Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a dan Thalhah bin Abdullah r.a adalah dua di antara beberapa orang sahabat yang semasa hidup mereka telah dijamin oleh Rasulullah SAW akan masuk surga. Dan inilah sisi lain dari akhlak terpuji yang mereka miliki: yang patut dijadikan teladan oleh orang-orang (yang mengaku) beriman kepada Allah dan Hari Kemudian.
Ibnu Sirin meriwayatkan dari ‘Aisyah r.a: Bahwa ketika merasa ajalnya sudah dekat, Abubakar As-Shiddiq r.a berkata kepada putrinya “ummul mukminin” Aisyah r.a:
“Wahai puteriku, sesungguhnya ketika dilantik menjadi khalifah, aku tak ingin mengambil dan mendapatkan apa-apa dari Baitul Mal sebagai gaji. Akan tetapi lantaran Umar dan beberapa sahabat mendesakku untuk menerima gaji darinya, agar aku tidak disibukkan oleh urusan dagang dan dapat mengurus keperluan kaum muslimin sepanjang waktu, maka aku terpaksa menyetujui dan menerima pendapat mereka. Sekarang aku merasa ajalku sudah dekat, aku berpesan kepadamu; Kelak setelah aku menghadap Tuhanku, maka sepeninggalku nanti serahkanlah kebunku yang masih ada kepada khalifah berikutnya sebagai pengganti apa yang telah kuambil dan kuterima dari Baitu Mal sebagai gajiku. Karena aku takut, jangan-jangan apa yang telah kuterima dari Baitul Maal sebagai gajiku, sesungguhnya berlebih dari apa yang seharusnya menjadi kebutuhanku.”
Suatu ketika Thalhah r.a berjalan-jalan ke kebunnya di luar kota Madinah, ketika waktu sholat (Zhuhur) tiba, ia sholat di dalam kebunnya. Tanpa sengaja di tengah-tengah sholat yang ia kerjakan, Thalhah bin Abdullah melihat se-ekor burung yang cantik bulunya terbang kian kemari; Abu Thalhah terpesona, dan keadaan itu membuat ia lupa pada jumlah rakaat yang sudah ditunaikannya, sehingga ia harus melakukan sujud sahwi. Akan tetapi keadaan itu tidak dapat menenangkan hatinya yang telah diliputi penyesalan lantaran sholat dalam keadaan lalai. Maka ia pun bergegas pulang dan ia putuskan untuk menyerahkan kebunnya kepada Baitul Maal sebagai penebus sesal dan kelalaiannya di dalam sholat.
Sayangnya apa yang telah dicontohkan oleh Abu Bakar dan Thalhah tersebut, bertolak belakang dengan banyak keadaan yang kita temukan saat ini.
Bahwa banyak orang (yang mengaku) beriman di negeri ini; apalagi di kampung kami; ketika diberi amanah untuk memegang suatu jabatan dan kekuasan; plus adanya kesempatan untuk “nambah uang makan” disamping gaji dan tunjangan jabatan yang telah disediakan, maka ia pun sibuk mencari lahan; membuka hutan untuk “buat kebun”. Entah kebun sawit; kebun kelapa;kebun karet atau kebun apa saja yang menjadi selera mereka, yang jelas kebun tersebut adalah “kebun masa depan” terutama saat-saat menikmati “hari-hari pensiunan” yang akan mereka lalui. (Kalau Allah panjangkan umur yang ada tentunya). Dan sekaligus sebagai “warisan” untuk anak cucu dan handai taulan.
Bahwa banyak pemilik kebun yang mengaku beriman di negeri ini; khususnya di kampung kami; lebih suka dan senang berleha-leha di kebun-kebun miliknya, dan dengan sangat entengnya melalaikan dan bahkan meninggalkan sholat yang telah diwajibkan ke atas diri mereka. Padahal secara tegas Allah SWT telah memberi peringatan dengan firman-Nya:
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Munafiquun: 9) Wallahua’lam.
Bagansiapiapi, 8 Safar 1433 H / 3 Januari 2012
KH. BACHTIAR AHMAD
waaaah Abah... mentang mentang Said kerja sawit...hahahaa
ReplyDeleteAbah si... nggak mau ngasih warisan cepet2...
tapi Alhamdukillah dapat warisan 'ilmu nya Bah...Makasih banyak Bah ya?
maaf Bah salah ketik ''Alhamdulillah''
ReplyDelete