Friday 10 February 2012

USWATUN HASANAH (Bag. Terakhir)


TENTANG “KESEHARIAN” NABI YANG KITA CINTAI (5).
Ya nabii salaamun ‘alaika;  Ya rosuul salaamun ‘alaika
Ya habiib salaamun ‘alaika; Sholawaatullaahi ‘alaika

(Wahai Nabi salam kami kepadamu;   Wahai Rasul salam kami kepadamu
Wahai kekasih Allah salam kami kepadamu; Rahmat Allah semoga melimpah terus untukmu)
AHLI IBADAH YANG TAK PERNAH LELAH
Walaupun sebagai Nabi dan Rasul Allah; Muhammad SAW  telah mendapat jaminan Allah sebagai manusia yang “dima’sumkan” Allah; yang disucikan Allah dari segala dosa dan kesalahan masa lalu maupun masa yang akan datang, namun Muhammad SAW tetap beribadah layaknya seorang hamba biasa. Bahkan jauh lebih banyak dari siapapun juga. Bagi beliau ibadah; terutama sholat adalah sesuatu yang melezatkan.  Beliau biasa bangun tengah malam untuk sholat hingga kedua telapak kakinya pernah bengkak. Dan selalu menangis memikirkan nasib diri dan umat beliau, sehingga membasahi jenggotnya. Dan ketika suatu saat ditanya oleh Aisyah r.a; Mengapa beliau begitu asyik beribadah, padahal beliau telah diampuni dan mendapat fasilitas dan prioritas dari Allah SWT; Muhammad SAW  hanya menjawab: “Wahai Aisyah, apakah aku tak pantas menjadi hamba yang bersyukur”

Muhammad SAW tidak pernah merasa dirinya sebagai Nabi dan Rasul Allah yang dimuliakan, beliau tetap merasa sebagai manusia biasa yang diciptakan Allah “hanya untuk beribadah atau menyembah kepada-NYA” sebagaimana yang Allah firmankan:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzzriyaat: 56)

Sebagai hamba Allah yang seluruh hidupnya diabdikan untuk beribadah dan menyembah kepada Allah, Muhammad SAW sholat; puasa; dan selalu membasahkan lidahnya dengan berzikir; bertasbih; bertahlil; bertakbir; beristighfar serta berdo’a memohon ampunan dan ridho Allah sambil bercucuran air mata sehingga terkadang janggutnya pun basah.

Muhammad SAW beribadah kepada-NYA pada waktu malam dan siang; sambil duduk; berdiri ataupun berbaring; baik di waktu sendirian maupun dalam keadaan ramai; dalam keadaan aman maupun dalam keadaan perang; dan it uterus berlangsung hingga tiba sa’atnya “Sang Khaliq” menugaskan “malaikat maut” untuk menjemput dirinya. Semuanya itu adalah merupakan refleksi dari pengamalan perintah Allah SWT:

“Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat);  dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (yakni kematian).” (Q.S. Al-Hijr: 98-99)

Tak seorangpun bisa membantah, bahwa Nabi kita adalah seorang yang ma’shum. Seorang hamba yang disucikan Allah dari segala dosa dan kejahatan; Hamba yang diberi pengampunan dari kesalahan-kesalahan,  baik dimasa lampau maupun dimasa yang akan datang; Hamba yang sudah dipastikan akan masuk surga tanpa hisab, bahkan dengan disposisi (syafaat) beliau, seseorang yang durhaka dan pendosa bisa masuk surga. Akan tetapi kendati demikian, kesemuanya itu tidaklah menjadikan beliau seorang yang sombong, melainkan bertambah tawadhu’ (rendah hati) dan ta’at kepada Allah.

“Sholat” adalah ibadah yang paling beliau sukai. Sehingga selain dari sholat yang diwajibkan, maka beragam “sholat sunat” sebagaimana yang banyak diriwayatkan, nyaris tak pernmah beliau abaikan atau tinggalkan tatkala beliau berada di tempat. Bahkan “qiyamul lail” atau yang kita kenal dengan “sholat sunat di waktu malam” tak pernah beliau tinggalkan, sekalipun dalam perjalanan atau peperangan dan walaupun hanya beberapa raka’at saja. Bagi “Muhammad SAW”  sholat adalah suatu “kelezatan dan kenikmatan” tersendiri. Karena beliau tahu dan yakin seyakin-yakinnya, bahwa saat  sholat;  terutama pada saat “sujud”, adalah sa’at yang paling dekat dengan Tuhan-nya; Allah SWT sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam firman-NYA:

“..dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan).” (Q.S. Al-‘Alaq: 19)

Oleh sebab itulah di dalam beberapa riwayat disebutkan, bahwa beliau bersabda kepada setiap orang yang menjadi “umat Muhammad SAW” untuk banyak-banyak melakukan sujud. Atau dengan kata lain, banyak-banyak mendirikan sholat sunat, selain dari sholat yang sudah diwajibkan Allah SWT.
Selain sholat beliau juga banyak melakukan puasa sunat; adakalanya Senin-Kamis; kadang puasa pertengan bulan (tanggal 13-14-15) dan atau puasa-puasa sunat lainnya. Dan tak jarang pula beliau puasa dengan dan atau tanpa niat sebelumnya, lantaran ketika pagi-pagi beliau pulang ke rumah setelah berjamaah di  Masjid, beliau tidak menjumpai sesuatu apapun yang dapat disantap sebagai sarapan pagi, maka jadilah beliau lanjutkan dengan berpuasa pada hari itu.

Membaca riwayat demi riwayat tentang bagaimana Muhammad SAW beribadah kepada Allah SWT, maka sebagai hamba Allah yang nyaris banyak melakukan dosa, sudah seharusnyalah kita merasa malu pada diri sendiri. Sebab di antara kita yang merasa sudah cukup dengan amalan dan ibadah wajib yang pas-pasan dilaksanakan;  Artinya, sholat cukup hanya lima waktu sehari semalam (itupun kalau tak malas); Puasa cukuplah sebulan dalam setahun; begitu juga dengan zakat dan haji; Tak ada upaya kita untuk melakukan hal-hal yang disunatkan, yang sebetulnya mengandung banyak keutamaan. Entah itu shalat dan puasa sunat serta berdzikir kepada-Nya. Padahal karunia Allah yang kita terima tidaklah sedikit, yang memang tak dapat kita hitung banyaknya sebagaimana yang difirmankan-Nya:

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, maka tidaklah dapat kamu menghitungnya.”   (Q.S.Ibrahim: 34)

Padahal dibandingkan dari sisi kehidupan dan perjuangan beliau dengan kita, maka tentulah sebagai Nabi dan Rasul Allah; Muhammad SAW lebih sibuk dan lebih capek dari kita. Disamping harus  menyampaikan risalah yang diwahyukan Allah kepada beliau; beliau juga harus menjalankan tugas sebagai seorang kepala negara; seorang panglima perang; seorang kepala rumah tangga, ayah dari anak-anaknya;  suami dari beberapa isteri yang dinikahinya; kakek dari cucu-cucunya dan sahabat serta tetangga dari orang-orang yang berada di sekitarnya.  Lalu apa dan siapa kita ?  Adakah kita lebih sibuk dari Nabi yang kita cintai itu ? Atau masih pantaskah kita disebut sebagai “umat Muhammad” ?

Sebenarnya masih banyak “keteladanan hidup” yang dapat kita pelajari dari sosok Nabi dan Rasul Allah; Muhammad SAW yang telah Allah jadikan sebagai “uswatun hasanah” untuk kita ikuti dan aplikasikan di dalam kehidupan yang kita jalani. Akan tetapi dalam “keadaan yang serba terbatas ini” saya berharap, bahwa “sedikit” catatan yang telah saya sampaikan secara bersambung melalui media ini “banyak” manfaatnya yang telah bisa dipetik sebagai pelajaran berharga; terutama dalam upaya meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT.
Semoga dengan peringatan  “Maulid Nabi SAW” tahun  ini, kita mendapatkan hidayah dan inayah Allah SWT untuk menyerap dan meneladani semaksimal mungkin “akhlaqul kariimah” Muhammad Rasulullah SAW; “Nabi yang sangat kita cintai dan muliakan” dan sekaligus mengamalkannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Wallahua’lam.

Bagansiapiapi,  17  Rabi’ul Awwal  1433 H  /  10   Pebruari  2012.
KH.BACHTIAR  AHMAD
 

1 comment:

  1. syukron pak kyai,,,,,,,,pencerahan yg menyejukkan sekali ,,,,,,,,,,,,!

    ReplyDelete

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.