TENTANG
“KESEHARIAN” NABI YANG KITA CINTAI (5).
Ya nabii
salaamun ‘alaika; Ya rosuul salaamun
‘alaika
Ya habiib
salaamun ‘alaika; Sholawaatullaahi ‘alaika
(Wahai Nabi
salam kami kepadamu; Wahai Rasul salam
kami kepadamu
Wahai kekasih Allah salam kami kepadamu; Rahmat
Allah semoga melimpah terus untukmu)
AHLI
IBADAH YANG TAK PERNAH LELAH
Walaupun sebagai Nabi dan Rasul Allah; Muhammad SAW
telah mendapat jaminan Allah sebagai
manusia yang “dima’sumkan” Allah; yang disucikan Allah dari segala dosa
dan kesalahan masa lalu maupun masa yang akan datang, namun Muhammad SAW tetap
beribadah layaknya seorang hamba biasa. Bahkan jauh lebih banyak dari siapapun
juga. Bagi beliau ibadah; terutama sholat adalah sesuatu yang melezatkan. Beliau biasa bangun tengah malam untuk sholat
hingga kedua telapak kakinya pernah bengkak. Dan selalu menangis memikirkan
nasib diri dan umat beliau, sehingga membasahi jenggotnya. Dan ketika suatu
saat ditanya oleh Aisyah r.a; Mengapa beliau begitu asyik beribadah,
padahal beliau telah diampuni dan mendapat fasilitas dan prioritas dari Allah
SWT; Muhammad SAW hanya menjawab: “Wahai
Aisyah, apakah aku tak pantas menjadi hamba yang bersyukur”
Muhammad SAW tidak pernah merasa dirinya sebagai
Nabi dan Rasul Allah yang dimuliakan, beliau tetap merasa sebagai manusia biasa
yang diciptakan Allah “hanya untuk beribadah atau menyembah kepada-NYA” sebagaimana
yang Allah firmankan:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzzriyaat: 56)
Sebagai hamba Allah yang seluruh hidupnya diabdikan
untuk beribadah dan menyembah kepada Allah, Muhammad SAW sholat; puasa; dan
selalu membasahkan lidahnya dengan berzikir; bertasbih; bertahlil; bertakbir;
beristighfar serta berdo’a memohon ampunan dan ridho Allah sambil bercucuran
air mata sehingga terkadang janggutnya pun basah.
Muhammad SAW beribadah kepada-NYA pada waktu malam
dan siang; sambil duduk; berdiri ataupun berbaring; baik di waktu sendirian
maupun dalam keadaan ramai; dalam keadaan aman maupun dalam keadaan perang; dan
it uterus berlangsung hingga tiba sa’atnya “Sang Khaliq” menugaskan “malaikat
maut” untuk menjemput dirinya. Semuanya itu adalah merupakan refleksi dari
pengamalan perintah Allah SWT:
“Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan
jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat); dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu
yang diyakini (yakni kematian).” (Q.S. Al-Hijr: 98-99)
Tak seorangpun bisa membantah, bahwa Nabi
kita adalah seorang yang ma’shum. Seorang hamba yang disucikan Allah
dari segala dosa dan kejahatan; Hamba yang diberi pengampunan dari
kesalahan-kesalahan, baik dimasa lampau
maupun dimasa yang akan datang; Hamba yang sudah dipastikan akan masuk surga
tanpa hisab, bahkan dengan disposisi (syafaat) beliau, seseorang yang
durhaka dan pendosa bisa masuk surga. Akan tetapi kendati demikian, kesemuanya
itu tidaklah menjadikan beliau seorang yang sombong, melainkan bertambah tawadhu’
(rendah hati) dan ta’at kepada Allah.
“Sholat” adalah ibadah yang paling beliau sukai. Sehingga selain dari sholat
yang diwajibkan, maka beragam “sholat sunat” sebagaimana yang banyak
diriwayatkan, nyaris tak pernmah beliau abaikan atau tinggalkan tatkala beliau
berada di tempat. Bahkan “qiyamul lail” atau yang kita kenal dengan “sholat
sunat di waktu malam” tak pernah beliau tinggalkan, sekalipun dalam
perjalanan atau peperangan dan walaupun hanya beberapa raka’at saja. Bagi “Muhammad
SAW” sholat adalah suatu “kelezatan
dan kenikmatan” tersendiri. Karena beliau tahu dan yakin seyakin-yakinnya,
bahwa saat sholat; terutama pada saat “sujud”, adalah
sa’at yang paling dekat dengan Tuhan-nya; Allah SWT sebagaimana yang tersirat
dan tersurat dalam firman-NYA:
“..dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada
Tuhan).” (Q.S. Al-‘Alaq:
19)
Oleh sebab itulah di dalam beberapa riwayat
disebutkan, bahwa beliau bersabda kepada setiap orang yang menjadi “umat
Muhammad SAW” untuk banyak-banyak melakukan sujud. Atau dengan kata lain,
banyak-banyak mendirikan sholat sunat, selain dari sholat yang sudah diwajibkan
Allah SWT.
Selain sholat beliau juga banyak melakukan puasa
sunat; adakalanya Senin-Kamis; kadang puasa pertengan bulan (tanggal 13-14-15)
dan atau puasa-puasa sunat lainnya. Dan tak jarang pula beliau puasa dengan dan
atau tanpa niat sebelumnya, lantaran ketika pagi-pagi beliau pulang ke rumah
setelah berjamaah di Masjid, beliau
tidak menjumpai sesuatu apapun yang dapat disantap sebagai sarapan pagi, maka jadilah
beliau lanjutkan dengan berpuasa pada hari itu.
Membaca riwayat demi riwayat tentang
bagaimana Muhammad SAW beribadah kepada Allah SWT, maka sebagai hamba Allah
yang nyaris banyak melakukan dosa, sudah seharusnyalah kita merasa malu pada
diri sendiri. Sebab di antara kita yang merasa sudah cukup dengan amalan dan
ibadah wajib yang pas-pasan dilaksanakan;
Artinya, sholat cukup hanya lima waktu sehari semalam (itupun kalau tak
malas); Puasa cukuplah sebulan dalam setahun; begitu juga dengan zakat dan
haji; Tak ada upaya kita untuk melakukan hal-hal yang disunatkan, yang
sebetulnya mengandung banyak keutamaan. Entah itu shalat dan puasa sunat serta
berdzikir kepada-Nya. Padahal karunia Allah yang kita terima tidaklah sedikit,
yang memang tak dapat kita hitung banyaknya sebagaimana yang difirmankan-Nya:
“Dan jika kamu menghitung nikmat
Allah, maka tidaklah dapat kamu menghitungnya.” (Q.S.Ibrahim: 34)
Padahal dibandingkan
dari sisi kehidupan dan perjuangan beliau dengan kita, maka tentulah sebagai Nabi
dan Rasul Allah; Muhammad SAW lebih sibuk dan lebih capek dari kita. Disamping
harus menyampaikan risalah yang
diwahyukan Allah kepada beliau; beliau juga harus menjalankan tugas sebagai seorang
kepala negara; seorang panglima perang; seorang kepala rumah tangga, ayah dari
anak-anaknya; suami dari beberapa isteri
yang dinikahinya; kakek dari cucu-cucunya dan sahabat serta tetangga dari
orang-orang yang berada di sekitarnya.
Lalu apa dan siapa kita ? Adakah
kita lebih sibuk dari Nabi yang kita cintai itu ? Atau masih pantaskah kita disebut sebagai “umat Muhammad” ?
Sebenarnya masih banyak “keteladanan hidup” yang
dapat kita pelajari dari sosok Nabi dan Rasul Allah; Muhammad SAW yang telah
Allah jadikan sebagai “uswatun hasanah” untuk kita ikuti dan aplikasikan
di dalam kehidupan yang kita jalani. Akan tetapi dalam “keadaan yang serba
terbatas ini” saya berharap, bahwa “sedikit” catatan yang telah saya
sampaikan secara bersambung melalui media ini “banyak” manfaatnya yang
telah bisa dipetik sebagai pelajaran berharga; terutama dalam upaya
meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT.
Semoga dengan peringatan “Maulid Nabi SAW” tahun ini, kita mendapatkan hidayah dan inayah Allah
SWT untuk menyerap dan meneladani semaksimal mungkin “akhlaqul kariimah” Muhammad
Rasulullah SAW; “Nabi yang sangat kita cintai dan muliakan” dan
sekaligus mengamalkannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Wallahua’lam.
Bagansiapiapi, 17
Rabi’ul Awwal 1433 H / 10 Pebruari
2012.
KH.BACHTIAR
AHMAD
syukron pak kyai,,,,,,,,pencerahan yg menyejukkan sekali ,,,,,,,,,,,,!
ReplyDelete