oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
=============================
Sudah lebih dari 15 tahun saya tidak pernah bertemu dengan “Risman”. Terakhir saya mendapat kabar, bahwa dia sudah bekerja dan menikah di Tanjung Balai Karimun (Kepri). Alhamdulillah, beberapa hari yang lalu dia pulang berziarah ke Bagansiapiapi dengan penampilan “yang khas”, dan sempat pula datang ke rumah untuk bersilaturahmi dengan saya dan keluarga. Dan dalam pertemuan itu kami bicara cukup banyak tentang berbagai masalah agama dan kehidupan.
Menjawab pertanyaan saya Risman menjelaskan, bahwa kurang lebih setahun yang lalu dia berhenti kerja karena ingin berjihad dan ikut berdakwah mensyiarkan Islam; dan sudah pula melakukan safar atau huruj ke banyak tempat.
Ketika kutanyakan perihal isteri dan anak-anaknya, Risman menjelaskan, bahwa isterinya berasal dari Jawa Barat yang dikenalnya saat ia kuliah di Bandung namanya “Ratna Amalia”. Anaknya 4 orang; yang sulung dan yang bungsu adalah perempuan sementara yang nomor 2 dan 3 adalah laki-laki. Yang sulung sudah SMA; yang nomor 2 dan 3 SMP; sedangkan yang bungsu masih SD.
Kata Risman, sebenarnya isterinya tidak suka dan tidak rela dia berhenti kerja dan ikut berdakwah bersama jamaahnya. Tapi ia tetap bersikeras dengan pendiriannya dan selalu mengajarkan kepada isterinya, agar mau mencontoh dan meneladani “Siti Khadijah r.a” sebagai ummul mukminin dalam berjuang dan membantu Rasulullah SAW untuk mensyiarkan agama Allah. Besar harapan Risman, agar isterinya bisa menjadi “Khadijah” di dalam kehidupannya. Untuk itulah sebagai bekal hidup anak isterinya, Risman memberikan semua uang yang telah ditabungnya selama bekerja dulu, agar dapat dijadikan modal usaha oleh isterinya dan sekaligus membantu “mengongkosi dan membiayai” dakwah yang dilakukannya.
Mendengar penuturan Risman terbit rasa “iba” di dalam hati saya. Akan tetapi bukan untuk Risman melainkan untuk isteri dan anak-anak yang ditinggalkan Risman di Tanjung Balai Karimun. Kemudian saya katakan kepada Risman: “Man, abah salut dengan keinginan dan niatmu untuk berdakwah dan berjihad di jalan Allah, namun kalau kau tidak keberatan dan mau mendengar, Abah ingin berbagi pendapat denganmu; terutama tentang isteri dan anak-anakmu.” (Risman masih terhitung sebagai “keponakan” saya)
“Silahkan abah bicara, mudah-mudahan ada satu pengajaran yang baik yang bisa saya ambil dari abah”, jawab Risman membalas pembicaraan saya.
Selanjutnya saya katakan kepada Risman: “Man, keinginanmu agar Ratna mau meneladani dan sekaligus menjadi “Khadijah r.a” sungguh terpuji. Akan tetapi lepas dari apa yang telah ditakdirkan Allah dalam kehidupan yang kita jalani, kau juga harus melihat dan belajar dari sejarah yang ada; Bagaimana keadaan dan riwayat Khadijah sebagai isteri Rasulullah SAW; dan bagaimana pula riwayat dan keadaanmu dengan Ratna Amalia, agar apa yang kau sangka baik, malah sebaliknya adalah sesuatu yang buruk dan tercela”
“Maksud abah bagaimana?”, tanya Risman menyela pembicaraan saya.
“Begini man, ringkas saja abah ingin sampaikan kembali sedikit catatan sejarah antara Khadijah r.a dan Muhammad Rasulullah SAW. Bahwa Khadijah adalah seorang perempuan yang kaya raya sebelum menikah dan menjadi isteri Rasulullah SAW. Bahkan disebutkan, Muhammad Rasulullah SAW pada masa mudanya pernah bekerja dengan Khadijah, yang membawa barang dagangan Khadijah dari Makkah ke Syam dengan upah 4 ekor anak unta. Dan selanjutnya lantaran “akhlaqul kariimah” yang beliau miliki, akhirnya Khadijah memilih Muhammad SAW sebagai suaminya. Dan dalam riwayat disebutkan, bahwa Khadijah jugalah yang menghadiahkan atau memberikan 20 ekor unta kepada Muhammad SAW, untuk dapat dijadikan sebagai “mahar atau mas kawin” mereka. Dan selanjutnya setelah menikah; Muhammad SAW pun menjadi “manager” dari usaha dagangnya Khadijah. Kemudian setelah Muhammad dilantik dan diutus sebagai Rasulullah SAW, sebagaimana yang telah kita maklumi; sampai akhir hayatnya dan sampai ludes hartanya, Khadijah r.a telah pula menjadi “donatur” utama dalam perjuangan Muhammad Rasulullah SAW guna mensyiarkan dan sekaligus menegakkan “kalimah Tauhid”. Nah, sekarang coba pula bandingkan riwayat hidup beliau-beliau itu dengan dengan riwayat hidupmu dan Ratna Amalia. Dan satu hal lagi adalah walaupun dalam waktu yang singkat; Baik Muhammad Rasulullah SAW maupun Khadijah r.a tidak pernah berpisah sedikitpun dalam berjuang; berdakwah dan mensyiarkan agama Allah; sampai Allah memisahkan mereka. ”
Risman terdiam mendengar penjelasan saya. Dan sebelum ia sempat bicara, saya pun meneruskan pembicaraan:
“Abah yakin, bahwa antara kau dan Ratna tentulah keadaannya sama dengan abah dan yang lainnya. Artinya kau dan Ratna tentulah pacaran dulu; lalu melamar dan kemudian menikah. Nah dengan “nama Allah” kau jadikan Ratna sebagai isteri dan tentulah berjanji untuk mengasuh; memelihara dan mendidiknya dengan sebaik-baiknya dan tentu berharap agar diberikan Allah keluarga yang sakinah; mawaddah warohmah; Bahkan kalau bisa bak kata orang “sehidup semati berdua”. Nah, sekarang kalau sudah begini keadaannya, tentulah engkau telah mengingkari janjimu dan boleh jadi itu merupakan suatu pengkhianatan terhadap apa yang telah diamanahkan Allah kepadamu.”
“Tapi dalam hal ini Ratna ikhlas saya melakukan hal ini, bah”, Risman menyela pembicaraan saya.
“Benar katamu, Ratna sudah ikhlas. Tapi kitakan tidak tahu apakah ikhlasnya itu benar-benar keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam atau mungkin ada pertimbangan lain. Lalu bagaimana pula dengan anak-anakmu, apakah mereka juga ikhlas dan bisa menerima keadaan atau merelakanmu berjihad dan berdakwah seperti ini?”
Tak ada jawaban dari mulut Risman. Dan sayapun bicara lagi: “Man, bagi kita yang awam ini, yang terkadang kehendak nafsu mendahului akal sehat, maka makna “ikhlas” yang kita ucapkan untuk suatu hal kadang menjadi rusak oleh adanya perkara yang tidak kita sukai, atau oleh adanya tekanan keadaan yang menumbuhkan rasa kesal dihati.”
“Maksud abah?”, akhirnya Risman buka suara yang menandakan bahwa ia benar-benar menyimak apa yang saya ucapkan padanya.
“Begini man,….” Insya Allah akan saya lanjutkan catatan ini pada “bagian Kedua” nanti. Wallahua’lam.
Bagansiapiapi, 25 Safar 1432 H / 20 Januari 2012
KH. BACHTIAR AHMAD
alhamdulillah kiyai,,,sy sangat sependapat dengan pemahaman kiyai,,mudah2n semakin mmberi tambahan pencerahan dalam kehidupan saya....mudah2n Allah membimbing kita agar tetap di jalan yg bner...amin
ReplyDelete