oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
========================
Kita mungkin pernah mendengar seseorang berkata, bahwa kalau melaksanakan
amal ibadah janganlah dihitung-hitung. Soal
sedikit atau berapa banyak amaliah yang sudah kita kerjakan, biarlah Allah SWT
yang menghitung dan menilainya.
Kata guru saya, pendapat se,macam itu adalah keliru dan salah. Sebab dalam
sebuah hadis ada disebutkan, bahwa untuk “dzikrullah” saja Rasulullah
SAW menyuruh kita untuk “berhitung” sebagaimana sabda beliau:
“Bacalah tasbih (Subhanallah;
tahmid (Alhamdulillah) dan takbir (Allahu Akbar) tiap selesai shalat
masing-masing 33x.” (Muttafaq ‘alaihi dari Abu Hurairah r.a)
Bahkan Allah SWT
dengan tegas telah memerintahkan kita
untuk membuat atau
menghitung-hitung setiap gerak
langkah dan perbuatan yang kita lakukan, sebagaimana yang tersurat dan tersirat
dalam firman-NYA:
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan
hendak-lah setiap diri memperhatikan apa
yang telah diperbuanya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S.Al-Hasyr: 18)
Oleh hal yang
demikian inilah, maka dalam melakukan perbuatan baik atau mengerjakan amal
shalih harus dibuat hitung-hitungannya, agar amal ibadah tersebut berdaya guna;
tepat sasaran dan jauh dari kesia-sian yang pada akhirnya mendatangkan
kemudharatan. Dan inilah salah satu
makna “muhasabah” yang selalu diucapkan oleh para ahli tasawuf. Bak kata
Sayyidina Umar r.a: “hasiibu qobla anta hisaban” yang bermakna hitunglah atau hisablah dirimu lebih dulu
sebelum dihisab (oleh Allah SWT).
Namun demikian kita
tidak boleh salah memahaminya, sebab muhasabah atau menghitung amal yang harus
dilakukan tidaklah berarti
menghitung-hitung sudah berapa banyak amal baik yang kita lakukan. Hitungan itu
hendaklah dilakukan pada kadar kualitas atau mutu dari amal
perbuatan tersebut; Apakah sudah benar kita melakukannya; Apakah
sudah sesuai dengan syarat dan rukun serta niat kita dalam beramal
tersebut. Dan tujuannya adalah agar kita
tidak terjebak dalam kesia-siaan sebagaimana yang telah disampaikan di atas dan
juga terhindar dari penyakit riya (beramal
karena ingin dilihat dan dipuji oleh orang lain) dan ujub (merasa bangga pada diri sendiri dengan amal perbuatan yang
telah dilakukan), yang kesemuanya itu dapat merusak dan menghancurkan amal
ibadah seseorang.
“Syaikh Abdullah
Al-Ghazali” menjelaskan, bahwa “menghitung
amal” memang perlu dilakukan oleh setiap orang yang beriman kepada Allah
dan hari Kemudian. Sebab sampai saat ini
banyak di antara kita yang sudah merasa puas dengan amaliah yang
dilakukan seperti; sholat; puasa dan kebajikan-kebajikan lain yang telah
diperintahkan Allah SWT dan rasul-Nya. Baik ibadah yang diwajibkan maupun yang
disunnahkan. Padahal “ilmu” untuk mengerjakan
kewajiban-kewajiban tersebut hanya diperoleh secara turun temurun dengan pola
pendidikan dan pengajaran yang sederhana.
Bak kata orang “yang penting bisa
sholat; bisa mengaji” Sementara
dengan sistim pengajaran yang demikian bisa jadi ada yang tetingal dan
terlupakan, atau terkadang menjurus pada “kefanatikan”
yang membabi buta. Sehingga beranggapan bahwa amal ibadahnya-lah yang baik dan
benar, sedangkan yang dilakukan orang lain adalah sesuatu yang salah. Jadi agar
amal ibadah yang kita perbuat bisa semakin ditingkatkan mutu atau kualitasnya,
maka perlulah kiranya kita
menghitung-hitungnya dengan kajian yang lebih dalam dan akurat. Sebab apabila
kita beramal tanpa berdasarkan ilmu pengetahuan yang benar, maka kita jelas telah
mezalimi diri sendiri.
Patutlah dicatat dan kita pahami, bahwa dalam hukum (fiqih) Islam
terdapat begitu banyak perbedaan, terutama dalam hal-hal yang bersifat sunnah, sehingga dalam hal ini tidaklah
mustahil apa yang telah kita lakukan selama ini adalah salah, atau mungkin
sesuatu yang berat untuk dikerjakan, sementara di sisi lain ada
kemudahan-kemudahan dalam amal ibadah yang selama ini kita kerjakan.
Oleh sebab itu, bagi orang yang ingin meningkatkan kualitas amal
ibadahnya, maka sudah selayaknyalah ia harus senantiasa “menghitung amal
ibadahnya” dan terus menerus belajar agar nilai-nilai keimanan dan
ketakwaannya semakin baik dan sempurna dalam pandangan Allah SWT. Wallahua’lam.
Bagansiapiapi, 26 Jumadil Akhir 1433 H / 18 Mei
2012
KH.BACHTIAR AHMAD.
No comments:
Post a Comment