oleh:
KH.BACHTIAR AHMAD
========================
Allah SWT memang menciptakan manusia dengan tujuan
untuk hanya beribadah dan menyembah kepada-Nya sebagaimana yang diterangkan
Al-Qur.an:
“dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka beribadah (mengabdi) kepada-Ku.”
(Q.S. Adz-Dzariyaat: 56)
Dan oleh sebab hal yang demikian itulah Allah SWT
telah menetapkan “syariat-Nya” sebagai acuan “ibadah” yang harus
ditunakan; Baik yang berhubungan langsung dengan-Nya atau yang kita sebut
sebagai “ibadah mahdah atau hablumminallah”, maupun yang
berkaitan dengan hubungan antar sesama yang disebut “muamalah atau hablumminannaas”.
Akan tetapi walaupun demikian keadaannya, bagi
orang yang mau memahami dengan sungguh-sungguh tentang apa yang telah
disayariatkan itu, tentulah akan menemukan bahwa: “Islam itu adalah agama
yang mudah dan dimudahkan”.
Allah
SWT berfirman: “Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Q.S. Al-Baqarah:
185)
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan.” (Q.S. Al-Hajj: 78)
“Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah.” (Q.S. Thaa-Haa: 2)
Rasulullah
SAW bersabda: “Sesungguhnya agama ini adalah agama yang mudah, dan tidaklah
seseorang itu melampaui batas dalam menjalankan agama ini kecuali akan kalah
dengan sendirinya. Oleh karena itu berusahalah untuk mengamalkan agama ini
dengan benar, dan kalau tidak bisa sempurna, maka berusahalah untuk mendekati
kesempurnaan. Dan bergembiralah kalian dengan pahala bagi kalian yang sempurna
walau pun amalan kalian tidak sempurna. Dan upayakan menguatkan semangat
beribadah dengan memperhatikan ibadah di pagi hari dan di sore hari dan di
sebagian malam (yakni waktu-waktu di mana kondisi badan sedang segar untuk
beribadah). (HR. Al-Bukhari; An-Nasa’I; Imam Ahmad dari Abu Hurairah r.a)
“Sesungguhnya Allah Swt. tidak mengutusku untuk mempersulit atau
memperberat, melainkan sebagai seorang pengajar yang memudahkan.” (HR. Muslim, dari ‘Aisyah ra.)
Kemudahan dan keringanan atau yang disebut sebagai “rukhsah”
yang diberikan Allah SWT untuk menjalankan apa-apa yang telah ditetapkan
dan yang diwajibkan-Nya itu, tidak hanya berlaku dalam keadaan ”darurat”,
tetapi juga ada dalam keadaan biasa. Sebagai contoh, mari kita pahami dan
renungkan sejenak tentang beberapa “ibadah” yang telah diwajibkan-Nya kepada kita dan
berhitung dengan waktu kehidupan yag telah Allah anugerahkan kepada kita. Mana
yang lebih banyak, untuk ibadah kepada Allah atau untuk kepentingan kita secara
pribadi?
Pertama: Dalam sehari semalam waktu kehidupan yang diberikan Allah kepada kita
adalah 24 jam atau selama 1440 menit. Kemudian Allah telah mewajibkan kita
untuk melaksanakan “sholat” sebanyak 5 kali dalam sehari semalam.
Berdasarkan hitungan akal sehat, maka “sholat”
yang diwajibkan kepada kita tersebut, untuk setiap kalinya mulai dari “thaharah”
sampai dengan berakhirnya “sholat” yang hanya 2 sampai 4 raka’at itu, lamanya
sholat yang diwajibkan tersebut paling banyak 15 menit. Dan itu berarti total
waktu sehari semalam yang terpakai untuk melaksanakan sholat yang Allah
wajibkan hanyalah 75 menit, atau hanya kurang lebih 5% dari total waktu yang
Allah berikan kepada kita. Akan tetapi nyatanya tetap saja kita merasa berat
dan sulit, padahal waktu yang diberikan Allah kepada kita untuk urusan lainnya
jauh lebih banyak.
Kedua: Dalam setahun hidup yang kita jalani berjumlah 365 hari. Dan Allah SWT
hanya mewajibkan kita “puasa” 29 atau 30 hari, itupun tidak mutlak 24
jam dalam sehari semalam yang kita jalani. “Puasa” yang diwajibkan hanya
berkisar antara 14-16 jam dalam sehari semalam. Alangkah ironisnya jika hal itu
masih kita sebut sebagai sesuatu yang memberatkan dan menyulitkan.
Ketiga: Jika kita punya uang/harta senilai 100 juta, maka “zakat” yang wajib kita keluarkan hanya 2,5% atau 2,5
juta. Sementara sisanya bisa kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan dan
kepentingan pribadi kita. Dan itupun tidak serta merta harus kita keluarkan
zakatnya, atau dengan kata lain; Bahwa Allah SWT hanya mewajibkan kita untuk
mengeluarkan zakat dari uang/harta yang 100 juta tersebut, setelah kita kurangi
dengan hutang piutang yang harus kita lunasi, jika “hisab dan nasabnya” masih
terpenuhi. Sungguh suatu kemudahan bagi pemilik harta yang selalu merasa berat
untuk mengeluarkan zakatnya.
Ke-empat: Walaupun Allah telah mewajibkan “Haji”, akan tetapi hal itu
tidaklah mutlak dan harus ditunaikan dengan begitu saja. Kewajiban melaksanakan
“Haji” tidak cukup hanya dengan memiliki harta/ongkos saja, akan tetapi juga meliputi aspek-aspek
lainnya seperti kesehatan; jaminan
keamanan; pelayanan dan lain sebagainya. Jika salah satunya tidak terpenuhi,
maka kewajiban itu boleh ditinggalkan dan diabaikan sampai semuanya lengkap
terpenuhi.
Mengacu pada beberapa “penjelasan” di atas, maka
tentulah kita paham bahwa sesung-guhnya agama Islam adalah “agama yang mudah
dan menganjurkan kemudahan”. Akan
tetapi disinilah letak masalahnya, bahwa dengan pemahaman tersebut makin banyak
orang yang salah paham dan meletakkan kemudahan ini bukan pada tempatnya,
sehingga “dengan dorongan hawa nafsunya” mereka lalu mencari dan
membuat alasan untuk dan sebagai “pembenaran”. Mereka beranggapan bahwa
hal itu adalah “masalah khilafiyah” atau
mereka akan mengatakan; “Lebih baik begitu daripada tidak berbuat sama
sekali” atau “Semuanya tergantung niatnya”
“Islam itu adalah agama yang mudah dan dimudahkan” tapi
bukanlah untuk “dimudah-mudahkan”. Hal ini terlihat dari beberapa
fenomena yang ada di masa sekarang ini (khususnya yang terjadi pada kaum
muslimin di negeri yang kita cintai ini); Bahwa demi kepuasan nafsu dan
kepentingan diri dan dengan berbagai alasan sebagaimana yang telah dijelaskan
di atas, ada indikasi bahwa “bukan kita lagi yang wajib menyesuaikan diri
dengan ajaran Islam, melainkan kita paksakan agar ajaran Islam itulah yang
wajib menyesuaikan diri dengan kehendak
kita”. Hal tersebut telah memberi isyarat, bahwa seakan-akan kitalah yang
menjadi pemilik syariat; bukan Allah SWT. Karenanya banyak orang yang lebih cenderung dan selalu memilih pendapat yang menurut dirinya enak
dan nyaman untuk dilaksanakan, walaupun tidak mempunyai dasar dan dalil yang
bisa dipertanggungjawabkan. Naudzubillahi min dzalik!
Semoga sedikit catatan yang disampaikan ini dapat
membuka dan memperluas cakrawala pemikiran dan pemahaman kita terhadap “agama
Allah” yang sangat-sangat kita yakini kebenaran dan keabsahannya. Dan
tentunya sangat besar harapan kita; bahwa dengan hidayah dan inayah-NYA, keimanan dan ketakwaan kita kian sempurna. Wallahua’lam.
Bagansiapiapi,
26 Rabi’ul Awwal 1433 H
/ 19 Pebruari
2012
KH.BACHTIAR AHMAD
No comments:
Post a Comment