oleh: KH.BACHTIAR
AHMAD
========================
Usai
menunaikan ibadah haji, Khalifah Harun
Al-Rasyid didampingi salah seorang penasihatnya Al-Fadhal bin
Rabi’ berkunjung kepada “syaikhul Islam” Al-Fudhail bin Iyadh (semoga Allah
merahmati beliau) untuk meminta nasihat.
Selanjutnya Al-Fadhal menuturkan sebagai berikut:
“Kami datang kepada Fudhail dan ketika itu beliau
sedang membaca ayat-ayat suci Al-Quran di kamar atas kediamannya. Dan setelah
kami menyampaikan salam dan diperkenankannya masuk, maka Fudhail turun ke
lantai bawah dimana kami sedang menunggu. Akan tetapi ia berdiri di salah satu
sudut dan langsung mematikan lampu yang ada di tangannya. Dan dalam keadaan
samar-samar itulah Harun masuk dan
berjalan meraba-raba mencari Al Fudhail, dan apabila Harun berhasil berjabatan
dengannya, maka seketika kudengar Fudhail berkata: “Aduhai,
tak pernah kurasakan kulit tangan yang
sehalus ini. Dan alangkah bahagianya jika tangan yang semacam ini selamat dari
api neraka.”
Beberapa sa’at kemudian kudengar Harun terisak-isak
menangis, dan setelah agak reda dan bisa menguasai dirinya ia berkata kepada
Al-Fudhail: “Wahai Fudhail, berilah aku
nasihat.”
Maka berkatalah Al-Fudhail: “Wahai orang yang dipanggil dengan sebutan amirul mukminin, sesungguhnya
pada masa dahulu, datukmu Abbas bin AbdulMuthalib; paman dari Rasulullah SAW
pernah meminta agar diberi jabatan dan kekuasaan kepada kemenakannya yang
dimuliakan Allah tersebut. Dan Rasulullah pun berkata: “Wahai pamanku, aku akan
memberimu kekuasaan selama satu masa atas dirimu sendiri, yaitu pada masa
keta’atanmu kepada Allah. Masa itu jauh lebih baik dari masa seribu tahun
keta’atan orang kepada dirimu. Karena kekuasaan itu akan membawa penyesalan
pada hari Kiamat.”
Sesa’at aku menikmati keheningan dan kudengar Harun
berkata lagi: “Teruskanlah nasihatmu,
wahai hamba Allah yang kuhormati.”
Maka akupun mendengar Fudhail bicara lagi: “beberapa sa’at setelah diangkat dan
dilantik sebagai khalifah dan amirul Mukminin, maka Umar bin Abdul ‘Aziz (memerintah
pada tahun 99 H / 717 M- 101 H / 720
M) maka diapun memanggil
sahabat-sahabatnya Salimbin Abdullah; Raja’ bin Hayadh dan Muhammad bin Ka’ab
al-Kurazi; kepada mereka Umar berkata: “Kekhalifahan atau jabatan ini adalah
suatu kesulitan, lalu apa yang harus kulakukan dalam kesulitan ini.” Maka
salah satu dari ketiga orang tersebut berkata: “Jika kelak engkau hendak selamat dari hukuman Tuhan ketika engkau
memegang kekuasaan, maka pandanglah orang muslim yang lebih tua sebagai orang
tuamu; yang muda sebagai saudaramu dan
anak-anak mereka sebagai anak-anakmu juga. Jadikanlah seluruh kawasan yang
engkau perintah sebagai
rumahmu dan seluruh
penduduknya sebagai ahli keluargamu. Kunjungi orang tuamu;
sayangi saudaramu dan kasihilah anak- anakmu. Berikanlah hak mereka sesuai dengan bagian
mereka tanpa kau kurangi dan lebihkan antara satu dengan yang lain.”
Kemudian setelah agak hening sejenak,maka kudengar lagi
Fudhail berkata: “Wahai amirul mukminin, aku
khawatir wajahmu yang tampan akan membawamu ke dalam api neraka. Karenanya
bertakwalah kepada Allah dan laksanakan kewajiban-kewajibanmu jauh lebih baik
dari pada hari yang lalu dan hari ini.”
Beberapa sa’at
kemudian kudengar Harun Al-Rasyid bertanya kepada Fudhail: “Apakah
engkau mempunyai hutang wahai Fudhail.”
Maka dengan spontan Fudhailmenjawab: “Ya,hutangku kepada Allah
sangatlah banyak dan berhingga, maka celakalah aku jika tak mampu melunasinya.
Oleh sebab itu setiap kali ia memanggilku untuk membayar hutang-hutangku, aku berupaya
untuk membayarnya dengan sebaik mungkin dan sebatas mampuku.”
Lalu kudengar sang khalifah menyela: “Bukan itu yang
kumaksudkan wahai saudaraku, tapi hutang kepada sesama manusialah yang
kumaksudkan.” Al-Fudhail menjawab: “Alhamdulillah,
segala puji bagi Allah; Dia telah menolongku dengan segala kemurahan-Nya,
sehingga aku tak punya alasan untuk mengadukan dan mengeluhkan kesulitan
hidupku kepada sesama makhluk dan hamba-hamba-Nya.”
Selanjutnya kudengar Harun Al-Rasyid ingin memberikan uamg
sejumlah seribu dinar kepada Al-Fudhail, lalu Al-Fudhail berkata dengan nada
agak marah: “Wahai Amirul Mukminin, ternyata nasihatku tidak membawa
kebaikan bagi dirimu. Kau ingin menjerumuskan aku ke dalamneraka dengan
menerima pemberianmu, padahal engkau sendiri tidak tahu apakah uang itu
benar-benar menjadi hak milikmu atau masih bercampur dengan hak orang lain.
Disini engkau nampak berlaku tidak adil kepadaku. Kau ingin selamat dan meminta
nasihatku; Tapi disisi yang lain kau berusaha membayarku dengan sesuatu yang
belum jelas halal dan haramnya.”
Mendengar itu Harun Al-Rasyid meminta ma’af kepada
Al-Fudhail dan kemudian kamipun keluar dari kediaman sang sufi. Wallahua’lam.
(dinukil dan diedit kembali dari KISAH-KISAH SUFISTIK)
Jakarta,
02 Sya’ban 1433 H /
22 Juni 2012
KH.BACHTIAR AHMAD
maa syaa alloooh,luar biasa...
ReplyDelete