Friday 12 September 2014

ZUHUD: “bukan berarti miskin” (1)



oleh:KH.Bachtiar Ahmad
=====================

Tugas pokok dan misi para Nabi dan Rasul yang diutus Allah kepada manusia  adalah untuk menyampaikan dan menjelaskan prinsip-prinsip akidah; ibadah; akhlaqul kariimah dan muamalah; baik dalam lingkup perorangan maupun dalam lingkup kehidupan sosial bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan tujuan, agar manusia bisa menikmati manisnya hidup yang bahagia di dunia dan di akhirat. Hal inilah yang tersirat dalam firman Allah

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al-Qashash: 77)

Sejarah membuktikan, bahwa pada masa awal Islam diserukan; bahkan ketika Rasulullah SAW hidup ditengah-tengah umat;  sedikitpun beliau tidak melarang para sahabat untuk berhenti dari aktifitas mencari harta dan kekayaan. Beliau hanya mengingatkan tentang bahayanya tipuan dunia; bahayanya  harta yang dapat melemahkan iman, jika salah dalam memanfaatkannya dan mencarinya. Sebab bagaimanapun juga, harta juga memiliki kekuatan untuk menegakkan dan mensyiarkan “kalimatullah”  dan menyelamatkan umat dari hal-hal yang tidak di-inginkan dari himpitan dan tekanan kemiskinan. Dan kenyataannya, dengan bantuan finansial (harta benda) yang disumbangkan oleh para sahabat Rasulullah SAW yang kaya raya itulah, selama berabad-abad “Islam” menjadi besar; dihormati dan disegani oleh mush-musuhnya.

Sejarah juga membuktikan; bahwa banyak para ulama terdahulu; yang pada masa-masa akhir kehidupan mereka lebih fokus pada masalah akhirat, sebelumnya adalah orang-orang kaya dan pedagang-pedagang yang sukses dalam kehidupan dunianya, yang pada akhirnya juga rela menghibahkan harta mereka untuk kepentingan umat, seperti Imam Al-Ghazali; Fariduddin Al-Atthar (pedagang minyak wangi yang salah satu produknya tetep disebut sampai kini sebagai minyak wangi Atthar); Al-Qusyairi; Ibrahim bin Adham; Dzun-nun Al-Misry dan lain sebagainya. Bahkan salah seorang cicit Rasulullah SAW, Sayyidina Ja’far As-Shadiq r.a dikenal sebagai orang yang “perlente” dan memiliki harta yang cukup banyak. Dalam hal ini Ja’far As-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husin binti Fathimah binti Rasulullah SAW berkata:

Hidup zuhud bukanlah berarti membiarkan  dirimu hidup dalam keadaan fakir; sebab hal itu bertentangan dengan firman Allah SWT: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan duniawi.” (QS.Al-Qashash: 77)  Hakikat zuhud yang sesungguhnya adalah bagaimana engkau mengendalikan dunia dan harta yang diberikan kepadamu untak kepentingan agama Allah.

Akan tetapi sangat disayangkan, bahwa dalam abad-abad berikutnya, lantaran banyaknya “hadis-hadis” tentang hidup zuhud yang diolah dan dipelintir sedemikian rupa oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab, maka banyaklah umat ini yang merasa takut dan alergi dengan dunia dan kewajiban mereka berusaha untuk mencari harta benda dan kenikmatan dunia yang telah disediakan Allah untuk mereka nikmati. (bersambung) --- Wallahua’lam.

Jakarta,   17 Dzulqaidah 1435 H / 12 September  2014
KH.BACHTIAR AHMAD

No comments:

Post a Comment

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.