Friday 6 June 2014

KETIKA SAID BIN AMIR r.a JADI PEMIMPIN (1)



0leh: KH.Bachtiar Ahmad
====================
Pada awalnya “Said bin Amir” menolak tawaran “Amirul Mukminin” Umar bin Khattab untuk dijadikan sebagai Gubernur Suriah yang berkedudukan di Homs menggantikan “Muawiyah”. Sebab Said tak ingin jabatan itu menjadi fitnah bagi diri dan keluarganya. Akan tetapi ketika Umar r.a mengatakan: “Demi Allah, saya tak hendak melepaskan Anda! Apakah tuan-tuan hendak membebankan amanat dan khilafah di atas pundakku lalu tuan-tuan meninggalkan daku.” Maka Said bin Amir dengan ikhlas menerima jabatan tersebut.

Beberapa waktu kemudian Umar r.a berkunjung Suriah dan sesampainya di Homs Umar menerima pengaduan dan keluhan dari rakyat di sana tentang “kepemimpinan” Said bin Amir r.a.

Kepada Umar disampaikan, bahwa: Pertama, Said baru keluar rumah menemui rakyatnya setelah matahari tinggi; Kedua, Said tidak mau melayani mereka pada waktu malam; Ketiga, Dalam sebulan ada dua hari dimana Said sama sekali tidak mau keluar rumah untuk menemui mereka; Dan yang ke-empat, pada waktu-waktu tertentu Said bin Amir tiba-tiba semaput dan kemudian jatuh pingsan.

Mendengar pengaduan tersebut Umar r.a merasa malu dan segera  memohon ampun kepada Allah, kemudian dipanggilnya Said bin Amir dan diminta untuk menjelaskan persoalan yang sebenarnya di hadapan orang banyak sebagai pembelaan diri atas pengaduan yang dituduhkan kepadanya. Lalu Said bin Amir berkata:

 Demi Allah wahai amirul mukminin, sungguh saya tak ingin membela diri andai hal itu diperkenankan. Sebab saya takut pembelaan itu nanti menjadikan saya riya’ di hadapan Allah. Akan tetapi lantaran ini merupakan tanggung jawab saya kepada orang-orang yang saya pimpin dan kepada tuan yang telah mengamanahkan jabatan itu kepada saya, maka mohon ampun kepada Allah jika hal ini merupakan satu kekeliruan dan kealpaan saya dalam menjalankan jabatan yang diamanhkan kepada saya.”

Sesaat setelah berhenti Said melanjutkan perkataannya:

“Wahai amirul mukminin, sesungguhnyalah keluarga kami tidak punya pembantu, maka untuk itu sayalah yang mengaduk tepung dan membiarkannya sampai mengeram, lalu saya membuat roti untuk makanan keluargaku. Setelah itu saya berwudhuk dan mengerjakan shalat dluha dua raka’at; dan barulah sesudah itu saya keluar menemui orang banyak.”

“Adapun tuduhan bahwa saya tidak mau  melayani mereka di waktu malam, maka, demi Allah, sungguh saya benci untuk menerangkannya. Bahwa sebenarnya di siang hari saya sudah menyediakan waktu bagi mereka, dan malam harinya saya ingin memanfaatkan waktu saya hanya untuk dan kepada Allah. Sedangkan keluhan mereka bahwa dua hari setiap bulan sya tidak keluar rumah untuk  menemui mereka, sesungguhnya saya tak punya banyak pakaian untuk dipergantikan, maka terpaksalah saya mencucinya dan menunggu sampai kering; setelah  itu barulah saya keluar menemui mereka.”

Kemudia Said bin Amir melanjutkan penjelasannya:

“Mengenai keluhan bahwa saya suka semaput dan jatuh pingsan itu, hal itu adalah dikarenakan saya sempat menyaksikan Khubaib Al-Anshari pada sa’at di-eksekusi oleh orang-orang kafir Quraisy sewaktu di Makkah dulu (saat itu Said belum masuk Islam). Setelah tubuhnya disalib kemudian disayat dan di-iris-iris, orang-orang kafir itu membawanya dengan tandu dan sempat pula mendengar mereka  berkata kepada Khubaib yang sedang sekarat:  “Hai Khubaib,  Said,  maukah tempatmu ini diisi oleh Muhammad sebagai gantimu, sedang kamu berada dalam keadaan sehat walafiat?” Yang kemudian sambil menahan rasa sakitnya Khubaib berkata dengan lantang:  Demi Allah, saya tak ingin berada dalam lingkungan anak istriku diliputi keselamatan dan kesenangan dunia, sementara Rasulullah SAW ditimpa bencana, walau hanya sekadar tusukan duri yang kecil. “Wahai amirul mukminin, setiap kali saya terkenang akan peristiwa itu tubuhku gemetar karena takut balasan dan siksaan Allah kepada orang-orang yang zalim.”

Kini orang banyak sudah mengetahui alasan dan jawaban Said bin Amir r.a, mereka meminta maaf karena telah berprasangka buruk kepada Said. Sementara Umar r.a sangat teharu sampai-sampai kemudian ia memeluk Said bin Amir dan mencium kening dan sekaligus mendo’akan kebaikan bagi sahabatnya itu beserta seluruh keluarga Said r.a.

Lalu adakah pemimpin di negeri ini yang mampu meneladani jejak rekam kehidupan Said bin Amir r.a tersebut. Pemimpin yang tidak menyembunyikan “kemunafikan” di balik baju keta’atannya kepada Allah Ta’ala. Pemimpin yang hidup “miskin”, sekalipun mungkin ia mampu memperkaya diri dan keluarganya dengan jabatan yang diamanahkan kepadanya.  Semoga saja Allah Ta’ala segera memberikan pemimpin yang benar-benar ta’at dan amanah bagi kita semua. Pemimpin yang kebajikan ruhaniah sejajar, sama dan sebangun dengan lahiriahnya, yang tidak akan membuat kita kecewa  karena kemunafikannya.   Aaamiin ya robbal ‘alamiin…….. - Wallahua’lam.

(dinukil dan diedit dari Kisah-Kisah Sufistik/Kisah Para Sahabat Rasulullah SAW)

Bagansiapiapi, 27 Rajab 1435 H / 27 Mei 2014.
KH.Bachtiar Ahmad.

No comments:

Post a Comment

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.