(disarikan dan diedit dari “Kisah Para Sahabat”)
oleh: KH. BACHTIAR AHMAD
***********************
Beberapa saat setelah diangkat sebagai “khalifah” menggantikan Abu Bakar, maka Umar menghentikan aktifitas dagangnya, lantaran takut mengabaikan hak dan kepentingan urusan kaum muslimin. Padahal itulah satu-satunya mata pencaharian Umar untuk menafkahi keluarganya.
Melihat keadaan ini para sahabat dan kaum muslimin sepakat untuk memberikan gaji atau tunjangan jabatan buat Umar, yang dananya berasal dari dana “Baitul Maal”. Akan tetapi lantaran mereka tidak tahu berapa besar jumlah biaya yang dibutuhkan Umar sekeluarga setiap bulannya, maka mereka menawarkan kepada Umar untuk “menetapkan sendiri” gaji atau tunjangan yang pantas untuk dirinya. Dan tentu saja Umar menolak, lantaran hal itu dianggapnya tidak wajar. Umar berpendapat, bahwa orang lainlah yang lebih berhak menentukan gajinya. Akan tetapi lantaran para sahabat terus mendesak; terutama Sayyidina Ali r.a, maka Umar pun bersedia menetapkan berapa jumlah gajinya, yang disesuaikan dengan kebutuhan keluarganya setiap bulan.
Setelah beberapa waktu berlalu; beberapa orang sahabat, diantaranya; Sayyidina Ali, Utsman bin ‘Affan, Zubir bin Al-Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah r.a berembuk dalam satu majelis untuk menambah kembali gaji atau tunjangan yang diterima Umar selama ini. Sebab dalam pantauan mereka, apa yang diterima Umar “sangatlah kecil” dan tidak lagi sesuai dengan kebutuhan keluarganya. Akan tetapi majelis menemui jalan buntu lantaran tak seorangpun yang berani menyampaikan usulan itu kepada Umar. Mereka yakin Umar pasti menolak, bahkan bisa-bisa akan memarahi mereka.
Akhirnya mereka sepakat menunjuk dan meminta Ummul Mukminin yang juga merupakan puteri kandung Umar bin Khattab; Hafshah binti Umar r.a, untuk menyampaikan persoalan tersebut kepada sang khalifah; ayahandanya sendiri, dengan catatan; Hafshah tidak menyebutkan bahwa itu adalah usulan para sahabat.
Apa yang diperkirakan oleh para sahabat ternyata benar. Ketika usulan kenaikan gaji dan tunjangan itu disampaikan puterinya, maka serta merta wajah Umar memerah lantaran menahan amarah. Umar bertanya kepada puterinya, siapakah orang yang berani mengajukan usul seperti itu. Sebab Umar yakin, bahwa hal itu pasti berasal dari para sahabat beliau. Dan andai saja ia tahu siapa orang yang mengusulkan demikian, maka ia pasti akan memukul mereka satu persatu. Melihat kondisi yang demikian, maka dengan cerdiknya Hafshah berkata:
“Wahai khalifah, janganlah tergesa-gesa. Sebaiknya tolong katakan dulu, apa pendapat ayahanda tentang hal tersebut ?”
Mendengar pertanyaan puterinya Umar lalu balik bertanya kepada Hafshah:
“Wahai Hafshah, sebagai salah seorang isteri beliau, tolong engkau ceritakan tentang pakaian terbaik yang pernah dimiliki oleh Rasulullah SAW dirumah beliau.”
“Sepasang pakaian berwarna merah, yang beliau pakai pada hari Jum’at dan ketika menerima tamu.” Dengan cepat Hafshah menjawab pertanyaan Umar.
Selanjutnya terjadilah dialog antara Umar dan puterinya, Hafshah:
“Makanan apakah yang paling lezat, yang pernah dimakan oleh Rasulullah ketika berada dirumahmu.”
“Roti yang terbuat dari tepung yang kasar, yang dicelupkan ke dalam minyak, yang saya olesi dengan mentega dari sebuah kaleng yang nyaris kosong isinya. Beliau memakannya dengan nikmat dan juga membagi-bagikannya kepada orang lain.”
“Apa alas tidur yang paling baik yang pernah dipakai oleh Rasulullah ketika berada di rumahmu.”
“Sehelai kain tebal, yang pada musim panas kain tersebut dilipat empat dan pada musim dingin dilipat dua. Separuh jadi alas tidur dan separuhnya untuk selimut.”
Setelah mendengar semua jawaban Hafshah, maka Umar lalu berkata kepada puterinya:
“Wahai Hafshah, sekarang pergilah engkau kepada mereka semua, yang mengusulkan, agar aku mengambil gaji dan tunjangan yang lebih banyak dan layak menurut mereka, katakan kepada mereka: Bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW telah mencontohkan suatu pola hidup sederhana, dan merasa cukup dengan apa yang ada di dunia, demi mendapatkan akhirat yang lebih baik. Saya akan mengikuti beliau sebagaimana juga yang dilakukan oleh Abu Bakar.
Wahai Hafshah, Rasulullah; Abu Bakar dan diriku bagaikan tiga orang musafir yang menempuh jalan yang sama. Musafir yang pertama; Rasulullah SAW, telah sampai ditempat tujuannya dengan segenap perbekalannya. Demikian juga musfair yang kedua, yakni Abu Bakar, telah pula mengikuti jejak beliau dan sampai pula ke tujuannya. Sedangkan aku yang ketiga, saat ini sedang mulai berjalan ke sana. Kalau aku mengikuti jejak langkah mereka, maka insya Allah aku akan bertemu dengan mereka. Jika tidak, tentulah aku akan berpisah dengan keduanya.”
Mendengar penuturan Umar tersebut, Hafshah hanya bisa menangis dan meminta maaf kepada ayahnya dan lalu menyampai-kan pesan-pesan tersebut kepada para sahabat Rasulullah SAW yang tadinya telah mengusulkan agar Umar mau menambah gajinya.
Sekarang bandingkan dengan diri kita; dengan kebanyakan pejabat di negeri ini. Bahkan “Presiden” pun pernah mengeluhkan gajinya yang kecil.
Wallahua’lam
Bagansiapiapi, 20 Muharram 1433 H / 16 Desember 2011
KH. BACHTIAR AHMAD
No comments:
Post a Comment