Thursday 9 February 2012

USWATUN HASANAH (7)


oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
=======================
TENTANG “KESEHARIAN” NABI YANG KITA CINTAI (4).
Ya nabii salaamun ‘alaika;  Ya rosuul salaamun ‘alaika
Ya habiib salaamun ‘alaika; Sholawaatullaahi ‘alaika

(Wahai Nabi salam kami kepadamu;   Wahai Rasul salam kami kepadamu
Wahai kekasih Allah salam kami kepadamu; Rahmat Allah semoga melimpah terus untukmu)
RASULULLAH SAW DAN HARTA BENDA.
Sebagai Nabi dan Rasul Allah; Muhammad SAW tidaklah “miskin” harta benda sebagaimana yang banyak disangkakan orang. Kalau beliau mau, maka Muhammad bisa minta apa saja kepada Allah. Bahkan tanpa diminta, Allah pernah menawarkan dan memberikan emas sebesar dan sebanyak gunung Uhud (menjadikan gunung Uhud sebagai  emas) untuk keperluan beliau.  Akan tetapi Muhammad SAW tetap memilih hidup dalam kesederhanaan, bahkan dapat dikatakan miskin lantaran seringkali beliau tidak pernah kenyang dalam beberapa hari. Dan selalu merasa senang, walaupun selama tiga hari berturut-turut hanya memakan roti gandum tanpa lauk pauk atau  adakalanya hanya memakan hidangan yang disebut-sebut sebagai “Al-Aswadini” yakni kurma dan air putih. Sementara dalam sebuah riwayat ada disebutkan, bahwa Umar bin Khattab r.a para sahabat lainnya pernah menangis menyaksikan beliau tidur di atas jerami tanpa alas, sehingga meninggalkan bekas di tubuh beliau.

Bagi Muhammad SAW harta bukanlah segala-galanya, oleh sebab itulah setiap kali mendapat bagian dari harta rampasan perang yang menjadi bagiannya sebagaimana yang telah ditetapkan Allah, semuanya habis dibagi-bagikan kecuali hanya sedikit untuk keperluan keluarga beliau. Bahkan pernah suatu ketika, tatkala beliau sedang berjalan-jalan ada seorang perempuan yang meminta dan menarik kain (selendang) yang beliau pakai, maka dengan segala keikhlasan hatinya Muhammad SAW memberikan kain tersebut kepada perempuan tersebut seketika itu juga.

Perlakuan Muhammad Rasulullah SAW terhadap harta benda  tentu saja sangat berbeda dan sangat berlawanan dengan “akhlak” kita, yang selalu memandang bahwa harta adalah segala-galanya, dan lupa pada peringatan-peringatan Allah yang telah disampaikan kepada kita tentang “bahaya dan malapetaka” yang bisa ditimbulkan oleh harta benda. Dan tentu saja yang sangat berbahaya adalah ketika kita dilalaikannya dari mengingat Allah SWT sebagaimana firman-Nya:

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi.” (Q.S. Al-Munafiquun: 9)

Dan satu hal  lagi yang patut kita “camkan dan waspadai” adalah, bahwa adakalanya harta benda yang dianugerahkan Allah kepada kita bukanlah merupakan rahmat dan nikmat-Nya, melainkan merupakan salah satu “azab dunia” yang Allah timpakan kepada kita sebagaimana yang tersurat dan tersirat dalam firman-Nya:

“Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki akan mengazab mereka di dunia dengan harta dan anak-anak itu dan agar melayang nyawa mereka, dalam keadaan kafir.”  (Q.S. At-Taubah: 85)

Allah memang tidak melarang, bahkan menyuruh kita untuk mencari “kebahagiaan dunia”, akan tetapi yang namanya “kebahagiaan dunia” itu tidak mutlah dan tidaklah  harus selalu di-identikkan dengan kepemilikan harta benda. Oleh sebab itu mari kita belajar lebih banyak dari keteladanan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW (juga para sahabat) dalam masalah yang satu ini. Mudah-mudahan “berharta atau tidak berharta” nya kita dalam kehidupan di dunia yang fana ini, bukanlah persoalan yang pelik bagi kita untuk menggapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak.

Semoga catatan ini bermanfaat dan insya Allah pada catatan berikutnya kita bisa belajar dari Rasulullah SAW dalam “keseharian” beliau yang lainnya. Wallahu’alam.

Bagansiapiapi,  16  Rabi’ul Awwal  1433 H  /  9   Pebruari  2012.
KH.BACHTIAR  AHMAD

No comments:

Post a Comment

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.