Friday, 18 September 2015

IN SYAA’ ALLAH bukan “PEMANIS KATA”

oleh: KH. Bachtiar Ahmad
======================
Ketika ada orang atau pihak lain meminta kita melakukan sesuatu dan berjanji akan melakukannya di kesempatan berikutnya, maka Allah Ta’ala mewajibkan kita untuk mengucapkan “in syaa’ Allah” (Malaysia: in shaa’ Allah). Sebab bagaimanapun juga kita adalah makhluk yang lemah yang tidak akan mampu melakukan sesuatu apapun tanpa izin dan pertolongan Allah Ta’ala. Akan tetapi banyak di antara kita yang mengucapkannya sebagai “pemanis kata” untuk menyenangkan hati pihak yang meminta, lantaran pada saat permintaan itu diajukan hati kecil kita sudah menolak untuk tidak memenuhi keinginan si peminta. Dan kesalahan semacam itu boleh jadi kita lakukan terus menerus dan berulang-ulang tanpa pernah memikirkan dampak buruknya.
 
Patut kita ketahui, bahwa ucapan atau kalimat “in syaa’ Allah” secara umum maknanya adalah “jika Allah mengkehendaki atau mengizinkannya”.  Dan ini adalah kalimat yang diucapkan oleh para Nabi dan Rasul Allah untuk meneguhkan janji atau kesediaan mereka terhadap apa yang diminta oleh seseorang kepada mereka.  Hal yang demikian itu  secara tersirat dan tersurat Allah terangkan dalam Kitab-Nya; sebagaimana yang diucapkan oleh “Nabi Ismail a.s” kepada ayahandanya “Nabiyallah Ibrahim a.s” tatkala kepadanya disampaikan; Bahwa Allah memberi perintah untuk menyembelih dirinya:

“Maka tatkala anak itu (Ismail) sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu.” Ia (Ismail) menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; in syaa’ Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (Q.S. Ash-Shaffat: 102)

Begitu juga dengan “Nabi Musa a.s” mengucapkannya ketika “Nabi Khidr a.s” menyatakan, bahwa dirinya (Nabi Musa) tidak akan sanggup bersabar mengikuti perjalanan dan pelajaran yang akan di-ikutinya. Al-Quran menerangkan:

“Musa berkata kepada Khidr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” //  Dia (Khidr)  menjawab: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. //  Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” // Musa berkata: “ In syaa’ Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.” (Q.S.Al-Kahfi: 66-69)

Oleh keadaan yang demikian itulah Allah Ta’ala mengingatkan  Rasulullah “shallallaahu ‘alaihi wa sallam”, agar beliau mengucapkan kalimat “in syaa’ Allah” tatkala beliau bersungguh-sungguh ingin menjawab pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang kafir pada ke esokan harinya. Padahal untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut beliau sangat mengharapkan turunnya “wahyu” dari Allah Ta’ala. Dalam hal inlah Allah Ta’ala berfirman:

 “Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi; //  kecuali (dengan menyebut): “In syaa’ Allah”;  Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.” (Q.S. Al-Kahfi: 23-24)

Dan sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Jabir At-Tabari, lantaran kelalaian Rasulullah tersebut; Maka Allah menunda turunnya wahyu dalam waktu yang cukup lama.

Selanjutnya mengacu pada keterangan di atas “Syaikh Abdullah Al-Ghazali” menjelaskan bahwa; “Hanya orang yang jujur dan bersungguh-sungguh dengan niatnya, yang pantas mengucapkan in syaa’ Allah”. Atau dengan kata lain,  ucapan atau perkataan  “in syaa’ Allah” tersebut hanya diucapkan oleh “orang yang beriman” ketika dia merasa sanggup dan sungguh-sungguh ingin memenuhi permintaan atau apa yang di-inginkan oleh orang lain kepadanya. Jadi  ucapan “in syaa’ Allah” bukanlah “pemanis kata” untuk menyenangkan hati; atau dengan kata lain bermaksud “ngeles” atau menghindar dari apa yang diminta atau di-inginkan oleh seseorang pada dirinya.

Dikatakan oleh “Syaikh Abdullah Al-Ghazali”, bahwa dalam hal ini jika sejak awal dia memang berniat atau bermaksud  untuk “tidak”  memenuhi permintaan atau keinginan atau apa yang diharapkan orang lain pada dirinya, maka dia tidak boleh mengucapkan “in syaa’ Allah”. Karena hal itu dianggap telah “melecehkan” kedudukan dan kekuasaan Allah; atau dengan kata lain dia telah melindungi keburukan dirinya dengan menjual nama Allah. Atau bisa saja disebut bersumpah dengan nama Allah untuk menutupi kebohongannya. Dan hal tersebut tidak hanya digolongkan kepada perbuatan “dosa besar” Dan dirinya dapat digolongkan dalam kelompok “orang munafik” sebagaimana yang ditegaskan Allah Ta’ala dengan Firman-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? //  Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.”  (Q.S. Ash-Shaffat: 2-3)

Alhasil ketika kita diundang untuk hadir dalam suatu acara dan memang tidak ada kesempatan atau memang tidak mau menghadirinya, maka janganlah berlindung di balik ucapan “in syaa’ Allah” hanya karena ingin menyenangkan hati si pengundang. Atau ketika diminta untuk membantu atau menyumbang “dana” untuk suatu kegiatan; lebih-lebih lagi yang berkaitan dengan “fi sabilillah”, maka adalah lebih baik berterus terang atau meminta ma’af karena memang tidak bisa memenuhinya; jangan ucapkan “in syaa’ Allah” kecuali memang sungguh-sungguh berniat untuk membantu jika Allah memberi kelapangan dan kemudahan untuk itu.

Semoga kita tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang munafik !
Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 4 Dzulhijjah 1436 H / 18 September 2015
KH. Bachtiar Ahmad

No comments:

Post a Comment

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.