oleh:
KH.BACHTIAR AHMAD
=======================
TENTANG
“KESEHARIAN” NABI YANG KITA CINTAI (1).
Ya nabii
salaamun ‘alaika; Ya rosuul salaamun
‘alaika
Ya habiib
salaamun ‘alaika; Sholawaatullaahi ‘alaika
(Wahai Nabi
salam kami kepadamu; Wahai Rasul salam
kami kepadamu
Wahai kekasih Allah salam kami kepadamu; Rahmat
Allah semoga melimpah terus untukmu)
Kita sudah
membahas serba sedikit tentang sifat atau “akhlaqul
kariimah” Nabi dan Rasul Allah
yang sangat-sangat kita cintai; Muhammad
SAW. Dan dalam catatan
selanjutnya kita akan lihat serba sedikit; bagaimana Muhammad SAW
mengaplikasikan semua sifat-sifat baik tersebut dalam kesehariannya.
Mudah-mudahan “sajian
ringkas” berikut dapat kita
jadikan sebagai “tolok ukur” atau “pembanding” dengan apa yang sudah kita
lakukan di dalam kehidupan yang kita jalani. Dan tentu saja berharap kepada
Allah SWT, agar kita diberikan kemampuan untuk meneladani atau mencontohi “budi
pekerti yang agung” Rasulullah SAW dan sekaligus mengamalkannya di dalam
kehidupan kita, sebagai bagian dari kecintaan kita kepada beliau dan sekaligus
meningkatkan nilai-nilai keimanan serta ketakwaan kita kepada Allah SWT.
Muhammad SAW adalah
manusia biasa:
Walaupun beliau terplih sebagai “Rasul dan Nabi
Allah”, akan tetapi Muhammad bin Abdullah tetap memposisikan dirinya
sebagai manusia biasa yang tidak melupakan dan melalaikan sisi kehidupan
manusiawinya. Baik sebagai seorang laki-laki; seorang ayah; seorang suami;
kakek; kerabat; tetangga; sahabat; pemimpin; panglima perang; dan lain
sebagainya, yang kesemuanya itu memiliki beban dan tanggung jawab tersendiri.
Dan oleh sebab itulah sebagaimana yang kita
baca di dalam berbagai riwayat kehidupan beliau, Muhammad SAW berlaku
sebagaimana manusia lainnya yang adakalanya suka tertawa; bercanda; sedih dan
menangis; sakit; ridha (suka) pada sesuatu dan berbagai hal lainnya yang lazim
dalam kehidupan manusia.
Namun demikian, jika beliau menyenangi atau menyukai sesuatu,
maka hal itu tidaklah menjadikan beliau
fanatik pada yang beliau sukai, sehingga lupa pada kebenaran yang hakiki. Sebab
bagaimanapun jika di dalam apa yang beliau sukai itu, jika kelak ditemukan
hal-hal yang bathil atau sesuatu yang bersubhat dengan kebathilan, maka hal itu
pasti beliau tinggalkan. Sebaliknya juga begitu, jika beliau tidak menyukai
sesuatu atau dalam keadaan marah, maka ketidak sukaan atau kemarahan itu
tidaklah menghilangkan akal sehat beliau, sehingga dalam keadaan yang demikian
itu, beliau tetap mendahulukan dan mengutamakan
kebenaran yang ada di dalam hal-hal yang tidak
beliau sukai atau senangi tersebut.
Dalam keadaan sedih dan berduka atau ditimpa
musibah, maka beliau adalah orang paling sabar dan tak akan pernah sedikitpun
menyimpang dari apa yang telah dituntun Allah dengan tuntunan Al-Quran.
Sebagai manusia biasa; Muhammad SAW adalah seorang sahabat yang baik,
yang memahami sifat; kebiasaan dan kehendak para sahabatnya. Beliau sangat
pandai membuat senang hati para sahabat tanpa harus meninggalkan kebenaran yang
hakiki, dan kewibawaan beliau sebagai seorang pemimpin dan utusan Allah. Salah
satu contoh adalah; Bahwa beliau pernah mengizinkan orang-orang Habsyi
menabuh dan bermain rebana di halaman depan Masjid beliau, dan memberikan
kesempatan kepada kalangan Anshar untuk mengadakan hiburan tatkala mereka
menyelenggarakan acara pernikahan. Bahkan dalam satu riwayat disebutkan; Bahwa
beliau pernah memberi izin kepada dua orang budak untuk menyanyi di rumah
beliau pada waktu perayaan Idul Fitri. Dan hal ini tersirat dalam sabda beliau:
“Apakah tak ada hiburan bagi mereka ? Sesungguhnya
orang-orang Anshar (penduduk Madinah) sangatlah menyukai hiburan.” (HR.
Muttafaq ‘alaihi dari Abu Hurairah r.a)
Muhammad SAW sebagai
seorang suami.
Walaupun
(dengan izin Allah) beliau memiliki 11(sebelas)
orang isteri yang 10(sepuluh) orang di antaranya hidup dalam masa yang sama
setelah wafatnya isteri pertama beliau “Khadijah binti Khuwailid r.a”.
Akan tetapi semuanya beliau perlakukan dengan baik; berbuat adil kepada
semuanya dalam batas kesanggupan yang beliau miliki. Bahkan sebagaimana yang
dikisahkan oleh “Ibnul Qayyim” dalam “Zadul Ma’ad”, Rasulullah
SAW pernah menggilir (memberi nafkah bathin) kepada 9(sembilan) orang isteri dalam satu malam (kecuali
“Saudah binti Zum’ah” yang pada masa
itu telah masuk dalam tahapan menopause).
Kondisi
yang demikian ini bukanlah seperti apa yang disangkakan oleh “orang-orang
kafir” bahwa beliau adalah seseorang yang “gila sex dan doyan perempuan”,
beliau melakukan itu adalah semata-mata karena beliau tahu betul bagaimana
seharusnya menjalankan kewajiban seorang suami
sebagaimana yang diperintahkan Allah untuk berlaku adil, dan sekaligus
memahami kebutuhan seorang isteri. Dan tentu saja karena Allah telah melebihkan
beliau dari manusia biasa lainnya, yang di dalam riwayat disebutkan, bahwa
sebagai laki-laki keperkasaan yang setara dengan 40 orang laki-laki.
Sebagai suami,
Rasulullah SAW sangat pandai menyenangkan hati isteri-isterinya; Beliau sanggup
berlama-lama mendengar cerita dan keluh kesah sang isteri; Beliau senang
bermain-main dengan sang isteri seperti yang pernah dilakukan beliau dengan
Aisyah, yakni berlomba lari, dimana dalam perlombaan itu beliau sengaja
mengalah dan memberikan kemenangan untuk Aisyah. Sementara di sisi lain walaupun
beliau seorang suami dan kepala rumah tangga, tapi beliau tak segan-segan turun
tangan untuk memasak; menambal baju; menjahit sandal yang putus; belanja ke
pasar dan berbagai aktifitas rumah tangga lainnya.
Nah, keteladanan
semacam inilah yang wajib menjadi pelajaran bagi setiap “suami”. Tidak
seperti kebanyakan “suami” (mungkin termasuk saya dan anda) yang hanya
mau senang dan enaknya saja. Apalagi jika memiliki pangkat dan jabatan tinggi,
yang terkadang hal itu membuat kita tidak mau tahu urusan dapur dan urusan
rumah tangga yang lainnya. Bahkan adakalanya jika “berpoligami”, lebih
cenderung hanya lantaran ingin memenuhi selera “seksualitas” belaka,
yang pada akhirnya lebih memilih dan lebih suka untuk “berlama-lama” pada
isteri yang lebih muda.
Insya Allah berbagai
aspek kehidupan Rasulullah SAW yang wajib kita teladani akan berlanjut dalam
catatan berikutnya..... Wallahua’lam.
Bagansiapiapi, 13
Rabi’ul Awwal 1433 H / 6 Pebruari
2012.
KH.BACHTIAR AHMAD
No comments:
Post a Comment