oleh: KH.BACHTIAR AHMAD.
========================
Hari itu “pas” masuk waktu Ashar, 3 orang anak muda mampir ke Musholla Al-Fath untuk ikut berjama’ah. Dan dari penampilan mereka, saya merasa yakin bahwa mereka adalah saudara-saudara saya yang berasal dari satu “kelompok “jama’ah” yang cukup popular di negeri ini. Usai sholat Ashar, mereka meminta saya untuk “berbincang” sesaat; ingin bertanya itu dan ini dan saling tukar pendapat. Dan terus terang saja saya agak kesal, lantaran belum apa-apa mereka sudah menanyakan perihal wajah atau muka saya yang klimis tanpa “jenggot” dan “gamis” saya yang mereka nilai “kedodoran” sehingga menutup mata kaki, serta beberapa pertanyaan lainnya.
“Maaf pak haji, kok jenggotnya dicukur? Bukankah itu salah satu hal yang disunnahkan oleh Rasulullah SAW, agar kita berbeda dengan Yahudi dan Nasrani?” tanya salah seorang dari mereka. Dan belum sempat saya menjawab, datang lagi pertanyaan dari yang satunya: “Saya juga lihat gamis yang bapak pakai terlalu panjang sehingga menutupi mata kaki, padahal kita sudah disunnahkan untuk tidak memanjangkan pakaian sehingga menutup mata kaki ?”
Terus terang saja, saya sebenarnya tak mau menjawab dan mengutarakan sesuatu pendapat tentang masalah “jenggot” ini, kendati melalui “facebook” ini (setelah melihat foto yang ada) banyak pertanyaan yang diajukan (lewat inbox): “mana jenggot saya” atau “kok jenggotnya dicukur pak ?” atau yang senada dengan itu. Akan tetapi setelah 3 orang anak muda mampir menunaikan sholat Ashar berjama’ah beberapa hari yang lalu di “Musholla Al-Fath” tempat saya berjama’ah dan mendidik beberapa orang yang mau belajar kepada saya, maka “tergelitik” juga hati untuk menuliskannya di FB. Entah itu untuk berbagi pengalaman atau bisa juga untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selama ini diajukan kepada saya.
“Saudara-saudaraku, atau kalau boleh saya panggil kalian semua sebagai anak-anakku, terima kasih atas nasihat dan pandangan kalian. Akan tetapi kalau boleh saya bertanya, apa sih sebenarnya makna Sunnah Nabi SAW menurut kalian?” Saya balik bertanya kepada mereka.
“Setahu kami sunnah Nabi SAW itu adalah hal-hal dianjurkan oleh Rasulullah SAW untuk kita laksanakan sebagai seorang muslim sebagaimana yang disebutkan di dalam hadis-hadis Nabi SAW. Baik yang beliau contohkan sendiri, maupun yang beliau ucapkan dan juga yang dicontohkan oleh para sahabat, yang dalam hal ini tidak pernah dilarang oleh Rasulullah SAW”, salah seorang dari mereka menjawab pertanyaan saya.
Bak bunyi sebuah iklan saya pun bicara: “Okelah kalau begitu, lalu bagaimana hukumnya kalau kita tidak melaksanakan apa yang disunnahkan oleh Nabi SAW?” tanya saya kepada mereka.
“Namanya juga sunnah pak haji, kalau tidak kita laksanakan tentunya tidak berdosa. Tapi sebagai umat Muhammad SAW tentulah kita tidak boleh mengabaikan apa-apa yang beliau sunnahkan itu, hendaklah kita laksanakan dengan sebaik-baiknya.”
“Sebetulnya saya tak perlu berpanjang kata dengan kalian, sebab kalian sudah menjelaskannya sendiri, bahwa kalaupun saya tidak “berjenggot” atau mencukur jenggot saya, hal itu bukanlah masalah besar, namanya juga sunnah. Namun demikian kalau kalian tidak keberatan, saya juga perlu menjelaskan kepada kalian tentang alasan atau sebut saja “ijtihad” saya, kenapa saya tidak mau memelihara jenggot dan mencukurnya sampai habis. Kalau kalian mau kita lanjutkan pembicaraan, kalau tidak saya mau pamit pulang.”
Alhamdulillah mereka mau dan saya pun melanjutkan pembicaraan:
“Sesuai dengan maknanya secara umum, Islam itu adalah agama yang mengutamakan “keselamatan” dunia dan akhirat; baik untuk kita sendiri maupun untuk orang lain. Oleh sebab itulah, agar orang lain tidak teraniaya dan berdosa karena “jenggot” yang saya pelihara, saya pikir lebih baik saya tidak memelihara jenggot sebagaimana yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Atau dengan kata lain; meninggalkan sedikit yang maslahat untuk mencegah timbulnya mudharat yang lebih besar.”
“Kok bisa begitu Syaikh?” salah seorang diantara mereka menyela pembicaraan saya dengan pertanyaan singkat, yang membuat saya berpikir; jangan-jangan mereka belum pernah belajar tentang hal ini.
“Begini sajalah, saya tidak akan memakai atau menggunakan istilah hukum atau fiqih dalam hal ini, sebab bisa jadi pembicaraan kita akan menjadi panjang dan berlarut-larut. Alhamdulillah “jenggot” yang ada di wajah saya tidaklah lebat, cuma ada beberapa helai. Pernah saya coba memeliharanya, ternyata istri dan anak-anak serta beberapa orang teman mentertawakan saya dan mengolok-olok saya dengan sebutan “jenggot kambing”. Nah, sekarang saya mau tanya lagi sama kalian, kira-kira berdosa nggak isteri; anak dan teman-teman saya tersebut, yang telah mengolok-olok dan mentertawakan saya? Sekalipun mereka hanya bercanda dan saya pun tidak merasa sakit hati dengan olokan mereka.”
“Jelas berdosa pak haji, sebagaimana yang telah difirmankan Allah dalam Al-Quran”, salah seorang dari mereka menjawab apa yang saya tanyakan.
“Nah ringkasnya itulah alasan utama saya; mengapa saya tidak mau memelihara jenggot dan lebih suka mencukurnya. Lebih baik saya tidak dapat apa-apa atau mungkin sedikit berdosa karena tidak melaksanakan sunnah Nabi SAW, daripada membiarkan orang lain berdosa lantaran melanggar apa yang diperintahkan Allah di dalam kitab-NYA. Dalam hal ini, langsung atau tidak langsung, saya tidak mau zalim dan menzalimi orang lain lantaran perbuatan saya, sekalipun maksudnya tidaklah demikian adanya.”
Saya sengaja berhenti sampai disitu dan menunggu mereka berkomentar lebih lanjut, tapi nyatanya mereka tetap diam dan mungkin saja sedang berusaha memahami “ijtihad” saya. Karena mereka tetap diam, dengan mengucapkan terimakasih dan mendo’akan mereka, saya lalu pamit pulang dengan catatan; kapan ada waktu saya akan menjelaskan pula tentang masalah “gamis” saya yang mereka nilai kedodoran hingga menutup mata kaki. Wallahua’lam.
Bagansiapiapi, 10 Safar 2012 / 5 Januari 2011.
KH.BACHTIAR AHMAD.
assalamu alaikum.
ReplyDeletesyukran atas gambaranya Kiayi.