oleh:
KH.Bachtiar Ahmad
=====================
Anak
adalah “buah hati” bagi kedua orang
tuanya yang sangat disayangi dan dicintainya. Oleh sebab itulah di awal
pernikahan; ketika bahtera rumah tangga
pertama kali diarungi; Banyak pasangan suami isteri yang berharap kepada Allah Ta’ala
agar segera dikaruniai anak. Bahkan ada yang merancang dan berharap berapa
banyak anak yang diinginkan.
Adapun
isyarat akan betapa penting dan berartinya kehadiran anak dalam kehidupan
seorang ayah dan ibu, telah disiratkan Allah Ta’ala melalui kisah Nabi Zakaria
dan Nabi Ibrahim a.s. sebagaimana firman-Nya:
“Di
sanalah Zakariya mendoa kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah
aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar
do’a.” (Q.S. Ali ‘Imran: 38)
“Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di
hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha
Mendengar (dan Memperkenankan) do’a.” (Q.S. Ibrahim: 39)
Tatkala harapan memiliki
“timangan” terpenuhi, maka semua orang tua tentunya berharap agar sang
anak si buah hati kelak akan menjadi “anak yang shalih”, berguna bagi
orang tua; keluarga; bangsa; negara dan tentu saja yang lebih utama lagi dalam
hal agamanya. Lebih-lebih lagi jika dikaitkan dengan sabda Rasulullah SAW
sebagaimana yang disebutkan dalam salah
satu hadis beliau; Bahwa seorang “anak
yang shalih” adalah merupakan “aset” atau “harta” yang tidak dapat dinilai berapa harganya, karena ketika
seseorang telah “terkubur” di dalam tanah, maka “do’a anak yang shalih” akan terus mengalir untuk kedua orang
tuanya. Bahkan di Hari Kiamat nanti, si anak dapat memberikan “syafa’at” yang akan meringankan langkah
orang tuanya untuk memasuki surganya Allah. Dan oleh yang hal yang demikian
inilah Allah Ta’ala mengajarkan kepada kita untuk senantiasa berdo’a memohon
anak yang shalih sebagaimana yang dimohonkan oleh Nabi Ibrahim a.s:
“Ya
Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang
saleh.” (Q.S.Ash-Shaffat:
100)
“Ya Tuhanku,
jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya
Tuhan kami, perkenankanlah doaku.” (Q.S.Ibrahim:
40)
Atau dalam lafaz do’a yang sering kita
bacakan seusai sholat:
“Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan
keturunan kami sebagai penyenang hati kami, dan jadikanlah kami imam bagi
orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Furqan: 74)
Akan tetapi walaupun
masalah ini sudah kita maklumi dan pahami, dalam kenyataannya apa yang
dilakukan orang tua terhadap anak-anak mereka banyak yang bertolak belakang
dengan apa yang telah diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Banyak orang tua yang
lebih terobsesi pada kesuksesan “duniawi”
anaknya daripada menjadikan buah hatinya sebagai “anak yang shalih” dalam artian yang sesungguhnya. Bahkan untuk
mencapai tujuan-tujuan yang bersifat duniawi tersebut, banyak orang tua yang
rela dan habis-habisan membiayai pendidikan sang anak si buah hati. Sementara
untuk kepentingan “ukhrawinya”, hanya
sebatas yang dianggap perlu-perlu saja. Artinya, asal anak bisa sholat; bisa
(sekadar) mengaji atau membaca Al-Quran dan mengerti sedikit hukum-hukum agama,
maka hal itu sudah dianggap cukup memadai untuk kehidupan akhiratnya. Padahal kita semua tahu persis, bahwa bagi orang-orang yang beriman; akhirat jualah
tempat yang paling baik buat mereka sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala:
“Katakanlah: “Kesenangan di
dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang
bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.” (Q.S. An-Nisa’: 77)
Masalah ini memang sesuatu yang sangat klasik, tapi
tentu saja tidak bisa diabaikan begitu saja oleh setiap orang tua atau mereka yang akan menjadi orang
tua bagi anak-anaknya. Karena dengan semakin berkembangnya teknologi duniawi,
tantangan yang akan dihadapi akan lebih besar dan sangat kompleks. Dan satu hal
lagi yang paling utama untuk diperhatikan dan diwaspadai adalah tentang apa
yang telah diperingatkan oleh Allah Ta’ala:
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang
kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya
petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).” Dan sesungguhnya jika kamu
mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu (maksudnya
setelah beriman), maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong
bagimu.” (Q.S. Al-Baqarah: 120)
Mudah-mudahan
dengan pertolongan Allah Ta’ala, kita mampu menjadikan “buah hati” yang kita cintai itu sebagaimana yang dikehendaki oleh
Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Aamiin ya robbal ‘aalamin…..!
Wallahua’lam.
Bagansiapiapi,
17 Jumadil Awal 1437 H /26 Pebruari 2016
KH.BACHTIAR
AHMAD
No comments:
Post a Comment