Friday 23 March 2018

AMANAH DARI LANGIT



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================
Sa’at ini kita kembali berada dalam bulan “Rajab” salah satu dari empat bulan yang dimuliakan Allah. Dan salah satu keistimewaan bulan Rajab adalah terjadinya peristiwa Isra’ dan Mi’rajnya Rasulullah SAW, dimana dalam peristiwa itulah beliau menerima perintah “sholat” tatkala di “Sidratul Muntaha” beliau bertemu langsung dengan Allah. Dan oleh sebab itulah sebahagian ulama menyebutkan, bahwa sholat tersebut sebagai “amanah dari langit”. Satu sebutan yang menggambarkan akan betapa  penting dan agungnya “sholat” sebagai ibadah yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang yang mengaku beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Sehingga karena begitu penting dan utamanya ibadah tersebut, maka adalah sholat ibadah yang pertama kali yang akan dihisab Allah sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW dalam hadis beliau: “Amalan hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat nanti adalah sholat. Apabila sholatnya baik tentu seluruh amalannya yang lain pun baik; akan tetapi bila sholatnya jelek maka seluruh amalannya pun tentu jelek.”  (HR.Ath-Thabarani dari Anas bin Malik r.a)

            Keutamaan dan begitu pentingnya sholat juga terlihat dari sifat dan syaratnya yang berbeda dengan kewajiban ibadah lainnya yang Allah perintahkan kepada orang-orang yang beriman kepada-Nya. Bahwa sholat wajib ditunaikan oleh semua orang beriman; Baik yang kaya ataupun miskin, yang sehat ataupun yang sakit, yang berdiam di satu tempat atau negeri maupun yang sedang berada dalam perjalanan serta dengan kemudahan-kemudahan lain dalam sholat sebagaimana yang telah ditetapkan Allah melalui Rasul-Nya; Muhammad SAW.  Berbeda dengan “zakat” hanya diperintahkan kepada  yang memiliki kelebihan harta. “Puasa” memiliki keringanan dan kemudahan bagi yang sakit dengan adanya “fidyah” atau pengganti puasa bagi yang tidak mampu mengerjakannya. Sementara “haji” juga khusus diberlakukan bagi mereka yang mampu, sehat dan memiliki kesempatan untuk melaksanakannya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Akan tetapi “sholat”  sebagai kewajiban pokok dan utama, “wajib”  dilaksanakan oleh semua orang-orang yang beriman dalam situasi dan kondisi apapun, selama yang bersangkutan masih diberi kemampuan oleh Allah untuk berkomunikasi atau mengingat Allah dengan hati dan pikirannya (yang waras) sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalamFirman Allah Ta’ala di dalam Kitab-Nya:             “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku; maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (Q.S. Thaa-haa: 14)

             Dikatakan oleh Syaikh Abdullah Al-Ghazali; Bahwa makna ayat tersebut sangatlah jelas, yakni seseorang yang masih waras ingatannya dituntut untuk senantiasa mendirikan sholat, baik dalam kondisi lahiriah yang sehat maupun dalam kedaan sakit payah dan hanya bisa melaksanakan sholat dengan isyarat dan pikirannya. Sekalipun tidak lagi mampu untuk bangun membersihkan dirinya dengan cara mandi; wudhuk ataupun bertayammum. Artinya, syarat dan rukun sholat yang ada tidak lagi menjadi satu keharusan baginya.

             Begitu pentingnya ibadah sholat dalam kehidupan seorang “mukmin”, tapi dalam kenyataan yang ada masih banyak yang dengan begitu mudah dan mengabaikannya. Padahal sholat bukan hanya sekadar ritual atau ibadah untuk menyembah Allah saja sebagaimana yang telah difirmankan Allah pada ayat 14 Surah Tha-ha di atas. Akan tetapi sholat adalah ibadah yang multi  fungsi, yang memberikan banyak manfaat bagi seseorang dalam menjalani kehidupan duniawinya dan sekaligus akan mengantarkannya kepada kebahagiaan akhirat yang hakiki. Dan hal itu secara implisit Allah nyatakan melalui Firman-Nya: “ Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) salat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”  (Q.S.Al-Baqarah: 153)

             Namun demikian tentu saja hal ini baru dapat dirasakan manfaatnya oleh orang-orang yang mengerjakan atau mendirikan sholatnya dengan “khusyuk” sebagaimana yang Allah tegaskan dalam Firman-Nya yang lain: “Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) salat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.”. (Q.S.Al-Baqarah: 45)

            Sedangkan makna “khusyuk” tersebut secara umum adalah, selain dari sholat didirikan atau dikerjakan sesuai dengan syarat dan rukun serta tuntunan Rasulullah SAW. Diantaranya, ikhlas; thuma’ninah; tepat waktu; bersih (bagi yang sehat jasmaniahnya) dan hal-hal lainnya, maka yang leibih utama adalah; Bahwa ketika sholat segenap pikiran dan hati hendakah tetap fokus mengingat Allah sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam Firman Allah dalam Surah Tha-ha ayat 14 yang telah dipetik di awal tulisan ini: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku; maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (Q.S. Thaa-haa: 14)
                Selain itu menurut Syaikh Abdullah Al-Ghazali, khusyuknya sholat seseorang tercermin pula dalam prilakunya sehari-hari; Bahwa sholat yang didirikannya memang berhasil mencegah dirinya dari perbuatan keji dan mungkar sebagaimana yang dikehendaki Allah dengan Firman-Nya: Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah salat.  Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain).  Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Ankabut: 45)

             Akan tetapi dalam kenyataannya banyak di antara kita yang tidak mampu sholat dengan khusyuk karena berbagai faktor yang sebenarnya bisa diatasi, jika kita memang mau menyadari dan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang kita lakukan selama ini dalam melaksanakan sholat yang diperintahkan Allah tersebut.  Menurut Syaikh Abdullah Al-Ghazali beberapa kesalahan yang dilakukan sehingga menjadikan sholat tidak khusyuk adalah:

                Pertama: Belum menjadikan sholat sebagai tugas pokok kehidupan. Artinya adalah, banyak yang masih menjadikan sholat sebagai “aktifitas selingan” di antara kesibukan-kesibukan duniawinya. Padahal sholat adalah salah satu kewajiban pokok yang berkaitan dengan risalah atau hakikat penciptaan manusia sebagaimana yang ditegaskan Allah dengan Firman-Nya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat: 56)
                Kedua: Berkaitan dengan kondisi yang disebutkan pada item pertama di atas, maka ada juga yang menjadikan sholat sebagai sarana dan prasarana diri tatkala berada dalam kesulitan. Artinya hanya sebatas memohon pertolongan ketika membutuhkan bantuan Allah sebagaimana yang disindir Allah dengan Firman-Nya: “Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdo’a kepada Kami dalam keadaan berbaring; duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, maka dia kembali melalui jalannya yang sesat, seolah-olah dia tidak pernah berdo’a kepada Kami untuk menghilangkan bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu selalu meman-dang baik apa yang mereka kerjakan.”  (Q.S. Yunus: 12)

             Ketiga: Sholat   didirikan atau dikerjakan menurut selera dan kepentingannya sendiri. Dalam hal ini tanpa adanya situasi dan kondisi darurat yang dibenarkan oleh hukum (syari’at) agama, sholat dikerjakan tidak tepat waktu; enggan berjama’ah; tidak thuma’ninah dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan aturan, syarat dan rukun sholat yang telah ditetapkan Allah melalui Rasul-Nya.

            Ke-empat: Beranggapan bahwa sholat hanyalah aktifitas “hablum-minallah” (hubungan diri sendiri dengan Allah) yang tidak ada kaitannya dengan “hablum-minannaas” (hubungan dengan sesama makhluk; khususnya dengan sesama manusia). Padahal secara jelas Allah telah menerangkan dengan Firman-Nya: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat; yakni orang yang lalai dari sholatnya; (yakni)  orang-orang yang berbuat riya (dengan sholatnya) dan enggan menolong (orang lain) dengan barang yang berguna.”  (Q.S. Al Ma’uun: 4–7)

            Sementara dalam satu hadits qudsi Allah berfirman:      “Sesungguhnya Aku hanya menerima shalat dari orang yang melakukannya dengan tawadhu’ (merendahkan diri) karena  keagungan-Ku;  dan tidak  memanjangkan  lidahnya (mengumpat dan mencerca) atas makhluk-Ku; dan ia tidak melakukan atau berbuat maksiat dan kedurhakaan kepada-Ku; ia telah menghabiskan siangnya untuk mengingat-Ku; dan ia selalu mengasihani orang-orang miskin; perantau yang kehabisan bekal; janda-janda miskin yang membutuhkan pertolongan; mengasihani orang yang kemalangan. Itulah sinar cahanya dari perbuatan orang-orang yang shalih, bagaikan cahaya matahari. Aku lindungi dirinya demi kebesaran-Ku dan Aku perintahkan para malaikat menjaganya; Aku jadikan baginya dalam gelap gulita cahaya yang terang benderang; dan dalam kebodohannya rasa lapang dada; bandingannya di antara makhluk-Ku adalah laksana surga firdaus di dalam surga..”  (HQR. Al-Bazzar dari Abdullah bin Waqid Al-Harrani r.a)

                Inilah beberapa hal yang patut kita perhatikan dalam upaya mendirikan sholat dengan khusyuk, sehingga pada akhirnya sholat yang kita dirikan tidak menjadi sia-sia adanya, dengan kata lain mampu menghindarkan kita dari perbuatan keji dan mungkar sebagaimana yang dikehendaki Allah dalam Firman-Nya: Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur'an) dan dirikanlah shalat.  Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain).  Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”  Q.S. Al-Ankabut: 45) – Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 6 Rajab 1439 H / 23  Maret 2018.

No comments:

Post a Comment

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.