oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
========================
Pada bagian pertama sudah saya jelaskan, bahwa keponakan saya Risman ikut satu kelompok jamaah untuk berdakwah, dia tinggalkan anak isterinya dan berharap isterinya menjadi “Khadijah” untuk melaksanakan niat dan misi yang dijalaninya…..
***
Tak ada jawaban dari mulut Risman. Dan sayapun bicara lagi: “Man, bagi kita yang awam ini, yang terkadang kehendak nafsu mendahului akal sehat, maka makna “ikhlas” yang kita ucapkan untuk suatu hal kadang menjadi rusak oleh adanya perkara yang tidak kita sukai, atau oleh adanya tekanan keadaan yang menumbuhkan rasa kesal dihati.”
“Maksud abah?”, akhirnya Risman buka suara yang menandakan bahwa ia benar-benar menyimak apa yang saya ucapkan padanya.
“Begini Man, dalam kondisi tenang dan senangnya hati, bisa saja Ratna ikhlas. Tapi misalnya ketika anakmu sakit dan butuh bantuan lebih besar dari sekadar apa yang ada, dan kau sedang tidak ada di tempat, maka bisa saja “ikhlas” nya berubah menjadi rasa sesal dan kesal kepadamu. Dan hal ini tentu akan menjadi lebih berbahaya ketika ia butuh dirimu; butuh belaian seorang suami dan “syaithan” pun ikut memainkan peranannya.Sebagai contoh bisa abah sampaikan kepadamu; Bahwa Umar bin Khattab pernah memberi se-ekor kuda kepada seseorang, tapi ketika ia melihat kuda itu disia-siakan, maka Umar merasa kecewa dan berniat untuk mengambil kembali kuda yang telah diberikannya itu dengan cara membelinya lagi, sekalipun harganya mahal. Dan Rasulullah SAW lalu melarang Umar, agar “keikhlasannya” tidak rusak hanya karena melihat pemberiannya disia-siakan.”
Saya sengaja berhenti bicara dan menunggu Risman berkomentar. Tapi Risman tetap diam dan sayapun bicara lagi.
“Kita semua memang diperintahkan dan berkewajiban untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Tapi tidaklah dengan begitu saja Man, ada prioritas dan tahapannya seperti dalam sebuah hadis disebutkan; kalau kita melihat kemungkaran, maka wajib merubahnya atau melarangnya; jika mampu dengan tangan atau kekuasaan; jika tidak dengan lidah atau lisan; jika tidak denga hati atau cukuplah mencegah diri untuk ikut berbuat mungkar dan berdo’a kepada Allah agar melenyapkan kemungkaran itu. Nah, begitu juga dalam hal memelihara diri agar tidak dimurkai Allah; sebagaimana firman Allah SWT di dalam Kitab-Nya, maka yang pertama itu adalah diri kita baru kemudian keluarga kita, yang menurut Imam Al-Ghazali dimulai dari keluarga dekat seperti anak isteri; kerabat dekat; baru kemudian kerabat jauh serta saudara-saudara kita yang se-iman. Sekarang coba renungkan kembali, apakah anak-anak dan isterimu sudah benar-benar ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, sehingga engkau percaya dan yakin meninggalkan mereka begitu saja? Apalagi anakmu yang tua adalah seorang perempuan; masih SMA dan berada dalam usia remaja yang masih mudah terombang ambing. Lalu bagaimana engkau bertanggung jawab kepada Allah, jika terjadi suatu hal yang tidak baik pada dirinya? Ingat Man, Rasulullah SAW mengatakan bahwa kita ini semuanya adalah pemimpin; dan tanggung jawab kepemimpinan yang paling utama itu ada pada kepala keluarga sebagaimana yang tersurat dan tersirat dalam firman Allah SWT: “Quu an(m)fusakum wa ahlikum naaro..”
Saya berhenti sesa’at untuk mengatur nafas dan menghirup teh manis yang sudah dingin di atas meja. Dan sambil menatap Risman sayapun kembali bicara:
“Man, masih banyak yang ingin abah bicarakan denganmu. Tapi waktu kita sangat terbatas dan abah berharap yang abah sampaikan tadi sudah cukup memadai untuk kau renungkan. Semuanya terserah kamu, pilihlah jalan yang terbaik untuk dunia dan akhiratmu. Tapi jangan lupakan tanggung jawabmu sebagai seorang suami dan ayah. Berharap isteri kita menjadi “Khadijah” adalah boleh dan sah-sah saja, tapi lepas dari apa yang telah ditakdirkan dan yang dikehendaki oleh Allah SWT, maka jika lihat dengan akal sehat dan mata kepala yang ada, apakah dengan situasi dan kondisi yang kita hadapi saat ini, hal itu mungkin tercapai?”
Banyak yang ingin saya sampaikan kepada Risman sebagai renungan dan pertimbangan. Tapi saya pikir apa-apa yang sudah saya sampaikan tadi sudah cukup memadai, mudah-mudahan bermanfaat untuknya. Wallahua’lam.
Bagansiapiapi, 26 Safar 1432 H / 21 Januari 2012
KH. BACHTIAR AHMAD
No comments:
Post a Comment