oleh:KH.Bachtiar
Ahmad
=====================
Tugas pokok dan misi para Nabi dan Rasul yang diutus
Allah kepada manusia adalah untuk
menyampaikan dan menjelaskan prinsip-prinsip akidah; ibadah; akhlaqul kariimah
dan muamalah; baik dalam lingkup perorangan maupun dalam lingkup kehidupan
sosial bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan tujuan, agar manusia bisa
menikmati manisnya hidup yang bahagia di dunia dan di akhirat. Hal inilah yang
tersirat dalam firman Allah
“Dan carilah pada
apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al-Qashash:
77)
Sejarah membuktikan, bahwa pada masa awal Islam
diserukan; bahkan ketika Rasulullah SAW hidup ditengah-tengah umat; sedikitpun beliau tidak melarang para sahabat
untuk berhenti dari aktifitas mencari harta dan kekayaan. Beliau hanya
mengingatkan tentang bahayanya tipuan dunia; bahayanya harta yang dapat melemahkan iman, jika salah
dalam memanfaatkannya dan mencarinya. Sebab bagaimanapun juga, harta juga
memiliki kekuatan untuk menegakkan dan mensyiarkan “kalimatullah” dan
menyelamatkan umat dari hal-hal yang tidak di-inginkan dari himpitan dan
tekanan kemiskinan. Dan kenyataannya, dengan bantuan finansial (harta benda)
yang disumbangkan oleh para sahabat Rasulullah SAW yang kaya raya itulah,
selama berabad-abad “Islam”
menjadi besar; dihormati dan disegani oleh mush-musuhnya.
Sejarah juga membuktikan; bahwa banyak para ulama
terdahulu; yang pada masa-masa akhir kehidupan mereka lebih fokus pada masalah
akhirat, sebelumnya adalah orang-orang kaya dan pedagang-pedagang yang sukses
dalam kehidupan dunianya, yang pada akhirnya juga rela menghibahkan harta
mereka untuk kepentingan umat, seperti Imam Al-Ghazali; Fariduddin Al-Atthar
(pedagang minyak wangi yang salah satu produknya tetep disebut sampai kini
sebagai minyak wangi Atthar); Al-Qusyairi; Ibrahim bin Adham; Dzun-nun Al-Misry
dan lain sebagainya. Bahkan salah seorang cicit Rasulullah SAW, Sayyidina Ja’far As-Shadiq r.a
dikenal sebagai orang yang “perlente”
dan memiliki harta yang cukup banyak. Dalam hal ini Ja’far As-Shadiq bin
Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husin binti Fathimah binti
Rasulullah SAW berkata:
Hidup zuhud bukanlah berarti
membiarkan dirimu hidup dalam keadaan
fakir; sebab hal itu bertentangan dengan firman Allah SWT: “Dan carilah pada
apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan duniawi.” (QS.Al-Qashash:
77) Hakikat zuhud yang sesungguhnya
adalah bagaimana engkau mengendalikan dunia dan harta yang diberikan kepadamu
untak kepentingan agama Allah.
Akan
tetapi sangat disayangkan, bahwa dalam abad-abad berikutnya, lantaran banyaknya
“hadis-hadis” tentang
hidup zuhud yang diolah dan dipelintir sedemikian rupa oleh orang-orang yang
tak bertanggung jawab, maka banyaklah umat ini yang merasa takut dan alergi
dengan dunia dan kewajiban mereka berusaha untuk mencari harta benda dan
kenikmatan dunia yang telah disediakan Allah untuk mereka nikmati. (bersambung)
--- Wallahua’lam.
Jakarta, 17 Dzulqaidah 1435 H / 12 September 2014
KH.BACHTIAR
AHMAD
No comments:
Post a Comment