oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
=====================
=====================
“Dan nikahkanlah
orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak menikah
dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi
Maha Mengetahui.” (Q.S. An-Nuur: 32)
Jadi bukan hanya sekadar “sunnah Nabi SAW” sebagaimana yang ditafsirkan orang dari sabda Rasulullah SAW dalam satu hadits yang diriwayatkan dari
Abdullah bin Mas’ud r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Hai kaum pemuda,
apabila di antara kalian kuasa untuk nikah (berumah tangga), maka hendaklah ia
nikah. Sebab pernikahan lebih kuasa untuk menjaga mata dan kemaluan; Maka
barangsiapa yang tidak kuasa hendaklah ia puasa, sebab puasa itu penjaga
baginya.” (Muttafaq ‘alaihi)
Syaikh Abdullah Al-Ghazali juga menjelaskan bahwa, masalah
wajibnya menikah atau kawin sebagaimana yang diperintahkan Allah tersebut
terletak pada urgensinya sebuah pernikahan dari segi manfaat dan
kemaslahatannya; baik bagi orang yang nikah maupun bagi kepentingan masyarakat
banyak, terutama dalam hal mecegah terjadinya dan berkembangnya perbuatan zina
sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan janganlah
kalian mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang kej;
Dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S Al-Israa’: 32)
Sehingga dengan kondisi ini yang demikia inilah kewajiban
itu tidak hanya ditunaikan oleh orang-orang yang sudah sanggup menikah, akan
tetapi juga bagi orang-orang yang memiliki kemampuan finansial atau yang berharta
banyak untuk membantu menikahkan ahli keluarga dan budak-budak yang mereka
miliki, jika mereka memang sudah layak untuk menikah atau dinikahkan
sebagaimana yang diperintahkan oleh ayat
32 surah An-Nuur di atas.
“Masalah nikah” di masa sekarang ini tentunya
harus mendapat perhatian yang lebih besar dari kita semua. Sebab dalam era
globalisasi dan perkembangan teknologi
dunia yang semakin canggih, banyak hal dan peluang yang dapat mendorong
seseorang untuk melakukan perzinahan. Karenanya jika kita memang punya
kemampuan untuk “menikahkan” sebagaimana yang diperintahkan Allah di dalam
firman-Nya tersebut, maka alangkah baiknya jika hal itu kita laksanakan sebagai
upaya untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Sebab tak sedikit di antara kita yang entah
disadari atau tidak telah menjadi penghambat dari pelaksanaan sunnatullah
tersebut. Terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan masalah adat istiadat dan gengsi
diri.
Dalam kehidupan masyarakat kita sekarang ini, yang menjadi
hambatan terparah dari kemungkinan dapat dilaksanakannya sebuah pernikahan
adalah adanya pandangan atau adat
istiadat yang memandang “kesakralan
dan keistimewaan” suatu acara pernikahan secara berlebih-lebihan; apalagi jika
hal itu dikaitkan dengan “marwah keluarga”. Sehingga adakalanya
pernikahan bisa ditunda atau dibatalkan lantaran tidak terpenuhinya
syarat-syarat yang berkaitan dengan persoalan adat dan marwah tersebut. Padahal syariat (hukum agama) tidaklah menetapkan
hal-hal yang demikian; dan Rasulullah SAW sendiri telah memberi contoh terbaik
untuk persoalan ini.
Al-Hakim meriwayatkan dari Sahal bin Sa’ad r.a bahwa : “Sahal bin Sa’ad menyatakan
bahwa; Rasulullah SAW pernah menikahkan seseorang dengan sebuah cincin besi
sebagai mahar (mas kawinnya).”
(HR. Al-Hakim r.a)
(HR. Al-Hakim r.a)
Dan menurut riwayat yang lain, orang yang dimaksudkan Sahal bin Sa’ad
dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hakim tersebut adalah mahar pernikahan
yang diberikan oleh Sayyidina Ali bin Abi
Thalib r.a kepada Fatimah binti
Rasulullah SAW.
Dalam satu hadis lainnya itu Bukhari dan Muslim meriwayatkan pula
dari Anas bin Malik r.a yang berkata:
“Bahwa Rasulullah SAW telah tinggal (berdiam) di antara Khaibar dan Madinah selama tiga malam dan dalam pada itulah beliau menikahi Shafiyah; lalu saya disuruh mengundang kaum muslimin untuk menghadiri walimah (kenduri)nya. Dan pada walimah itu tidak ada roti dan daging dan tidak juga (makanan enak-enak) lainnya, kecuali beliau menyuruh membentangkan tikar kemudian di atasnya disajikan kurma; aqit (jenis lain dari kurma – red) dan samin.” (HR. Muttafaq ‘alaihi)
Selain permasalahan di atas, maka terdapat pula hal-hal yang bersifat pribadi yang dapat menghambat seseorang untuk melaksanakan salah satu “kewajiban” yang sudah ditetapkan Allah tersebut. Diantaranya adalah mereka yang berpikir, bahwa pernikahan akan menghambat karir yang sedang ditapaki. Sehingga mereka lebih suka memilih terlambat menikah demi mengejar karir yang diidam-idamkan. Dan yang paling celaka lagi adalah, adanya orang-orang yang takut menikah atau berkeluarga (khususnya dari kalangan pemuda) dengan alasan; “belum mampu menafkahi anak dan isteri” yang dalam bahasa keseharian kita “belum sanggup ngasi makan anak orang”; satu pendapat yang jelas-jelas keliru dan bertentangan dengan ketentuan dan kekuasaan Allah sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam firman-Nya pada surah An-Nuur ayat 32 di atas.
Syaikh Abdullah Al-Ghazali menyatakan bahwa,
alasan tidak mampu untuk menafkahi keluarga bagi orang yang enggan menikah
adalah sangat tidak dibenarkan oleh syara’. Sebab melalui firman-Nya di atas
Allah sudah memberi jaminan pasti akan adanya rezeki bagi orang-orang yang mau
melaksanakan apa yang telah diperintahkan-nya tersebut. Hanya saja bagi
orang-orang yang sudah menikah tersebut berkewajiban berusaha sesuai dengan
kemampuannya dengan menta’ati Allah dan rasul-Nya.
Disamping hal-hal
yang dikemukakan di atas sebenarnya masih banyak problem lain yang menghambat pernikahan sebagai salah satu sunnatullah. Akan tetapi walaupun
tak dapat diungkapkan, mudah-mudahan yang sedikit ini dapat merubah cara
berpikir dan pandangan kita terhadap masalah pernikahan yang kita anggap
terlalu sulit dan berat untuk dilaksanakan.
Adapun soal “jodoh itu di tangan Tuhan” serahkan saja kepada-NYA.
Yang jelas memang harus ada upaya perbaikan dan perubahan sikap, agar
pernikahan tidak menjadi sesuatu yang sulit dan mahal. Sehingga kita bisa
melaksanakan dengan sebaik-baiknya “perintah Allah dan Sunnah Rasulullah
SAW” tersebut, sebagai bagian dari
upaya “amar ma’ruf nahi mungkar” dalam rangka meningkatkan keimanan dan
ketakwaan yang dimiliki. Wallahua’lam.
Jakarta, 25 Rajab
1433 H / 15 Juni
2012
KH.BACHTIAR AHMAD
No comments:
Post a Comment