0leh: KH.Bachtiar
Ahmad
====================
Pada awalnya “Said
bin Amir” menolak tawaran “Amirul Mukminin” Umar bin Khattab untuk dijadikan
sebagai Gubernur Suriah yang berkedudukan di Homs menggantikan “Muawiyah”.
Sebab Said tak ingin jabatan itu menjadi fitnah bagi diri dan keluarganya. Akan
tetapi ketika Umar r.a mengatakan: “Demi Allah, saya tak hendak melepaskan
Anda! Apakah tuan-tuan hendak membebankan amanat dan khilafah di atas pundakku
lalu tuan-tuan meninggalkan daku.” Maka Said bin Amir dengan
ikhlas menerima jabatan tersebut.
Beberapa waktu
kemudian Umar r.a berkunjung Suriah dan sesampainya di Homs Umar menerima
pengaduan dan keluhan dari rakyat di sana tentang “kepemimpinan” Said bin Amir
r.a.
Kepada Umar
disampaikan, bahwa: Pertama, Said baru keluar rumah menemui rakyatnya setelah
matahari tinggi; Kedua, Said tidak mau melayani mereka pada waktu malam;
Ketiga, Dalam sebulan ada dua hari dimana Said sama sekali tidak mau keluar
rumah untuk menemui mereka; Dan yang ke-empat, pada waktu-waktu tertentu Said
bin Amir tiba-tiba semaput dan kemudian jatuh pingsan.
Mendengar pengaduan
tersebut Umar r.a merasa malu dan segera memohon ampun kepada Allah, kemudian
dipanggilnya Said bin Amir dan diminta untuk menjelaskan persoalan yang
sebenarnya di hadapan orang banyak sebagai pembelaan diri atas pengaduan yang
dituduhkan kepadanya. Lalu Said bin Amir berkata:
“Demi
Allah wahai amirul mukminin, sungguh saya tak ingin membela diri andai hal itu
diperkenankan. Sebab saya takut pembelaan itu nanti menjadikan saya riya’ di
hadapan Allah. Akan tetapi lantaran ini merupakan tanggung jawab saya kepada
orang-orang yang saya pimpin dan kepada tuan yang telah mengamanahkan jabatan
itu kepada saya, maka mohon ampun kepada Allah jika hal ini merupakan satu
kekeliruan dan kealpaan saya dalam menjalankan jabatan yang diamanhkan kepada
saya.”
Sesaat setelah berhenti Said melanjutkan
perkataannya:
“Wahai amirul
mukminin, sesungguhnyalah keluarga kami tidak punya pembantu, maka untuk itu sayalah
yang mengaduk tepung dan membiarkannya sampai mengeram, lalu saya membuat roti untuk
makanan keluargaku. Setelah itu saya berwudhuk dan mengerjakan shalat dluha dua
raka’at; dan barulah sesudah itu saya keluar menemui orang banyak.”
“Adapun tuduhan
bahwa saya tidak mau melayani mereka di
waktu malam, maka, demi Allah, sungguh saya benci untuk menerangkannya. Bahwa
sebenarnya di siang hari saya sudah menyediakan waktu bagi mereka, dan malam
harinya saya ingin memanfaatkan waktu saya hanya untuk dan kepada Allah. Sedangkan
keluhan mereka bahwa dua hari setiap bulan sya tidak keluar rumah untuk menemui mereka, sesungguhnya saya tak punya
banyak pakaian untuk dipergantikan, maka terpaksalah saya mencucinya dan
menunggu sampai kering; setelah itu
barulah saya keluar menemui mereka.”
Kemudia Said bin Amir melanjutkan penjelasannya:
“Mengenai keluhan
bahwa saya suka semaput dan jatuh pingsan itu, hal itu adalah dikarenakan saya
sempat menyaksikan Khubaib Al-Anshari pada sa’at di-eksekusi oleh orang-orang
kafir Quraisy sewaktu di Makkah dulu (saat itu Said belum masuk Islam). Setelah tubuhnya disalib kemudian disayat dan
di-iris-iris, orang-orang kafir itu membawanya dengan tandu dan sempat pula
mendengar mereka berkata kepada Khubaib
yang sedang sekarat: “Hai Khubaib, Said, maukah
tempatmu ini diisi oleh Muhammad sebagai gantimu, sedang kamu berada dalam
keadaan sehat walafiat?” Yang kemudian sambil menahan
rasa sakitnya Khubaib berkata dengan lantang:
“Demi Allah, saya tak ingin berada
dalam lingkungan anak istriku diliputi keselamatan dan kesenangan dunia, sementara
Rasulullah SAW ditimpa bencana, walau hanya sekadar tusukan duri yang kecil. “Wahai
amirul mukminin, setiap kali saya terkenang akan peristiwa itu tubuhku gemetar
karena takut balasan dan siksaan Allah kepada orang-orang yang zalim.”
Kini orang banyak sudah mengetahui alasan dan
jawaban Said bin Amir r.a, mereka meminta maaf karena telah berprasangka buruk
kepada Said. Sementara Umar r.a sangat teharu sampai-sampai kemudian ia memeluk
Said bin Amir dan mencium kening dan sekaligus mendo’akan kebaikan bagi
sahabatnya itu beserta seluruh keluarga Said r.a.
Lalu adakah pemimpin di negeri ini yang mampu
meneladani jejak rekam kehidupan Said bin Amir r.a tersebut. Pemimpin yang
tidak menyembunyikan “kemunafikan” di balik baju keta’atannya kepada Allah
Ta’ala. Pemimpin yang hidup “miskin”, sekalipun mungkin ia mampu memperkaya
diri dan keluarganya dengan jabatan yang diamanahkan kepadanya. Semoga saja Allah Ta’ala segera memberikan
pemimpin yang benar-benar ta’at dan amanah bagi kita semua. Pemimpin yang
kebajikan ruhaniah sejajar, sama dan sebangun dengan lahiriahnya, yang tidak
akan membuat kita kecewa karena
kemunafikannya. Aaamiin ya robbal
‘alamiin…….. - Wallahua’lam.
(dinukil dan diedit dari Kisah-Kisah Sufistik/Kisah
Para Sahabat Rasulullah SAW)
Bagansiapiapi, 27 Rajab 1435 H / 27 Mei 2014.
KH.Bachtiar Ahmad.
No comments:
Post a Comment