=======================
Rajab identik
sekali dengan (peringatan) Isra’ Mi’raj-nya Nabi Besar Muhammad SAW. Dan
biasanya yang paling banyak menjadi bahan ceramah para muballig adalah masalah
sholat. Hal ini tentu tak bisa disalahkan, sebab berdasarkan sejarahnya; maka
dalam peristiwa (Isra’) Mi’raj itulah Rasulullah SAW menerima perintah sholat
untuk diteruskan kepada dan dilaksanakan oleh umat beliau.
Akan tetapi dengan mencermati keadaan yang ada, khususnya situasi dan
kondisi yang ada sekarang ini, maka alangkah baiknya jika kita membicarakan;
mengambil hikmah dan pelajaran tentang
pemantapan aqidah/ tauhid
dari peristiwa Isra’dan Mi’raj tersebut. Tidak hanya dari beberapa catatan yang
ada, tapi bisa digali dari perintah sholat itu sendiri. Jadi tidak hanya
seputar masalah sejarah; hukum dan beberapa keutamaan sholat sebagaimana yang
sudah sering kita dengar.
Tengok
dan simaklah keadaan kita saat ini; keadaan sebahagian besar kaum Muslimin,
khususnya di negeri yang kita cintai ini. Banyak di antara kita yang sudah ta’at
mendirikan sholat; sudah menunaikan haji
(bahkan beberapa kali, belum lagi khusus umrohnya); membayar zakat; bersedekah
serta mengamalkan berbagai amaliah lahiriah lainnya. Akan tetapi sebenarnya,
sadar atau tidak sadar, banyak yang terjerembab dan terperangkap dalam
“kemusyrikan” lantaran aqidah atau tauhid yang dimiliki sudahterkontaminasdi
atau bercampur dengan “sesuatu”. Sedangkan hakikatnya adalah, bahwa Allah SWT
tidak boleh dipersekutukan dengan sesuatu.
Tidak
sedikit pula yang beranggapan, bahwa dengan melakukan amaliah lahiriah yang
diperintahkan itu dengan sebaik-baiknya; merasa sudah jadi orang yang beriman
dan bertakwa dan akan mudah masuk ke dalam surga yang dijanjikan Allah SWT. Padahal
amaliah lahiriah seperti sholat; haji;
zakat; shodaqoh dan atau perintah ibadah
lainnya itu hanyalah merupakan sarana dan prasarana yang mengantarkan seseorang
ke pintu surga; sedangkan kunci utamanya
adalah aqidah atau tauhid yang murni dan bersih dari segala macam bentuk
kemusyrikan. Lalu bagaimanakah caranya kita akan masuk ke dalam surganya Allah,
jika kuncinya salah. Dan inilah yang sebenarnya yang menjadi inti dari apa yang
disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadis beliau:
“Barangsiapa yang ucapan terakhirnya (disaat kematiannya) adalah Laa
ilaha illallaah, maka dia akan masuk surga.” (HR.Thabrani)
Dan
ini jugalah yang sebenarnya menjadi makna (tafsiran) inti dari firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar
takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan
beragama Islam.” (QS. Ali ‘Imran: 102)
Artinya; hendaklah
kamu mati dalam keadaan bertauhid; bukan hanya sekadar mati sebagai orang
Islam.
Kata
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: “Tauhid adalah pintu pertama untuk masuk
Islam dan pintu terakhir untuk keluar dari dunia.”
Bahkan
dalam kaidah agama ada dikatakan: “Yang pertama kali dalam agama adalah
“ma’rifatullah (bertauhid kepada Allah)”
Lalu apa kaitannya
peristiwa Isra’ dan Mi’raj-nya Rasulullah SAW dengan pemantapan Tauhid? Baik
bagi beliau sendiri, lebih-lebih lagi bagi ummat beliau (kaum muslimin).
Bagi
Muhammad SAW sendiri sebenarnya tak ada masalah, sebab ada atau tidaknya
peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang beliau alami, sebagai hamba yang dipilih dan
terpilih, maka beliau memang sudah dijadikan Allah sebagai hamba yang memiliki
Tauhid yang sempurna. Sebagai Nabi dan Rasul Allah; Muhammad SAW tidak perlu
diuji keyakinannya pada Maha Esa dan Maha Kuasanya Allah dalam segala hal;
sekalipun beliau tidak pernah bertemu dengan Allah; menyaksikan kebenaran
adanya surga dan neraka dan hal-hal ghaib lainnya, yang sebelumnya tidak pernah
beliau lihat dengan mata kepala; kecuali hanya mendengar dan mengetahuinya
melalui wahyu yang diturunkan Allah kepadanya.
Oleh
sebab itulah banyak disebutkan dalam berbagai kisah, bahwa Isra’ dan Mi’rajnya beliau hanyalah sebagai
hadiah atas keta’atan beliau kepada Allah dan sekaligus sebagai obat kesedihan
atas wafatnya isteri beliau Khadijah al-Kubro dan Abu Thalib, paman tercinta
yang selama ini telah mengasuh dan
banyak membela dakwah yang beliau sampaikan dari serangan dan gangguan
orang-orang kafir Quraisy.
Akan
tetapi di sisi lain tentu saja apa yang beliau lihat dan yang diperlihatkan
Allah SWT dalam peristiwa tersebut, seperti keadaan surga dan segala macam
kenikmatannya; neraka dan segala macam siksaannya; serta hal-hal ghaib lainnya,
tentulah akan memberikan nilai tambah bagi dakwah yang beliau sampaikan kepada
umat manusia; khususnya para sahabat dan orang-orang beriman yang mengikuti
beliau.
Jadi
dengan demikian jelaslah, bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj tersebut adalah
lebih ditujukan dan dimaksudkan sebagai ujian keimanan dan keyakinan para
sahabat dan orang-orang yang telah
menyatakan dirinya sebagai umat beliau.
Akan
tetapi sangatlah disayangkan, seiring dengan perjalanan waktu, nilai-nilai
aqidah ataupun tauhid yang dimiliki umat
Muhammad SAW, kian hari kian tergerus dan terkikis oleh kemajuan zaman dan
kepentingan mereka terhadap dunia. Sehingga pada akhirnya, aqidah atau tauhid
yang dimiliki umat ini (kaum muslimin), hanyalah sebatas wacana harian belaka;
hanya menjadi tutur pembicaraan sehari-hari yang sangat untuk diaplikasikan
dalam gerak kehidupan; bahkan ibadah sekalipun. Lantaran acapkali ibadah yang
dilakukan juga punya latar belakang atau motivasi tertentu; tidak lagi “lillahi
ta’ala” sebagaimana yang dikehendaki; yang tersirat dan tersurat dalam firman
Allah SWT:
“dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.” (QS.Adz-Dzariyaat:
56)
Bahkan
sebagaimana juga yang acapkali kita ikrarkan:
“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS.Al-An’aam: 162)
Dulu: ketika
Rasulullah SAW menerangkan tentang azab kubur dan siksa neraka; banyakl para
sahabat yang gemetar; menangis ketakutan; seakan-akan mereka sudah merasakan
azab itu sebelumnya.
Sekarang: ketika
hal yang sama disampaikan kepada umat (Islam), mereka acuh tak acuh; bahkan ada
yang menjadikannya sebagai bahan tertawaan dan guyonan.
Dulu: Ketika
Rasulullah SAW meminta para sahabat menginfakkan harta benda mereka untuk fi
sabilillah, maka mereka berlomba-lomba bersaing untuk menyerahkan harta
sebanyak-banyaknya bagi kepentingan
agama Allah dan sekaligus amal ibadah mereka.
Sekarang: Untuk
berinfaq di Masjid saja; hanya sekali dalam seminggu setiap hari Jum’at; banyak
yang hitung-hitungan, takut kebanyakan memberi. Sebaliknya yang ada
berlomba-lomba mengumpulkan harta untuk alasan-alasan tertentu; sekalipun harus
dengan cara-cara yang tidak dihalalkan Allah dan Rasul-Nya.
Dulu: Ketika
Rasulullah SAW bercerita tentang akan adanya pembalasan Allah SWT untuk sekecil
apapun kejahatan yang dilakukan oleh manusia, maka banyak sahabat yang jatuh
pingsan, bahkan ada di antaranya yang ingin segera mati saja, takut-takut kalau
panjang umur, makin banyak kesalahan dan dosa yang diperbuat; Entah sengaja atau
tidak.
Sekarang: Hal itu
dianggap biasa-biasa saja, bahkan mereka lebih takut pada KPK; Jaksa; Polisi
dan atau para penegak hukum lainnya, lantaran kejahatan-kejahatan yang
mereka lakukan; soal Tuhan (Allah) adalah soal nanti, yang penting bagaimana sekarang
ini bisa menikmati hidup.
Padahal
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, dalam soal ibadah adakalanya mereka
berlomba-lomba untuk ta’at dalam menunjukkan betapa keimanan dan ketakwaan yang
mereka miliki.
Oleh
karenanya dengan peringatan Isra’ dan Mi’raj tahun ini, mari kita kembali
sejenak mengukur kadar dan nilai serta memantapkan kembali aqidah / tauhid kita
kepada Allah SWT, agar amal ibadah yang kita lakukan tidak sia-sia. Jangan lagi
kita asyik membicarakan masalah-masalah ibadah lahiriah (tentunya juga tak bisa
diabaikan begitu saja), sementara ruh ibadah itu sendiri (yakni tauhid) tak
pernah kita upayakan untuk meningkatkannya. (Insya Allah akan disambung) Wallahua’lam.
Bagansiapiapi,
20 Rajab 1432 H / 22 Juni 2011
KH. BACHTIAR AHMAD
No comments:
Post a Comment