Wednesday 11 January 2012

SEDIKIT CATATAN TENTANG AS-SUNNAH

oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
========================

Guru saya; “Syaikh Abdullah Fathur-rahman”  (semoga Allah senantiasa merahmati beliau) menerangkan, bahwa secara umum makna “Sunnah Nabi SAW” atau juga yang kita sebut sebagai “Hadits Nabi SAW” adalah: “ketentuan; ketetapan; jalan yang terpuji (baik yang diridhai untuk di-ikuti maupun yang tidak diridhai untuk ditinggalkan); jalan yang dibiasakan maupun yang terkadang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW; juga apa-apa yang diperbuat sahabat yang disetujui oleh Rasulullah SAW dengan ucapan maupun mendiamkannya” yang kesemuanya itu di dalam kaidah hukum (fiqih) disebutkan: “Segala sesuatu yang dinukil atau yang diberitakan dari Rasulullah SAW; baik berupa perkataan; perbuatan dan taqrir (pengakuan) beliau.”

Oleh sebab itulah Sunnah Nabi SAW atau yang kita sebut dengan istilah Hadits Nabi SAW digolongkan  menjadi 4(empat bagian) yakni: Qauliyah (perkataan); Fi’liyah (perbuatan); Taqririyah (pengakuan); Hammiyah (segala sesuatu yang diterangkan oleh Rasulullah SAW, tapi belum sempat beliau laksanakan).  (Mohon maaf disini kita tidak akan membicarakan status “shahih atau tidaknya”).  Selain itu “Syaikh Abdullah Fathur-rahman” juga menjelaskan, bahwa  As-Sunnah juga  dibagi menjadi 2(dua) bagian, yakni:

Sunnah Al-Huda; yakni Sunnah Nabi SAW yang berkaitan dengan masalah ibadah yang dihukumi menjadi sesuatu yang “muakkad”  atau sesuatu yang sangat utama untuk dilaksanakan/dikerjakan seperti: azan; iqamah; sholat sunat qobliyah/ba’diyah dan lain sebagainya.

Sunnah Al-‘Adah; yakni segala sesuatu yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAW melalui jalan adat atau kebiasaan beliau (khususnya kebiasaan beliau sebagai orang Arab/Quraisy) seperti cara berpakaian; makan; bercelak (memakai celak mata); memakai wangi-wangian; memelihara jenggot dan hal-hal yang bersifat phisik lainnya). Menurut “Syaikh Abdullah Fathur-rahman”; adat atau kebiasaan yang baik tersebut sengaja dipelihara dan disyari’atkan oleh Rasulullah SAW dengan   beberapa pertimbangan antara lain; adanya kecenderungan masyarakat Arab (pada waktu itu) yang sudah terpengaruh oleh kebiasaan orang-orang Yahudi dan Nasrani; agar orang-orang Arab merasa lebih terhormat dan dihormati setelah menjadi Islam.

Selanjutnya Syaikh Abdullah Fathur-rahman (juga guru saya yang bernama Syaikh Muhammad Yusron Al-Bantany rahimahullah) menjelaskan, bahwa tanpa mengabaikan “sunnah al-‘adah”, maka seharusnya yang menjadi prioritas kita untuk mengikuti dan melaksanakan sunnah Nabi SAW adalah hal-hal yang berkaitan dengan “sunnah al-huda”. Sebab petunjuk dalam hal-hal ibadah yang disunnahkan tersebut adalah lebih besar keutamaannya, bahkan ada yang berkaitan langsung dengan perintah Allah SWT seperti sholat tahajjud; dzikrullah; sholat berjama’ah dan lain-lainnya.

Mengikuti dan melaksanakan sunnah al-‘adah memang dianjurkan, sebab selain juga “berpahala” dan salah satu bukti kecintaan dan keta’atan kepada Rasulullah SAW, juga merupakan simbol-simbol tersendiri dalam mendakwahkan dan mensyi’arkan Islam. Akan tetapi hal itu janganlah sampai memaksakan diri, sehingga menimbulkan fitnah dan ejekan. Sebab bagaimanapun juga, manusia telah diciptakan Allah dengan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling kenal mengenal, sedangkan yang paling mulia di antara mereka adalah yang paling takwa. Bukan yang paling bagus pakaian ataupun adat istiadatnya. Dan Rasulullah SAW pun telah pula mengingatkan, bahwa ketakwaan itu bukan diukur dari penampilan phisik, tapi dari apa yang menjadi niat dan yang ada di dalam hati.

Syaikh Abdullah menganjurkan kepada saya, agar  melaksanakan sunnah al-‘adah sebaik mungkin jika merasa nyaman melaksanakannya; baik bagi diri sendiri maupun orang lain.  Dikatakan oleh beliau-beliau, “orang Cina”  tak perlu menjadi Arab dengan ke-islamannya; begitu juga dengan suku bangsa lainnya. Sebab pada hakikatnya semua adat istiadat kehidupan yang ada adalah bersumber dari Allah, dan tugas kita sebagai anak dari suku bangsa tersebut adalah memilah dan memilih yang baik, yang sesuai dengan tujuan syar’i (aturan-aturan Islam). Beliau katakan bahwa (laksamana)  “Cheng Ho”  tetap seorang Muslim, sekalipun namanya tidak kedengaran muslim.  Sementara banyak pula saudara-saudara kita yang memiliki nama “islami”, akan tetapi perilaku atau akhlaknya sama sekali tidak Islam. Bahkan ada yang benar-benar “fasiq”

Beliau (guru saya)  mengatakan, bahwa   banyak diantara kita yang terjebak “dalam ketidak pahaman”  dan selalu merasa sudah menjadi “muslim yang kaffah”,  hanya lantaran mengikuti dan melaksanakan hal-hal yang berkaitan dengan sunah al-‘adah  tersebut.  Banyak yang merasa dirinya sudah menjadi  hamba yang ta’at dan mencintai Rasulullah SAW hanya karena sudah memakai sorban; bergamis; berjenggot dan lain sebagainya. Padahal di sisi lain, hal-hal yang berkaitan dengan sunnah al-huda sama sekali terabaikan dan diabaikan. Dengan kata lain; jarang atau bahkan sama sekali tidak dikerjakan, seperti misalnya puasa sunat setiap bulan sebagaimana yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW, sholat atau qiyamul-lail, dzikrullah sesudah sholat; atau sekurang-kurangnya melakukan iqamat lebih dulu tatkala sholat sendirian; bahkan kadang-kadang masuk wc pun tidak pernah membaca do’a sebagaimana yang diajarkan dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Dan yang lebih memprihatinkan adalah, adakalanya simbol-simbol keislaman dipakai dalam suatu kegiatan “pengrusakan” atas dan untuk nama umat Islam.

Dalam masalah memahami dan melaksanakan Sunnah Nabi SAW, Syaikh Abdullah Fathur-rahman juga mengajarkan dan mengingatkan;  agar tidak ikut-ikutan dan terjebak dalam masalah yang sering disebut orang sebagai masalah bid’ah atau khilafiyah lantaran masalah ini akan terus berkembang dan tidak akan usai-usai sampai dunia ini berakhir. (sudah pernah saya tulis di FB sebagai “Berita/Catatan untuk  Foto Buya Hamka atau bisa dibaca pada www.halamandakwah.blogspot.com)”.

Mudah-mudahan sebahagian pengajaran yang pernah saya terima ini ada manfaatnya untuk jadi bahan renungan dan pemikiran kita bersama, untuk tidak saling menyalahkan dan menyatakan; bahwa kitalah yang paling benar. Perbedaan pendapat adalah suatu rahmat, jika Allah menghendaki tentulah kita akan dijadikannya satu umat saja sebagaimana firman-Nya di dalam Al-Quran. Semoga Allah senantiasa tambahkan hidayah dan inayah-NYA kepada kita semua. Wallahua’lam.

Bagansiapiapi,  16  Safar  1433  H  /  11  Januari  2012.
KH.BACHTIAR AHMAD

No comments:

Post a Comment

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.