Thursday, 29 December 2011

NILAI DAKWAH DALAM UNGKAPAN MELAYU.

oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
========================
Suatu ketika saya pernah mendengar sekumpulan anak muda membincangkan ungkapan-ungkapan Melayu seperti pepatah; pantun dan yang semacam dengan itu. Akan tetapi yang menjadi keprihatinan saya adalah, bahwa mereka membincangkan hal itu tidak dengan sungguh-sungguh. Mereka hanya menjadikan ungkapan-ungkapan tersebut sebagai bahan kelakar dan tertawaan. Coba anda simak apa kata mereka tentang ungkapan” “Setinggi-tinggi terbang bangau, hinggapnya (turunnya) ke kubangan juga.”. Mereka bilang ungkapan ini artinya adalah: “lantaran si bangau sudah lelah terbang dan lapar; jadi dengan demikian  pastilah si bangau turun lagi untuk makan. Mana ada bangau  yang kuat terbang lama dan tidak turun-turun serta menahan laparnya.”

Ada juga kelakar mereka tentang: “Anak di pangku dilepaskan, beruk di rimba di susukan.” Tentang ungkapan ini mereka berkomentar: Bahwa ini adalah kerjaan orang yang tidak waras, yang lebih senang mengurus anak orang daripada anak sendiri. Atau bisa saja demikian adanya, lantaran sekarang ini lebih gampang “ngurusin” beruk (monyet) ketimbang ngurusin anak. Apalagi kalau anaknya bandel; malas belajar dan suka narkoba.

Ungkapan lainnya yang sempat saya rekam di kepala adalah: “Bagai melepaskan anjing tersepit, sudah lepas dia menggigit.” Hal ini mereka komentari sebagai perbuatan orang yang iseng dan kurang kerjaan. Dan boleh jadi timbul persangkaan si anjing, bahwa yang membuat dia tersepit adalah orang yang melepaskannya itu.

Fenomena yang disampaikan di atas, boleh saja kita anggap sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Apalagi lagi anak-anak kita di zaman sekarang ini sudah jarang bahkan mungkin ada yang tidak pernah lagi mendengar kalimat yang berisi ungkapan dalam tunjuk ajar yang mereka terima. Baik dari orang tuanya, sekolah maupun lingkungannya yang lain. Maka ketika mereka mendengar hal yang demikian itu, jadilah itu semacam bahan kelakar dan tertawaan. Dan yang paling memprihatinkan lagi adalah, mereka mengatakan bahwa ungkapan-ungkapan itu lahir dari sifat pengecut dan kebodohan orang tua di masa lalu. Berbeda dengan zaman sekarang, zaman keterbukaan dimana orang biasa dan dibolehkan bicara blak-blakan. Sehingga dengan demikian tidak lagi diperlukan ungkapan-ungkapan yang mereka sebut sebagai “kata-kata bersayap

Bukan hanya mereka, barangkali andapun akan beranggapan; Bahwa ungkapan-ungkapan Melayu yang selama ini kita dengar dan yang kita ketahui hanyalah memiliki nilai filosopi lahiriah yang hanya bersangkut paut dengan urusan dunia. Seperti ungkapan tentang bangau di atas, barangkali kita hanya akan memahaminya sebagaimana adanya; Bahwa bagaimanapun jauhnya perjalanan hidup seseorang, maka sekali waktu ia akan pulang kampung juga. Atau pada ungkapan tentang anjing di atas, yang maknanya hanya kita pahami tentang perilaku seseorang yang tak tahu membalas budi atau berterima kasih atas pertolongan yang diberikan kepadanya.

Akan tetapi lebih dari itu, sebenarnya kalau kita simak dengan seksama (sebahagian besar) ungkapan Melayu yang ada; sarat dengan petuah agama. Atau boleh jadi ungkapan tersebut adalah bentuk lain dari “tafsir” ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah yang menjadi landasan dasar ataupun sendi-sendi adat istiadatnya orang Melayu yang katanya: “Adat bersendikan syarak, syarak bersendikan Kitabullah dan As-Sunnah.”

Dalam hal ini kita harus maklum bahwa, orang Melayu memiliki sikap toleransi yang tinggi terhadap sesama. Oleh karenanya mereka selalu berusaha menyampaikan petuah; nasihat ataupun tunjuk ajar kepada orang lain dengan ucapan atau kalimat yang transparan, agar orang yang menjadi sasaran perkataannya tidak mudah tersinggung. Bahkan kadang-kadang ucapannya itu ada yang tidak langsung ditujukan kepada sasarannya, bak kata pepatah “pukul anak sindir menantu”.
Begitu juga dalam hal penyampaian petuah-petuah agama, agar orang tidak merasa terlalu digurui dan merasa berat dengan fatwa-fatwa agama atau masalah sosial yang ada, maka diupayakanlah menerjemahkan pesan Quran dan Sunnah tentang perilaku sosial yang terkait ke dalam bentuk ungkapan yang khas Melayu.

Sebagai contoh dapat kita perhatikan bagaimana orang tua-tua kita mengajarkan kita tentang kesudahan hidup ini (mati) melalui ungkapan bangau di atas. Melalui perilaku sang bangau sebenarnya secara tak langsung kepada kita telah disampaikan nasihat; Silakan kalian terbang kemana saja; Atau perbuatlah sesuka hati kalian, toh pada akhirnya kalian akan mati juga (kembali ke tanah).

Coba pula renungkan makna yang tersembunyi di balik petuah tentang ”anjing yang tersepit di atas” dengan firman Allah berikut ini: “Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia; Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu kedaratan, kamu berpaling. Dan manusia itu adalah selalu tidak berterima kasih.” (Q.S. Al-Israa’: 67)

Begitu pula pada petuah tentang “anak dan beruk” di atas. Petuah ini jika kita dalami lebih jauh, maka tidak hanya sekadar membincangkan orang yang lebih mementingkan orang lain ketimbang ahli keluarganya sendiri. Akan tetapi petuah tersebut sesungguhnya juga berbicara tentang sikap kita (baca: orang Melayu) terhadap adat resam dan budaya negerinya;  Dalam hal ini “anak” dapatlah diartikan sebagai “adat istiadat / budaya” Melayu itu sendiri; sementara “beruk”  adalah adat resam kehidupan yang berasal dari luar. Bahwa pada masa ini, terutama di kalangan generasi muda orang Melayu ada kecenderungan “lebih senang memelihara dan memakai adat istiadat yang mereka anggap cocok dengan perkembangan zaman, yang berasal dari bagian dunia/bangsa lain memelihara dan memakai adat budaya negerinya sendiri.” Padahal apa yang mereka anggap baik tersebut belum tentu sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah Nabi SAW yang menjadi acuan dan sandaran dari adat istiadat kehidupan orang Melayu.

Bahkan dalam pergaulan hidup sehari-hari, kadang banyak kita jumpai orang Melayu (yang katanya Islam) lebih suka bersahabat dan berakrab-akrab dengan “orang lain yang bukan Islam” daripada dengan sesama mereka (orang Melayu). Padahal untuk hal ini agama sudah memperingatkan tentang bahayanya pergaulan semacam itu sebagaimana  firman Allah  SWT berikut ini:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlahkamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, karena mereka tidak akan pernah berhenti menimbulkan kemudharatan bagimu. Mereka (sesungguhnya) menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat Kami,jika kamu memahaminya.” (Q.S.Ali ‘Imran: 118)

Bak kata orang bagaimanapun juga jinaknya “beruk” suatu sa’at pasti akan merepotkan orang yang memeliharanya. Sebab “anak” yang merepotkan masih bisa diajar dan diajak bicara agar menjadi jinak. Sedangkan “beruk yang jinak”  tentulah akan sulit dikendalikan jika sudah berulah tingkah.

Apa yang disampaikan melalui tulisan ini hanyalah sebahagian kecil hikmah petuah atau ungkapan-ungkapan Melayu yang ada, yang pada akhir-akhir ini semakin jarang kita dengar dituturkan sebagai bahan pengajaran dan pendidikan; Baik secara formal maupun non formal dalam kehidupan keluarga orang Melayu yang hidup di zaman ini.

Mudah-mudahan dengan adanya sedikit catatan yang saya buat ini, orang Melayu (khususnya generasi muda Melayu) akan kembali terbiasa ungkapan; pepatah petitih yang ada, dan bisa memaknainya secara lebih dalam sebagai bagian pengajaran dan pembelajaran hidup yang berkaitan dengan nilai-nilai Islam. Sebab bagaimanapun juga sejak dulu sudah dikatakan bahwa sesungguhnya:  “Adat bersendi syarak; syarak bersendikan Kitabullah dan As-Sunnah.”  W a l l a h u a’ l a m

Bagansiapiapi,  11 Dzulqaidah 1431 H  / 14 Nopember 2010
KH BACHTIAR AHMA

1 comment:

  1. MUDAH MUDAHAN BAH ADAT KETIMURAN KITA TIDAK IKUT DI TELAN ZAMAN

    ReplyDelete

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.