Wednesday, 8 February 2012

USWATUN HASANAH (6)


oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
=======================
TENTANG “KESEHARIAN” NABI YANG KITA CINTAI (3).
Ya nabii salaamun ‘alaika;  Ya rosuul salaamun ‘alaika
Ya habiib salaamun ‘alaika; Sholawaatullaahi ‘alaika

(Wahai Nabi salam kami kepadamu;   Wahai Rasul salam kami kepadamu
Wahai kekasih Allah salam kami kepadamu; Rahmat Allah semoga melimpah terus untukmu)
sebagai kepala Negara dan Pemerintahan.
Sebagai “kepala negara dan pemerintahan” dari suatu negeri yang baru berdiri, yang  senantiasa dikepung musuh dari segala penjuru; Baik dari kalangan musyrik yang menyembah berhala; Yahudi maupun Nasrani, maka tentulah Muhammad SAW  sangat disibukkan oleh persiapan-persiapan mengatur strategi dan perlawanan terhadap musuh yang ada; Khususnya dalam rangka “Jihad Fi Sabilillah” untuk menegakkan “Kalimatullah”.  Akan tetapi betapapun sibuknya, beliau tetap memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umat dan masyarakat banyak seperti membangun dan mengurus masjid; membangun pasar dan pusat perniagaan; menjalin hubungan bilateral dengan berbagai golongan yang tinggal menetap di Madinah dan wilayah-wilayah sekitarnya.

Kesibukan Muhammad SAW senagai “kepala” Negara dan Pemerintahan, bahkan tidak mengurangi sedikitpun perhatian beliau kepada apa yang terjadi di lingkungan “umat”, termasuk hal-hal yang kecil sekalipun seperti  suatu ketika beliau masih sempat menegur seorang perempuan yang ketahuan mengurung seekor kucing di rumahnya tanpa memberi kucing tersebut makan, sehingga akhirnya kucing tersebut mati kelaparan.
           
Beliau juga tidak marah dan merasa “gengsi dan wibawanya” sebagai pemimpin turun, lantaran suatu ketika ada seorang budak perempuan yang menarik tangan beliau tatkala beliau berjalan-jalan di kota Madinah. Dan dengan segala senang hati beliau penuhi apa yang diminta oleh budak perempuan tersebut.

Sebagai pemimpin, beliau tidak suka di-iringi oleh “ajudan” atau pengawal pribadi. Semuanya berjalan secara wajar; bebas dan lepas begitu saja. Dan setiap orang dapat menjumpai beliau kapa saja dan dimana saja pada saat beliau tidak disibukkan oleh “ibadah”  dan hal-hal yang bersifat pribadi seperti masalah keluarga dan lain sebagainya.

Beliau memberi wewenang penuh kepada para sahabat yang telah beliau angkat untuk mewakili beliau  dalam urusan-urusan tertentu. “Para pejabat” yang telah diangkat tersebut tidak perlu meminta persetujuan beliau untuk memutuskan sesuatu perkara, selama hal itu tidak bertentangan dengan “Kitabullah”. Bahkan beliau dengan segala senang hati mengikuti saran dan pendapat para sahabat, seperti saran Salman Al-Farisi untuk membuat parit sebagai benteng pertahanan yang melindungi kota Madinah dari serangan musuh; bahkan beliau sendiri ikut menggali dan mengangkat batu saat membangun parit tersebut.

Jabatan dan kekuasaan tidaklah menjadikan Muhammad SAW   lupa pada hakikat dirinya sebagai “hamba Allah yang lemah”. Beliau sadar bahwa apa yang ada pada beliau adalah semata-mata karena anugerah dan rahmat Allah  sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam firman-Nya:

“Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki; di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. Ali ‘Imran: 26)

Sebagai pemimpin Muhammad SAW benar-benar melaksanakan tugasnya dengan sebenar-benarnya dan se-adil adilnya sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Dan oleh sebab itulah dalam sebuah riwayat ada disebutkan, bahwa beliau akan memotong tangan tangan Fatimah, puteri kesayangan beliau; jika puterinya itu melakukan tidak kejahatan (pencurian). Dan inilah sebuah penjabaran yang sebenarnya dari satu firman Allah SWT:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. An-Nisaa’: 58)
Sebagai Panglima Perang dan Prajurit.
Sebagai “Rasul Allah” Muhammad SAW yakin sepenuhnya, bahwa dirinya selalu mendapat pertolongan dari Allah SWT. Akan tetapi walaupun kepasrahan dan ketakwakkalan beliau kepada Allah sangat kuat, beliau tetap tak mau berdiam diri begitu saja. Oleh sebab itulah dengan akal dan ilmu yang dianugerahkan Allah, Muhammad SAW tetap berupaya sebagai manusia biasa. Artinya beliau tetap mempersiapkan diri; merancang strategi perang untuk menghadapi musuhnya. Dalam setiap kesempatan beliau selalu menyatakan, bahwa bersandar pada pertolongan Allah adalah wajib hukumnya; akan tetapi berusaha dan berupaya dengan segenap daya upaya dan pikiran adalah lebih wajib. Sebab tak seorangpun dapat mengetahui perjalanan hidup dan nasib yang telah ditakdirkan Allah padanya. Dan oleh hal yang demikian ini pulalah, maka Muhammad SAW tetap mengunakan baju perang dan senjata untuk melawan musuh-musuhnya. Bahkan dalam satu peperangan beliau pernah menggunakan dua lapis baju besi. Dan suatu ketika pernah pula beliau terkena panah musuh; gigi beliau patah dan berdarah. Oleh sebab itulah, walaupun beliau sudah ditetapkan Allah sebagai Nabi dan Rasul-Nya;  Muhammad SAW tidak pernah merasa dirinya hebat dan lebih kuat dari orang lain.
Insya Allah masih akan terus berlanjut.  Wallahua’lam.


Bagansiapiapi,  15  Rabi’ul Awwal  1433 H  /  8  Pebruari  2012.
KH.BACHTIAR  AHMAD

No comments:

Post a Comment

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.