakalanya kita juga menyebutnya “Monyet atau Beruk” lantaran bentuknya yang tidak jauh berbeda,  maka salah satunya adalah sebagaimana yang Allah jelaskan di dalam Al-Qur’an tentang sekelompok orang-orang dari Bani Israil yang melanggar ketentuan yang Allah tetapkan untuk mereka. 

             Al-Qur’an menjelaskan, bahwa Allah telah menetapkan satu ketentuan bagi Bani Israil untuk beribadah pada hari Sabtu dengan meninggalkan segala aktifitas duniawi mereka. Akan tetapi sebahagian dari orang-orang Bani Israil itu melanggar ketetapan Allah tersebut dengan tetap melakukan aktifitas mereka sehari-hari (dalam riwayat disebutkan mereka adalah para nelayan), sehingga pada akhirnya Allah melaknat atau mengutuk mereka menjadi “Kera”. Hal ini dijelaskan Allah dengan Firman-Nya:

             Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar di antaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka: “Jadilah kamu kera yang hina”.  (Q.S. Al-Baqarah: 65)

             Dan kisah itu Allah nukilkan di dalam Kitab-Nya agar dapat dijadikan sebagai pelajaran;  khususnya orang-orang yang beriman di sepanjang masa kehidupan mereka yang Allah tegaskan dengan Firman-Nya:

             “Maka Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang di masa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.”  (Q.S. Al-Baqarah: 66)

             Beberapa mufassirin (ulama tafsir) menjelaskan; Bahwa mereka yang dilaknat Allah tersebut benar-benar menjadi kera, akan tetapi 3(tiga) hari kemudian mereka semuanya mati.
            
             Sementara itu berbicara tentang ayat 65-66 Surah Al-Baqarah tersebut, Syaikh Abdullah Al-Ghazali menyatakan: Bahwa walaupun orang-orang yang dilaknat Allah menjadi kera tersebut mati dalam tempo yang singkat. Akan tetapi “sifat-sifat” kera tersebut masih tetap ada dan melekat pada diri orang-orang yang suka melanggar ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala sebagaimana yang terlihat dalam fenomena kehidupan yang terus berjalan sampai saat ini.  Dan berkaitan dengan kondisi itu, maka Syaikh Abdullah Al-Ghazali membagi orang-orang yang memiliki sifat atau prilaku “Kera” tersebut menjadi 2(dua) bagian:

             Pertama: Orang yang benar-benar melanggar perintah dan ketetapan Allah; atau dengan kata lain sama sekali tidak peduli dengan perintah dan larangan Allah. Menurut Al-Ghazali, mereka yang masuk dalam kelompok ini pada lahiriahnya memang berbentuk manusia, tapi pada hakikatnya mereka adalah Kera yang liar, bahkan kedudukannya lebih rendah lagi dari Kera-Kera liar yang sesungguhnya sebagaimana yang disindir Allah dengan Firman-Nya:

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.  Mereka itulah orang-orang yang lalai.”  (Q.S. Al-A’raf: 179)

Yang kedua: Orang yang tidak bisa melepaskan dirinya dari perbuatan maksiat, walaupun di sisi lain dia ta’at melaksanakan apa yang Allah perintahkan.  Orang-orang semacam ini memiliki naluri yang sama halnya dengan Kera-Kera yang sudah dijinakkan seperti Kera Sirkus; Topeng Monyet yang patuh melaksanakan apa yang diperintahkan oleh “majikannya”. Akan tetapi sifat atau watak “kebinatangannya” masih tetap mempengaruhi sikapnya.
Hal ini menurut Al-Ghazali bisa kita saksikan dari apa yang ada di sekitar kita; bahkan mungkin saja kita termasuk dalam kelompok ini,. Sebab sebagaimana yang dapat kita saksikan dengan kasat mata, bahwa banyak yang ta’at dan rajin melaksanakan perintah Allah, akan tetapi masih saja melakukaan kemungkaran-kemungkaran seperti korupsi atau mengambil hak orang lain untuk kepentingan diri sendiri; zalim kepada yang lemah; menggunakan jabatan dan kekuasaan untuk kepentingan diri, keluarga dan kelompoknya sendiri dan bentuk-bentuk kemaksiatan  lainnya. Sehingga pada akhirnya keta’atan mereka kepada Allah bisa jadi hanyalah sebagai topeng belaka sebagaimana yang tersurat dan tersirat dalam Firman Allah:

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”  (Q.S. An-Nisaa’: 142)

 Semoga cerita ini menjadi pelajaran yang sangat berharga untuk kita. Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 10 Rajab 1439 H / 27  Maret 2018.

No comments:

Post a Comment

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.