oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
=======================
“(jawaban ringkas untuk seorang
sahabat)”
Secara umum makna kata takdir yang berakar dari kata qadar
adalah “ketetapan atau
ketentuan yang telah ditetapkan Allah.” Artinya, segala sesuatu yang ada
telah ditetapkan Allah dengan ketentuan-Nya. Baik ukuran; bentuk; masa;
aturan-aturan yang berlaku dan lain-lain sebagainya yang berhubungan dengan
keadaan sesuatu (makhluk) yang diciptakan Allah. Jadi apa saja yang terjadi di alam semesta ini,
semuanya berjalan sesuai dengan kehendak Allah sebagai “Penguasa Tunggal” yang memiliki kekuasaan dan kehendak yang tidak
terbatas. DIA-lah yang mengatur ada
dan tiada; hidup dan mati; susah dan senang; tinggi dan rendah; serta
keadaan-keadaan lainnya dari semua makhluk yang di-ciptakan-Nya, yang secara
tersurat dan tersirat dinyatakan Allah dengan firman-NYA:
“Katakanlah: "Wahai Tuhan yang
mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki
dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan
orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di
tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam
siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup
dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup, dan Engkau beri rezki kepada siapa saja yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)."
(Q.S. Ali 'Imraan: 26-27)
Pada
dasarnya ada (2) dua macam takdir atau ketentuan Allah yang harus kita hadapi: Pertama adalah takdir yang sudah nyata
keadaannya seperti terjadinya malam dan siang; kematian yang sudah pasti
datang; rasa lapar dan kenyang serta hal-hal lainnya yang kita hadapi dalam
kehidupan sehari-hari. Sedangkan yang kedua
adalah sesuatu yang ghaib bagi kita, misalnya saat datangnya kematian (masalah
umur) dan kelahiran; masalah rezeki; jodoh dan lain sebagainya.
Sebagai
orang yang beriman tentunya kita wajib yakin dengan masalah takdir ini, sebab
ia merupakan bagian dari 6(enam) rukun iman. Akan tetapi walaupun demikian keadaannya, kita
tentu saja tak boleh tunduk begitu saja
kepada takdir yang telah ditentukan Allah sebagaimana yang diajarkan oleh kaum “jabariah” yang menyatakan bahwa kita
(manusia) adalah “musayyar”
(hanya tunduk pada perintah dan melakukan apa saja yang telah ditakdirkan
Tuhan). Padahal di sisi lain kita tak
tahu apa sebenarnya yang telah dituliskan atau yang ditakdirkan Allah untuk
kita. Namun demikian patut pula diingat, bahwa walaupun manusia diciptakan
dengan sebaik-baiknya oleh Allah dan dibekali dengan kekuatan; akal; ilmu;
bakat dan lain sebagainya untuk berusaha dan berkarya, maka tidak pula itu berarti
dirinya mampu dan berkuasa merubah takdir yang telah ditetapkan untuknya.
Karenanya tepatlah apa yang dikatakan dalam pepatah kehidupan kita: “manusia hanya berusaha dan Tuhan jualah yang menentukannya.”
Sebenarnya upaya-upaya yang kita lakukan dalam
kehidupan yang kita lalui ini hanyalah semacam usaha untuk pindah atau lari
dari satu takdir ke takdir yang lain; khususnya terhadap sesuatu yang ghaib
yang telah ditetapkan Alllah untuk kita. Sebab adakalanya seseorang berusaha
untuk melakukan kebajikan, tapi pada akhirnya ia terjerembab dalam keburukan.
Begitu pula sebaliknya ada orang yang bergelimang dengan keburukan, tapi pada
akhirnya ia menjadi orang yang penuh
dengan kebajikan.
Salah
satu contoh yang sering dikemukakan dalam hal ini adalah riwayat bagaimana Umar bin Khattab r.a dan rombongannya menghindar dari sebuah
kampung yang sedang diserang wabah penyakit. Ketika ditanyakan kepada beliau
mengapa harus menghindar dari suatu hal yang sudah ditakdirkan Allah, Umar
menjawab bahwa ia tidak lari dari takdir Allah, melainkan pindah dari sesuatu
yang ditakdirkan Allah kepada takdir Allah yang lain. Artinya adalah, bahwa
dirinya berupaya menghindar dari segala sesuatu yang sudah jelas buruk kepada
sesuatu yang nyatanya masih baik. Kalau usaha semacam itu sudah dilakukan,
berlaku juga sesuatu yang buruk ke atas dirinya, maka jelaslah sudah bahwa yang
berlaku adalah kehendak Allah SWT. Sebaliknya jika ia berada dalam keadaan baik
sebagaimana yang dipilihnya, maka hal ini juga merupakan pertolongan dan
kehendak Allah SWT sebagaimana yang tersirat di dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah tidak merobah
keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka
tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka
selain Dia.” (Q.S.Ar-Ra’d: 11)
Jadi
dalam hal ini Umar tidaklah menyerah begitu saja sebagaimana yang diperbuat oleh orang-orang yang bodoh,
yang menyerah begitu saja pada keadaan yang ada.
Contoh
lain adalah rasa lapar yang dirasakan oleh orang yang belum makan. Dalam hal ini rasa lapar adalah merupakan salah satu
ketentuan yang juga sudah ditetapkan (ditakdirkan) oleh Allah. Lalu apakah rasa
lapar itu bisa hilang begitu saja jika kita tidak berusaha mendapatkan makanan
dan kemudian menyantapnya? Nah
demikianlah keadaannya, bahwa kita lari takdir lapar kepada takdir kenyang
dengan suatu usaha yang dilakukan. Dalam
hal ini jika terjadi sesuatu yang berada di luar jangkauan akal sehat kita,
misalnya seseorang yang sudah makan banyak tapi tetap saja lapar, maka hal itu
adalah juga salah satu hal yang telah ditakdirkan Allah kepadanya. Sebab pada
kondisi tertentu ada hal-hal yang berlawanan dengan jalan pikiran kita, yang
kesemuanya itu ada dalam pengetahuan Allah Yang Maha Berkuasa atas makhluk-Nya,
sebagaimana yang tersirat pula dalam firman-Nya:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu,
padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu,
padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(Q.S.Al-Baqarah: 216)
Oleh
sebab itu janganlah menyerah begitu saja dengan apa yang telah diberikan oleh
Allah kepada kita saat ini. Kita harus terus berusaha selagi nyawa masih
dikandung badan. Kata orang: “Nasib sabut
pastilah timbul, nasib batu pasti tenggelam.” Akan tetapi kalau Allah berkehendak, batu bisa jadi timbul dan
terapung seperti sabut dan juga sebaliknya sabut bisa tenggelam seperti
halnya sebongkah batu. Wallahua’lam.
Bagansiapiapi, 29 Rabi’ul
Awwal 1433 H / 22 Pebruari 2012
KH.BACHTIAR AHMAD
No comments:
Post a Comment