Thursday 27 September 2012

SA'AT SAKARATUL MAUT TIBA



oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
========================
Pernahkah engkau melihat atau mendampingi orang yang sedang “sakaratul maut”? Lalu bagaimana dan apa yang anda lihat? Tenangkah dia atau sebaliknya berada dalam kegelisahan panjang sambil menahan rasa sakit? Dan setelah “ruh” orang tersebut berpisah dengan “jasadnya”; Apakah engkau pernah merenung dan berpikir sesaat, bahwa engkau akan mengalami hal yang serupa dengannya dan bertanya pada hatimu bagaimana pula keadaanmu ketika itu ?

Mengutip satu atsar dari Al-Hasan r.a, “hujjatul Islam” Abu Hamid Al-Ghazali menerangkan: “Demi Allah, seandainya jenazah yang sedang kalian tangisi bisa berbicara sekejab, lalu menceritakan (pengalaman sakaratul mautnya) pada kalian, niscaya kalian akan melupakan jenazah tersebut, dan mulai menangisi diri kalian sendiri”.

Rasulullah SAW bersabda: “Kematian yang paling ringan ibarat sebatang pohon penuh duri yang menancap di selembar kain sutera. Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain sutera yang tersobek ?”(HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah r.a)

Nah, kalau yang paling ringan saja sudah seperti itu azabnya bagi orang-orang yang beriman dan ta’at kepada Tuhannya; Allah SWT, lalu bagaimana pula halnya dengan orang-orang yang fasik; zalim dan durhaka kepada-Nya? Dan tentang inilah Allah SWT berfirman:

“Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang para Malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): “Keluarkanlah nyawamu” di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.”  (Q.S. Al-An’aam: 93)

Satu hal lagi yang patut jadi pengajaran adalah, bahwa proses dicabutnya ruh atau nyawa dari jasad yang kita cintai, antara satu orang dengan yang lainnya tidaklah sama waktunya. Kata Al-Ghazali, kelihatannya memang singkat dalam hitungan waktu dunia kita, tapi sesungguhnya proses yang terjadi bisa mencapai puluhan dan ratusan tahun pada sa’at ruh ditarik dari tubuh seseorang.

Lalu sudah siapkah kita menghadapi semuanya itu  ?

Bagansiapiapi, 12 Dzulqaidah 1433 H / 28 September 2012
KH.BACHTIAR AHMAD

Friday 21 September 2012

KETIKA.............



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================
“Ketika” kita kehilangan sesuatu yang kita sayangi dan cintai, bumi yang kita pijak dan langit yang menaungi kita seakan-akan menjadi runtuh; “Ketika” itu barulah kita teringat kepada-Nya; Allah; Tuhan kita Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

“Ketika” harta benda yang kita miliki hilang dan atau dicuri orang, maka seluruh semangat dan jiwa yang kita miliki seakan-akan ikut hilang; “Ketika” itulah kita baru ingat dan mengadukan kemalangan yang kita kepada-Nya; Allah; Tuhan kita Yang Maha Rahmah lagi Maha Pemurah.

“Ketika” kita disakiti; “Ketika” itu juga kita kehilangan kesabaran dan dengan mudahnya kita membalas seraya  melemparkan caci maki; umpatan atau kata-kata kotor lainnya; bahkan terkadang kita menuduh Tuhan kita; Allah Yang Maha Lembut lagi Maha Sabar; tidak adil dan telah menghinakan diri kita. Akan tetapi sebaliknya “ketika” kita mendapat pujian dan penghormatan; “Ketika” itu pula kita menjadi besar kepala; sombong dan merasa diri kita hebat dari yang lain; lupa mengucapkan “Alhamdulillah” atau kalimat puji syukur lainnya kepada Tuhan kita; Allah Yang Maha Besar lagi Maha Agung dan Perkasa.
               
“Ketika” kita tidak di undang untuk menghadiri sebuah jamuan yang kita anggap penuh gengsi dan kehormatan; “Ketika” itu pula kita merasa dilecehkan; sakit hati dan kecewa karena sudah tidak lagi dihormati dan diperhatikan. Padahal “ketika” kita diundang oleh Tuhan kita; Allah Yang Maha Berkuasa lagi Maha Kaya melalui seruan “muadzin” untuk datang menghadiri “jamuan Allah” di masjid atau di musholla yang ada di sekitar kita; “Ketika” itu pula kita menjadi tuli; tidak mendengar dan tidak menjawab undangan tersebut; dan “ketika” itu sedikitpun hati kita tidak tersentuh dan tergerak untuk memenuhi dan menghadiri jamuan Allah; Tuhan kita  Yang Maha Melihat lagi Maha Mendengar.

“Ketika” kita mulai sholat dan  berdiri di hadapan-Nya; “ketika” takbir mulai kita  lafazkan; “Ketika” kita pula banyak persoalan dunia yang memalingkan kita dari-Nya; Allah; Tuhan kita Yang Maha Kuasa lagi Maha Perkasa. Padahal ketika itu bibir kita baru saja mengucapkan: “Allah Maha Besar (dari segala-galanya)”  
               
Ketika ini dan ketika itu yang lainnya terjadi pada diri kita; Apakah “ketika” itu kita pernah bertanya pada hati nurani; Sebenarnya ada apa dengan kita; dan apakah  kita masih pantas kita disebut sebagai “hamba-Nya”.

Bagansiapiapi, 05 Dzulqaidah 1433 H / 21 September 2012.
KH.BACHTIAR AHMAD

Saturday 15 September 2012

BELAJAR DARI SEJARAH

-->

oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
======================
Cobalah perhatikan sekali lagi isi atau kandungan Al-Qur’an, maka akan kita dapati hampir separuhnya adalah riwayat atau sejarah kehidupan anak manusia di masa lalu yang diabadikan oleh Allah SWT. Padahal Al-Quran bukanlah buku sejarah, melainkan kitab yang berisi petunjuk kehidupan yang utama untuk orang yang bertakwa (hudal lil muttaqiin).

Menurut Syaikh Abdullah al-Ghazali, hal itu memang sengaja disampaikan Allah kepada kita, agar kita bisa belajar lebih banyak dari apa yang sudah terjadi. Atau dalam bahasa ilmiah-nya; Belajarlah dari sejarah. Sebab  dalam ke-hidupan manusia di muka bumi ini ada masalah-masalah yang saling berhubungan, yang terus turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Lebih lanjut dikatakan oleh Syaikh Abdullah; Dalam hal ini kita boleh mengatakan bahwa “sejarah tidak akan pernah berulang”, akan tetapi anda harus yakin bahwa; masalah yang sama  bisa  dan  akan terus terulang kejadiannya. Dan inilah salah satu alasan yang dapat dijadikan hujjah; Mengapa Allah banyak menukilkan dan menyampaikan kejadian-kejadian dalam kehidupan masa lalu di dalam kitab-Nya yang mulia: Al Qur’an. Yakni agar kita senantiasa belajar dan menelaah peristiwa-peristiwa tersebut untuk diambil manfaatnya, terutama untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Hal ini secara gamblang Allah nyatakan dalam beberapa firman-Nya:

“Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya dengan perkataan itu ,lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik. Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka; lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya dilaut. Dan Kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang kemudian.”
(Q.S.Az-Zukhruf: 54-56)

Juga dalam firman-Nya:

“Katakanlah: Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.” (Q.S.Al-An’aam: 11)

Selain dari kondisi-kondisi yang telah dinyatakan di atas, maka belajar dari sesuatu atau kejadian yang telah lewat juga akan menumbuhkan sifat dan sikap kehati-hatian kita dalam melangkah dan bertindak. Sebab tak sedikit di antara kita yang menyesali perbuatan dan tindakan yang telah dilakukannya, terutama jika hasil atau akibat dari perbuatan dan tindakan itu adalah hal-hal yang sangat menyakitkan. Padahal tindakan-tindakan serupa telah pernah terjadi. Hanya saja ia tidak pernah mau belajar dari sejarah dan pengalaman orang lain. Oleh sebab itu belajarlah dari sejarah kehidupan yang ada; baik yang telah diterangkan Allah SWT di dalam Kitab-Nya, maupun yang terukir di panggung sejarah yang lain. Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 28 Syawal 1433 H / 15 September 2012
KH.BACHTIAR  AHMAD

Sunday 9 September 2012

NASIHAT GURUKU (8)


Anakku, Allah Ta’ala telah memerintahkan kepada kita agar menjadi hamba yang “rabbaniyyah” atau hamba yang berakhlak dengan akhlak-NYA yang Maha Suci lagi Maha Mulia-Nya, yakni “hamba yang pema’af” sebagaimana yang diperintahkan-Nya:
 
“Jadilah engkau  (hamba yang) pema’af dan suruhlah orang mengerjakan  yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.”
(QS. Al-A’raaf: 199)
 
Sebab sesungguhnya Allah Ta’ala adalah Yang Maha Pema’af lagi Maha Pengampun sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an:
 
 “Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pem’aaf lagi Maha Pengampun.” (QS.Al-Hajj: 60)
 
Sedangkan seutama-utamanya pemberian maaf  adalah disa’at-saat kita memiliki kekusaan dan kemampuan untuk membalas kejahatan orang lain sebagaimana yang Allah Ta’ala terangkan di dalam kitab-Nya:
 
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik;  Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya DIA tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Asy-syuraa: 40)
 
Jika engkau melaksanakan perintah Allah tersebut dengan baik, maka insya Allah engkau akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda daripada hanya sekadar mema’afkan; sedangkan orang yang menzalimi dirimu akan mendapat hukuman yang lebih berat dan balasan yang lebih besar daripada kezaliman atau kejahatan yang telah diujikan Allah ke atas dirimu. Sebab bagaimanapun juga, apa saja kezaliman dan kejahatan yang engkau terima dari orang lain, pada hakikatnya adalah ujian Allah semata, sebagaimana firman-Nya:
 
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan mengujimu dengan (bermacam-macam) keburukan dan kebaikansebagai cobaan (yang sebenar-benarnya cobaan). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” (Q.S.Al-Anbiyaa’: 35)
 
Laksanakanlah apa yang diperintahkan Allah Ta’ala dengan sebaik-naiknya, mudah-mudahan Dia akan selalu melembutkan hatimu dengan hidayah dan inayah-Nya. Wallahua’lam.
 
(dinukil dan diedit dari HALAQAT AS-SALIKIN karangan SYAIKH ABDULLAH FATHURRAHMAN )
 
Batam,  09 Syawal 1433 H /   3  Juni  2012
KH. BACHTIAR AHMAD

Tuesday 4 September 2012

DIALOG HATI


oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
========================
Siang itu sambil menunggu masuknya waktu sholat zhuhur; lantaran belum ada jamaah yang datang untuk diajak berdialog,  sambil melihat tiap sudut ruangan musholla “Darul Mukminin”; tempat dimana selama kurang lebih 5 bulan terakhir ini saya sujud dan berzikir kepada Allah; ada “dialog hati” yang menyelusup ke dalam pendengaran yang  berbicara tentang keberangkatan saya esok pagi “pulang kampung ke Bagansiapi-api”.

Dari salah satu sudutnya hatiku berkata:

“Belajar dari dinamikanya kehidupan, maka perpisahan itu artinya adalah: Jika bukan engkau yang meninggalkan, maka engkaulah yang akan ditinggalkan. Jadi tak usah bersedih hati, persiapkan saja bekal untuk berjalan; baik ketika engkau akan berjalan meninggalkan orang-orang engkau cintai, maupun ketika engkau akan berjalan menyusul mereka. Dan Allah telah memperingatkan, bahwa: “ Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baiknya bekal adalah takwa; dan bertakwalah kepada-KU hai orang-orang yang berakal.  (QS.Al-Baqarah: 197)”

Jakarta, 17 Syawal 1433 H / 04 September 2012
KH.BACHTIAR AHMAD.

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.