oleh:
KH.BACHTIAR AHMAD
=======================
TENTANG “KESEHARIAN” NABI
YANG KITA CINTAI (3).
Ya nabii
salaamun ‘alaika; Ya rosuul salaamun
‘alaika
Ya habiib
salaamun ‘alaika; Sholawaatullaahi ‘alaika
(Wahai Nabi
salam kami kepadamu; Wahai Rasul salam
kami kepadamu
Wahai kekasih Allah salam kami kepadamu; Rahmat
Allah semoga melimpah terus untukmu)
sebagai
kepala Negara dan Pemerintahan.
Sebagai “kepala negara dan pemerintahan”
dari suatu negeri yang baru berdiri, yang
senantiasa dikepung musuh dari segala penjuru; Baik dari kalangan
musyrik yang menyembah berhala; Yahudi maupun Nasrani, maka tentulah Muhammad
SAW sangat disibukkan oleh
persiapan-persiapan mengatur strategi dan perlawanan terhadap musuh yang ada;
Khususnya dalam rangka “Jihad Fi Sabilillah” untuk menegakkan “Kalimatullah”. Akan tetapi betapapun sibuknya, beliau tetap
memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umat dan masyarakat
banyak seperti membangun dan mengurus masjid; membangun pasar dan pusat
perniagaan; menjalin hubungan bilateral dengan berbagai golongan yang tinggal
menetap di Madinah dan wilayah-wilayah sekitarnya.
Kesibukan Muhammad SAW senagai “kepala”
Negara dan Pemerintahan, bahkan tidak mengurangi sedikitpun perhatian beliau
kepada apa yang terjadi di lingkungan “umat”, termasuk hal-hal yang
kecil sekalipun seperti suatu ketika
beliau masih sempat menegur seorang perempuan yang ketahuan mengurung seekor
kucing di rumahnya tanpa memberi kucing tersebut makan, sehingga akhirnya
kucing tersebut mati kelaparan.
Beliau juga tidak marah dan merasa “gengsi dan
wibawanya” sebagai pemimpin turun, lantaran suatu ketika ada seorang budak
perempuan yang menarik tangan beliau tatkala beliau berjalan-jalan di kota Madinah. Dan dengan
segala senang hati beliau penuhi apa yang diminta oleh budak perempuan
tersebut.
Sebagai
pemimpin, beliau tidak suka di-iringi oleh “ajudan” atau pengawal
pribadi. Semuanya berjalan secara wajar; bebas dan lepas begitu saja. Dan
setiap orang dapat menjumpai beliau kapa saja dan dimana saja pada saat beliau
tidak disibukkan oleh “ibadah” dan hal-hal yang bersifat pribadi seperti
masalah keluarga dan lain sebagainya.
Beliau memberi
wewenang penuh kepada para sahabat yang telah beliau angkat untuk mewakili
beliau dalam urusan-urusan tertentu. “Para
pejabat” yang telah diangkat tersebut tidak perlu meminta persetujuan
beliau untuk memutuskan sesuatu perkara, selama hal itu tidak bertentangan
dengan “Kitabullah”. Bahkan beliau dengan segala senang hati mengikuti
saran dan pendapat para sahabat, seperti saran Salman Al-Farisi untuk
membuat parit sebagai benteng pertahanan yang melindungi kota Madinah dari
serangan musuh; bahkan beliau sendiri ikut menggali dan mengangkat batu saat
membangun parit tersebut.
Jabatan dan kekuasaan
tidaklah menjadikan Muhammad SAW lupa
pada hakikat dirinya sebagai “hamba Allah yang lemah”. Beliau sadar
bahwa apa yang ada pada beliau adalah semata-mata karena anugerah dan rahmat
Allah sebagaimana yang tersirat dan
tersurat dalam firman-Nya:
“Katakanlah: “Wahai
Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau
kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau
muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau
kehendaki; di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa
atas segala sesuatu.” (Q.S. Ali ‘Imran: 26)
Sebagai pemimpin
Muhammad SAW benar-benar melaksanakan tugasnya dengan sebenar-benarnya dan
se-adil adilnya sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Dan
oleh sebab itulah dalam sebuah riwayat ada disebutkan, bahwa beliau akan
memotong tangan tangan Fatimah, puteri kesayangan beliau; jika puterinya
itu melakukan tidak kejahatan (pencurian). Dan inilah sebuah penjabaran yang
sebenarnya dari satu firman Allah SWT:
“Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh
kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. An-Nisaa’: 58)
Sebagai Panglima Perang
dan Prajurit.
Sebagai “Rasul Allah” Muhammad SAW yakin
sepenuhnya, bahwa dirinya selalu mendapat pertolongan dari Allah SWT. Akan
tetapi walaupun kepasrahan dan ketakwakkalan beliau kepada Allah sangat kuat,
beliau tetap tak mau berdiam diri begitu saja. Oleh sebab itulah dengan akal
dan ilmu yang dianugerahkan Allah, Muhammad SAW tetap berupaya sebagai manusia
biasa. Artinya beliau tetap mempersiapkan diri; merancang strategi perang untuk
menghadapi musuhnya. Dalam setiap kesempatan beliau selalu menyatakan, bahwa
bersandar pada pertolongan Allah adalah wajib hukumnya; akan tetapi berusaha
dan berupaya dengan segenap daya upaya dan pikiran adalah lebih wajib. Sebab
tak seorangpun dapat mengetahui perjalanan hidup dan nasib yang telah
ditakdirkan Allah padanya. Dan oleh hal yang demikian ini pulalah, maka
Muhammad SAW tetap mengunakan baju perang dan senjata untuk melawan
musuh-musuhnya. Bahkan dalam satu peperangan beliau pernah menggunakan dua
lapis baju besi. Dan suatu ketika pernah pula beliau terkena panah musuh; gigi
beliau patah dan berdarah. Oleh sebab itulah, walaupun beliau sudah ditetapkan
Allah sebagai Nabi dan Rasul-Nya; Muhammad
SAW tidak pernah merasa dirinya hebat dan lebih kuat dari orang lain.
Insya Allah masih akan
terus berlanjut. Wallahua’lam.
Bagansiapiapi, 15
Rabi’ul Awwal 1433 H / 8 Pebruari
2012.
KH.BACHTIAR
AHMAD
No comments:
Post a Comment