Friday 26 October 2012

QURBAN



oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
=======================
Membicarakan masalah “qurban” sebagai sesuatu yang diperintahkan Allah SWT sepertinya kita selalu membatasi diri dalam ruang lingkup “Dzulhijjah” dan “penyembelihan hewan qurban” saja. Padahal “qurban” sebagai “sarana dan prasarana” untuk mendekatkan diri kepada Allah, menurut Syaikh Abdullah Al-Ghazali;  berlaku sepanjang hayat dikandung badan, tidak bersifat temporer sebagaimana yang banyak dipahami orang. Karena pada hakikatnya apa yang diperintahkan dan yang dilarang Allah SWT tidaklah hanya berlaku untuk waktu-waktu tertentu saja; kendati ada hal-hal yang bersifat khusus untuk perintah dan larangan tersebut.

Sehubungan dengan firman Allah SWT: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak;  Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah;  Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.”  (Q.S. Al-Kautsar: 1-3)

Syaikh Abdullah Al-Ghazali menerangkan, bahwa makna atau tafsir dari perintah berkorban dalam ayat 2 surah AlKautsar di atas  berkaitan erat dengan perintah Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Al-Maaidah: 35)

Artinya adalah, bahwa setiap sa’at orang-orang yang beriman harus siap berjihad dalam artian selalu siap berkorban dengan apa saja milik dan apa saja yang ada padanya untuk bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa kepada Allah sebagaimana yang disebutkan secara umum oleh Allah SWT di dalam firman-NYA: “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (Q.S. At-Taubah: 20)

Dan jihad atau pengorbanan yang paling utama itu adalah, menundukkan ego atau kesenangan nafsu diri demi melaksanakan keta’atan kepada Allah SWT. Dan hal ini pulalah yang secara tersirat dalam sabda Rasulullah SAW yang menyatakan, bahwa “jihadul akbar” itu adalah “menundukkan nafsu” yang ada di dalam diri. Dan kesemuanya itu tercermin dalam riwayat pengorbanan keluarga Nabiyallah Ibrahim a.s.

Bertahun-tahun Ibrahim a.s memohon kepada Allah agar diberikan seorang anak. Barulah kemudian setelah Allah menjodohkannya di usia yang cukup lanjut dengan Hajar, kepada mereka Allah anugerahkan Ismail. Baru saja tumbuh dan berkembanga kasih sayang dan kecintaan Ibrahim kepada Ismail yang baru lahir, maka perasaan itu harus dikesampingkan-nya tatkala Allah perintahkan kepadanya untuk meninggalkan Hajar dan Ismail di lembah kering yang sunyi. Dan atas sikap Ibrahim ini pula Hajar berkata: “Jika ini yang dikehendaki Allah, pergilah dan tinggalkanlah kami disini.”

Bertahun-tahun pula dengan segenap penderitaannya, Hajar membesarkan Ismail. Dan tatkala putra semata wayangnya itu tumbuh menjadi seorang remaja yang gagah, Ibrahim datang dan atas perintah Allah dirinya harus mengorbankan Ismail. Sekali lagi brahim harus mengenyampingkan “kepentingan pribadi” nya. Dan Hajarpun demikian pula, ketika Iblis laknatullah dengan menyamar datang memberi tahu kepadanya, bahwa Ibrahim akan menyembelih anaknya, Hajar pun bekata sekali lagi: “Jika memang itu yang diperintahkan Allah kepadanya, maka biarlah ia melakukan itu.”

Dilain pihak, sekalipun dirinya punya hak untuk hidup dan menilmati masa remajanya, maka dengan segenap keikhlasan dan kesabarannya Ismail menerima perintah Allah tersebut untuk ditunaikan. Allah SWT mengabadikan kisah ini dengan firman-Nya:  “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu; maka fikirkanlah apa pendapatmu.” Ia (Ismail) menjawab: “Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. // Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ).” (Q.S. Ash-Shaffat: 102-103)

Jadi sekali lagi dapatlah dikatakan, bahwa hakikat “qurban” sebagaimana yang dituntut Allah SWT melalui keteladanan keluarga Nabiyallah Ibrahim a.s adalah: Mendahulukan perintah dan larangan Allah daripada kepentingan atau kesenangan diri sendiri adalah bukti nyata dari keta’atan dan ketakwaan kita kepada-NYA. Sebab bagaimanapun juga sudah di-ingatkan kepada kita melalui lisan Yusuf a.s yang Allah SWT abadikan sebagai firman-Nya:  “dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan nafsuku), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”  (Q.S. Yusuf: 53)

Contoh sederhana yang ada di sekitar kita, bahkan mungkin kita sendiri “pelakunya”; bahwa adakalanya “sebuah tontonan” lebih memikat dan mengasyikkan kita, sehingga kita tidak peduli lagi tentang keutamaan sholat di awal waktu. Kita tidak lagi melaksanakan perintah Allah sbagaimana tuntuunan Rasul-Nya, melainkan menurut “selera” kita sendiri. Sekalipun hal itu tidak melanggar syariat yang ada. Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 10 Dzulhijjah 1433 H / 26 Oktober 2012
KH.BACHTIAR AHMAD

No comments:

Post a Comment

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.