oleh:
KH.BACHTIAR AHMAD
=======================
TENTANG AKHLAK NABI YANG
KITA CINTAI.
Ya nabii
salaamun ‘alaika; Ya rosuul salaamun
‘alaika
Ya habiib
salaamun ‘alaika; Sholawaatullaahi ‘alaika
(Wahai Nabi
salam kami kepadamu; Wahai Rasul salam
kami kepadamu
Wahai kekasih Allah salam kami kepadamu; Rahmat
Allah semoga melimpah terus untukmu)
Allah SWT
berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak (berzikir) menyebut Allah.” (Q.S.
Al-Ahzab: 21)
Syaikh Abdullah Al-Ghazali dalam Risalah
Tafsir menjelaskan, bahwa melalui ayat 21 surah Al-Ahzab di atas,
sebenarnya langsung atau tidak langsung Allah telah memerintahkan orang-orang
yang beriman untuk meneladani dan mengikuti gerak hidup atau akhlaqul
kariimah Rasulullah SAW dan mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka; Baik
dalam hal ibadah kepada Allah maupun dalam hal muamalah dengan sesama manusia.
Dikatakan; Bahwa dengan meneladani
atau mencontohi budi pekerti Rasulullah SAW dan mengamalkannya dalam kehidupan
sehari-hari, adalah sekaligus merupakan cerminan dari pengamalan nilai-nilai Al-Quran. Hal ini
tentunya sangat beralasan sekali, sebab dalam sebuah riwayat diterangkan; Bahwa
tatkala kepada Siti ‘Aisyah r.a
ditanyakan oleh para sahabat tentang akhlak atau budi pekerti Rasulullah SAW,
maka beliau menjawab bahwa; akhlak atau budi pekerti Rasulullah SAW adalah
Al-Quran. Artinya adalah, bahwa semua gerak hidup Rasulullah SAW; baik
perbuatan; tindakan; perkataan bahkan duduk serta diamnya Rasulullah SAW adalah
sesuai dan selaras dengan apa yang telah ditetapkan Allah di dalam Al-Quran.
Dan oleh hal yang demikian itulah Allah SWT memuji Rasulullah SAW dengan
firman-Nya:
“Nun, demi kalam dan apa yang
mereka tulis; Berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang
gila; Dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak
putus-putusnya:; Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Q.S. Al-Qalam: 1-4)
“Kemuliaan akhlak” atau
keindahan budi pekerti Muhammad SAW tidak hanya nampak dan ada setelah beliau
diutus menjadi Nabi dan Rasul Allah, akan tetapi sebelumnya sudah ada sejak beliau dilahirkan.
Hal ini telah dicatat dalam sejarah, bahwa pada masa remajanya Muhammad sudah
diberi dan dipanggil dengan gelar “Al-Amin”
oleh orang-orang yang ada di sekitar beliau. “Al-Amin” sebuah gelar yang
menunjukkan pada sifat jujur orang yang menyandangnya; seseorang yang sangat
dipercaya kata-kata dan janjinya.
“Para
ulama” sepakat
untuk mengelompokkan sifat diri atau
akhlak Rasulullah SAW menjadi 3(tiga) bagian, yakni sifat yang: “wajib;
mustahil dan harus”.
Sifat Wajib bagi Rasulullah SAW dan “yang wajib” pula untuk diteladani dan dilakoni oleh orang-orang yang beriman kepada
beliau meliputi 4(empat) hal yakni:
Pertama:
“Shiddiq” yang artinya adalah bahwa beliau selalu benar. Benar dalam ucapan dan sekaligus dalam
setiap perbuatan dan tindakan yang beliau lakukan.
Kedua:
“Amanah” atau “yang sangat dipercaya”. Sifat ini menunjukkan bahwa Muhammad
Rasulullah SAW adalah orang sangat dipercaya dalam hal menjaga kemashlahatan
agama; Baik yang berhubungan dengan kepentingan Allah maupun kepentingan sesama
manusia.
Yang
ketiga: “Tabligh” atau “yang selalu menyampaikan kebenaran”; Baik dalam hal menyampaikan kebenaran yang diwahyukan Allah
kepada beliau, atau mendudukkan setiap persoalan yang ada (ibadah ataupun
muamalah) dengan keadaan yang sebenar-benarnya.
Yang
ke-empat: “Fathanaah” yang secara umum bermakna
orang yang memiliki ilmu; cerdik dan bijaksana sebagai modal dalam
mempertahankan kebenaran yang sesungguhnya. Sehingga dengan demikian mampu
menolak semua kesesatan dan kebohongan.
Adapun “sifat
yang Mustahil” bagi Rasulullah SAW pada
dasarnya adalah segala sesuatu yang berlawanan dengan yang wajib
bagi diri beliau. Yakni:
Yang pertama: “Kadzib” dalam artian dusta atau
bohong pada setiap ucapan beliau dan tidak pula bersikap munafik
dengan pengertian: lain bicara lain pula yang dibuat.
Yang kedua: “Khiyanaat” yang bermakna;
Tidak melanggar apa yang
telah dilarang Allah
dan merusak perjanjian yang telah disepakati dengan sesama manusia.
Yang ketiga: “Kitmaan” yang
berarti suka menyembunyikan segala
kebenaran yang diwahyukan Allah yang harus disampaikan
kepada seluruh manusia. Atau menyembunyikan kebenaran
lainnya untuk kepentingan diri sendiri.
Yang keempat: “Balaadah” yang bermakna; Bahwa sesungguhnya Rasulullah
SAW bukanlah orang yang bodoh, melainkan beliau adalah seorang pandai dan
berilmu dan mampu menguasai setiap
permasalahan.
Sedangkan
sifat “Harus” yang dimiliki oleh Muhammad SAW adalah
sifat-sifat yang pada umumnya dimiliki oleh setiap manusia seperti; kenyang,
lapar, sehat, sakit, menikah (berkeluarga) dan lain sebagainya. Akan tetapi
sebagai “panutan” manusia, maka
Muhammad SAW terhindar
dan dihindarkan Allah SWT dari
sifat takut (penakut), rakus, sombong,
rendah diri dan lain sebagainya
yang dapat merendahkan martabat beliau.
Inilah
sifat diri atau budi pekerti mulia yang harus diteladani dan dilakoni oleh
setiap “umat Muhammad SAW” semaksimal mungkin yang bisa mereka lakukan
di dalam setiap gerak kehidupannya. Sebab bagaimanapun juga adalah suatu hal
yang sangat “mustahil dan tidak mungkin” untuk mencapai kesempurnaan
akhlak sebagaimana halnya akhlak Rasulullah SAW, kecuali Allah berkehendak
lain. Dan atas dasar sifat-sifat yang
telah diterangkan dalam catatan inilah, insya Allah pada “bagian berikutnya”
akan kita bahas serba sedikit; Bagaimana Rasulullah SAW menjalani hidup dan
kesehariannya. Wallahua’lam.
Bagansiapiapi, 12
Rabi’ul Awwal 1433 H / 5 Pebruari
2012.
KH.BACHTIAR AHMAD
Tksh Akhi.
ReplyDeletePerkongsian yg baik & bermenfaat.