oleh: KH.BACHTIAR
AHMAD
=======================
Membicarakan
masalah “qurban” sebagai sesuatu yang diperintahkan Allah SWT sepertinya
kita selalu membatasi diri dalam ruang lingkup “Dzulhijjah” dan “penyembelihan
hewan qurban” saja. Padahal “qurban” sebagai “sarana dan
prasarana” untuk mendekatkan diri kepada Allah, menurut Syaikh Abdullah
Al-Ghazali; berlaku sepanjang hayat
dikandung badan, tidak bersifat temporer sebagaimana yang banyak dipahami
orang. Karena pada hakikatnya apa yang diperintahkan dan yang dilarang Allah SWT tidaklah hanya berlaku untuk waktu-waktu tertentu saja; kendati ada hal-hal yang bersifat khusus untuk perintah dan larangan tersebut.
Sehubungan dengan
firman Allah SWT: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang
banyak; Maka dirikanlah shalat karena
Tuhanmu dan berkorbanlah; Sesungguhnya
orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.” (Q.S. Al-Kautsar: 1-3)
Syaikh Abdullah
Al-Ghazali menerangkan, bahwa makna atau tafsir dari perintah berkorban dalam ayat
2 surah AlKautsar di atas berkaitan erat
dengan perintah Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya,
dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S.
Al-Maaidah: 35)
Artinya adalah, bahwa setiap sa’at orang-orang yang beriman harus siap
berjihad dalam artian selalu siap berkorban dengan apa saja milik dan apa saja
yang ada padanya untuk bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa kepada Allah
sebagaimana yang disebutkan secara umum oleh Allah SWT di dalam firman-NYA: “Orang-orang
yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan
diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah
orang-orang yang mendapat kemenangan.” (Q.S. At-Taubah: 20)
Dan jihad atau pengorbanan yang paling utama itu adalah, menundukkan ego
atau kesenangan nafsu diri demi melaksanakan keta’atan kepada Allah SWT. Dan
hal ini pulalah yang secara tersirat dalam sabda Rasulullah SAW yang
menyatakan, bahwa “jihadul akbar” itu adalah “menundukkan nafsu”
yang ada di dalam diri. Dan kesemuanya itu tercermin dalam riwayat pengorbanan
keluarga Nabiyallah Ibrahim a.s.
Bertahun-tahun Ibrahim a.s memohon kepada Allah agar diberikan seorang
anak. Barulah kemudian setelah Allah menjodohkannya di usia yang cukup lanjut
dengan Hajar, kepada mereka Allah anugerahkan Ismail. Baru saja tumbuh dan
berkembanga kasih sayang dan kecintaan Ibrahim kepada Ismail yang baru lahir,
maka perasaan itu harus dikesampingkan-nya tatkala Allah perintahkan kepadanya
untuk meninggalkan Hajar dan Ismail di lembah kering yang sunyi. Dan atas sikap
Ibrahim ini pula Hajar berkata: “Jika ini yang dikehendaki Allah, pergilah dan
tinggalkanlah kami disini.”
Bertahun-tahun pula dengan segenap penderitaannya, Hajar membesarkan
Ismail. Dan tatkala putra semata wayangnya itu tumbuh menjadi seorang remaja
yang gagah, Ibrahim datang dan atas perintah Allah dirinya harus mengorbankan
Ismail. Sekali lagi brahim harus mengenyampingkan “kepentingan pribadi” nya.
Dan Hajarpun demikian pula, ketika Iblis laknatullah dengan menyamar datang
memberi tahu kepadanya, bahwa Ibrahim akan menyembelih anaknya, Hajar pun
bekata sekali lagi: “Jika memang itu yang diperintahkan Allah kepadanya,
maka biarlah ia melakukan itu.”
Dilain pihak, sekalipun dirinya punya hak untuk hidup dan menilmati masa
remajanya, maka dengan segenap keikhlasan dan kesabarannya Ismail menerima
perintah Allah tersebut untuk ditunaikan. Allah SWT mengabadikan kisah ini
dengan firman-Nya: “Maka tatkala anak
itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata:
“Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu; maka
fikirkanlah apa pendapatmu.” Ia (Ismail) menjawab: “Wahai bapakku, kerjakanlah
apa yang diperintahkan Allah kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar”. // Tatkala keduanya telah berserah diri dan
Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya
).” (Q.S. Ash-Shaffat: 102-103)
Jadi sekali lagi dapatlah dikatakan, bahwa hakikat “qurban”
sebagaimana yang dituntut Allah SWT melalui keteladanan keluarga Nabiyallah
Ibrahim a.s adalah: Mendahulukan perintah dan larangan Allah daripada
kepentingan atau kesenangan diri sendiri adalah bukti nyata dari keta’atan dan
ketakwaan kita kepada-NYA. Sebab bagaimanapun juga sudah di-ingatkan kepada
kita melalui lisan Yusuf a.s yang Allah SWT abadikan sebagai firman-Nya: “dan aku tidak membebaskan diriku (dari
kesalahan nafsuku), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada
kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Yusuf: 53)
Contoh sederhana yang ada di sekitar kita, bahkan mungkin kita sendiri “pelakunya”;
bahwa adakalanya “sebuah tontonan” lebih memikat dan mengasyikkan kita,
sehingga kita tidak peduli lagi tentang keutamaan sholat di awal waktu. Kita
tidak lagi melaksanakan perintah Allah sbagaimana tuntuunan Rasul-Nya,
melainkan menurut “selera” kita sendiri. Sekalipun hal itu tidak
melanggar syariat yang ada. Wallahua’lam.
Bagansiapiapi, 10 Dzulhijjah 1433 H / 26 Oktober 2012
KH.BACHTIAR AHMAD
No comments:
Post a Comment