oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
========================
Ramadhan yang saat ini tengah kita
jalani akan berakhir. Dan ketika Ramadhan usai tentu ada yang menarik nafas
lega, lantaran tidak lagi merasa terbebani
dengan aturan agama yang mengikat aktifitas mereka sehari-hari.
Sementara disisi lain orang-orang yang benar beriman dengan ikhlas kepada Allah
akan merasa sedih, lantaran harus berpisah dengan “bulan kemuliaan”
yang sarat dengan rahmat dan berkah Allah tersebut. Mereka khawatir, jangan-jangan
tahun yang akan datang mereka tak lagi dapat bertemu dengan Ramadhan.
Akan tetapi lepas dari kondisi
suka atau tidak suka berpisah dengan Ramadhan tahun ini, maka ada satu hal yang
patut kita renungkan dan pertanyakan kepada diri sendiri; Sudahkah kita
berhasil mencapai tujuan Ramadhan sebagai-mana yang diinginkan Allah untuk diri
kita sendiri, yakni menjadi orang yang bertakwa. “Takwa” dalam
arti yang utuh; Baik hablumminalaah maupun hablumminannas-nya.
Atau sekurang-kurangnya ada perubahan yang cukup mendasar dari sikap dan
prilaku sebelum kita menjalani aktifitas
Ramadhan tahun ini, lahiriah maupun bathiniah. Sebab sebagaimana yang
diisyaratkan oleh Rasulullah SAW dalam hadis beliau, bahwa adakalanya (puasa)
Ramadhan yang dilaksanakan seseorang tidak akan memberikan nilai tambah
baginya, selain daripada menahan haus dan lapar berkepanjangan.
Masalah lain yang patut kita renungkan dan sikapi seusai
Ramadhan adalah, agar kita tidak lagi membiarkan diri kita terjebak dalam
perangkap nafsu yang tentunya lebih cenderung untuk melakukan kejahatan
sebagaimana yang di-ingatkan Allah SWT
melalui pernyataan Nabi Yusuf a.s:
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan),
karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu
yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Q.S.
Yusuf: 53)
Sebab bagaimanapun juga tentu telah kita ketahui bersama,
bahwa salah satu tujuan utama dari pelaksanaan kewajiban ibadah puasa Ramadhan
adalah dalam rangka pengendalian hawa nafsu yang kita miliki. Bahkan untuk hal
yang demikian itu, suka tidak suka kita harus menahan diri dari segala sesuatu
yang halal dan yang dibolehkan. Jadi apabila seusai Ramadhan ini kita kembali
mengumbar nafsu dan melakukan sesuatu
secara berlebih-lebihan, sekalipun hal itu tidak dilarang oleh agama,
maka tentu saja upaya dan pembelajaran yang kita laksanakan selama Ramadhan
akan menjadi sia-sia.
Adapun pengendalian nafsu tidak hanya atas hal-hal yang
bersifat material, akan tetapi mencakup sifat dan sikap hidup yang berkaitan
dengan semua aspek “akhlaqul karimah” yang telah kita amalkan selama
bulan Ramadhan.
Mulut atau lidah, mata dan telinga yang selama Ramadhan
dijaga kesuciannya, maka harus lebih dijaga dan diwaspadai dari hal-hal yang
dilarang Allah di bulan-bulan berikutnya. Sebab tantangan yang akan dihadapi
akan jauh lebih besar, lantaran kita tidak lagi terikat pada kaidah-kaidah puasa
sebagaimana halnya di bulan Ramadhan. Dan satu hal yang patut diingat adalah,
bahwa sesungguhnya Allah telah berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan
hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Q.S. Al-Israa’: 36)
Oleh sebab itu tatkala Ramadhan tahun ini usai, maka tentu
saja kita tidak lagi boleh lalai dan kembali terjebak dalam hal-hal yang dapat
mengurangi nilai tambah yang telah kita peroleh melalui ibadah-ibadah Ramadhan
yang kita lalui. Janganlah menodai “fitrah diri” yang insya Allah
telah kita kembalikan kesuciannya yang
telah Allah karuniakan kepada kita melalui berkah dan rahmat Ramadhan.
“Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang mensucikan jiwanya. Dan sesungguhnya merugilah orang-orang
yang mengotorinya.” (Q.S. Asy-Syams: 9-10)
Mudah-mudahan kita tetap menjadi
orang yang beruntung dengan ketakwaan yang ada sekalipun Ramadhan telah
meninggalkan kita. Selamat jalan Ramadhan.
Wallahua’lam.
Jakarta, 28 Ramadhan 1433 H / 16 Agustus
2012.
KH.BACHTIAR AHMAD
No comments:
Post a Comment