oleh: KH. BACHTIAR
AHMAD
========================
Kejujuran atau sifat jujur adalah sesuatu yang paling berharga dan
bernilai tinggi dalam kehidupan manusia. Dan oleh karena memiliki kejujuran
inilah Rasulullah SAW; Muhammad bin Abdullah mendapat tempat terhormat di
kalangan penduduk Makkah, sehingga akhirnya beliau diberi gelar kehormatan Al-Amin
atau orang yang sangat dipercaya dan terpercaya ucapan dan tindakannya,
jauh-jauh hari sebelum beliau mendapat wahyu dan dilantik sebagai utusan Allah.
Imam Al-Qusyairi dan
Al-Wasithy (semoga Allah
merahmati beliau berdua) menyatakan; Bahwa “kejujuran adalah pangkal
Tauhid yang menjadi pokok pangkal dari takwa” Artinya adalah; bahwa siapa saja yang telah
bersyahadat, tapi tidak sepenuhnya melaksanakan apa yang diperintahkan dan apa
yang dilarang Allah SWT dan Rasul-Nya, maka ia belum dapat dikatakan memiliki keimanan
yang sempurna, dan belum bisa disebut sebagai orang yang bertakwa. Sebab secara
umum makna dan hakikat iman itu adalah; ucapkan dengan lidah; benarkan
dengan hati; dan buktikan dengan perbuatan nyata. Sedangkan makna
takwa secara umum adalah taat melaksanakan apa yang diperintahkan
dan meninggalkan semua yang dilarang oleh Allah SWT (dan Rasul-Nya).
Pendapat Al-Qusyairi dan Al-Waithy tersebut boleh
jadi dapat dibenarkan, jika kita kaitkan dengan sebuah hadis Rasulullah
SAW yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dan Al-Bazzar r.a yang menerangkan:
“Bahwa seseorang
bertanya kepada Rasulullah SAW: “Ya Rasulullah, terangkan kepadaku, apa yang
paling berat dan apa yang paling ringan dalam beragama Islam?”. Maka Rasulullah
SAW bersabda: “Yang paling ringan dalam beragama Islam ialah membaca syahadat
atau kesaksian bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah dan Nabi Muhammad adalah Rasulullah. Sedang yang paling berat
adalah hidup jujur (dapat dipercaya). Sesungguhnya, tidak ada agama bagi orang
yang tidak jujur. Bahkan, tidak ada shalat dan tidak ada zakat bagi mereka yang
tidak jujur."
Selanjutnya mengacu kepada hadis Rasulullah SAW di atas, maka banyak ulama yang mengatakan bahwa: “Kejujuran adalah pangkal takwa yang
sebenar-benarnya.”
Sedangkan Imam
Al-Ghazali menyatakan; “Jujur adalah pangkal ikhlas atau
tidaknya semua amal perbuatan seorang hamba. Seseorang tidak akan
sampai ke tingkatan ikhlas yang sesungguhnya, jika tidak memiliki kejujuran.”
Al-Junaid mengatakan: “seseorang
bisa saja ikhlas dalam suatu perbuatan, akan tetapi belum tentu jujur dalam hal
lain.” (Contohnya adalah semisal sedekah yang di berikan oleh seorang
pencuri/koruptor. Si pencuri/ si koruptor bisa saja ikhlas ketika menyedekahkan
sebahagian hasil curian/korupsinya kepada orang lain, tapi belum tentu ia mau
mengungkapkan secara jujur, bahwa apa yang disedekahkannya itu adalah hasil
curian / koprusi yang dilakukannya)
Berkaitan dengan
penjelasan diatas, Syaikh Fathur-rahman menjelaskan pula; bahwa kewajiban
berpuasa yang diperintahkan Allah SWT kepada orang yang beriman di
setiap bulan Ramadhan, tujuan utamanya bukan hanya sekadar mendidik kita untuk
bertakwa sebagaimana yang terangkum dalam firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana yang diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (QS.
Al-Baqarah: 183)
Akan tetapi perintah
tersebut langsung atau tidak langsung tujuan akhirnya yang paling utama adalah,
agar di dalam diri setiap orang yang
beriman yang melaksanakan kewajiban puasa tersebut tumbuh sifat jujur atau ada
kejujuran di dalam dirinya. Dalam hal ini dikatakan oleh Syaikh Fathur-rahman
bahwa, paling tidak ada 2(dua) kondisi yang pada akhirnya dapat menumbuhkan
sifat jujur atau kejujuran dalam diri orang yang berpuasa:
Pertama: Puasa adalah ibadah yang
tersembunyi atau dalam istilah lain ada yang menyebutnya sebagai ibadah
bathiniah atau ibadah sirr, dimana kondisi puasa atau
tidaknya seseorang hanya diketahui oleh orang yang berpuasa dan
Allah SWT. Tidak ada seorangpun yang dapat menilai atau memprediksi: Apakah
seseorang itu sedang puasa atau tidak. Dan oleh keadaan ini pula, maka ibadah puasa pada
akhirnya memiliki nilai tambah tersendiri sebagaimana yang disebutkan dalam
sebuah hadis qudsi:
“Bahwa
sesungguhnya Allah SWT telah ber-firman:
“Semua kelakuan anak Adam dapat dicampuri kepentingan hawa nafsunya, kecuali
puasa. Maka hal itu melulu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalas-nya.”
(HQR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a)
Yang kedua: Besar
atau kecilnya nilai ketakwaan seseorang terletak dari besar atau kecilnya
nilai-nilai kejujuran yang dia miliki. Hal ini sangat berkaitan dengan apa yang
tellah difirmankan Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kamu kepada Allah dan katakan-lah perkataan yang benar.” (Q.S.Al-Ahzab: 70)
Lebih lanjut
Syaikh
Fathur-rahman menjelaskan,
jika seseorang itu tidak lagi memiliki nilai-nilai kejujuran, maka di saat
itulah semua amal ibadah yang dilakukannya tidak berguna sama sekali. Dan boleh jadi
keadaan inilah yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW dalam sabda beliau:
“Sesungguhnya, tidak ada
agama bagi orang yang tidak jujur. Bahkan, tidak ada shalat dan tidak ada zakat
bagi mereka yang tidak jujur.”
Mudah-mudahan pada
Ramadhan tahun ini dengan berupaya semaksimal mungkin menunaikan kewajiban
puasa Ramadhan dan ibadah-ibadah lainnya; baik yang diwajibkan mapun yang sunat;
kita telah diberikan hidayah dan inayah oleh Allah SWT untuk menapaki jalan
kejujuran yang lebih baik dari hari-hari kemarin; baik dalam keadaan berpuasa
ataupun tidak. Wallahua’lam.
Jakarta, 9 Ramadhan 1433 H / 29 Juli 2012
KH.
BACHTIAR AHMAD
No comments:
Post a Comment